Sebenarnya, Arya merasa bodoh sendiri. Mengikuti Cita sampai sejauh ini, tetapi tidak membawa dompet ataupun ponsel. Ia seorang pria, tetapi masuk ke dalam rumah sakit ibu dan anak seorang diri. Duduk pada kursi tunggu di depan ruang dokter yang berbeda, sambil mengawasi Cita.Apa gadis itu hamil, sehingga harus pergi ke dokter kandungan? Ya, Cita pasti hamil!Namun, mengapa tidak memeriksakan diri di rumah sakit terdekat? Cita justru pergi ke rumah sakit yang letaknya begitu jauh, hingga membuat punggung, tangan, dan kaki Arya pegal karena tidak terbiasa naik moge.Akan tetapi, di antara banyak pikiran yang terlintas di kepala Arya, akhirnya ia menemukan sebuah titik terang. Ia melihat Cita berdiri, lalu menghampiri sepasang suami istri yang baru saja datang. Pandu sampai harus memicing, dan berkedip berkali-kali.“Pandu? Atmawijaya?” Arya bergumam sendiri, ketika baru menyadari sosok pria itu. Setelah berkenalan dengan Cita tempo hari, Arya iseng mencari nama Cita di website pencari
“Citaaa, ya ampun, Cita.” Cita menarik napas tegang. Bangkit perlahan, dan meremas erat selimut yang menutupi tubuhnya. “Ma-mama, di … sini.”Pandu!Pasti pria itu yang menghubungi Tessa, sampai mama mertuanya ada di sini. Jangan sampai wanita itu kembali membawa Cita pulang, karena ia benar-benar bisa gila dibuatnya. Arya spontan berdiri, karena melihat wanita yang lebih tua darinya menghampiri. Arya yakin wanita itu dalah ibu Pandu, karena Arya juga pernah melihat fotonya. Perhatiannya lantas terfokus pada Cita. Wajah gadis itu terlihat tegang, dengan kedua tangan yang mengepal erat. Seolah ketakutan, tetapi intensitasnya tidak seperti ketika disentuh oleh Arya, maupun Pandu.Mengapa Arya curiga, wanita itu tahu semua tentang perbuatan putranya pada Cita. Semoga saja, dugaan Arya salah. Karena bila benar, maka Cita benar-benar ada dalam masalah yang kompleks. Tessa menghampiri Cita dengan cepat, lalu membawa gadis itu ke pelukan. Air matanya menitik begitu saja, dan mulai terisak
Tessa mempercepat langkahnya, saat melihat tirai yang menutup ranjang pasien yang ditempati Cita terbuka, hampir separuhnya. Saat tiba di tempat, napas Tessa terbuang frustrasi. Seharusnya, ia tidak meninggalkan menantunya itu seorang diri. Seharusnya, Tessa membawa Erina atau orang lain bersamanya. Paling tidak, Tessa membawa masuk sopir pribadinya untuk mengawasi Cita.Tessa yakin sekali Cita kembali pergi, karena tas ransel gadis itu juga ikut menghilang dari tempatnya.“Sus!” Tessa menoleh ke sekitar, tetapi tidak ada satu pun perawat yang sedang berada di sana. Lantas, Tessa menghampiri ranjang pasien yang letakkan berdekatan dengan pintu, karena ada seseorang juga yang tengah dirawat di sana.“Maaf, apa ada lihat anak saya pergi dari sini, ya?” tanya Tessa setelah membuka sedikit tirainya. Semua kemungkinan bisa saja terjadi, karena itu Tessa harus bertanya lebih dahulu. “Perempuan, pakai ransel pink, sama jaket warna merah? Ada topinya?”“Maaf, Bu. Saya nggak tahu.”Tessa mengh
Kerutan di dahi Lex semakin bertambah saat melihat Arya dan Cita duduk di ruang tamu. Namun, yang menjadi konsentrasi Lex adalah Cita. Mengapa penampilan gadis itu mendadak berubah drastis?Sejak Kasih mulai sibuk bekerja, Cita memang sudah tidak pernah lagi bertandang ke rumah Lex. Mungkin, karena tidak ada yang mengajak Cita main ke rumah, karena itulah gadis itu tidak lagi menginjakkan kaki di kediaman Anggoro.Bahkan, Lex hanya berdiam diri menatap Cita, saat gadis itu menyalaminya dengan sangat sopan.“Om, pinjam hape!” seru Arya memecah keterdiaman Lex. Ia baru ingat, harus menghubungi seseorang sesegera mungkin. “Hapeku, dari pagi ketinggalan di rumah bunda Asri.”“Duduk,” titah Lex menunjuk sofa dengan dagunya. Entah apa yang terjadi pada Arya dan Cita saat ini. Yang jelas, pria itu harus mempertanggungjawabkan semua hal pada Pras malam nanti. “Datang ke rumah pak Pras jam tujuh nanti malam. Jangan sampai terlambat.”“Pak Pras … marah?” Dari wajah Lex saja, Arya tahu pertanyaa
Alih-alih membicarakannya dengan Abi secara empat mata, Lex justru memiliki ide lain. Semua itu Lex lakukan, agar permasalahan bisa selesai secepatnya. Bila memang tidak bisa membawa ke jalur hukum, maka Lex akan menyelesaikan dengan caranya sendiri. Namun, semuanya tergantung dengan respons semua orang yang diundangnya pada malam itu.Lex memutuskan menyewa sebuah ruang private di sebuah restoran, dan mengundang orang tua dari kedua belah pihak tanpa saling mengetahui. Tentu saja Lex ikut mengundang Abi, kuasa hukum keluarga Atmawijaya agar semua pembahasan bisa tuntas sekaligus.Semua mata, jelas saling pandang dengan terkejut. Terlebih Sandra, yang malam itu datang terpisah dengan Harry.“Mas … Harry?” Sandra berjalan pelan memasuki ruangan private tersebut. Bukankah, Cita yang mengajaknya bertemu di restoran karena ingin makan malam bersama Sandra? Namun, mengapa Harry dan kedua besannya juga ada di ruangan tersebut. Yang paling mengejutkan adalah, Sandra melihat Lex dan Abi yang
Ibu mana yang tidak tersayat hatinya, bila melihat putri yang ia besarkan dengan segenap jiwa, ternyata hidup menderita di luar sana. Sandra akui, ia bukanlah seorang wanita yang baik. Namun, sebagai seorang ibu, Sandra berusaha mendidik putrinya untuk selalu berada di jalur yang benar.Dengan membuang semua harga dirinya di depan keluarga Lukito, Sandra berusaha keras memenuhi semua kebutuhan Cita, sedari gadis itu kecil. Memberi pendidikan, lingkungan, dan pergaulan yang terbaik, karena Sandra tidak ingin Cita menjadi seperti dirinya dahulu kala. Yang menghalalkan segala cara, untuk mendapatkan apa yang Sandra inginkan.Akan tetapi, Sandra merasa semua perjuangannya sia-sia belaka. Satu-satunya putri yang sudah ia jaga selama ini, akhirnya hancur di tangan keluarga yang sangat Sandra percaya. Andai Tuhan hendak menjatuhkan karmaNya, mengapa tidak Sandra saja yang mendapatkannya. Kenapa harus Cita?“Besok …” Sambil terus mengusap punggung Cita di pelukan, Sandra berujar, “Mami sendir
“Cita, mobilmu ada di mana?” Setelah mengambil semua barang-barang pentingnya di rumah Harry, Sandra kembali ke kosan putrinya. Sandra mendata semua aset dan investasi yang dimilikinya selama ini. Menghitungnya dengan detail, agar bisa merancang masa depan yang masih berada di angan-angan.Cita menoleh dengan bibirnya yang mengerucut. Menarik kedua tangan dari keyboard laptop, lalu memutar tubuh. Menatap Sandra yang duduk di tempat tidur dan bersandar pada dinding. Sang mami tengah memegang sebuah pulpen dan buku catatan milik Cita. “Masih … di rumah Pandu.”Sandra berdecak, dan meletakkan pulpennya di atas buku. “Biar Mami ambil ke sana sore ini.”“Mami mau ke rumah Pandu?” Cita beranjak menghampiri Sandra, duduk di tepi ranjang. Ia ikut prihatin dengan keadaan sang mami, yang terpaksa harus tinggal di kosan sempit milik Cita. Ia berharap Arya segera memberi kabar, sehingga mereka bisa berangkat ke Surabaya secepatnya. Meninggalkan Jakarta, dan mengubur semua masa lalu dalam-dalam.S
“Silakan …” Arya sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu mempersilakan ibu dan anak yang baru saja sampai itu masuk ke dalam mobilnya. Tidak disangka, kedatangan Sandra dan Cita ke Surabaya, ternyata lebih cepat dari perkiraan Arya. Selang dua hari ia memberi kabar tentang rumah kontrakan, keduanya langsung meluncur ke Surabaya.Kendati masih banyak pertanyaan di kepala Arya, tetapi ia tahu diri untuk tidak mempertanyakan itu semua.“Loh, red carpetnya mana?” celetuk Sandra lebih dulu masuk ke dalam mobil. “Dari tadi Tante cariin, nggak ada.”“Lagi dicuci, Tan.” Arya terkekeh sambil menegakkan kembali tubuhnya, saat Cita baru saja melewatinya. “Habis dipake Cannes Film Festival kemarin.”Cita terkekeh sambil menggeleng, mendengar jawaban Arya. Pria itu seolah tidak memiliki beban hidup sama sekali. Padahal, Pras baru saja menskors Arya dan tidak diperkenankan bekerja di Metro Surabaya selama satu bulan.“Sudah siap semua?” tanya Arya setelah masuk mobil, dan memasang sabuk pengamannya. I
“Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa
“Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu
“Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya
“Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub
“Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic
Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu
Semakin hari perkembangan Cita terlihat semakin ada kemajuan. Meskipun Cita tidak pernah menceritakan detailnya pada Arya, tetapi ia selalu mendapat kiriman video dari Sandra. Dari situlah, Arya bisa melihat semua perjuangan Cita yang terkadang disertai dengan air mata.Ada waktunya Cita terlihat sangat lelah, dan hampir menyerah karena fisioterapi yang dilakukan sangatlah tidak mudah. Adakalanya juga, Cita ngambek dan tidak ingin melakukan terapi apa pun, karena merasa tidak sanggup menjalaninya.Namun, semua drama itu tetap saja akan berakhir, dan Cita kembali melanjutkan fisioterapinya dengan penuh semangat. Selain itu, Cita juga rutin melakukan konseling, karena ia masih butuh dukungan mental atas semua yang pernah terjadi di dalam hidupnya, serta apa yang tengah dijalankan saat ini.“Maaf, aku nggak bisa ke sana lagi jumat ini.” Arya mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang, sembari menatap Cita yang berada di layar ponselnya. Sudah tiga kali ini Arya tidak bisa menjenguk Cita
Cita bersedekap. Duduk di kursi rodanya, di antara Harry dan Arya. Melihat kedua pria itu, tengah sibuk dengan laptopnya masing-masing. Sesekali, Arya akan bertanya beberapa hal, dan Harry akan menjelaskannya dengan perlahan dan mendetail.Sementara Sandra, sedang berada di dapur dan memasak seperti biasanya. Untuk urusan masak-memasak, Sandra tidak mau digantikan oleh siapa pun. Ia ingin memastikan sendiri asupan yang masuk ke dalam tubuh Cita, dibuat dengan bahan-bahan yang segar dan berkualitas.“Terus, aku ngapain di suruh duduk di tengah-tengah begini dari tadi?” protes Cita yang sudah bosan karena tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk atas titah Harry, dan jadi pendengar yang baik sedari tadi.“Dengarkan semua diskusi Papa sama Arya,” ujar Harry masih menatap laptopnya. Sebelumnya, Harry sudah menjelaskan mengenai kerja sama yang akan dilakukan bersama Pras, dalam jangka waktu dua atau tiga bulan ke depan pada Cita. Untuk itulah, Harry ingin Cita mulai terlibat dalam dalam sem
“Jadi, nggak sempat ngobrol sama Rashi?”Cita mendengarkan cerita Arya dengan seksama. Padahal, setiap hari mereka pasti berkomunikasi dan suaminya pasti bercerita tentang banyak hal. Namun, Arya baru menceritakan masalah pertemuannya dengan Rashi kali ini.Arya menggeleng seraya mengambil sebuah kaos dan celana pendek dari kopernya. “Dia cuma datang sebentar ngantar cake, terus buru-buru pulang.”“Kenapa nggak diajak ngobrol?” Cita menyayangkan hal yang satu itu. Harusnya, kakak beradik itu bisa duduk berdua, lalu berdamai dengan masa lalu.Arya kembali menggeleng. Ia membuka kaos berkerah yang dipakainya, lalu melemparnya di atas tempat tidur Cita. “Dianya buru-buru pergi,” kata Arya sembari memakai kaos yang baru saja diambilnya di koper.“Masih deg-degan, nggak, waktu ketemu Rashi?” goda Cita hanya bisa menelan ludah, saat melihat Arya berganti pakaian di depannya. Sebagai wanita normal, tentu saja Cita memiliki sebuah gejolak yang tidak biasa saat melihat pria yang dicintainya ad