“Cita, mobilmu ada di mana?” Setelah mengambil semua barang-barang pentingnya di rumah Harry, Sandra kembali ke kosan putrinya. Sandra mendata semua aset dan investasi yang dimilikinya selama ini. Menghitungnya dengan detail, agar bisa merancang masa depan yang masih berada di angan-angan.Cita menoleh dengan bibirnya yang mengerucut. Menarik kedua tangan dari keyboard laptop, lalu memutar tubuh. Menatap Sandra yang duduk di tempat tidur dan bersandar pada dinding. Sang mami tengah memegang sebuah pulpen dan buku catatan milik Cita. “Masih … di rumah Pandu.”Sandra berdecak, dan meletakkan pulpennya di atas buku. “Biar Mami ambil ke sana sore ini.”“Mami mau ke rumah Pandu?” Cita beranjak menghampiri Sandra, duduk di tepi ranjang. Ia ikut prihatin dengan keadaan sang mami, yang terpaksa harus tinggal di kosan sempit milik Cita. Ia berharap Arya segera memberi kabar, sehingga mereka bisa berangkat ke Surabaya secepatnya. Meninggalkan Jakarta, dan mengubur semua masa lalu dalam-dalam.S
“Silakan …” Arya sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu mempersilakan ibu dan anak yang baru saja sampai itu masuk ke dalam mobilnya. Tidak disangka, kedatangan Sandra dan Cita ke Surabaya, ternyata lebih cepat dari perkiraan Arya. Selang dua hari ia memberi kabar tentang rumah kontrakan, keduanya langsung meluncur ke Surabaya.Kendati masih banyak pertanyaan di kepala Arya, tetapi ia tahu diri untuk tidak mempertanyakan itu semua.“Loh, red carpetnya mana?” celetuk Sandra lebih dulu masuk ke dalam mobil. “Dari tadi Tante cariin, nggak ada.”“Lagi dicuci, Tan.” Arya terkekeh sambil menegakkan kembali tubuhnya, saat Cita baru saja melewatinya. “Habis dipake Cannes Film Festival kemarin.”Cita terkekeh sambil menggeleng, mendengar jawaban Arya. Pria itu seolah tidak memiliki beban hidup sama sekali. Padahal, Pras baru saja menskors Arya dan tidak diperkenankan bekerja di Metro Surabaya selama satu bulan.“Sudah siap semua?” tanya Arya setelah masuk mobil, dan memasang sabuk pengamannya. I
“Mi, mas Arya sudah datang.” Cita masuk ke dalam kamar, lalu menyambar tas ransel yang tergeletak di sudut ruang. Karena mereka belum memiliki perabotan apa pun, maka barang yang dibawa sementara masih berada di lantai.Sandra menyalakan layar ponsel, dan melihat jam digital yang tertera di sana. “Kok, cepat banget.”Cita mengendik sambil memakai tas ranselnya. Namun, setelah memikirkan sesuatu, Cita kembali melepas tas tersebut lalu meletakkannya di sudut kasur. “Aku mau ngomong bentar sama mas Arya.”“Hm, Mami ganti baju sebentar.”Cita mengangguk, kemudian keluar dan menutup pintu kamar. Ia keluar, dan menghampiri Arya yang baru saja keluar dari mobil. “Mas, kata Mami, kalau Mas Arya nggak mau dibayar, kami perginya pake taksi yang lain aja.”Rencananya, pria itu akan menemani Cita dan Sandra untuk mencari perabotan rumah. Namun, Cita merasa tidak enak hati karena Arya tidak mau dibayar, atas jasanya menjemput di bandara lalu mengantar sampai rumah kontrakan.Arya menurunkan kacama
“Bu Gemi.” Melihat putrinya mendadak merasa terpojok dan bersalah, Sandra buru-buru memberi penjelasan. “Saya mohon maaf, kalau anak ibu sampai diskors dari tempat kerjanya. Tapi, kejadian waktu itu betul-betul di luar kendali Cita, Bu. Saya sebenarnya juga sangat berterima kasih dengan Nak Arya, karena kalau nggak ada dia, saya mungkin belum bisa ketemu sama Cita.”Gemi tersenyum lembut. “Tenang, Bu. Saya nggak masalah dengan itu, karena sudah biasa. Arya itu, sudah langganan diskors juga waktu di sekolah, tapi tetap nggak tobat-tobat.”“Karena lebih enak diskors, daripada di sekolah,” celetuk Arya dan langsung mendapat tatapan tajam dari Gemi. Namun, Arya santai dan memberi Gemi senyuman lebar. “Jangan marah-marah, nanti kerutannya nambah.”Gemi menarik napas dengan menggeleng. Ketika matanya tertuju sekilas pada pintu restoran, Gemi kembali tersenyum lalu menatap Sandra. “Saya tinggal dulu, ya, Bu Sandra. Sudah ada janji sama orang.” Telunjuk Gemi tertuju ke arah pintu restoran seb
“Sudah sarapan, Ar?” tanya Sandra ketika melihat Arya masuk ke rumah, setelah memberi salam terlebih dahulu. Sandra sudah menganggap Arya seperti anak sendiri, dan pria itu juga sudah biasa keluar masuk rumah tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.“Sudah, Tan.”Namun, ucapan itu tidak selaras dengan perut Arya yang kembali bergejolak, saat melihat masakan Sandra di atas meja. Ada semangkuk cumi yang tampak menggiurkan, dan juga udang goreng tepung yang membuat Arya menelan ludah. Belum lagi aroma masakan yang sungguh menggoda indra penciumannya itu, langsung membuat Arya duduk bersila menghadap meja.Sandra terkekeh melihat ekspresi Arya. “Cita, tolong ambilkan piring satu lagi, ada yang makan.”“Yah, Tante, saya jadi enak, kan, kalau dipaksa begini.” Arya terkekeh lalu meneguk air liurnya sendiri. Apalagi, saat melihat Cita datang dan meletakkan sepiring sambal di atas meja. “Masakanmu yang mana, Cit?” ledek Arya karena tahu Cita tidak suka memasak.“Tuhh.” Cita menunjuk udang gor
Sandra segera meraih ponselnya, yang baru saja bergetar di lantai. Keluar kamar, dan menutup pintu dengan perlahan dan sangat hati-hati. Ia tidak ingin membangunkan Cita, yang akhirnya bisa menutup mata. Meskipun, terkadang putrinya itu masih mengigau tidak karuan.Sandra berlari kecil ke dapur, dan menutup pintunya juga. “Halo, Pak Lex, gimana? Apa sudah ada kabar?” tanya Sandra dengan terburu, sambil menatap ke dalam rumah, lewat jendela kaca yang berada di samping pintu dapur.Demi Cita, mau tidak mau Sandra harus membuang semua rasa malu dan tidak enaknya pada Lex. Karena saat ini, tidak ada lagi yang bisa Sandra andalkan, dan dimintai pertolongan untuk membantu putri satu-satunya itu. Sandra hanya punya Cita, dan akan melakukan apa pun demi putri tercintanya itu.“Ya.” Lex menghela panjang. “Saya baru dapat kabar dari pak Abi. Jadi, pak David mengeluarkan Pandu dari jajaran manajemen perusahan, begitu juga dengan pak Harry. Istri Pandu baru melahirkan dan mengalami depresi, karen
“Aku nggak mau anak ini, Mamiii.” Cita berusaha memukul perutnya, tetapi tangan Sandra terus mencegahnya sejak tadi. “Aku nggak mau!”“Cita, lihat, Mam—”“Nggak mauuu.” Cita menggeleng. Berusaha melepas tangannya yang ada di genggaman Sandra. “Dia bukan anakku dan aku nggak mau punya anak dari orang itu!”“Cita.” Sandra balas menggeleng. Mencoba memberi pandangan lain, agar Cita tidak menggugurkan janin di dalam kandungannya. “Mau bagaimanapun, ini anak kamu. Ada darah kamu juga di dalamnya.”“Tapi dia anak orang itu!”“Tapi anakmu juga, Sayang.” Sandra tidak ingin putrinya melakukan sesuatu, yang akan disesalinya dikemudian hari. Ia melepas tangan Cita, lalu menangkup wajah yang sudah basah dengan air mata itu. Dengan perlahan, Sandra mengusap air mata yang masih saja turun membasahi pipi Cita. “Dengar Cita. Dulu, hamil kamu itu adalah cobaan terberat buat Mami. Tapi, nggak pernah satu kali pun Mami berpikir untuk menggugurkan kamu. Mami sendirian, nggak punya penghasilan, dan cuma
“Cita hamil.” Sandra menghela pendek, dan mengarahkan tatapannya pada David. “Tapi saya ke sini bukan minta pertanggungjawaban Pandu, atau membatalkan perceraian anak saya.”“Bu Sandra.” Ada perasaan bahagia saat mendengar Cita tengah hamil anak Pandu. Namun, David merasa miris karena semua harus terjadi dengan cara seperti ini. Andai David mengetahuinya lebih awal, dirinya pasti tidak akan membiarkan semua masalah ini terjadi. “Pertama-tama, saya mohon maaf karena semua masalah yang sudah terjadi. Andai saya tahu dari awal, saya pasti langsung menghubungi Bu Sandra”“Saya paham kalau Pak David memang nggak tahu apa-apa.” Kedua tangan Sandra saling menggenggam erat di atas paha. “Dan saya bisa memaklumi itu. Tapi, Pak, saya sudah nggak mau bahas masalah yang sudah terlanjur terjadi. Saya ke sini karena mau bertemu dan bicara dengan Pandu. Apa bisa Pak David kasih alamat dia?”“Bu Sandra—““Pandu sudah ngancam Cita, Pak,” putus Sandra tidak ingin menutupi apa pun di depan David. “Dan,
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub
“Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic
Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu
Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita
Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem
“Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad