Kamarudin memperhatikan kegiatan sang istri selagi dirinya melipat lengan kemejanya. Perempuan itu bersikeras ingin pergi ke kampus pagi ini.
“Kamu yakin nggak mau ambil cuti?” Melihat minimnya akses gerak Anya, Kamarudin ngilu sendiri. Untuk berjalan nona muda keluarga Handoyo itu bahkan sering mengeluhkan sakit pada telapak kakinya.
Ya— Anya membengkak tidak hanya dibagian perutnya. Kaki-Kaki cantik yang dulu Kamarudin jilat saat pertama kali mereka melakukannya pun membengkak berkali-kali lipat.
“Belom waktunya ngelahirin, ngapain pake cuti segala. Sayang banget bentar lagi liburan semester.” Anya menyapukan Dior Addict Lip Tint favoritnya pada kedua lipatan bibir. “Semester ini aku harus lulus mata kuliah kamu. Kamu udah janji ya!” timpalnya lalu memasukan barang wajib itu ke dalam tas khusus kuliahnya.
“Masih ada semester ganjil berikutnya, Anya. Saya tidak akan ingkar janji.”
Anya mengangk
“Din! Itu bukannya mantan kamu?!” Heboh Anya. Jari telunjuknya mengarah pada wanita yang menduduki kap sebuah mobil. Walau berjumpa baru beberapa kali, Anya tak akan melupakan sosok yang dirinya cari-cari informasinya. Wanita kurang cantik dan sok seksi padahal minus itu melekat dalam ingatannya.Michelin A.K.A model lokal kurang terkenal sekaligus mantan kekasih suaminya itu, menjadi manusia terbaru pada daftar hitam buku khususnya. Urutannya berada tepat dibawah nama Kamarudin Hasan.“Ngapain dia kesini segala! Wah! Mau nyari ribut nih pasti!” Ucap Anya sembari menaikkan lengan blouse pada bagian pundaknya. Anya sudah mirip preman sekarang. Dia seakan siap untuk bertarung, mempertaruhkan hidup dan matinya.Diam-Diam Kamarudin berdecak. Ia benci gangguan. Hal inilah yang membuat Kamarudin tak ingin mengusik sesuatu di masa lalu. Masalah tidak akan berhenti setelah Michelin diusir. Pengusiran tersebut justru menjadi pembuka masal
“Anya, kamu terlalu cepat berjalannya!” Seru Kamarudin, mencoba memperingati Anya akan bahaya dari tindakannya saat ini. Ia takut istrinya yang bulat seperti bola itu menggelinding karena cara jalannya. “Sudah! Berhenti! Kamu mau kemana sebenarnya, Anya?!” Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Kamarudin tidak memasuki kelasnya tanpa sebuah pemberitahuan. Tidak perlu dijelaskan, beberapa anak yang tadi menyaksikan keributan pasti memaklumi ketidak hadirannya saat ini. Anya dan emosinya jauh lebih penting untuk ditenangkan. Lihat saja sekarang. Anya bahkan tidak menyadari kemana kakinya melangkah. Dia terus berjalan dan berakhir di arena panjat tebing. “Stop, ya! Di depan itu tembok. Kamu nggak mungkin mau manjat kan?” “Ambilin tali pengaman!” “Ngaco kamu!” Kamarudin memutar bola matanya. Tangannya menyambar lengan Anya, menarik pelan wanita itu agar mau mengikutinya. “Duduk disini!” Perintah Kamarudin sembari mendud
Anya membenamkan wajahnya pada dada Kamarudin. Di dalam gendongan pria itu, satu tangannya mencengkram kaos yang Kamarudin kenakan.“Eh, mantunya Ibu udah turun.”“Din! Turunin!” Cicit Anya karena Kamarudin tak kunjung menurunkan dirinya. Sejujurnya ia merasa malu. Kamarudin memperlakukannya dengan sangat berlebihan. Kakinya hanya bengkak, bukan berarti ia tidak bisa berjalan sampai harus terus-terusan digendong.“Hem..”“Anya mau makan pake apa?” tanya Miranti. Ditangannya sudah tersedia piring kosong untuk sang menantu.“Anya ambil sendiri aja, Bu. Bisa kok.”“Biar saya yang ambilkan.” Ucap Kamarudin sembari memindahkan piring dari tangan ibunya ke tangannya. “Cumi tinta hitam, mau? atau ayam..” Kamarudin memperhatikan medu ayam yang asisten rumah tangga ibunya masak. “Bumbu apa Bu, namanya?”“Sambel kemangi. Nggak begitu pedes kok. Anya masih bisa makan.”“Anya doyan pedes, Bu.”“Iya, tapi nggak boleh sering-sering. Perut kamu nanti sakit,” lagi-lagi Kamarudin menyambar. “Pake cum
“Anya,” Kamarudin berbisik rendah ditelinga kiri Anya. “Bangun.. Hari ini kamu ada kelas saya. Tidak boleh terlambat.” Tidak ada pengecualian sekali pun Anya adalah istrinya. Salah sendiri diminta untuk cuti tidak mau. “Anya Calista Hasan.” Tidak ada pergerakan. Suara Kamarudin tak cukup sakti untuk membangunkan Anya dari lelap tidurnya. “Apa kegiatan semalam membuat dia lelah?” Gumam Kamarudin. Sepertinya permainan yang mereka mainkan tidak memakan banyak waktu. Dikarenakan kondisi Anya, ia menekan sebagian hasratnya. Bermain tak terlalu buas. “Kenapa dia seperti mati suri begini?” Udin Anjing! Kelas Udin Anjing! Bangun! Neraka! ANYA NILAI F “No!!” Teriak Anya, terbangun dari tidurnya. Ditempatnya berdiri, Kamarudin mengeram kesal. Alarm sialan itulah yang berhasil membangunkan sang istri, mengalahkan usaha dan niat baiknya. Mata Kamarudin menyorot tajam pada bend
“KALINGGA! Masih nggak kamu lepasin perempuan muda itu?”Dalam posisi rebahannya, Kalingga mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. “Bu, ini kecelakaan!” Ucapnya melakukan klarifikasi.“Tante— Anya dorong saya.” Flora yang telah menarik diri pun melakukan hal serupa. Menurutnya kesalahpahaman ini harus segera diluruskan. “Kalau saya nggak didorong, saya nggak akan jatoh terus..”“Ssstt! Jelasinnya di dalem aja. Kasihan menantu Tante, kecapean berdiri.” Sahut Miranti memotong penjelasan Flora. Ibu Kamarudin itu lantas mendekati Anya, membantu sang menantu berjalan. Tangannya dengan setia memegangi lengan Anya.“Kalingga, berdiri kamu! Bawa masuk temennya mantu Ibu!” Titah Miranti kala melewati keduanya. “Beneran rencana kamu, Sayang? Uh, kamu! Demi Mas Kalingga, rela berkorban sampe sebegininya. Ibu jadi tambah sayang,” sambungnya, yang masih dapat terdenga
“Babi Bunting! Gue udah sampe kayak gini, bisa-bisanya lo masih sanggup ngemil! Bener-Bener ya lo, Nyam!”Kamarudin memperhatikan wajah kakaknya. Laki-laki itu tampak begitu terkejut melihat perangai Flora. Siapa pun pasti tidak akan mengira jika gadis secantik Flora, ternyata sama bar-barnya dengan Anya.Tampangnya memang sangat menipu, tidak seperti Anya dan Angel yang terang-terangan menunjukkan bagaimana wajah asli mereka.“Anya!” Panggil Kamarudin, membuat si empunya nama memutar kepalanya. “Kamu nggak merasa harus menjelaskan sesuatu?”“Jelasin apa? Kamu pasti udah tau kan!”“Kamu!”Kalingga menahan sang adik dengan meremas pundak Kamarudin. “Sudah, Kamaru. Nggak perlu diperpanjang. Biar ini jadi urusan Mas dan teman istri kamu.”Menyalahkan Anya juga akan percuma. Titik terberat masalah berada pada ibu mereka. Anya hanyalah berperan sebagai pintu pemb
SIBUK! UDIN DILARANG MASUK!Kalimat tersebut tertulis di atas sebuah kertas yang menempel pada daun pintu kamar Kamarudin dan Anya.“Istrimu di dalem beneran lagi belajar ya, Kamaru?”“Sepertinya, Bu.” Ucap Kamarudin menjawab pertanyaan sang ibu.Sejak pagi menjelang, Anya sudah mengusirnya dari kamar. Wanita itu berkata tidak ingin diganggu sampai ujian mata kuliahnya selesai diadakan.“Duh, mantunya Ibu rajin banget. Nggak salah pilih Ibu, Kam.” Puji Miranti, senang. Menantunya tidak hanya cantik, tapi juga memiliki semangat juang yang tinggi dalam meraih cita-citanya. “Kamu udah kasih kisi-kisinya, kan?”“Semua materi sudah Kamaru share ke mahasiswa, Bu. Mereka kalau merhatiin pasti bisa ngerjainnya.”“Bagus.. Bagus.. Biar nggak sia-sia mantu Ibu belajarnya. Ibu mau minta Mbak bikinin cemilan. Nanti kamu yang anterin ke Anya.” Ujar Mir
“Oh, My God! Aku nggak salah liat?”Anya mencubit layar untuk memperbesar kolom pdf yang dirinya unggah. Matanya hanya tertuju pada bagian mata kuliah yang dirinya incar.Sejak keluarnya indeks penilaian (IP), Anya tak memperdulikan mata kuliah lain yang ia ambil. Tujuan utamanya terletak pada bidang yang suaminya ampu.“Din..”“Apa?” tanya Kamarudin sembari meletakkan Lego terbaru yang ingin dirinya susun.“Kamu nggak ngantuk waktu isi ini? A loh, Din! Beneran?”Apakah Anya serius menanyakan pertanyaan konyol seperti ini? Satu setengah bulan lalu, ia ingat sekali betapa marahnya wanita itu. Dia bahkan menolak pulang bersama karena ia menyuruh semua mahasiswa mengumpulkan contekan mereka.“Kamu nggak seneng dapat A?”“Gila! Ya seneng-lah! Tujuan aku ngulang buat ini!” Ucap Anya.“So?”“Kirain kamu bakalan ng
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik