Melva memegang soft drink dingin yang mengembun, langkahnya melambat saat dia melintasi ruangan. Cahaya matahari menyapu ruangan itu, memperjelas sosok tinggi Zeon yang berdiri tegak di hadapan dinding kaca. Bayangan profil sampingnya menonjol dengan elegan, menangkap perhatian Melva seolah melukisnya dengan kehalusan sinar mentari yang membelai wajahnya.Dia terpaku sejenak, tak hanya oleh pesona fisik Zeon yang menawan tapi juga oleh keteguhan posturnya yang tampak melawan latar belakang cahaya terang. Melva menyadari betapa jarangnya momen seperti ini, di mana keindahan alami dan keanggunan seseorang menyatu dengan suasana sekitarnya.Ketika Zeon berbalik perlahan, cahaya memantul dari sudut matanya, menciptakan bayangan lembut di kulitnya yang halus. Melva tertegun oleh kehangatan ekspresi matanya yang dalam, seakan menyelami kedalaman pikirannya yang tak terjamah.Melva berdehem, mencoba menenangkan diri sambil meminum soft drink dingin yang dibawanya, berusaha menutupi ekspresi
Setiap pagi sebelum mentari menyapa, Melva sudah sibuk dengan rutinitasnya di gym kecil baru. Alat-alat sederhana seperti matras yoga, dumbbell, dan alat latihan kardio kecil tersebar rapi di ruangan yang sebelumnya terbengkalai. Pelayan rumah Zeon, yang setia menjaga kebersihan rumah tangga, setelah mengetahui ruangan ini digunakan juga memberikan perhatian khusus pada ruangan ini, menghapus debu dan menyemprotkan pembersih agar segar untuk Melva.Melva sendiri telah menetapkan aturan baru dalam pola makan dan gaya hidupnya. Setiap malam, ia pesan kepada pelayan untuk dibuatkan salad segar untuk camilan malamnya, menggantikan kebiasaan makan berat yang lebih dulu ia lakukan. Kini, snack berminyak yang dulu menjadi kelemahannya sudah jarang ia sentuh. Bahkan, ia mulai mengeksplorasi dunia baru dalam minuman sehat dengan mencoba berbagai variasi infused water, menciptakan kombinasi buah dan rempah untuk menyegarkan tubuhnya.Perubahan ini tidak hanya membanggakan Melva, tetapi juga mem
Melva melangkah ringan memasuki rumah Helena, kakinya menyentuh lantai dengan keleluasaan yang menggambarkan kedekatan mereka. Rumah itu tampak tenang, ruang tamu yang biasanya ramai dengan tawa dan cerita, kini sepi. Meja kopi di tengah ruangan tampak tak tersentuh, hanya dikelilingi oleh kursi-kursi empuk yang menunggu untuk ditempati. Suasana yang sepi ini mengundang Melva untuk melanjutkan langkahnya ke arah kamar Helena, hati Melva sedikit berdebar, sudah lama dia tidak berkunjung.Dia menuju ke pintu kamar Helena dengan penuh rasa ingin tahu. Ketika dia sampai di depan pintu, Melva mengetuk dengan lembut, berharap bisa menyapa Helena sebelum memasuki ruang pribadi temannya itu. Tidak mendapat jawaban, Melva merasa agak canggung, seolah berhadapan dengan keheningan yang menunggu untuk dipecahkan. Dengan rasa penasaran yang semakin meningkat, Melva mengulurkan tangannya ke arah kenop pintu, merasakannya dingin di telapak tangannya. Dia memutar kenop dengan hati-hati dan menyembulk
Setelah semalam menginap di rumah Helena, Melva pulang di minggu sore. Tante Lea membawakannya makanan untuk dibawa pulang. Saat Melva memasuki rumah yang semula tampak sepi, dia dikejutkan oleh pemandangan tak terduga: pintu depan telah terbuka lebar. Dalam keheningan sore itu, suara langkahnya di lantai terasa terlalu nyaring. Zeon yang berdiri di ambang pintu dengan tampilan santai namun rapi, mengenakan kemeja berwarna biru gelap yang disampirkan di atas celana jins hitam. Kemeja itu sedikit terbelah di bagian kerah, memberikan kesan kasual namun terampil. Ikat pinggangnya bersinar di bawah cahaya sore yang lembut, seolah menggarisbawahi sikapnya yang menyeimbangkan antara formalitas dan keakraban. Zeon tersenyum ketika Melva memasuki rumah, dan kalimatnya, "Aku mendengar suara mobil jadi aku memastikan apakah itu kamu atau bukan," tampak seperti sebuah pengakuan yang tidak perlu ditunjukkan, tapi melibatkan rasa perhatian yang mendalam.Dalam hati Melva, rasa heran mulai mengali
Kantor siang itu tampak lebih santai dari biasanya. Melva melangkah perlahan mengikuti di belakang Zeon, mata memandang tablet yang ia pegang, membacakan jadwal bosnya dengan hati-hati."Jadi, setelah rapat proyek pukul satu, ada diskusi singkat dengan tim pemasaran jam dua, dan terakhir, briefing dengan klien pukul tiga," jelas Melva, suaranya tenang namun jelas. Zeon hanya mengangguk tanpa banyak bicara, menandakan bahwa ia sudah mendengar jadwal yang dibacakan. Setelah mereka sampai di depan ruangan Zeon, Melva menutup tablet dan meletakkannya dengan rapi di tangannya."Saya akan ke dapur sebentar," katanya sebelum berbalik dan berjalan menuju area pantry. Dia membuka lemari es, mengambil botol air mineral, dan menuangkan isinya ke dalam gelas.Sejak pagi tadi, dia telah menyiapkan kopi untuk Zeon, jadi kali ini dia hanya membuatkan air putih. Saat Melva kembali ke meja, Zeon sudah ada di mejanya, dan Melva melihat dia sudah mengambil gelas air putih yang ia siapkan. Zeon menegukny
"Jangan bicara sembarangan pada orang yang baru kamu kenal!" Rere menyentak, dia berdiri membawa sekalian tangan Melva, "Kita sudah selesai, permisi!" Seru Rere penuh emosi.Melva dan Rere melangkah kembali menuju ruang kerja mereka dari kantin, meninggalkan sisa makanan di meja dengan rasa sedikit menyesal. Meskipun mereka baru saja makan siang, rasa lapar masih menghantui mereka, mengingatkan betapa menggugahnya aroma makanan yang belum selesai mereka nikmati. Namun, rasa lapar itu tidak sebanding dengan amarah yang mereka rasakan beberapa saat yang lalu. Kejadian itu bermula dari tuduhan tajam yang dilontarkan Nia, rekan kerja baru yang sebelumnya diajak Rere untuk makan siang bersama.Dalam perjalanan menuju ruang kantor, Rere merasa kepalanya terasa berat dengan rasa bersalah. Semua ini berawal dari niat baiknya untuk memperkenalkan Melva kepada rekan-rekan di kantor, agar ia bisa merasa lebih diterima. Rere ingin meluaskan jaringan sosial Melva, yang baru saja bergabung dan mera
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Pukul delapan malam ketika Melva sampai di rumah. Ia disambut oleh pemandangan Zeon yang duduk santai di sofa depan televisi, tampak asyik menonton sebuah acara. Di tengah cahaya lembut lampu ruang tamu, mereka saling tersenyum, sebuah tatapan penuh kebahagiaan yang tidak perlu kata-kata. Melva berjalan mendekat dan duduk di samping Zeon. Tanpa ragu, Zeon mengangkat tangannya untuk mengelus surai panjang Melva yang tergerai. Melva memotong jarak lagi, menyandarkan kepalanya di pundak Zeon dengan lembut, menikmati kehangatan dan ketenangan momen itu. Zeon memecah keheningan dengan sebuah tawaran lembut, "Mau makan camilan malam?" tanya Zeon, suaranya penuh kelembutan. Zeon merasakan gerakan lembut di pundaknya dan mendongak. Dengan senyum manis, ia menegakkan kepalanya dan mengangguk. Zeon berdiri, mengantarkan langkahnya menuju dapur dengan gerakan yang ringan dan penuh kepastian. Di dapur, Zeon memulai ritual kecilnya, hanya mengupas beberapa buah segar kemudian memotongnya men
Melva sudah tiba di kafe terlebih dahulu, memilih meja di sudut yang nyaman, dekat jendela yang memandang ke taman kecil di luar. Dia duduk dengan tenang, memesan secangkir kopi panas, sambil sesekali melirik ke pintu untuk melihat apakah Helena sudah datang. Lima menit kemudian, Helena muncul dengan langkah cepat, menyusuri jalan setapak di antara meja-meja kafe. Dia melihat Melva dan tersenyum, menuju ke mejanya."Melva!" Helena menyapa, meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi di hadapan sahabatnya. "Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Helena tanpa basa-basi, matanya mengungkapkan rasa ingin tahunya yang mendalam.Melva tidak merasa perlu menyembunyikannya. "Ya," jawabnya singkat, sambil menyesap jus jeruk di hadapannya dengan santai. Ekspresi wajahnya menunjukkan kepuasan dan kebanggaan, namun juga sedikit kekhawatiran yang mungkin tidak sepenuhnya dia sadari.Helena mengernyitkan dahi, jelas terkejut. "Melva, aku tidak bisa percaya ini. Proses pendekatan kalian terlalu cepa
Tiba di kota tempat tinggalnya, Zeon tidak ragu menggandeng tangan Melva, menunjukkan kedekatan dan kehangatan di tengah hiruk-pikuk bandara. Sementara itu, sopir pribadinya, yang sudah menunggu dengan sabar, segera meraih dua koper yang dibawa mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.Begitu kedua orang tersebut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu melaju dengan mulus meninggalkan area bandara, menyusuri jalan-jalan kota yang mulai menampakkan kehidupan siangnya. Menyadari bahwa mereka hanya sempat mengisi perut dengan roti selai sebelum pulang, Zeon memutuskan untuk menelepon koki di rumah, memintanya untuk menyiapkan makan siang lebih awal dari jadwal.Dengan demikian, mereka bisa langsung menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian segera setelah sampai di rumah. Suasana di mobil terasa nyaman dan akrab, sementara Zeon dan Melva mengobrol ringan, menikmati perjalanan mereka yang tampaknya semakin mendekatkan mereka pada kehangatan rumah dan hidangan yang me
"Apakah kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" Suara dokter terdengar tenang, berusaha mengurangi ketegangan yang meliputi ruangan.Melva duduk di ruang pemeriksaan dokter, terbalut dalam kekhawatiran yang mendalam. Dinding putih ruangan itu seakan menekan perasaannya, sementara Zeon, suaminya, duduk di sampingnya, berusaha memberi dukungan. Dokter, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan mata yang penuh empati, menatap Melva dari meja kerjanya, mengamati setiap gerak tubuh dan ekspresi wajahnya.Melva, yang sudah tampak gelisah sejak masuk, hanya membisu. Dia menatap lantai, mencoba menenangkan diri dari gelombang kecemasan yang menghantamnya. Zeon meraih tangannya dan mengelus punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata."Tenang. Cobalah untuk menjawab pertanyaan dokter."Melva menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepala, matanya bertemu dengan tatapan dokter. Dengan suara yang bergetar, dia akhirnya berkata, "Baru kali ini."Dokter mengangguk perlahan
Matahari sudah terbenam, dan suasana di jalan raya terasa tenang. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana tiba-tiba berubah drastis.Dalam jarak beberapa puluh meter di depan mereka, sebuah truk besar yang membawa muatan berat tampak mengalami kecelakaan. Truk itu terbalik dan menutup seluruh jalur, sementara barang-barang yang dibawanya berserakan di sepanjang jalan. Kecelakaan ini menyebabkan lalu lintas berhenti total. Lampu lalu lintas di sekitar area tersebut berkedip-kedip sebelum akhirnya padam, memicu pemutusan listrik yang lebih luas di daerah tersebut.Seketika, jalan-jalan di sekitar mereka menjadi gelap gulita. Lampu jalan dan lampu kendaraan di sekitar hilang, dan hanya ada kegelapan yang menggelayuti suasana. Zeon dan Melva mencoba menyalakan lampu mobil mereka dengan intensitas penuh, tetapi cahaya yang dipancarkan hanya menambah kesan gelap karena keterbatasannya.Melva mencoba menenangkan Zeon, yang tampak frustrasi dengan situasi ini. "Tenang, Zeon. K
Melva tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bahwa Zeon telah memesan sebuah apartemen untuk mereka. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah perjalanan bisnis singkat, kesediaan Zeon untuk memesan tempat yang begitu nyaman terasa seperti kejutan yang menyenangkan. Namun, kelegaan Melva segera datang ketika dia melihat ada dua kamar tidur di apartemen ini. Itu berarti mereka akan memiliki ruang pribadi masing-masing.Apartemen itu memiliki desain yang modern dan elegan, dengan dinding putih bersih dan lantai kayu gelap yang memberikan kesan hangat dan nyaman. Ruang tamu yang luas dilengkapi dengan sofa empuk berwarna abu-abu, meja kopi kaca, dan sebuah televisi layar datar di dinding. Di sudut ruang tamu, terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat kursi. Di sampingnya, jendela besar membingkai pemandangan kota yang gemerlap, memberi cahaya alami yang melimpah ke dalam ruangan.Di sebelah ruang tamu, terdapat dapur terbuka yang lengkap dengan peralatan modern: kulkas,
Melva dan Zeon memasuki ruang tunggu bandara. Setelah melalui pemeriksaan keamanan dan menuju ke gate, mereka akhirnya menemukan tempat duduk mereka di ruang tunggu yang cukup nyaman. Jam menunjukkan pukul 09:15 pagi, dan mereka bersiap-siap untuk boarding.Mereka berdua memeriksa tiket mereka sekali lagi, memastikan segala sesuatu. Jam keberangkatan tercatat pada pukul 10:00 pagi.Sekitar pukul 09:45, boarding dimulai. Melva dan Zeon melaju melalui pintu boarding, memasuki pesawat. Mereka menemukan kursi mereka di kelas ekonomi, yang terletak di dekat jendela. Melva duduk di dekat jendela sementara Zeon duduk di sampingnya di kursi tengah.Pesawat mulai lepas landas tepat waktu pada pukul 10:00 pagi. Dengan mulus, mesin pesawat meraung dan pesawat meninggalkan landasan. Melva menatap pemandangan kota yang semakin menjauh dari jendela, terpesona oleh pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Zeon, di sisi lain, mengeluarkan tablet dari tasnya dan mulai mencari beberapa film untuk
Helena menatap ponselnya, seolah-olah berharap Melva bisa merasakan kehangatan dan kejujuran dari kata-katanya melalui telepon. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusanmu untuk tetap membuka hati dan mempertahankan hubungan ini lebih penting daripada apa yang dikatakan orang lain. Kebenaran cinta adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan dan merangkul kebahagiaan yang datang. Jangan biarkan ketakutan dan gosip menghentikanmu dari menjalani sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Jangan biarkan Zeon merasa kehilangan kesempatan untuk mencintaimu hanya karena kamu takut pada pandangan orang luar." Helena mengakhiri percakapan dengan nada lembut namun penuh harapan. "Kamu memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang benar untuk dirimu sendiri." Melva menatap ponselnya, merenung dengan hati yang bergejolak. Suara Helena masih menggema dalam pikirannya, membangkitkan perasaan yang telah lama ditekan. Ketika dia berdiri di depan koper yang hampir selesai dikemas, dia tidak b
Setelah makan malam, Melva bergegas menuju kamar tidurnya. Dia berdiri di depan koper besar yang terbuka lebar di tengah kamar, merencanakan perjalanan bisnis yang akan membawanya ke kota yang jauh. Dengan cekatan, dia mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper, setiap item ditimbang dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Di bagian paling atas, Melva menempatkan pakaian kerja yang telah disiapkannya dengan teliti: beberapa set blazer elegan, blus berpotongan rapi, dan celana panjang yang serasi. Setiap potong pakaian dipilih untuk memberi kesan profesional dan percaya diri di hadapan klien. Selain itu, ia juga membawa beberapa gaun yang sederhana namun mewah, untuk menghadiri acara sosial yang mungkin terjadi selama perjalanannya. Tak kalah penting, Melva memasukkan perlengkapan mandi dalam sebuah kantong plastik transparan—sabun, sampo, dan pelembap kulit yang selalu digunakannya untuk menjaga penampilan dan kesehatannya tetap optimal. Dia juga memasukka