Pagi-pagi sekali, saat cahaya fajar mulai meninggi, Milly sudah berdiri di depan penthouse milik Zayn, dengan membawa satu tas berisi menu sarapan yang dia masak dengan sepenuh hati. Meskipun dia hanya tidur hanya sekitar dua jam karena sepanjang sisa malamnya telah habis untuk memikitkan perdebatannya dengan Zayn, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk menyampaikan rasa tulus permintaan maafnya.Benar, Milly berdiri di depan pintu apartemen Zayn, tidak lain adalah untuk meminta maaf. Biasanya, seseorang akan tersentuh dengan makanan, bukan? Apalagi kalau makanan yang dimasak sendiri. Namun, tiba-tiba Milly menjadi kehilangan keberanian untuk memberikannya pada Zayn. Sudah hampir sepuluh menit dia hanya berdiri tanpa mengetuk atau pun menekan bel.“Atau aku letakkan di sini saja? Sama seperti yang dulu pernah dilakukan Zayn kepadaku?” gumam Milly sambil menatap gagang pintu.Tidak, Milly menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu tidak sopan. Dia
Milly jatuh pingsan. Beruntung tangan Zayn masih sempat untuk menangkap kepala gadis itu agar tidak terbentur di lantai. Tampak terlihat jelas kepanikan di wajah Zayn. Panik yang tidak bisa tertutupi lagi.“Milly? Milly?” Zayn berusaha membangunkan Milly yang sekarang sudah jatuh pingsan, tapi sayangnya gadis itu tak kunjung membuka mata.“Shit!” Zayn mengumpat pelan, dan langsung menggendong Milly, membawa gadis itu turun.Setibanya di depan mobil, Zayn mendudukkan Milly di kursi mobil. Posisi kursi juga telah diatur agar Milly bisa nyaman dalam posisi berbaring. Sedikit berlari, Zayn memutari mobil dan segera duduk di belakang kemudi.Mesin mobil telah dihidupkan, tapi Zayn tidak segera menginjak pedal gasnya. Dia lebih dulu untuk menghubungi klien dan meminta maaf karena harus mengundur jadwal pertemuannya secara mendadak.Beruntung karena dia adalah seorang Zayn. Meskipun hal seperti ini—membatalkan janji secara mendadak—biasanya tidak bisa ditoleransi, tapi klien mengatakan tidak
Zayn menoleh cepat dari fokusnya di depan laptop saat bel apartemennya berbunyi. Dari layar interkom, terlihat kurir makanan yang mengantarkan pesanan makanannya. Zayn segera membuka pintu, lalu menerima goodie bag berisi makanan, dan menatanya di meja makan. Tepat saat dia selesai menata semua makanan, Milly keluar dari kamar sambil menenteng tasnya. Alis Zayn bertaut, matanya menatap heran pada Milly.“Mau ke mana?” tanya Zayn dingin.“Kembali ke unitku sendiri. Aku sudah merasa baik-baik saja, perutku juga sudah tidak sakit.” Milly mencoba meyakinkan Zayn bahwa dirinya telah melewati masa sakitnya.Zayn masih menatap Milly, kemudian menunjuk ke kursi makan di depannya. “Makan dulu sebelum pergi.”Milly melihat berbagai macam jenis makanan yang sudah tertata di meja. Pasti Zayn telah menyiapkannya dari tadi. Jika Milly menolak, sama saja dia tidak menghargai usaha pria itu. Akhirnya, Milly menurut dan duduk dengan tenang di kursi yang tadi ditunjuk Zayn.“Terima kasih karena telah m
Setiba di firma, Milly langsung menuju ke ruangan Zayn tanpa mengetuk pintu. Zayn yang sedang menerima telepon dari klien, hanya bisa menatap tajam pada Milly. Jelas dia terkejut, tapi dia dalam keadaan tidak bisa berkomentar. Sementara Milly, walaupun saat ini dia sangat marah, tapi dia masih ingat dan sadar tentang sopan santun.Milly berdiri di tengah ruangan, menunggu Zay selesai dengan urusannya, sambil terus menatap kesal pada pria itu. Sikap Zayn kemarin, terasa seperti sedang mempermainkan dan menusuknya dari belakang.Beberapa saat kemudian, Zayn selesai dengan teleponnya bersama klien. Masih dengan tatapan heran, dia menghampiri Milly yang masih berdiri sambil menatapnya tajam.“Apa karena kau sakit, jadi lupa caranya sopan santun? Main masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu! Bukankah sudah kubilang kau istirahat saja di apartemen? Kenapa datang kemari?!” serangan pertanyaan meluncur dari Zayn.Milly mendengkus. Dia bahkan tidak menurunkan tatapan tajamnya pada Zay
“Kau harus menghabiskan semuanya sebelum pergi,” ucap Zayn lagi sambil terus meniup bubur.Tidak menjawab, Milly hanya menatap Zayn dan menarik mangkuk buburnya. “Aku akan makan sendiri dan akan kuhabiskan.”Zayn mengangguk, membiarkan Milly mendinginkan buburnya sendiri, tapi tetap mengawasi dan memastikan gadis itu menghabiskan makanannya. Selang beberapa menit kemudian—ketika buburnya telah habis, Milly bergegas untuk pergi.“Kapan kau akan mulai mencari bukti?” tanya Zayn, tepat ketika Milly berdiri. “Perlu bantuan untuk mencari?”Milly menghela napasnya kasar, rasa marahnya pada Zayn belum mereda. Pertanyaan itu justru membuat dadanya semakin terbakar. “Aku tidak membutuhkan bantuan darimu. Aku bisa mengurus masalahku sendiri!” Nada sinis terdengar dari ucapannya.“Baiklah, aku tidak akan mengganggumu—” Milly berbalik tanpa menunggu kalimat Zayn selesai.Zayn menatap dingin punggung Milly yang mulai lenyap dari pandangannya. “Gadis itu benar-benar keras kepala. Dia susah sekali u
“Apa yang kalian lakukan di sini?” Cathy mengerutkan keningnya, dengan kedua tangan berkacak pinggang dan menatap Zayn serta Milly dengan sorot curiga.Milly mematung di belakang Zayn dengan raut wajah yang menunjukkan jelas kepanikan. Dia sedang memikirkan alasan yang tepat, saat Zayn tiba-tiba menjawab dengan tegas.“Kami ingin melihat sendiri kondisi tempat kejadian perkara seperti apa, dan ini semua ideku.” Zayn menjawab tegas.“Idemu?” Kedua alis Cathy bertaut. “Bukankah kalian harus mengajukan izin resmi untuk mengujungi tempat kejadian perkara? Sebagai seorang pengacara senior, seharusnya kau sudah tahu aturan itu, Zayn!”“Come on, Cathy, jangan terlalu kaku. Aku sibuk sekali akhir-akhir ini. Terlalu rumit kalau harus mengajukan. Belum lagi waktu tunggu untuk surat izinnya keluar. Itu membutuhkan waktu, sedangkan aku harus melakukan ini secepatnya.” Zayn menjawab dengan nada tenang.Chaty mencebik sambil melambaikan tangannya di depan wajah Zayn. “Terlalu banyak alasan. Yang me
Notifikasi pesan milik Zayn berdering. Pria itu memeriksanya, kemudian tersenyum diam-diam saat selesai membacanya. Bertepatan dengan itu, Rey masuk ke dalam ruangannya dengan raut heran.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu? Terlihat menakutkan.” Rey bertanya. “Sedang berkirim pesan dengan siapa?”Zayn mendongak, sambil menyipitkan mata pada Rey. “Bukan urusanmu. Ada urusan apa kau masuk ke sini?”Rey mendesis karena pertanyaan ketus dari Zayn. “Kau sudah mendengar rumor dari kasus yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini?”“Kasus tentang apa? Banyak kasus yang kutangani saat ini, jadi aku tidak mengikuti rumor tidak penting.” Zayn mengibaskan tangannya dua kali, mempertegas bahwa dia tidak tertarik dengan rumor receh.“Dengarkan dulu, bisa jadi ini bukan sebuah rumor,” ucap Rey. “Kau tahu Tuan Scott Willy yang meninggal beberapa hari lalu?”Zayn mencoba mengingat nama yang baru saja disebutkan Rey. “Ah, mucikari berkedok pejabat itu?”Tidak memiliki ekspektasi kalau Zayn tahu
Menyadari tindakannya terlalu berlebihan, Milly segera melepaskan pelukannya pada Zayn, dan memberi jarak beberapa langkah. Wajahnya memerah karena hal itu. Dalam hati dia mengumpat dirinya sendiri karena bisa-bisanya melompat begitu saja dan memeluk Zayn tanpa berpikir panjang.“Maafkan aku, Zayn. Aku tidak bermaksud macam-macam. Aku hanya terlalu bahagia. Sekali lagi, maafkan aku,” ucap Milly penuh rasa canggung.Zayn berdehem untuk menghilangkan rasa canggung. Sambil membenarkan posisi duduknya, dia mengangguk menandakan bahwa dia tidak marah.“Baiklah, aku akan pergi untuk menginformasikan hal itu pada Nyonya Anne. Aku yakin dia pasti sangat senang mendengar kabar baik ini. Aku pergi dulu,” pamit Milly cepat sebelum suasananya menjadi semakin canggung.“Tunggu.” Zayn menahan langkah Milly yang sudah akan keluar dari ruangan.Gadis itu menoleh, kemudian berbalik, kembali menghadap Zayn. “Ada apa?”“Kau tidak keberatan dengan cara yang akan aku gunakan untuk mendapatkan klaim asuran
“Are you ready?” Zayn bertanya setelah membukakan pintu mobil untuk Milly.Milly menghela napasnya panjang, kemudian tersenyum sambil menatap Zayn penuh cinta. “Aku gugup, tapi aku siap untuk hari pertamaku lagi.”Zayn tersenyum sambil menggenggam tangan Milly. Keduanya berjalan menuju ke gedung firma milik Zayn. Dada Milly berdebar kencang, sensasi awal kerja dulu kembali dia rasakan. Hanya saja, kali ini dia mendapatkan kekuatan besar yang terus menggenggamnya samapai kapan pun, Zayn.“Selamat datang Nyonya Ducan!” Rey berseru kencang begitu Milly dan Zayn masuk ke dalam lobi firma.Milly sampai berjingkat dan mundur selangkah karena terkejut dengan ledakan confetti yang sekarang telah berterbangan di depannya. Rasanya seperti dejavu, saat berada di firma lama, ketika dia selamat dari kematian.“Akhirnya Nyonya dari firma ini telah kembali ke medan pertempuran. Ayo kita bersemangat lagi!” seru Rey masih dengan penuh semangat seperti dulu.Milly terkekeh mendengarnya, dia mengangguk
Zio mengetuk pintu kamar orang tuanya, wajahnya terlihat sedikit takut saat Milly menoleh padanya. Kedua tangan Zio berada di balik punggung kecilnya, tapi tetap saja Milly bisa melihat beberapa tangkai bunga yang mencuat di belakangnya.“Kau sudah pulang, Zio? Bagaimana di kantor Daddy?” tanya Milly sambil tersenyum.Zio bergerak maju dengan perlahan, “Mom, this is for you.” Sebuah buket bunga dengan sekotak cokelat disodorkan pada Milly. “Maafkan aku tadi, Mom. Aku salah karena telah membentak Mom.”Milly langsung memeluk Zio setelah putranya itu meminta maaf. Milly tersenyum haru karena putranya semakin bertambah dewasa. “It’s okay, Zio. Lain kali jangan diulangi lagi, ya, Nak.”Zio mengangguk, lalu menegcup pipi Milly. “Iya, Mom. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”Milly meletakkan buket bunga dan cokelat di meja, kemudian mengajak Zio untuk duduk di tepi kasur. “Bagaimana tadi di kantor Daddy? Apa menyenangkan?”Zio mengangguk antusias. “Aku bertemu paman Rey dan beberapa t
Keributan telah terdengar di mansion saat pagi hari. Tidak biasanya situasi seperti ini terjadi, Milly sampai harus menghela napas berkali-kali karena Zio menolak untuk pergi ke sekolah.“Zio, kita sudah sepakat untuk tidak bolos sekolah.” Milly kembali membujuk putranya agar mau segera berangkat ke sekolah.“Sudah kubilang aku tidak mau sekolah, Mom!” Pertama kalinya Milly mendengar Zio membentaknya.“Apakah kau mengalami kesulitan di sekolah? Apakah ada yang mengganggumu sampai kau tidak mau pergi ke sekolah? Katakan pada Mom,” ucap Milly seraya memijat kepalanya, akibat pusing membujuk putranya.Zio menatap Milly, kemudian mengalihkan pandangannya pada mainan lego berbentuk dinosaurus yang sedang dia pegang. “Aku hanya bosan, Mom. Tidak ada yang menggangguku.”“Mom… aku akan terlambat kalau Zio tidak mau berangkat sekarang,” rengek Madysen yang telah siap berangkat.Milly mengehala napas karena kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ibunya yang selalu menjadi seseora
Milly bangun lebih awal, menyiapkan banyak makanan yang akan dia bawa. Hari ini Milly dan Zayn mengajak dua anak kembar mereka untuk bersantai di taman bermain. Wanita itu tahu anaknya sangat aktif bermain, dan berujung mudah sekali lapar.“Nyonya, biarkan saya yang menyiapkan makanan.” Seorang pelayan menghampiri Milly.“Tidak apa-apa. Biar aku saja yang menyelesaikannya. Tolong sampaikan pada pengasuh untuk memandikan Zio dan Madysen,” jawab Milly lembut.Pelayan tadi mengangguk, kemudian pergi dengan patuh untuk menyampaikan pesannya pada kedua pengasuh si kembar. Bagi Milly, meskipun di mansion ini Zayn telah menyediakan beberapa pelayan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga, tapi Milly masih sering membuat makanan sendiri untuk Zayn, si kembar, dan ibunya. Menurutnya, dengan memasak dan menyajikannya pada orang terkasih, bisa menggambarkan besar cintanya pada mereka.Beberapa saat kemudian, Zio dan Madysen telah siap. Zayn juga telah berada di luar, memanaskan mesin mobil
Beberapa tahun berlalu … Langkah kaki tegas Zayn masuk ke dalam mansion mewah yang sudah ditempati hampir empat tahun ini. Pria tampan itu telah meninggalkan penthouse dan tinggal di mansion, demi memberikan kehidupan nyaman untuk istri dan anak-anaknya.“Yeay! Daddy sudah pulang!” Sambutan hangat dari Zio dan Madysen membuat Zayn melukiskan senyumannya. Dua bocah itu memeluk erat ayah mereka. Refleks, Zayn menggendong anak kembarnya itu sambil memberikan kecupan di pipi bulat mereka.Milly tersenyum melihat Zayn sudah mendapatkan sambutan dari kedua anak mereka. Dia mendekat dan ikut memeluk sang suami yang baru saja pulang dari bekerja.“Sayang, akhirnya kau pulang. Zio dan Madysen sudah sangat merindukanmu,” ucap Milly hangat.“Ya, Daddy! Kami merindukanmu.” Zio dan Madysen terus menciumi rahang ayah mereka.Zayn tersenyum. “Daddy juga merindukan kalian. Tapi, apa kalian saja yang merindukan Daddy? Mommy kalian tidak merindukan Daddy?”“Tentu saja Mommy juga rindu. Mommy selalu bi
Sudah satu bulan berlalu dari pernikahan Milly dan Zayn. Pagi ini mereka bertandang ke Alpha Hospital untuk melakukan pemeriksaan rutin di dokter kandungan. Milly memasuki ruang praktek dengan dada berdebar karena pertama kalinya mereka akan melakukan pemeriksaan USG setelah pemeriksaan awal selepas dirinya pingsan dulu.Perlahan Milly berbaring di ranjang pemeriksaan. Tangannya terus menggenggam pada Zayn yang mendampingi di sisinya. Sementara Dokter mulai mengoleskan gel dingin dan menekan kepala alat USG di perut bagian bawah Milly, mereka berdua serentak menahan napas sambil menatap ke layar di depan untuk menunjukkan hasil rekaman USG. Jujur, meskipun hasil secara aktual tertampil di layar, tapi Milly tidak mengerti sama sekali. Terlebih saat dokter terus menerus mengucapkan kata luar biasa.“Nyonya Ducan, Tuan Ducan, Anda perhatikan di anak panah yang saya arahkan di layar. Terlihat ada dua bulatan dengan titik kecil di dalamnya,” ucap dokter setelah selesai mengidentifikasi pem
Berkali-kali Milly menghela napasnya dalam-dalam. Setiap gerakan yang dilakukan beberapa orang yang mondar-mandir di ruangan putih dipenuhi rangkaian bunga itu berhasil membuatnya berjingkat pelan. Dadanya terus-terusan berdesir dan detak jantungnya tiba-tiba tenang, tiba-tiba tak beraturan. Dia bahkan mulai merasa mengeluarkan keringat dingin. Di sebelahnya, Vintari memperhatikan sambil terkekeh pelan.“Apakah kau merasa mual, Milly?” tanya Vintari cemas karena melihat raut wajah Milly yang tidak tenang.Milly hanya menggeleng. Dia bahkan tidak bisa mengeluarkan kata-kata karena terlalu tegang.“Kau pasti sangat gugup di hari pernikahanmu.” Vintari menyodorkan hand bouquet kepada Milly.Milly menerimanya dengan meringis. Vintari benar, Milly saat ini merasa sangat gugup karena harus menunggu di ruang mempelai sementara yang lain sedang menyambut tamu di aula utama pernikahan.“Kau benar, aku gugup sekali! Aku sampai takut tidak bisa berjalan ke altar karena terlalu gugup,” ucap Milly
Suara dering ponsel berbunyi. Zayn melihat nomor Andre menghubunginya. Pria tampan itu langsung menggeser tombol hijau, untuk menjawab panggilan telepon dari junior kuliahnya dulu.“Ada apa?” sapa Zayn dingin kala panggilan terhubung.“Bagus sekali kau menjawabku dengan nada dingin! Ck! Kau sombong sekali menikah tidak bilang padaku,” seru Andre dari seberang sana. “Kau tahu kabar itu dari mana? Zeus?” tanya Zayn mengerutkan keningnya.“Tentu saja! Cepat ke Blue Corner. Aku dan Jace menungu penjelasanmu di sini!” Zayn melirik ke arah Milly. Dia tidak mau meninggalkan Milly sendirian, tapi dia juga harus pergi untuk memberikan kabar baik ini. Namun, tidak mungkin dia mengajak Milly ke club milik Jace. Hari biasa mungkin baik-baik saja, tapi Milly saat ini sedang hamil.“Kenapa?” tanya Milly penasaran.“Tunggu sebentar,” ucap Zayn pada Andre sebelum dia menggantung ponselnya dan berbisik pada Milly. “Andre dan Jace mengajakku bertemu.”“Jace yang pemilik bar itu?”Zayn mengangguk. “B
Milly kembali memikirkan kembali ucapan Zeus begitu mereka masuk ke dalam penthouse. Sedikit ragu dia melirik ke arah Zayn yang sedang menerima telepon dari Rey, tampaknya mereka membicarakan tentang kasus baru yang baru saja masuk ke tim mereka. Setelah menunggu beberapa lama sampai Zayn selesai dengan obrolannya bersama Rey, Milly mendekat dan duduk di sebelah Zayn.“Ada masalah?” tanya Milly.Zayn menggeleng. “Tidak ada. Rey hanya bertanya tentang persetujuan dari jaksa untuk penyelidikan di tempat kejadian perkara.”Milly mengangguk-angguk pelan. “Zayn, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu.”Zayn menatap Milly lembut. “Katakan, Milly. Apa yang ingin kau bicarakan?”Milly tersenyum, tangannya meraih tangan Zayn dan mengarahkannya ke perutnya. “Aku tadi berbicara dengan Vintari, dia telah banyak membuka pikiranku tentang kehamilan Aku ingin mengatakan padamu kalau aku akan menerima kehamilan ini dengan bahagia, dan berusaha menjadi ibu yang baik untuk anak kita nanti.”Senyum Zay