aisshh. kintan yang ditanya, tapi otornya yang salting š«£š«°
Iqbal menggendong Kintan masuk ke dalam kamar mandi, namun dilihat dari tatapan nakal mata coklat cemerlang pria itu yang terus saja tertuju pada seluruh tubuh Kintan, tentu saja niatnya bukan hanya sekedar untuk mandi.Jujur saja, sebenarnya tubuh bagian bawah Kintan masih terasa perih setelah semalam mereka bercinta dengan berbagai gaya serta manuver, dan juga mengulanginya hingga berkali-kali. Milik Iqbal dengan ukurannya yang besar itu membuat Kintan kewalahan, meskipun juga sangat nikmat.Entah kerasukan setan apa semalam, namun Kintan tidak pernah bercinta sebanyak itu sebelumnya. Intensitas bercinta mereka yang maksimal ditambah dengan berbagai macam gaya tak pelak membuat organ intimnya sedikit nyeri di pagi hari.Dan pagi ini Iqbal masih ingin mengulanginya lagi??Baru membayangkannya saja sudah membuat Kintan meringis. "Sayang, aku benar-benar lelah. Kita mandi saja, ya?" rengeknya. "Tubuhku juga masih terasa nyeri."Iqbal terdiam. Sesaat dia tidak tega mendengar ucapan Kint
"Anda bisa masuk tanpa undangan, jika berkenan menjadi model untuk lukisan saya, Iqbal."Iqbal ingin tertawa mendengar permintaan wanita yang bernama Sabine ini. Apa katanya? Model?? Tidak pernah seumur hidupnya menjadi model untuk lukisan atau model pemotretan. Dulu sewaktu SMA memang ia pernah dapat tawaran untuk menjadi model katalog baju, tapi ia menolak. Iqbal merasa tidak bisa bergaya di depan kamera."Maaf, Nyonya. Saya rasa saya tidak punya skill sebagai model," tolak Iqbal halus."Tentu saja dia mau, Nyonya!" sambung Rani menggebu-gebu sambil memelototkan matanya diam-diam kepada Iqbal. "Jangan khawatir, saya akan membujuknya."Setelah Sabine pamit untuk masuk lebih dulu ke dalam tempat acara, Rani menarik tangan Iqbal dan Kintan untuk berbicara di tempat yang agak sepi."Iqbal, Noor Sabina itu adalah seniman yang paling dihormati di Asia! Dia sangat baik hati karena sudah mau berkolaborasi dengan Kintan yang notabene masih seniman baru. Please, dukung tunanganmu dong!" tuka
"Maksudku, apa kamu nggak berpikiran darimana uang sebanyak itu dia dapat? Nggak curiga? Atau jangan-jangan dia dipecat gara-gara korupsi?" Kintan memicingkan matanya kesal pada wanita cantik berambut seleher dan berwajah eksotis di sampingnya itu. Nalurinya sebagai tunangan Iqbal pun mulai merasa gusar atas tuduhan Rani yang tanpa dasar. Seenaknya saja menuduh Iqbal korupsi! "Ran, jangan suka nuduh ya! Mungkin saja gajinya Iqbal sebagai Direktur Pemasaran memang besar!" tukas sengit Kintan yang membela tunangannya. "Cih. Ya pasti besarlah, namanya juga Direktur! Cuma bila dibandingkan dengan aset-aset yang sudah ia beli, rasanya itu nggak sebanding. Coba deh kamu iseng hitungin semua yang ia miliki," tantang Rani sambil menatap tajam wanita di sampingnya itu. Kintan pun terdiam. Sebenarnya jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ada pertanyaan yang sama seperti yang Rani utarakan tadi, terutama setelah Iqbal juga dengan gampangnya mendonasikan sepuluh milyar untuk galerinya. Bel
Saat Iqbal akhirnya tiba dan duduk di samping Kintan, lelaki itu pun langsung mendekap tunangannya serta mengecup puncak kepala Kintan, dengan sengaja menunjukkan kepemilikannya pada Darren. Tatapan Iqbal tajam menusuk ke arah lelaki berparas bule yang masih saja melingkarkan lengannya di bahu Rani dengan santai. Namun dengan kurang ajar matanya malah masih lekat mengamati Kintan, barulah kemudian mengalihkan pandangannya pada Iqbal. Ia sama sekali tidak peduli dengan sorot dingin dan mengintimidasi dari mata coklat Iqbal. Untuk sejenak kedua lelaki berparas tampan itu pun melemparkan tatapan yang saling menilai. "Darren, kenalkan ini Iqbal, tunangan Kintan." Rani pun membuka suara. "Halo," sapa Darren tanpa mengulurkan tangannya, sementara Iqbal hanya mengukir senyum samar dari bibir pink pucatnya. "Darren ini adalah anaknya Noor Sabina," tutur Rani lagi memberitahu Iqbal yang hanya diam. Tiba-tiba Rani membelalakkan mata dan menunjuk arah panggung dengan antusias. "Lihat, luk
Iqbal telah membuka blazer putih Kintan yang telah basah karena terkena noda darah wanita itu di bagian pundaknya, juga membuka atasan kuning mengkilat di balik blazer. Kini yang tersisa hanyalah bra maroon berenda tanpa tali, sehingga pundaknya yang berdarah terkena gigitan ganasnya Iqbal pun terekspos dengan jelas, begitu juga dengan gundukan kembar milik Kintan yang menggiurkan. Tangan Iqbal tak tahan untuk mulai bergerak di bukit lembut itu, meremasnya dengan keras hingga membuat Kintan mengernyit kesakitan, sementara lidahnya dengan rakus terus menjilati darah yang menetes di pundak Kintan hingga kering. Tak berapa lama kemudian alirannya pun akhirnya berhenti serta lukanya mulai menutup. Kintan hanya diam dan terpaku, seumur hidup tak pernah melihat dan merasakan hal seperti ini sebelumnya. Selain Iqbal, ia hanya pernah bercinta dengan suaminya yang telah meninggal, Kemal, dan lelaki itu juga tidak pernah bertindak sekasar ini. Kintan benar-benar bingung atas perubah
Hari telah beranjak sore, saat Kintan terbangun dari ketidaksadaran dirinya. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan lemas, serta hantaman nyeri kembali ia rasakan di tubuh bagian bawahnya seperti tadi pagi.Bahkan untuk sekedar bangun pun ia tidak sanggup lagi, tubuhnya gemetar dan menggigil sekarang. Keringat dingin membasahi keningnya, terus menetes hingga wajahnya. 'Apa... apa yang terjadi? Kenapa tubuhku serasa remuk?'Kelopak matanya terasa berat, dan Kintan memutuskan untuk melanjutkan istirahatnya saja. Toh, ia tidak memiliki tenaga untuk sekedar bergerak pun.Tiba-tiba Kintan merasa tubuhnya seperti melayang. 'Apa ini? Apa aku sedang terbang?'Dengan sangat perlahan, Kintan membuka mata, dan melihat Iqbal yang ternyata sedang menggendongnya menuju ke kamar mandi."Iqbal?" tanya lirih Kintan.Tapi Iqbal hanya diam saja, dan membenamkan tubuh Kintan di dalam bathbtub air hangat dengan beraroma bunga mawar yang menyenangkan.Kintan bersyukur karena Iqbal selalu memandikannya sehabis
Malam harinya.Kintan sedang tidak enak badan, tubuhnya demam, menggigil dan terasa lemas. Iqbal sudah membawanya rumah sakit untuk berobat dan sekarang mereka telah tiba kembali di kamar hotel.Iqbal meletakkan Kintan dengan perlahan dan hati-hati di atas ranjang besar, setelah menggendongnya dari mobil. Lalu ia pun menyelimuti tubuh kekasihnya dengan selimut yang lembut dan hangat."Istirahatlah dulu, aku pesankan makan malam, ya? Kamu mau makan apa, Sayang?"Kintan masih merasa sangat kesal pada Iqbal atas perbuatannya tadi siang, sehingga lebih banyak mendiamkan tunangannya itu dan hanya menjawab sekedarnya bila ditanya."Terserah," jawabnya malas, dengan ucapan seperti jawaban wanita pada umumnya sambil bergelung bersembunyi ke dalam selimut.Iqbal pun memesan makanan melalui telepon kamar. Karena tidak tahu apa yang diinginkan Kintan, maka dia memesan hampir semua makanan yang ada di dalam menu, minus makanan yang pedas-pedas.Kintan hampir saja tertidur ketika terdengar ketuka
DUA MINGGU KEMUDIAN...Pagi ini Kintan terbangun jam lima pagi seperti biasa dan akan melakukan rutinitasnya seperti biasa.Mandi, membuat sarapan untuk anak-anaknya, mengantarkan mereka ke sekolah, dan mampir ke agensinya, One Million.Tak ada yang istimewa dengan hari-harinya selama dua minggu yang membosankan ini, tidak semenjak Iqbal pergi dari sisinya.Saat hendak membuka pagar untuk mengeluarkan mobilnya dari garasi, Kintan menatap cukup lama pada rumah mewah yang berdiri dengan megah di depan rumahnya, dan itu juga menjadi salah satu rutinitas baru yang ia lakukan setiap hari.Menatap rumah Iqbal dan Gea yang terlihat hening, berharap mendengar suara Gea yang berseragam sekolah menyapanya riang, serta suara mobil Iqbal yang sedang dinyalakan.Tapi yang ia lihat hanyalah rumah yang sepi dan garasi yang kosong, sesepi dan sekosong hatinya. Iqbal masih membiarkan asisten rumah tangganya bekerja di sana dan juga di rumah Kintan untuk membantu wanita itu. Ia bahkan sudah menggaji m
Kintan benar-benar bingung dan kaget menatap pria tampan yang kini sedang menggendongnya, bahkan ia sampai lupa dengan kakinya yang sedang sakit dan terkilir. Sedang apa Iqbal di sini? "Ssst... Bukankah itu Iqbal Bimasakti? CEO FlashJet yang baru saja mengumumkan identitasnya?" bisik pelan seseorang. "Apa yang dia lakukan di sini?" ucap yang lain. "Kenapa dia menggendong Kintan Larasati? Jangan-jangan mereka saling mengenal?" "Ehm, ternyata dia jauh lebih tampan daripada di televisi ya.." Suara-suara kasak kusuk yang terdengar di sekeliling mereka, membuat rona merah menjalar di wajah Kintan. Terlebih karena Iqbal menatapnya begitu intens dan tak melepas pandangannya dari wajah Kintan sedetik pun "Pak Iqbal? Anda kemari?" Iqbal dan Kintan menoleh pada suara ceria yang menegur Iqbal. Kintan kembali mendapatkan kejutan, karena yang barusan menyapa Iqbal adalah... Katya! Tanpa sadar, Kintan menelan ludah dan mencengkram bagian dada baju Iqbal. Seketika ia mengingat perkataan lela
Seharusnya Kintan menampar wajah tampan itu. Atau paling tidak, mendorong tubuh Iqbal dan segera pergi sejauh mungkin dari sini. Tapi yang malah dilakukan oleh tubuhnya adalah menerima bibir pink pucat itu yang bergerak dengan bebas untuk menyesap bibirnya. "Kintan bodoh!" rutuk hatinya, ketika lagi-lagi ia terbuai saat lidah Iqbal yang basah dan hangat itu berhasil menerobos masuk ke dalam mulutnya. Dan kedua tangan yang seharusnya bersikap tegas terhadap perbuatan lelaki itu, kini malah berada di kepala Iqbal, dengan jari Kintan yang terbenam di dalam rambut lebat lelaki itu. Terdengar suara erangan lirih penuh suka cita dari mulut Iqbal, saat jemari Kintan meremas lembut rambutnya, karena wanita itu semakin larut dalam permainan lidah mereka. Tanpa melepaskan ciuman mereka, Iqbal mengangkat pinggang Kintan dan memindahkan tubuh ramping itu dari kursi penumpang ke atas tubuhnya. Kintan sedikit kaget saat Iqbal mengangkat tubuhnya dengan sangat gampang, namun lelaki itu ta
Kini mata Kintan pun benar-benar terbelalak sempurna. "Kamu... ada di depan rumahku?" gumannya tak percaya. Kintan melirik jam di dinding ruang makan.Jam 01.30? Apa yang Iqbal lakukan di malam buta begini di depan rumahnya?"Keluarlah. Aku ada di dalam mobil."Kintan menggigit bibirnya karena bingung. Apakah dia harus keluar menemui Iqbal?"Kalau kamu tidak keluar juga, akan kusampaikan kepada Katya tentang Ibram yang menyukaimu," ancam Iqbal."Ck. Kamu tidak akan berani melakukannya," tukas Kintan dengan yakin."Benarkah? Asal kamu tahu kalau Katya Lovina dan aku telah saling mengenal. Bahkan aku pun memiliki nomor ponselnya," sahut Iqbal dengan santai."Aku mengenalnya, Kintan. Dan hanya masalah waktu saja hingga aku memberitahukan semua ini kepada Katya. Kecuali jika kamu keluar dan menemuiku sekarang," tukasnya ringan, seakan yang baru ia ucapkan itu bukanlah sebuah ancaman."Lalu apa maumu Iqbal? Untuk apa aku harus menemuimu?""Untuk menagih," sahut Iqbal cepat."Menagih?""999
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Hatinya terasa bergetar karena melihat tatapan teduh Arga yang ditujukan padanya??!! Rasanya sekarang Kintan ingin sekali membenturkan kepalanya kembali ke lantai, biar sekalian aja benjolnya nambah satu lagi! Kintan pun memaki-maki otaknya dalam hati. Jangan-jangan karena amnesia yang nggak sembuh-sembuh, membuat otaknya mulai agak geser! Huufft... tarik napas, Kintan. Nggak perlu terlalu dipikirkan. Nggak ada perasaan lebih dari seorang tetangga biasa dan rekan kerja di One Million yang nggak perlu kamu rasakan pada Arga. Nggak ada! Uhm... Tapi... kenapa Arga menatapnya seperti itu? Entah kenapa Kintan merasa sekilas tatapan Arga mirip sekali dengan Iqbal, meskipun warna mata mereka sangat jauh berbeda. Arga berwarna hitam seperti Kintan, sedangkan Iqbal berwarna coklat terang yang cemerlang. Tapi Iqbal juga menatapnya seperti Arga, teduh dan... mendebarkan. Haaah... kayaknya mulai Kintan berhalusinasi. Apa itu akibat dari
Jam 7 malam.Kepala Kintan pusing dan penat seharian ini. Benjol yang makin terasa berdenyut dan juga kekhawatirannya pada masalah agensi One Million milik Ibram, membuat wanita itu mencari-cari obat migrain di dalam laci obat.Setelah menenggak obat putih itu, Kintan pun merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Pikirannya melayang pada perkataan Ibram di kantor tadi.Hufff... bagaimana mungkin Iqbal setega itu meminta Katya, istri sepupunya itu untuk menjadi brand ambassador FlashJet sebagai ganti klaim kepemilikannya atas One Million?Apa sebenarnya yang ia mau dari Katya?Uh, Kintan akan benar-benar marah padanya jika lelaki itu ternyata hanya berniat untuk menyakiti istri sepupunya itu!Awas saja kamu, Iqbal!Tiba-tiba Kintan mendengar suara pintu pagarnya dibuka dari luar. Seketika ia pun mengangkat kepalanya yang sedang rebahan. Siapa yang masuk?Arga muncul di depan pintu rumah Kintan yang terbuka dengan senyum manis berlesung pipinya. "Hai, Kintan."Kintan berdiri dan membalas
Kintan langsung terbangun saat ia mendengar suara dering ponsel. Dengan mata masih mengantuk, ia berusaha meraih ponselnya dari atas nakas. Eh? Khalil anak sulungnya menelepon? Baru saja Kintan mau menjawabnya, tapi ternyata keburu putus. 'Uh. Memangnya jam berapa sih sekarang?'Dan matanya pun melotot saat melihat jam bulat di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore!! Waktunya anak-anaknya pulang sekolah. Gawat!!Kintan pun menjerit frustasi dan buru-buru bangun dari tempat tidurnya. Namun dasar ceroboh, karena terlalu panik, akhirnya kakinya malah terbelit selimut tebal dan membuatnya hilang keseimbangan, lalu terjatuh berdebam di lantai yang keras."ADDUUUUHH!!" jerit Kintan kesakitan sambil mengusap-usap keningnya yang sempat terbentur. Sialan! Bakal benjol deh ini!Dengan sedikit pusing, ia berdiri dan menatap wajahnya di cermin besar. 'Ampun... rambut awut-awutan, muka kusut, jidat benjol... Nggak ada manis-manisnya! Ah, sudahlah...'Kintan pun buru-buru mengambi
Kintan sudah berada di dalam mobil milik Iqbal menuju pulang ke rumahnya. Akhirnya mobil Kintan yang mengeluarkan asap itu diurus dan dijemput oleh salah satu karyawan Iqbal yang akan membawanya ke bengkel. Keheningan mewarnai perjalanan mereka di dalam mobil, mereka masih sama-sama terdiam seakan bingung mau membicarakan apa. "Kamu... baik-baik saja, kan? Dua minggu ini?" akhirnya Iqbal pun membuka suara. Kintan pun memaki Iqbal dalam hati. 'Pertanyaan yang ngeselin! Ngapain dia nanya begitu, cobaa?? Habis nyakitin, ninggalin lagi!! Gimana mau baik-baik saja, haa??!!' SARAAPP!!! Berlawanan dengan isi hatinya yang rasanya kepengen nyakar-nyakar wajah ganteng Iqbal, Kintan hanya memalingkan wajahnya ke jendela samping dan mengangguk pelan. Iqbal pun mendesah dalam hati. 'Harusnya tidak seperti ini. Harusnya aku sudah tidak boleh menemui Kintan lagi!! Dasar Iqbal blo'on.' "Kenapa kamu mengikuti aku?" tanya Kintan tiba-tiba, membuat Iqbal gelagapan dengan pertanyaan tembak langsun
"Kamu baik-baik saja?" Kintan tersenyum pada Arga yang menemaninya menuju parkiran mobil. Pasti Arga bertanya seperti itu karena melihat wajahnya yang kusut tanpa gairah. "Aku baik-baik saja, Arga." "Tinggalkan saja mobilmu di sini dan naiklah ke mobilku, Kintan. Nanti akan kusuruh supir kantor untuk mengambil mobilmu." Kintan menggeleng. "Tidak, terima kasih. Lagipula tujuanku bukan ke kantor, tapi pulang ke rumah." "Kamu yakin mau menyetir sendiri?" tanya Arga lagi, memastikan. "Iya, Arga. Aku yakin." Arga menatap Kintan cukup lama, membuat wanita itu jengah. "Baiklah, kalau begitu naiklah ke mobilmu, aku akan mengikutimu dari belakang hingga sampai ke rumah." Kintan ingin menolaknya, tapi akhirnya ia hanya membiarkan saja Arga mengantarnya. Dering suara ponsel Arga mengagetkan mereka berdua. Segera lelaki itu mengangkatnya, dan terlihat ada yang berubah dari ekspresinya. "Kintan, maaf aku tidak bisa mengantarmu," ucapnya sambil mendesah. "Prissy menelepon dan menga
āTetaplah di sini." Kintan menatap tangan kokoh yang memegang lengannya dengan erat, dan ia benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Apa dia tetap di sini saja mengikuti kemauan Iqbal? Ataukah ia hempaskan saja tangan itu dan berlalu pergi dengan cuek seakan tidak terjadi apa-apa? Meskipun... saat ini Kintan bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tak normal karena terlalu kencang... "Kintan, ayo." Arga yang tadi berjalan di depan Kintan, kini berbalik arah dan memanggilnya. Lelaki itu menatap tangan Iqbal yang memegangi tangan Kintan, dan ia merasa ingin sekali melepaskan tautan itu, serta membawa Kintan pergi jauh dari sini. Arga bahkan tidak peduli jika Iqbal akan menghajarnya habis-habisan seperti waktu mereka berada di Lombok, asalkan Kintan memang benar-benar melepaskan tangan lelaki itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah Kintan benar-benar ingin melepasnya? Untuk beberapa saat yang terasa begitu lama, Kintan pun akhirnya mendesah. "Lepaskan tanganku, Iqbal,