Asap membubung dari sudut barat ibu kota, menciptakan siluet kelam di bawah cahaya bulan. Gemuruh langkah kaki dan teriakan rakyat menggema di jalan-jalan batu yang biasa dipenuhi pedagang dan bangsawan. Malam itu, ibu kota tidak tidur. Malam itu, sejarah mulai berubah.Di jantung distrik para pedagang, sekelompok pemberontak yang dipimpin oleh seorang pria berjubah lusuh mengangkat panji kain lusuh bertuliskan kata: KEBEBASAN. Di belakangnya, rakyat dari berbagai kalangan — buruh, petani, pedagang kecil — ikut serta. Semangat mereka menyala meskipun hanya bersenjatakan obor dan alat pertanian.“Cukup kita dibodohi! Cukup kita dibungkam!” teriak pemimpin itu.“Tumbangkan korupsi! Gulingkan tirani!” teriak massa membalas dengan semangat membara.Sementara itu, dari sebuah balkon tinggi istana, Raja Arlen menyaksikan semua itu dengan wajah pucat. Tak ada lagi wibawa dalam tatapannya. Ia berdiri diam, memandangi api pemberontakan yang kian menyebar di seluruh penjuru kota.Di belakangnya
Langit kelabu menggantung rendah di atas ibu kota, seolah menyadari bahwa darah akan segera tercurah di jalan-jalan batu tuanya. Di luar tembok barat, pasukan utama Rainer bersiap di balik kabut pagi, mengenakan pelindung kulit ringan yang memudahkan gerakan cepat. Mereka bukan pasukan biasa—ini adalah pejuang-pejuang yang telah berjuang sejak awal, yang telah menyaksikan penderitaan rakyat dan kini datang untuk mengakhirinya.Sementara itu, di sisi utara kota, sekelompok kecil pasukan menyusup dalam keheningan malam sebelumnya. Mereka bergerak melalui lorong-lorong rahasia yang pernah digunakan oleh para bangsawan untuk melarikan diri di masa-masa pemberontakan kecil. Kali ini, lorong itu menjadi jalan masuk untuk perubahan.Di antara mereka adalah Marcus dan tiga pengintai terbaik dari faksi barat. Langkah mereka cepat dan senyap, melewati lorong-lorong berlumut dan genangan air yang menyesakkan. Di tangan Marcus, peta yang disediakan oleh Duke Albrecht menuntun mere
Mentari pagi menembus celah reruntuhan kota tua, menyinari alun-alun yang kini dipenuhi aktivitas yang berbeda. Tak ada lagi pasukan elit kerajaan berbaris di sana, tak ada lagi upacara mewah penuh simbol kemegahan semu. Kini, tempat itu menjadi pusat rakyat berkumpul—berdebat, berdiskusi, dan merancang arah masa depan mereka sendiri.Rainer berdiri di tengah aula pertemuan sementara, yang dibangun dari kayu dan batu sederhana. Di sekelilingnya, perwakilan rakyat dari berbagai daerah duduk melingkar, mulai dari mantan budak, pedagang kecil, hingga perwakilan petani dan penyihir independen. Mereka menyebutnya "Majelis Akar".“Kita tidak sedang memilih seorang raja baru,” ujar Rainer, suaranya tenang namun tegas. “Kita sedang menyusun akar dari sistem yang akan menjaga agar tak seorang pun lagi bisa menginjak orang lain hanya karena darah bangsawan atau gelar turun-temurun.”Seorang pria tua dari Utara, janggutnya putih lebat, mengangkat tangan. “Bagaimana kau mem
Senja baru saja jatuh ketika suara derap kaki kuda memecah keheningan perbukitan selatan. Marcus, kini menjabat sebagai Kepala Divisi Pengamanan Transisi, tiba di sebuah pos pengamatan rahasia. Ia turun dari kudanya, mendekati seorang mata-mata yang menunduk dalam hormat.“Mereka mulai bergerak,” lapor si mata-mata, seorang wanita berambut pendek yang dikenal dengan nama kode "Burung Hantu." “Bayangan Kekaisaran tidak lagi hanya menyebarkan selebaran propaganda. Mereka telah merekrut tiga kelompok tentara bayaran. Total kekuatan mereka mendekati dua ribu.”Marcus menghela napas. “Rainer harus tahu ini malam ini juga.”Tak lama setelah laporan dikirim ke ibu kota, Rainer memanggil pertemuan darurat. Aula pertemuan utama penuh dengan wajah-wajah yang sama—pemikir, prajurit, penyihir, dan perwakilan rakyat. Elyse duduk di sisi kirinya, tenang namun matanya tajam mengamati setiap reaksi.“Bayangan Kekaisaran telah menanggalkan jubah kerahasiaannya,” ujar Rain
Mentari pagi menyinari halaman luas yang baru saja dibersihkan. Bangunan besar berbentuk setengah lingkaran, dengan menara-menara kecil menjulang di sekelilingnya, berdiri megah di tengah dataran tinggi. Di gerbangnya, ukiran kuno dan lambang baru berdampingan: simbol akar pohon yang menjalar ke segala arah, dengan cahaya bintang di puncaknya—lambang baru Akademi Akar Dunia.Hari itu adalah hari pembukaan akademi yang telah lama direncanakan Rainer. Sebuah pusat pendidikan yang akan menjadi fondasi dari sistem baru. Tidak hanya untuk mengajarkan sihir, tetapi juga logika, etika, strategi, ilmu alam, seni, dan bahkan sejarah dari dunia lama dan dunia asal Rainer.Di hadapan ratusan calon murid dan undangan dari seluruh wilayah, Rainer berdiri di podium terbuka, bersama Elyse dan para dewan guru pertama yang dipilih berdasarkan kemampuan, bukan garis keturunan."Akar pengetahuan," ujar Rainer membuka pidato perdananya, "bukan untuk mereka yang dilahirkan dengan ha
Langit mulai memerah saat senja turun, melukis warna lembayung di atas puncak menara Akademi Akar Dunia. Di dalam ruangan batu yang diterangi cahaya kristal sihir, Rainer duduk di depan tumpukan laporan yang baru saja dikirim dari berbagai wilayah kekuasaan baru. Matanya menelusuri setiap kata, setiap kalimat, dengan tatapan penuh kehati-hatian.Laporan terakhir datang dari sebuah wilayah terpencil di tenggara, sebuah reruntuhan kuno yang baru-baru ini ditemukan oleh sekelompok peneliti dari akademi cabang. Isinya membuat dahi Rainer mengernyit. Tertulis bahwa mereka menemukan manuskrip sihir kuno yang tidak terdaftar dalam arsip kerajaan maupun Perpustakaan Agung Archem. Bahasa yang digunakan bahkan bukan bagian dari sistem sihir modern, dan tulisan itu membawa lambang aneh: dua mata yang saling bertaut dengan garis berkelok di tengahnya.Lebih mencurigakan lagi, para peneliti melaporkan bahwa setelah membuka salah satu segel di bawah reruntuhan, beberapa dari mereka
Tiga hari setelah penemuan kristal dari reruntuhan, ketenangan semu menyelimuti Akademi Akar Dunia. Rainer, Elyse, dan beberapa peneliti pilihan menyimpan temuan itu dalam ruang penyimpanan berkode ganda, dijaga oleh pelindung sihir dan teknologi mekanis paling mutakhir yang dimiliki akademi. Meski secara fisik tampak tidak berbahaya, aura yang memancar dari kristal itu tak pernah benar-benar padam. Seolah ia terus bernapas—mengamati, menunggu.Rainer duduk di ruang studi pribadinya, menatap papan tulis besar yang dipenuhi coretan, rumus, dan simbol asing. Ia telah menghabiskan waktu menganalisis isi kristal, dan menemukan bahwa di dalamnya tersimpan bukan hanya data, melainkan pengalaman, suara, dan ingatan. Ini bukan sekadar alat penyimpan informasi, tapi sebuah arsip kesadaran."Aku menemukan pola musik," gumamnya lirih. "Nada-nada yang membentuk kode. Mereka menyampaikan pesan... bukan dalam kata, tapi dal
Hujan deras mengguyur pelabuhan selatan Kerajaan Galvane. Kapal ekspedisi akademi telah bersandar di dermaga, dan suara ombak yang menghantam kayu menambah ketegangan suasana. Rainer berdiri di dek kapal, mengenakan jubah tebal berlapis pelindung sihir. Di belakangnya, Elyse, Marcus, dan beberapa anggota tim elite akademi bersiap turun.Wilayah yang mereka tuju adalah reruntuhan Virellis, kota kuno yang terkubur oleh tanah longsor dua abad lalu. Berdasarkan kode dalam simfoni pertama, fragmen kedua tersembunyi di bawah tanah, dilindungi oleh mekanisme sihir yang hanya bisa dipecahkan oleh harmoni energi tertentu—sesuatu yang hanya bisa dideteksi jika seseorang memiliki resonansi dengan fragmen pertama.“Aku merasakannya,” bisik Rainer sambil menekan telapak tangannya ke dada, tempat ia mengenakan liontin kristal kecil dari fragmen pertama. “Ada sesuatu yang memanggil… seperti gema di ujung lorong panjang.”Elyse menatapnya, mata peraknya penuh waspada. “Pastikan
Hutan Frostveil, wilayah utara kerajaan yang dinginnya mampu membekukan tulang bahkan sebelum musim salju datang. Kabut tebal menggantung di antara pohon-pohon cemara tinggi, dan hanya suara ranting patah atau langkah lembut di salju yang memberi tanda bahwa kehidupan masih ada di tempat itu.Di sinilah Rainer, Elyse, Marcus, dan Kysha menelusuri jejak pengkhianat dari tim mereka—Seth, anggota pencatat sihir yang ternyata telah menyusup atas perintah pihak luar. Peta menuju fragmen ketiga kini berada di tangannya, dan jika dia berhasil menyerahkannya ke tangan sekte atau faksi bangsawan tertentu, pertarungan untuk perubahan bisa berakhir sebelum dimulai.“Kita hanya berjarak satu hari perjalanan dari kuil tua yang disebutkan di fragmen kedua,” bisik Kysha sambil menunjuk peta yang telah mereka salin ulang. “Tapi jalur yang diambil Seth... bukan jalur langsung. Dia menuju celah pegunungan—ada sesuatu di sana yang dia sembunyikan.”Rainer menatap langit yang mulai
Hujan deras mengguyur pelabuhan selatan Kerajaan Galvane. Kapal ekspedisi akademi telah bersandar di dermaga, dan suara ombak yang menghantam kayu menambah ketegangan suasana. Rainer berdiri di dek kapal, mengenakan jubah tebal berlapis pelindung sihir. Di belakangnya, Elyse, Marcus, dan beberapa anggota tim elite akademi bersiap turun.Wilayah yang mereka tuju adalah reruntuhan Virellis, kota kuno yang terkubur oleh tanah longsor dua abad lalu. Berdasarkan kode dalam simfoni pertama, fragmen kedua tersembunyi di bawah tanah, dilindungi oleh mekanisme sihir yang hanya bisa dipecahkan oleh harmoni energi tertentu—sesuatu yang hanya bisa dideteksi jika seseorang memiliki resonansi dengan fragmen pertama.“Aku merasakannya,” bisik Rainer sambil menekan telapak tangannya ke dada, tempat ia mengenakan liontin kristal kecil dari fragmen pertama. “Ada sesuatu yang memanggil… seperti gema di ujung lorong panjang.”Elyse menatapnya, mata peraknya penuh waspada. “Pastikan
Tiga hari setelah penemuan kristal dari reruntuhan, ketenangan semu menyelimuti Akademi Akar Dunia. Rainer, Elyse, dan beberapa peneliti pilihan menyimpan temuan itu dalam ruang penyimpanan berkode ganda, dijaga oleh pelindung sihir dan teknologi mekanis paling mutakhir yang dimiliki akademi. Meski secara fisik tampak tidak berbahaya, aura yang memancar dari kristal itu tak pernah benar-benar padam. Seolah ia terus bernapas—mengamati, menunggu.Rainer duduk di ruang studi pribadinya, menatap papan tulis besar yang dipenuhi coretan, rumus, dan simbol asing. Ia telah menghabiskan waktu menganalisis isi kristal, dan menemukan bahwa di dalamnya tersimpan bukan hanya data, melainkan pengalaman, suara, dan ingatan. Ini bukan sekadar alat penyimpan informasi, tapi sebuah arsip kesadaran."Aku menemukan pola musik," gumamnya lirih. "Nada-nada yang membentuk kode. Mereka menyampaikan pesan... bukan dalam kata, tapi dal
Langit mulai memerah saat senja turun, melukis warna lembayung di atas puncak menara Akademi Akar Dunia. Di dalam ruangan batu yang diterangi cahaya kristal sihir, Rainer duduk di depan tumpukan laporan yang baru saja dikirim dari berbagai wilayah kekuasaan baru. Matanya menelusuri setiap kata, setiap kalimat, dengan tatapan penuh kehati-hatian.Laporan terakhir datang dari sebuah wilayah terpencil di tenggara, sebuah reruntuhan kuno yang baru-baru ini ditemukan oleh sekelompok peneliti dari akademi cabang. Isinya membuat dahi Rainer mengernyit. Tertulis bahwa mereka menemukan manuskrip sihir kuno yang tidak terdaftar dalam arsip kerajaan maupun Perpustakaan Agung Archem. Bahasa yang digunakan bahkan bukan bagian dari sistem sihir modern, dan tulisan itu membawa lambang aneh: dua mata yang saling bertaut dengan garis berkelok di tengahnya.Lebih mencurigakan lagi, para peneliti melaporkan bahwa setelah membuka salah satu segel di bawah reruntuhan, beberapa dari mereka
Mentari pagi menyinari halaman luas yang baru saja dibersihkan. Bangunan besar berbentuk setengah lingkaran, dengan menara-menara kecil menjulang di sekelilingnya, berdiri megah di tengah dataran tinggi. Di gerbangnya, ukiran kuno dan lambang baru berdampingan: simbol akar pohon yang menjalar ke segala arah, dengan cahaya bintang di puncaknya—lambang baru Akademi Akar Dunia.Hari itu adalah hari pembukaan akademi yang telah lama direncanakan Rainer. Sebuah pusat pendidikan yang akan menjadi fondasi dari sistem baru. Tidak hanya untuk mengajarkan sihir, tetapi juga logika, etika, strategi, ilmu alam, seni, dan bahkan sejarah dari dunia lama dan dunia asal Rainer.Di hadapan ratusan calon murid dan undangan dari seluruh wilayah, Rainer berdiri di podium terbuka, bersama Elyse dan para dewan guru pertama yang dipilih berdasarkan kemampuan, bukan garis keturunan."Akar pengetahuan," ujar Rainer membuka pidato perdananya, "bukan untuk mereka yang dilahirkan dengan ha
Senja baru saja jatuh ketika suara derap kaki kuda memecah keheningan perbukitan selatan. Marcus, kini menjabat sebagai Kepala Divisi Pengamanan Transisi, tiba di sebuah pos pengamatan rahasia. Ia turun dari kudanya, mendekati seorang mata-mata yang menunduk dalam hormat.“Mereka mulai bergerak,” lapor si mata-mata, seorang wanita berambut pendek yang dikenal dengan nama kode "Burung Hantu." “Bayangan Kekaisaran tidak lagi hanya menyebarkan selebaran propaganda. Mereka telah merekrut tiga kelompok tentara bayaran. Total kekuatan mereka mendekati dua ribu.”Marcus menghela napas. “Rainer harus tahu ini malam ini juga.”Tak lama setelah laporan dikirim ke ibu kota, Rainer memanggil pertemuan darurat. Aula pertemuan utama penuh dengan wajah-wajah yang sama—pemikir, prajurit, penyihir, dan perwakilan rakyat. Elyse duduk di sisi kirinya, tenang namun matanya tajam mengamati setiap reaksi.“Bayangan Kekaisaran telah menanggalkan jubah kerahasiaannya,” ujar Rain
Mentari pagi menembus celah reruntuhan kota tua, menyinari alun-alun yang kini dipenuhi aktivitas yang berbeda. Tak ada lagi pasukan elit kerajaan berbaris di sana, tak ada lagi upacara mewah penuh simbol kemegahan semu. Kini, tempat itu menjadi pusat rakyat berkumpul—berdebat, berdiskusi, dan merancang arah masa depan mereka sendiri.Rainer berdiri di tengah aula pertemuan sementara, yang dibangun dari kayu dan batu sederhana. Di sekelilingnya, perwakilan rakyat dari berbagai daerah duduk melingkar, mulai dari mantan budak, pedagang kecil, hingga perwakilan petani dan penyihir independen. Mereka menyebutnya "Majelis Akar".“Kita tidak sedang memilih seorang raja baru,” ujar Rainer, suaranya tenang namun tegas. “Kita sedang menyusun akar dari sistem yang akan menjaga agar tak seorang pun lagi bisa menginjak orang lain hanya karena darah bangsawan atau gelar turun-temurun.”Seorang pria tua dari Utara, janggutnya putih lebat, mengangkat tangan. “Bagaimana kau mem
Langit kelabu menggantung rendah di atas ibu kota, seolah menyadari bahwa darah akan segera tercurah di jalan-jalan batu tuanya. Di luar tembok barat, pasukan utama Rainer bersiap di balik kabut pagi, mengenakan pelindung kulit ringan yang memudahkan gerakan cepat. Mereka bukan pasukan biasa—ini adalah pejuang-pejuang yang telah berjuang sejak awal, yang telah menyaksikan penderitaan rakyat dan kini datang untuk mengakhirinya.Sementara itu, di sisi utara kota, sekelompok kecil pasukan menyusup dalam keheningan malam sebelumnya. Mereka bergerak melalui lorong-lorong rahasia yang pernah digunakan oleh para bangsawan untuk melarikan diri di masa-masa pemberontakan kecil. Kali ini, lorong itu menjadi jalan masuk untuk perubahan.Di antara mereka adalah Marcus dan tiga pengintai terbaik dari faksi barat. Langkah mereka cepat dan senyap, melewati lorong-lorong berlumut dan genangan air yang menyesakkan. Di tangan Marcus, peta yang disediakan oleh Duke Albrecht menuntun mere
Asap membubung dari sudut barat ibu kota, menciptakan siluet kelam di bawah cahaya bulan. Gemuruh langkah kaki dan teriakan rakyat menggema di jalan-jalan batu yang biasa dipenuhi pedagang dan bangsawan. Malam itu, ibu kota tidak tidur. Malam itu, sejarah mulai berubah.Di jantung distrik para pedagang, sekelompok pemberontak yang dipimpin oleh seorang pria berjubah lusuh mengangkat panji kain lusuh bertuliskan kata: KEBEBASAN. Di belakangnya, rakyat dari berbagai kalangan — buruh, petani, pedagang kecil — ikut serta. Semangat mereka menyala meskipun hanya bersenjatakan obor dan alat pertanian.“Cukup kita dibodohi! Cukup kita dibungkam!” teriak pemimpin itu.“Tumbangkan korupsi! Gulingkan tirani!” teriak massa membalas dengan semangat membara.Sementara itu, dari sebuah balkon tinggi istana, Raja Arlen menyaksikan semua itu dengan wajah pucat. Tak ada lagi wibawa dalam tatapannya. Ia berdiri diam, memandangi api pemberontakan yang kian menyebar di seluruh penjuru kota.Di belakangnya