Anya menghembuskan napas. Ia merasakan kelegaan yang luar biasa saat si kembar akhirnya memejamkan mata.‘I’m free!’ batin Anya, bersorak. Untuk sesaat ia bisa mengistirahatkan diri dengan merebahkan punggungnya.Anya tak tahu kapan anak-anaknya akan terjaga. Berhubung mereka sedang terlelap, ia harus menggunakan kesempatan dengan baik.“Mau patah rasanya gara-gara duduk mulu!”Kamarudin menatap Anya dengan tatapan kasihan. Dibandingkan dirinya, Anya-lah yang bekerja sangat keras untuk kedua anak mereka. Waktu istirahatnya jauh lebih sedikit.“Cari babysitter aja, mau?” tawar Kamarudin.Anya merotasikan bola matanya. Sebenarnya usulan Kamarudin cukup bagus, hanya saja pada kasus si kembar, seorang suster tidak akan membantu.“Kayak anak kamu bisa dipegang orang lain aja loh, Din.”— dan hal inilah yang menjadi alasan mengapa keberadaan babysitter tidak akan meringankan kerja keduanya dalam mengasuh si kembar.“Terus gimana ya? Aku nggak tega liat kamu begini, Babe.” Sebagai suami, meli
“Bosen,” keluh Anya. Wanita yang memposisikan diri disamping anak kembarnya itu merasa bosan. Rutinas yang hanya itu-itu saja mulai terasa monoton baginya. Anya membutuhkan penyegaran disela-sela aktivitasnya sebagai seorang ibu anyaran.Tiga setengah bulan telah berlalu sejak Anya melahirkan. Anak-anak kini tak sesulit ketika keduanya baru dilahirkan. Josephin dan Kamasea jauh lebih manusiawi. Mereka tak lagi menangis setiap kali membuka mata.Perkembangan positif itu membuat Kamarudin kembali menekuri tanggungjawabnya sebagai pengganti papa Anya di perusahaan. Dunia Anya yang semula berisikan empat orang, harus berkurang satu personil pada jam kerja.“Cil, Mama juga pengen keluar tauk. Kalian juga nggak sih?” tanya Anya, berinteraksi dengan kedua anaknya.Anya iri pada Kamarudin. Suaminya itu bisa kesana kemari. Meski Kamarudin keluar rumah untuk urusan pekerjaan, setidaknya dia meninggalkan kediaman dan melihat-lihat sekitar. Selain ingin cuci mata, Anya juga ingin menghirup polus
Libur telah tiba..“Horay!”Anya memekik senang saat Kamarudin mengamini ajakannya untuk berbelanja ke pusat perbelanjaan. Namun kesenangan itu tidak bertahan lama karena, “tapinya nggak hari ini ya, Babe.”“KOK?”“Alexiz katanya mau main. Dia bawa oleh-oleh buat Jo sama Sea.”Bahu Anya merosot jatuh. Lenyap sudah kebahagiaannya. Tiket menuju kewaran yang beberapa ini ia dambakan, harus terbakar karena kedatangan sosok tamu tak diundang.“Alexiznya nggak bisa besok aja?!”Jari-jari Kamarudin yang tengah memainkan tangan mungil Kamasea, terhenti dan menggantung di udara.“Sepengen itu, Babe?!” Biasanya kamu kalau pengen sesuatu belinya online.”“Bukan belanjanya, Udin.” Anya tampak frustasi. Ia sudah berbicara panjang kali lebar, tapi Kamarudin rupanya tak sepenuhnya menyimak curahan hatinya.“Apa dong?”“Huft,” Anya menarik napas dalam-dalam. Percuma saja diulang, hanya akan membuang-buang tenaga. Mereka juga tak akan pergi shopping hari ini.“Udah-lah,” pasrahnya menerima kekalahan.
Membuat si kembar tampil maksimal merupakan sebuah keharusan. Anya tidak tahu apakah hal tersebut juga dilakukan oleh ibu-ibu lain di luaran sana. Bagi Anya putra dan putrinya haruslah menjadi objek yang mendapatkan seluruh perhatian. “Uh, anak-anak Mama nggak ada lawan. Valid pokoknya. No debat, no kecot!” seloroh Anya, memandangi anak kembarnya. Sebut Anya sebagai budak cinta anak-anaknya. Ia tak masalah dengan sebutan itu. Di dunia ini tidak cinta yang lebih besar dari milik seorang ibu. Yah, kecuali golongan ibu-ibu durjana. Pasti ada diantara milyaran manusia sosok yang seperti itu. Di Televisi saja banyak siaran yang memberitakan tentang dibuangnya para bayi tak berdosa. Sungguh miris. Padahal melahirkan pun tidak mudah. Nyawa sudah menjadi taruhan, tapi mengapa mereka tetap tega membuang darah daging sendiri. Jika tidak mau memiliki anak, seharusnya mereka menggunakan proteksi berlapis-lapis. “Wajib diabadiin nih!” Memotret si kembar memang menjadi hobi baru Anya. Galeri po
Kemenangan telak jelas berada ditangan Anya. Sebagai penguasa segala elemen kehidupan di bumi, ibu muda beranak 2 itu berhasil mengalahkan sahabat suaminya.Hoho-Hoho!Tentu saja semua terjadi bukan atas kekuatannya sendiri. Kemenangan tersebut ada berkat bantuan tak kasat mata Kamarudin.Dibalik diamnya suami Anya itu, matanya menyorot tajam Alexiz— Mengirim sinyal ancaman, dimana sahabatnya tak dirinya perkenankan untuk melakukan serangan balasan. Alexiz yang berotot harus rela menjadi samsak hidup sang ibu muda.Betapa malangnya Alexiz. Sahabat yang dahulu selalu bersikap netral, kini mengikrarkan diri sebagai budak cinta pasangan hidupnya. Kamarudin lebih memilih Anya— wanita yang bahkan baru satu tahunan ini mendampingi dirinya.Beruntung tangis Kamasea menginterupsi kebrutalan ibunya. Jika saja bayi cantik itu tidak menangis, Kamarudin Hasan akan benar-benar kehilangan sahabat karibnya.Pasalnya, Anya sudah seperti kerasukan arwah tentara perang. Pukulannya tak melambat sedetik
“Bapak Kamarudin. Saya merasa tidak punya harga diri loh ini. Masa habis diusir, diundang lagi sih. Mana saya-nya juga mau-mau saja!” Sarkas Alexiz berbicara formal.Alexiz kembali terlihat bersama Surti yang ditugaskan untuk menjemput pria itu.“Thanks buat bini lo,” ucap Alexiz sembari melemparkan kasar tubuhnya ke atas sofa.Sepuluh menit saja dirinya masih berada di rumah orang tua sahabatnya, gendang telinganya mungkin membutuhkan penanganan para ahli.“Ibu marah-marah?”“Better kalau ngamuk. Dia nanyain gue kapan kawin, terus bla-bla-bla-bla!”Kamarudin menyimak curahan hati sahabatnya. Ibunya memang suka bertindak berlebihan, terlebih kepada orang-orang yang dianggapnya seperti keluarga sendiri.Tidak hanya kepada anak-anaknya, perempuan itu juga suka merecoki kehidupan pribadi Alexiz. Alasannya tentu karena kedua orang tua mereka bersahabat baik. Alexiz tak ubahnya dirinya dan sang kakak dimata nyonya Miranti Hasan.“Come on, Mas Lingga yang lebih tua juga belom kawin-kawin tu
“What the hell, Kam! Serepot ini mau balik ke rumah aja?”Kamarudin mengangguk, “heum,” balasnya singkat sembari mengulurkan botol air mineral.“Bentar,” ucap Alexiz. “Kapan dia nyiapin beginian?” Alexiz membuang asal sikat dan pasta gigi yang baru saja dirinya gunakan.“Sumpah! Kelakuan bini lo bener-bener diluar nalar,” cerocos Alexiz lalu meraih apa yang Kamarudin ulurkan ke arahnya.“Fungsinya sikat gigi sebelum balik tuh apaan, Kam? Gue juga nggak akan langsung ketemu anak-anak lo!”Kamarudin mengedikkan bahunya. Ia hanya menjalankan perintah, yang nantinya akan mempermudah pekerjaannya.“Jangan bilang abis ini lo nyuruh gue ganti baju.”“Sst! Berisik! Cepet minum! Gue tau tenggorokan lo kering.” Hardik Kamarudin.“Emang sohib gue. Tau aja lo kalau gue pengen minum. Gara-gara kelakuan bini lo nih, gue jadi misuh-misuh nggak jelas.”Kamarudin memejamkan mata saat Alexiz mulai menandaskan isi cairan di dalam botol. Ia berharap banyak, termasuk pada larutan perangsang yang telah dir
“Udin, My Honey Bunny Sweety.. Wake up! Udah waktunya kita beraksi.” Anya menepuk-nepuk pelan kedua pipi Kamarudin. Sesekali mulutnya menguap lebar. Anya menelungkupkan dirinya di atas tubuh Kamarudin. Ia mengantuk. Semalaman dirinya terjaga karena tak dapat menyusul Kamarudin ke alam mimpi. “Bangun! Ayo jemput ibu sama yang lain,” ucap Anya sembari menjaga kesadaran dirinya. Efek terlalu excited dengan penggerebekan membuatnya tak bisa tidur. Padahal tubuhnya sangat lelah karena percintaannya dengan Kamarudin. Namun semua itu rupanya tak cukup untuk membuat dirinya terlelap. Kamarudin mengeluh. Perlahan pria itu membuka matanya. “Jam berapa, Babe?” tanya Kamarudin. Lengannya lalu memerangkap tubuh Anya dengan pelukan. Bugh! “Jangan tidur lagi,” amuk Anya usai memukul dada Kamarudin. “Udah setengah 4 nih,” timpalnya menjawab pertanyaan sang suami. “Masih pagi, Babe. Kita tidur lagi aja ya. Grebek merekanya jam 6 aja.” Kamarudin menjerit. Ia mengusap nipple yang baru saja Anya
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik