“Ante Chapa, iyat nyak Ceya. Adgus tan?”
Shafa memberikan dua ibu jarinya, memuji hasil menggambar Kamasea. Menunjukkan apresiasi dari usaha kecil anak sangatlah penting. Meski gambar Kamasea hanyalah berupa coretan abstrak, setidaknya anak itu sudah berusaha.
“Lanjutkan! Sea pinter banget. Ntar gedenya pasti jadi pelukis.”
“Nouw! Ceya au adi yak Papa.” Ucap Kamasea sembari kembali membuat garis-garis tak beraturan dengan pensil warnanya.
“Emangnya Sea tau, Papanya Sea jadi apa?”
“Anucia yah!”
Shafa membuka mulutnya, lalu menutupnya dalam hitungan detik.
Impressive!
Jawaban Kamasea sungguh diluar prediksi BMKG. Shafa pikir anak itu akan menjawab dosen atau profesi yang tengah digeluti oleh kakaknya sekarang. Rupanya dugaan Shafa meleset sangat jauh.
Yah, jika begini.. Alih-alih menjadi seperti kakak ke-2-nya,
“Shafa..”Miranti menghamburkan dirinya pada Shafa, memeluk anak bungsunya erat. “Kamu dari mana aja, Shaf? Kenapa pergi nggak izin dulu ke Ibu. Ibu panik ngeliat kamu nggak ada di kamar,” lirihnya dalam satu tarikan napas.“Adekmu ketemu dimana, Mas?” tanya Attalaric. Disamping istri dan anaknya, Attalaric membelai puncak kepala Shafa. Ia merasa lega karena putri yang menghilang sudah ditemukan.“Rumah Kamaru, Pak. Shafa nginep disana ternyata.”Miranti melepaskan pelukannya. Wanita itu memukul pundak putrinya tanpa tenaga. “Bok ya bilang, Shaf! Chat Ibu kan bisa! Ibu kira kamu dibawa lari sama pacarmu!” Gerutu Miranti.“Katanya ada yang mau Anya omongin, Bu. Nanti dia kesini habis mandi.”“Kenapa? Ada apa?” Kekhawatiran yang sempat sirna, kembali lagi dalam benak Miranti. Raut wajah anak pertamanya terlihat tak biasa. Tatapannya pun mengar
“Ha-Hai! Pagi Tante, Om.” Sapa Angel, menyengir sembari berda-dada. Ia mengunjungi rumah ibu mertua sahabatnya karena Surti mengatakan Anya sedang berada disana. Namun kedatangannya disambut dengan teriakan yang membuatnya shock, hingga tanpa sadar mulutnya pun melontarkan makian.“Maafin Angel, Angel nggak bermaksud buat ngatain Tante gila kok.”“Lo udah nyampe, Ngel? Bentar ya.. Ada sedikit problem yang harus diselesein dulu.” Ucap Anya lalu menyuruh Kamarudin untuk mengambilkan teh hangat yang telah mereka buat di dapur.“Take your time
“Mbak, Mas..”Shafa mendorong koper yang dirinya bawa ke depan kaki-kakinya. Untuk sementara waktu, gadis itu diusir dari rumah. Miranti— sang ibu, menyuruhnya mengungsi karena sedang tak ingin melihat wajahnya.“Dek, kamu?” tanya Flora, menggantung.“Buahahaha!” Gelak tawa menyembur dari mulut Alexiz. “Tereliminasi, Shaf?” lotarnya, menyindir Shafa.Anya pun terkoneksi dengan kejahilan Alexiz. Perempuan itu meminta Shafa menyanyikan lagu legend yang dulunya digunakan pada sebuah ajang pencarian bakat.“Rasain!” cibir Kamarudin lalu dilanjutkan oleh Kalingga, “makanya nurut apa kata orang tua, Dek!”Shafa cemberut. Ia merasa jika dirinya begitu malang sekarang. Ia mempunyai empat kakak, ditambah satu kerabat yang sangat dekat dengannya. Namun diantara kelimanya, tak ada satu pun orang yang memihak dirinya.Jahat sekali!Rasanya Shafa ingin kabur, tapi kemana?Shafa tak memiliki tempat tujuan. Kerabat-kerabatnya yang lain pasti segan pada keluarganya. Mereka mana mungkin mau menampung
Akhir pekan sudah berakhir, baik keluarga Anya, Flora, maupun Angel— ketiganya kembali pada keseharian mereka. Para lelaki akan pergi bekerja, kecuali Kalingga tentunya. Sampai detik ini, suami Flora itu belum menunjukkan tanda-tanda yang mengisyaratkan berakhirnya masa liburannya. Kalingga tampaknya terlena dengan keseharian barunya. Pria itu sangat menikmati banyaknya waktu yang telah dirinya habiskan bersama sang istri. Jika dirinya kembali bekerja, intensitas kebersamaan mereka akan berkurang. Kalingga belum siap jika harus melepaskan semua itu. Ia masih ingin bermanja-manja, melekat pada diri Flora selama 24 jam non-stop. Tak mengapa kalau dirinya sampai dijuluki pria yang tidak bertanggung jawab karena hal itu, Kalingga akan menerimanya dengan hati yang lapang. Seumur hidup Kalingga, ia tak pernah seegois ini. Jadi, untuk satu kali saja, izinkan dirinya melakukan apa yang hatinya inginkan. Namun hari ini, menjadi hari yang berbeda. Kalingga tak bisa bermanja karena Flora seda
“Mbak Sea, Mbak Surti gorengin lagi ya sosisnya?” “Dak au! Ceya au-na yang adi!” “Mbak gorengin yang banyak. Udahan nangisnya ya..” “DAK! MAMAAAA!!” Kamasea adalah anak yang keras kepala. Anak itu hampir 99% menuruni sikap dan sifat mamanya. Ketika menginginkan sesuatu, maka apa yang diinginkannya harus terpenuhi. Anak perempuan ke-2 Anya itu tak akan memberikan sesuatu tanpa melalui izinnya, dan omnya mengambil paksa makanan miliknya dan kakak-kakaknya. Sebab itulah Kamasea menangis sejadi-jadinya. Ia tak akan berhenti menangis meski Surti menggorengkan sosis lebih banyak dari sebelumnya. “Ribut-ribut apa sih ini?” Anya keluar dari kamarnya dengan muka bantalnya. Setelah Kamarudin berangkat bekerja, ia kembali menaiki ranjang, mengistirahatkan diri karena Kamarudin mengajaknya begadang semalaman. “Sea kenapa nangis?” tanya Anya. Ia menggendong tubuh putrinya, meletakkan anak itu
“Loh, Bapak pulang?”Attalaric berada di depan pintu utama, tepat ketika Miranti membukanya.Pria itu memindai penampilan sang istri.“Ibu mau kemana? Kok dandan cantik banget.”“Perasaan, Ibu yang tanya duluan loh, Pak.”“Oh, iya. Kan Bapak udah ada di depan Ibu, berarti Bapak emang pulang, Bu.”Miranti mencengkram tali tasnya.Satu manusia menyebalkan sudah diberantas, sekarang malah muncul pawangnya.“Ya, Pak!” balas Miranti dengan air mukanya yang datar.Attalaric pun mengulang pertanyaannya. Istrinya tak mengirimkan pesan pemberitahuan jika hendak keluar. Kalau tahu istrinya akan pergi, Attalaric tak menyempatkan diri untuk pulang ke rumah.“Mau ikut Anya makan siang bareng Kamaru.”“Nggak usah lah, Bu. Bapak pulang soalnya pengen makan sama Ibu.” Larang Attalaric.“Ih, gimana sih, Pak! Ibu udah siap begini, masa nggak jadi. Sia-sia dong Ibu make up-an!”“Diliat suami mana ada yang sia-sia, Bu..”“Pokoknya Ibu tetep mau ikut, titik! Ibu bosen liat muka Mas Lingga mulu.”“Ya udah,
“Sea sama Jesi liat Mama ya..”Anya menggosok telapak tangannya lalu mengaplikasikan lotion ke wajahnya.“Abis itu ditepuk pelan-pelan.”Wanita itu memperagakan cara menggunakan skin care kepada dua anak gadisnya.Kedua anak itu pun mengikuti instruksi yang Anya berikan. Mereka melakukannya sama persis. Menepuk pipi-pipi cabi, kening dan dagu mereka.“Babe, apa nggak masalah? Kalau mereka jerawatan, gimana?” tanya Kamarudin. Anak perempuan mereka masih terlalu dini untuk mengenal perawatan wajah. Anak tertuanya saja baru berusia 7 tahun.Kalau saja produk perawatan yang digunakan bukan milik sang istri, Kamarudin mungkin tak akan serisau sekarang.Anak-anak menerobos masuk ke kamar mereka bertepatan dengan Anya yang tengah memulai rutinitas skincare malamnya. Kamasea yang melihat Anya merawat diri pun latah, ingin ikut-ikutan memakai skincare mamanya.“Aman, Pah. Cuman lotion biar ngelembabin kulit aja kok. Pelembab aku bisa dipake semua umur.” Ujar Anya sembari membuka penutup lip b
Dua pria berbeda usia terlihat bersedekap dada. Keduanya saat ini tengah melakukan hal yang sama— menatap bergantian tiga wanita yang bangun dengan mata membengkak.“Papa, Ceya dak ca meyek..”“Jesi juga..”“Me too..” Seloroh Anya, menjadi pihak terakhir yang merengek pada Kamarudin.Semalam ketiganya menangis berjamaah selama beberapa jam. Tangis ketiganya sangat sulit dihentikan. Mereka terus aja menangis meski Kamarudin telah melakukan penghiburan.Tak banyak yang bisa Kamarudin lakukan.Mengingat air mata yang dikeluarkan merupakan bentuk rasa haru dan bahagia mereka, Kamarudin pun akhirnya membiarkan ketiganya meluapkan emosi agar merasakan kelegaan.Josephin mengurai lipatan tangannya. Ia merangkak untuk naik ke atas ranjang.“Tan Bwang dah iyang, cu-cup.. Ceya dak au uyut.” Ucap Josephin. Ia mengarahkan jari-jari kecilnya pada kelopak mata sang adik. “Bwang antuin meyek..”“Utyup agi, Bwang.” Kata Kamasea saat Josephin melepaskan tangannya. Kelopak mata yang dibuka kakaknya kem
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik