Share

Bab 2

Penulis: Tarasari Thalia
Aku menggenggam ponselku dan tanpa sadar semakin erat.

“Febby, kau tahu, aku butuh hubungan pernikahan yang normal,” katanya, suaranya rendah dengan sedikit nada membujuk.

Mungkin dia tahu apa yang ingin aku tanyakan, dan dia pun menjawab keraguanku.

“Yang aku maksud adalah, aku butuh kau untuk menjalani semua kewajiban sebagai istri, menjadi istriku sekaligus ibu dari anak-anakku.”

“Meski keluargaku mendesak, aku tak ingin pernikahan kita seperti hubungan tanpa rasa, seperti sekadar dua teman serumah.”

Aku bangkit dan menurunkan tirai putih yang menggantung di depan tanaman bird of paradise, lalu menatap matahari yang mulai terbenam di luar jendela.

“Johan, kalau kita akan menikah, aku tak berpikir untuk berpura-pura seperti yang biasa dilakukan orang.”

“Kalau begitu, besok aku akan menjemputmu di Serpong.”

“Berikan aku setengah bulan, ada beberapa hal yang harus dibicarakan dengan jelas.”

Setelah menutup telepon, aku mengganti nama kontak Johan di ponselku, dari nama lengkapnya menjadi ‘Suami’.

Seperti yang ia katakan, ini adalah langkah pertamaku untuk melepaskan diri dari hubungan ini.

Radit tak kembali lagi, bahkan sudah beberapa hari ia tak kunjung pulang.

Jika sebelumnya, mungkin aku akan terus-menerus meneleponnya, bertanya ke mana dia pergi dan kapan dia kembali.

Tapi sekarang, aku sudah tak peduli lagi.

Lagipula, di mana pun dia berada, itu sudah jelas.

Aku menghubungi beberapa teman bersama Radit untuk menarik kembali undangan pernikahan yang sudah disebarkan. Mereka sangat terkejut akan hal itu.

Meskipun Radit tak ingin mengadakan pesta besar, aku tetap keras kepala menulis undangan, seolah itu semacam simbolik.

Aku memasukkan undangan-undangan itu kembali ke dalam tas, menatapnya dengan wajah suram. Aku tak berniat menyembunyikan apapun, jadi aku berkata dengan jujur,

“Ya, pengantin prianya sudah berubah, jadi undangan pernikahan juga harus diganti.”

Setelah aku mengucapkan kata-kata itu, suasana di sekitarku tak diwarnai dengan kejutan besar.

Sebaliknya, lebih banyak tawa dan canda dari teman-teman, jelas mereka tidak menganggap kata-kataku serius.

Kalau dipikir-pikir lagi, memang benar,dulu aku sangat mencintai Radit dan aku tak pernah peduli dengan sikap dinginnya.

Kalau orang lain yang melakukan hal serupa dan kemudian membatalkan pernikahan, mungkin aku juga tak akan percaya.

Tapi tak masalah, kali ini aku akan membuktikan dengan tindakan nyata kepada semua orang bahwa aku benar-benar sudah melepaskan segalanya.

Aku menarik kembali semua undangan yang sudah disebar, dan tak lama kemudian, Radit pulang.

Biasanya dia selalu menjaga kebersihan, namun kali ini kemeja putihnya terlihat kusut, matanya penuh dengan pembuluh darah merah, dan ekspresinya sangat lelah.

Aku langsung menyadari bahwa dia sedang tidak dalam kondisi baik.

Begitu melihatku, kata pertama yang dia ucapkan langsung sesuai dengan keputusanku tadi.

“Ambil kembali semua undangan yang sudah disebar. Profesorku baru saja meninggal, aku harus berduka selama setengah tahun, jadi tak bisa menikah.”

Ketika mengatakan ini, Radit mungkin mengira aku akan marah atau berdebat dengannya.

Bagaimanapun, pernikahan ini memang sudah lama selalu aku desak, dan aku tahu kakekku sangat menantikan pernikahanku. Tentu saja aku juga merasa terburu-buru.

Dia mungkin sudah menyiapkan argumen untuk membela diri, tetapi aku hanya menatapnya dengan tenang.

“Oke, turut berduka cita.”

.......

“Upacara peringatan profesorku diadakan hari ini, ayo temani aku untuk melihatnya, dia selalu ingin bertemu denganmu sebelum meninggal.”

Tanganku yang sedang mencuci cangkir terhenti sejenak.

Meskipun aku tidak menyukai Lisa, ayahnya adalah seorang profesor yang sangat dihormati, dan aku pernah bertemu dengannya sekali.

Kepadanya, aku bisa menggunakan ungkapan 'anggun dan penuh kebijaksaan' untuk menggambarkan sosoknya.

Terkadang aku merasa heran, bagaimana bisa seorang pria yang begitu lembut dan baik hati bisa memiliki putri seperti Lisa.

Orang yang sudah meninggal tak bisa kembali lagi, jadi aku pergi untuk memberikan bunga padanya sebagai tanda penghormatan, itu saja.

Aku mengeringkan tanganku, mengambil jas hitam dari lemari, lalu mengambil tas dan mengikuti Radit yang sudah siap untuk pergi.

Bab terkait

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 3

    Mendiang Profesor Joseph Karl memang seseorang yang sangat dihormati, sehingga banyak orang datang ke rumah duka untuk memberi penghormatan.Lisa dan ibunya saling menopang satu sama lain sambil berterima kasih kepada orang-orang yang datang mengucapkan belasungkawa.Begitu melihat Radit, Lisa langsung melepaskan tangan ibunya, dan melangkah cepat, dia maju untuk meraih lengan baju Radit, lalu menangis dengan keras.Di akhir, kakinya hampir terhuyung dan hampir jatuh.Radit cepat-cepat mendekat dan memeluknya dengan lembut untuk menenangkannya.“Aku akan tetap di sini menemani dia, kau bisa pergi dulu.” katanya.Aku hanya mengangguk, lalu berjalan sendirian menuju foto mendiang almarhum Joseph, memberi tiga kali hormat, dan kemudian berjalan ke arah wanita tua yang wajahnya pucat.“Nyonya Karl, turut berduka cita.”Dia menghapus air matanya dan memegang tanganku, mengangguk pelan.“Kau pasti pacarnya Radit, terima kasih sudah datang melihat almarhum Joseph. Aku dengar kalian berdua awa

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 4

    “Aku akan datang menjemputmu nanti.”Radit menutup pintu belakang mobil di hadapanku, lalu tanpa menoleh, pergi begitu saja dengan mobil besar hitamnya. Seharusnya aku sudah terbiasa, karena di mata Radit, Lisa selalu menjadi yang utama dalam segala hal.Aku menunggu di depan rumah duka selama dua jam, hingga matahari hampir terbenam. Saat satpam yang baik hati mendekat dan bertanya apakah aku sedang menunggu seseorang, akhirnya aku sadar, hari ini Radit tak akan datang.Rumah duka ini terletak di pinggiran kota, jadi sulit untuk mendapatkan taksi.Aku melihat layar aplikasi taksi yang belum ada yang menerima pesanan, lalu menghela napas dan menyerah, akhirnya berjalan keluar dari rumah duka.Cuaca yang semula cerah mendadak berubah menjadi hujan deras saat aku sudah berjalan setengah jalan. Aku tak bisa kembali, hanya bisa melanjutkan langkah dengan terpaksa turun menuju kaki gunung.Akhirnya, setelah cukup lama menunggu, aku berhasil menghentikan taksi. Setibanya di apartemen, aku

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 5

    Aku merebut ponsel dari tangan Radit dengan cepat sambil bersikap acuh tak acuh, “Oh, itu hanya teman dekat, aku hanya bercanda soal nama 'suami' itu.”Lalu aku berjalan menuju balkon sambil menghadapi tatapannya yang curiga. Aku tak terlalu mengerti mengapa Johan meneleponku di saat seperti ini.“Ada apa?” Aku mendengar suara gelas yang menyentuh dinding di ujung telepon, suara Johan terdengar sedikit lelah.“Nggak ada apa-apa, aku hanya sedikit lelah dan ingin mendengar suaramu. Oh, aku ingin tanya, bagaimana dengan perjanjian pranikah?”Sejujurnya, perjanjian pranikah yang diberikan oleh Johan sangat baik. Seorang senior dari Fakultas Hukum berkata, “Apakah Johan gila sampai memberikan perjanjian pranikah ini?”Aku memeriksa lagi setiap pasalnya dengan seksama, dan baru sadar bahwa jika suatu saat aku merasa dia tidak bisa memenuhi kewajiban suami-istri, maka setengah dari harta kekayaannya akan diberikan padaku saat perceraian.Hal-hal yang tidak bisa kudapatkan dari Radit, tampa

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 6

    Saat aku kembali, aku melihat Lisa memposting sebuah foto di Instagram, salah satunya adalah punggung Radit yang sedang berdiri di depan mesin capit hadiah, berusaha menangkap boneka.Lisa menulis, “Terima kasih Radit telah memanjakanku seperti anak kecil.”Aku hanya tersenyum dan memberi like pada postingannya. Dia mungkin masih berpikir bahwa cara seperti itu bisa menggangguku, namun sayangnya, aku sudah tidak mencintai Radit lagi.Belum sempat meletakkan ponsel, pesan dari Johan masuk, berisi screenshot tiket pesawat. [ Febby, aku sudah pesan tiket pesawat untukmu pukul dua siang besok ke Jayakarta. ][ Setengah bulan sudah berlalu, aku akan menjemputmu di bandara dan membawamu pulang. ].....Radit kembali pada siang hari keesokan harinya.Saat itu, aku sedang di ruang kerja membereskan barang-barangku, semua yang tak terpakai langsung aku masukkan ke mesin penghancur kertas.Radit tampaknya merasa bersalah padaku, bahkan sikapnya terhadapku jadi lebih baik.“Febby, beberapa har

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 7

    Aku mengantar kepergiannya dengan tatapan kosong, lalu melirik meja makan yang berantakan. Penerbanganku masih tiga jam lagi, jadi aku mengambil mantel dan koper, bersiap untuk pergi .Saat berdiri di ambang pintu, aku tetap kembali ke kamar.Aku meninggalkan secarik kertas berisi pesan untuk Radit.[ Radit, kita sampai di sini saja. Aku doakan kau dan Lisa semoga bahagia bersama. ]…..Sebelum naik pesawat, aku melihat Lisa memperbarui postingan di Instagram.Itu adalah foto siluet Radit yang sedang mengenakan celemek.Aku memberikan like lalu menerima pesan darinya.[ Febby, bagaimana mungkin kau bisa menyaingi posisiku di hati Radit? Hanya dengan satu kata dariku, dia akan meninggalkan segalanya untuk menemaniku. Dengan apa kau mau bersaing denganku? ]Pengumuman boarding terdengar di seluruh bandara. Aku tersenyum, mengetik balasan untuk Lisa.[ Benar juga. Jadi, aku menyerah. Semoga kau dan Radit bahagia selamanya. Saat kalian menikah, kirimkan aku undangan, ya? Aku past

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 8

    Kemudian, aku belajar tentang sebuah istilah bernama "asexual" dan rasanya itu sangat cocok untuk Johan. Tapi kini dia malah mengatakan bahwa dia menyukaiku.Dia hanya melihat ekspresiku dan langsung tahu apa yang sedang aku pikirkan. Dengan santainya, dia mengacak rambutku dan berkata,“Febby, kau nggak sadar hanya dirimu yang bisa berada dalam radius tiga meter di sekitarku, kan? Kau nggak sadar aku selalu memikirkanmu?”Aku terkejut menatapnya, “Hah? Bukankah itu karena kau menganggapku adik?”Johan tampak kesal, seolah-olah tak percaya dengan jawabanku, “Febby, siapa sih yang baik hati ingin berciuman dengan adiknya?”Terlalu kasar, kata-katanya sampai membuat pipiku memerah.Mungkin dia juga sadar aku merasa canggung, jadi dia berhenti menggoda dan hanya mengantarku pulang.Jarak antara rumah Keluarga Ananda dan Keluarga Tanumaja cukup dekat, jadi kami selalu pulang melalui jalan yang sama.Di dalam lift, kami berdua berdiri diam, aku berusaha tak mengganggu keheningan ini.

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 9

    Aku buru-buru menutup mulut kakek dengan tangan, meludah beberapa kali, mataku penuh dengan ketidaksepakatan, “Cih, cih, cih, kakek harus panjang umur, nggak boleh bicara omong kosong seperti itu!”Mengingat kata-kata kakek, perasaan bersalah memenuhi hatiku.“Maafkan aku, kakek, semuanya salahku. Aku nggak akan pergi lagi, aku akan selalu ada di sini menemani kakek, oke?”Namun, kakek segera menggelengkan kepala, “Cih, cih, cih, jangan bicara hal-hal bodoh seperti itu. Kakek masih menunggu kamu menikah. Hanya dengan melihatmu bahagia, aku baru bisa pergi dengan tenang menemui nenek dan orang tuamu.”Mendengar kata-katanya, hatiku semakin terasa berat.Aku tahu, kakek suatu hari pasti akan meninggalkanku, tapi aku masih berharap hari itu datang nanti, lebih lama lagi.Setelah berbincang-berbincang sedikit, suasana mulai sedikit mereda. Kakek memandangku, matanya penuh perasaan keharuan, “Sudah besar, semakin kurus, dan banyak berubah.”“Apapun yang berubah, aku akan selalu menja

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 10

    Saat itu, dia hanya memelukku erat-erat, memainkan jari-jariku satu per satu, “Aku yang akan menikahimu, jadi sudah seharusnya aku yang menyiapkan semuanya.”Sebenarnya, dalam beberapa waktu terakhir, Radit sempat menghubungiku.Awalnya, aku selalu memutuskan telepon darinya, tapi setelah terganggu berkali-kali, akhirnya aku mengganti nomor ponsel dan sejak itu tak pernah lagi menerima telepon darinya.Namun, berita darinya datang lagi tiga hari sebelum pernikahanku dengan Johan.Pada hari pernikahan itu, aku dan Johan berangkat pagi-pagi menuju hotel, bersiap untuk mengganti pakaian dan melakukan tata rias.Johan menyerahkan sepenuhnya tugas menyambut tamu kepada orang tuanya, sementara dia sendiri tetap berada di sisiku, tak terpisahkan.Saat berdiri di depan cermin rias, aku menyadari bahwa Johan menatapku tanpa henti, matanya penuh fokus. Aku pun penasaran dan bertanya,“Johan, semua persiapan ini sangat matang, seharusnya kau nggak menyiapkannya hanya setelah aku menebak, ka

Bab terbaru

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 12

    Saat aku dan Johan duduk, samar-samar kudengar gosip dari orang-orang di sekitar.Mereka bilang Lisa sudah hamil tiga bulan.Kalau dihitung-hitung, itu berarti terjadi saat aku masih di Serpong.Jadi, mereka yang dulu mengatakan tak akan mencoba bayi tabung lagi… sebenarnya hanya berbohong padaku.Aku mendengus dingin, sementara Johan menggenggam tanganku erat.Beberapa orang yang melihat kami lantas tersenyum menggoda. Aku pun merangkul lengan Johan dan memperkenalkannya dengan bangga,“Ini suamiku, Johan Tanumaja, pengacara hebat.”Aku tak menyangka kalau kecelakaan itu membuat Radit kehilangan segalanya.Kini dia hanya bisa duduk di kursi roda. Tangannya pun rusak, tak bisa lagi berfungsi.Bagi seorang dokter bedah, ini mungkin lebih menyakitkan daripada mati.Di atas panggung, Lisa bertanya padanya apakah dia bersedia menikah dengannya.Tapi Radit hanya memalingkan wajah.Entah kenapa, aku merasa dia sedang melihat ke arahku.Tiba-tiba, perutku terasa mual.Johan lang

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 11

    Radit datang ke Jayakarta? Dan dia mengalami kecelakaan karena ngebut?“Halo? Nona Ananda, apakah Anda masih mendengarkan?”Suara perawat kembali terdengar di telepon karena aku tak merespons cukup lama, membawaku kembali dari keterkejutan.Aku menarik napas dalam-dalam. Meski perasaanku campur aduk, aku tetap menolak tanpa ragu,“Maaf, aku sudah putus dengannya. Hari ini aku menikah, jadi aku benar-benar nggak punya waktu untuk datang. Coba hubungi keluarga atau kerabatnya yang lain.”Tanpa menunggu tanggapan dari perawat tersebut, aku langsung menutup telepon.Aku sebenarnya bisa menebak kalau alasan Radit datang ke Jayakarta mungkin ada hubungannya denganku. Tapi seperti yang baru saja kukatakan, kami sudah berpisah. Apa pun yang terjadi padanya, aku sudah tak punya hak untuk ikut campur.Lagipula, dia masih punya banyak orang yang bisa diandalkan, tak perlu aku.Suasana resepsi pernikahan begitu meriah, tamu undangan memenuhi seluruh aula.Dengan gaun pengantin panjang yang

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 10

    Saat itu, dia hanya memelukku erat-erat, memainkan jari-jariku satu per satu, “Aku yang akan menikahimu, jadi sudah seharusnya aku yang menyiapkan semuanya.”Sebenarnya, dalam beberapa waktu terakhir, Radit sempat menghubungiku.Awalnya, aku selalu memutuskan telepon darinya, tapi setelah terganggu berkali-kali, akhirnya aku mengganti nomor ponsel dan sejak itu tak pernah lagi menerima telepon darinya.Namun, berita darinya datang lagi tiga hari sebelum pernikahanku dengan Johan.Pada hari pernikahan itu, aku dan Johan berangkat pagi-pagi menuju hotel, bersiap untuk mengganti pakaian dan melakukan tata rias.Johan menyerahkan sepenuhnya tugas menyambut tamu kepada orang tuanya, sementara dia sendiri tetap berada di sisiku, tak terpisahkan.Saat berdiri di depan cermin rias, aku menyadari bahwa Johan menatapku tanpa henti, matanya penuh fokus. Aku pun penasaran dan bertanya,“Johan, semua persiapan ini sangat matang, seharusnya kau nggak menyiapkannya hanya setelah aku menebak, ka

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 9

    Aku buru-buru menutup mulut kakek dengan tangan, meludah beberapa kali, mataku penuh dengan ketidaksepakatan, “Cih, cih, cih, kakek harus panjang umur, nggak boleh bicara omong kosong seperti itu!”Mengingat kata-kata kakek, perasaan bersalah memenuhi hatiku.“Maafkan aku, kakek, semuanya salahku. Aku nggak akan pergi lagi, aku akan selalu ada di sini menemani kakek, oke?”Namun, kakek segera menggelengkan kepala, “Cih, cih, cih, jangan bicara hal-hal bodoh seperti itu. Kakek masih menunggu kamu menikah. Hanya dengan melihatmu bahagia, aku baru bisa pergi dengan tenang menemui nenek dan orang tuamu.”Mendengar kata-katanya, hatiku semakin terasa berat.Aku tahu, kakek suatu hari pasti akan meninggalkanku, tapi aku masih berharap hari itu datang nanti, lebih lama lagi.Setelah berbincang-berbincang sedikit, suasana mulai sedikit mereda. Kakek memandangku, matanya penuh perasaan keharuan, “Sudah besar, semakin kurus, dan banyak berubah.”“Apapun yang berubah, aku akan selalu menja

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 8

    Kemudian, aku belajar tentang sebuah istilah bernama "asexual" dan rasanya itu sangat cocok untuk Johan. Tapi kini dia malah mengatakan bahwa dia menyukaiku.Dia hanya melihat ekspresiku dan langsung tahu apa yang sedang aku pikirkan. Dengan santainya, dia mengacak rambutku dan berkata,“Febby, kau nggak sadar hanya dirimu yang bisa berada dalam radius tiga meter di sekitarku, kan? Kau nggak sadar aku selalu memikirkanmu?”Aku terkejut menatapnya, “Hah? Bukankah itu karena kau menganggapku adik?”Johan tampak kesal, seolah-olah tak percaya dengan jawabanku, “Febby, siapa sih yang baik hati ingin berciuman dengan adiknya?”Terlalu kasar, kata-katanya sampai membuat pipiku memerah.Mungkin dia juga sadar aku merasa canggung, jadi dia berhenti menggoda dan hanya mengantarku pulang.Jarak antara rumah Keluarga Ananda dan Keluarga Tanumaja cukup dekat, jadi kami selalu pulang melalui jalan yang sama.Di dalam lift, kami berdua berdiri diam, aku berusaha tak mengganggu keheningan ini.

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 7

    Aku mengantar kepergiannya dengan tatapan kosong, lalu melirik meja makan yang berantakan. Penerbanganku masih tiga jam lagi, jadi aku mengambil mantel dan koper, bersiap untuk pergi .Saat berdiri di ambang pintu, aku tetap kembali ke kamar.Aku meninggalkan secarik kertas berisi pesan untuk Radit.[ Radit, kita sampai di sini saja. Aku doakan kau dan Lisa semoga bahagia bersama. ]…..Sebelum naik pesawat, aku melihat Lisa memperbarui postingan di Instagram.Itu adalah foto siluet Radit yang sedang mengenakan celemek.Aku memberikan like lalu menerima pesan darinya.[ Febby, bagaimana mungkin kau bisa menyaingi posisiku di hati Radit? Hanya dengan satu kata dariku, dia akan meninggalkan segalanya untuk menemaniku. Dengan apa kau mau bersaing denganku? ]Pengumuman boarding terdengar di seluruh bandara. Aku tersenyum, mengetik balasan untuk Lisa.[ Benar juga. Jadi, aku menyerah. Semoga kau dan Radit bahagia selamanya. Saat kalian menikah, kirimkan aku undangan, ya? Aku past

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 6

    Saat aku kembali, aku melihat Lisa memposting sebuah foto di Instagram, salah satunya adalah punggung Radit yang sedang berdiri di depan mesin capit hadiah, berusaha menangkap boneka.Lisa menulis, “Terima kasih Radit telah memanjakanku seperti anak kecil.”Aku hanya tersenyum dan memberi like pada postingannya. Dia mungkin masih berpikir bahwa cara seperti itu bisa menggangguku, namun sayangnya, aku sudah tidak mencintai Radit lagi.Belum sempat meletakkan ponsel, pesan dari Johan masuk, berisi screenshot tiket pesawat. [ Febby, aku sudah pesan tiket pesawat untukmu pukul dua siang besok ke Jayakarta. ][ Setengah bulan sudah berlalu, aku akan menjemputmu di bandara dan membawamu pulang. ].....Radit kembali pada siang hari keesokan harinya.Saat itu, aku sedang di ruang kerja membereskan barang-barangku, semua yang tak terpakai langsung aku masukkan ke mesin penghancur kertas.Radit tampaknya merasa bersalah padaku, bahkan sikapnya terhadapku jadi lebih baik.“Febby, beberapa har

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 5

    Aku merebut ponsel dari tangan Radit dengan cepat sambil bersikap acuh tak acuh, “Oh, itu hanya teman dekat, aku hanya bercanda soal nama 'suami' itu.”Lalu aku berjalan menuju balkon sambil menghadapi tatapannya yang curiga. Aku tak terlalu mengerti mengapa Johan meneleponku di saat seperti ini.“Ada apa?” Aku mendengar suara gelas yang menyentuh dinding di ujung telepon, suara Johan terdengar sedikit lelah.“Nggak ada apa-apa, aku hanya sedikit lelah dan ingin mendengar suaramu. Oh, aku ingin tanya, bagaimana dengan perjanjian pranikah?”Sejujurnya, perjanjian pranikah yang diberikan oleh Johan sangat baik. Seorang senior dari Fakultas Hukum berkata, “Apakah Johan gila sampai memberikan perjanjian pranikah ini?”Aku memeriksa lagi setiap pasalnya dengan seksama, dan baru sadar bahwa jika suatu saat aku merasa dia tidak bisa memenuhi kewajiban suami-istri, maka setengah dari harta kekayaannya akan diberikan padaku saat perceraian.Hal-hal yang tidak bisa kudapatkan dari Radit, tampa

  • Dua Hati, Satu Kehancuran   Bab 4

    “Aku akan datang menjemputmu nanti.”Radit menutup pintu belakang mobil di hadapanku, lalu tanpa menoleh, pergi begitu saja dengan mobil besar hitamnya. Seharusnya aku sudah terbiasa, karena di mata Radit, Lisa selalu menjadi yang utama dalam segala hal.Aku menunggu di depan rumah duka selama dua jam, hingga matahari hampir terbenam. Saat satpam yang baik hati mendekat dan bertanya apakah aku sedang menunggu seseorang, akhirnya aku sadar, hari ini Radit tak akan datang.Rumah duka ini terletak di pinggiran kota, jadi sulit untuk mendapatkan taksi.Aku melihat layar aplikasi taksi yang belum ada yang menerima pesanan, lalu menghela napas dan menyerah, akhirnya berjalan keluar dari rumah duka.Cuaca yang semula cerah mendadak berubah menjadi hujan deras saat aku sudah berjalan setengah jalan. Aku tak bisa kembali, hanya bisa melanjutkan langkah dengan terpaksa turun menuju kaki gunung.Akhirnya, setelah cukup lama menunggu, aku berhasil menghentikan taksi. Setibanya di apartemen, aku

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status