“Why?” Kamarudin membuka kancing teratas kemejanya. Ia menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi. Menatap Anya yang sepertinya begitu menantikan jawaban darinya. “Menurut kamu, kenapa?” tanyanya dengan sebuah seringaian.Pria itu bangkit meninggalkan kursi kerjanya. Berjalan mendekati Anya dengan tatap dan seringainya yang tetap bertahan.“Ya mana saya tahu!” balas Anya, berusaha sebisa mungkin untuk bersikap tenang. Ia tidak ingin terlihat gugup di depan Kamarudin. Tidak ketika dirinya tahu benar jika pria itu sedang ingin mempermainkannya.“Really, kamu tidak mengetahuinya?”Mengapa rasanya menjengkelkan ya? Sungguh Anya merasakan hal itu. Pria dihadapannya terlalu berbelit-belit hanya karena sebuah pertanyaan. Apa sulitnya memberikan jawaban, tanpa mengajak lawan bicaranya berputar-putar.“Udahlah!” Hela Anya. Kalau Kamarudin tak mau membuka mulutnya, dirinya juga tak ingin memaksa.Wasting time! Anya benci itu.“Karena kamu!”Awalnya Anya hendak menyerah, tapi mendengar dirinya di
Kamarudin menatap jam tangan yang melingkar pada lengannya. Sudah waktunya ia menjemput Anya. Menghentikan perdebatan yang nyatanya dapat Anya selesaikan sendiri.“Pak Putut, saya permisi. Terima kasih karena sudah memberikan tumpangan untuk menguping,” pamitnya tak lupa berterima kasih atas kebaikan rekan kerjanya.Pria itu menyambar peralatan yang dirinya gunakan mengajar. Berjalan tenang lalu masuk ke ruangannya tanpa sebuah ketukan.“Yang!”Alisnya kontan menukik. Jika tidak salah dengar, Anya baru saja memanggilnya dengan panggilan yang berbeda.“Hem.. Ada apa ini?” tanya-nya, pura-pura tidak tahu. Padahal sejak tadi dirinya mendengar perdebatan alot kedua wanita di depannya.‘Wah! Si Anjing! Nggak ada mesra-mesranya! Gue kan lagi mau manas-manasin fansnya,’ decak Anya, kesal dengan respon yang Kamarudin tunjukan.“Ah, Kamaru. Nggak ada apa-apa. Saya cuman lagi ngobrol aja sama Anya.”Munafuck!— ingin rasanya Anya menjeritkan makian itu. Benar-Benar wanita berwajah seribu topeng.
“Saya mau yang itu?”Kamarudin menangkap jari telunjuk Anya, “no! Acara lamaran, Anya. Itu jelas terlalu terbuka!” Ucapnya tidak suka. Pakaian yang Anya inginkan terbalut pada sebuah manekin. Potongan dadanya yang rendah mungkin akan terlihat bagus— tentunya jika mereka hanya berdua di dalam kamar tanpa mata-mata lain yang menyaksikannya.“Kolot banget Bapak Dosen yang satu ini,” cibir Anya tak dipedulikan Kamarudin.“Pilih yang normal-normal saja, nanti Ibu saya kena serangan jantung!”“Malah bagus dong. Lamarannya bisa ditunda..”Tak!Anya meringis. Selain menyebalkan, dosen kampretnya ternyata suka main tangan. Kepalanya yang suci, baru saja dijitak.“Saya mau lihat gaun yang pantas untuk dikenakan pada acara keluarga, yang simpel saja, dan tentunya sopan.” Pinta Kamarudin kepada shopkeeper. Selera wanita yang bekerja pada bidang busana itu tak perlu lagi Kamarudin ragukan. Ibunya bahkan mantan kekasihnya pernah dia tangani ketika berkunjung.“Akan saya pilihkan beberapa, Pak. Moho
“Din, Din! Lo nggak bisa milih cewek yang bagusan dikit apa? Masa modelan nenek sihir begitu, lo bucinin sih!”“Saya tidak menjadi budak cinta, Anya!”“Halah,” dengus Anya mengibas telapak di depan wajahnya sendiri, “nggak percaya gue, Din! Dia aja sejijik itu kelakuannya ke lo, pasti karena lo bucin bet dah, ke dia!” Kamarudin menanggapinya dengan memaparkan sebuah fakta, dimana dirinya memutuskan mengakhiri hubungan mereka kala Michelin berselingkuh. “Kalau saya bucin seperti kata kamu, saya akan tetap menjalin cinta bersama Michelin, menutup mata atas perselingkuhannya.”“Makesense sih!”Lagipula dulu Michelin tidak seperti sekarang ini. Perempuan itu hampir dijuluki sebagai anak rumahan. Lingkungan dari pekerjaannya, mengubah diri Michelin. Menjadikannya tampak berbeda, tak seperti Michelin yang dirinya sukai. Pergaulan sungguhlah kejam ketika seseorang tak dapat menjaga dirinya. “Saya bisa menerima apa saja, tapi tidak dengan perselingkuhan, Anya. Pastikan kamu tidak mengkhiana
Waktu itu akhirnya tiba. Sebuah lamaran yang mengikat keduanya dalam sebuah pertunangan. Anya kini menjadi wanita milik Kamarudin. Wanita yang secara resmi telah Kamarudin minta kepada kedua orang tuanya.Mahasiswa yang selama ini menjadi anak musuh terbesarnya di kelas, akan menjadi masa depan yang tidak hanya ia lihat pada sesi perkuliahan. Selamanya, Kamarudin dapat melihat Anya disekitarnya.“Boleh saya sematkan cincinnya?”“Silahkan.” Ujar Tanu Handoyo, selaku kepala keluarga pihak Anya. Ia mempersilahkan calon menantunya untuk mengikat putri semata wayangnya. Tidak ada alasan untuk dirinya bisa membatalkan atau menolak lamaran yang ada. Putrinya sudah terlanjur berbadan dua.‘Basa-basinya, basi banget,’ keluh Anya dalam hati. Untuk apa juga dosennya pakai bertanya segala. Cari muka sekali. Mentang-mentang ada di depan orang tua mereka.Kamarudin pun menyematkan cincin yang dirinya beli bersama ibunya pada jari manis, lentik milik tangan calon istrinya. Batu-batu cantik yang meli
“APA-APAAN KAMU?!”“Papa bentak Mama? Demi jalang ini, Pah?!”Bukan hal yang sulit bagi Soraya untuk membuat sebuah pertunjukan. Uang yang suaminya berikan begitu berlimpah-ruah. Ia bisa dengan leluasa menggunakan uang-uang itu untuk menyuap pihak apartemen agar membukakannya akses guna membawa para wartawan masuk. Apalagi posisinya diketahui sebagai istri sah Tanu Handoyo. Hanya perlu mengatakan jika dirinya sedang mencoba menangkap basah perselingkuhan suaminya. Jika mereka tak memberikan izin, Soraya mengancam akan membuat apartemen merugi karena telah menyembunyikan seorang pelakor tinggal di gedungnya.Dan, ya— disinilah dirinya sekarang. Menyerang Tanu dan Sasmita, dengan menghadirkan penggerak masa agar dirinya mendapatkan simpati semua orang. Karir dan kehidupan Sasmita akan hancur sebentar lagi jika berita perselingkuhan mereka disebarkan.Diam-Diam, meski memasang tampang sebagai wanita teraniaya, Soraya mengurai seringaian tipisnya. Ia tidak akan rela dimadu karena Tanu han
Anya mengernyit heran saat Angel mengeluarkan sebuah kacamata. Tak hanya Angel, Flora pun melakukan hal serupa. Andaikan saja mereka berada di bawah teriknya sinar matahari, mungkin Anya akan memakluminya. Masalahnya mereka sekarang ada di dalam ruangan tertutup.“Lo berdua ngapain sih?!”Anya tahu sekali jika kedua sahabatnya tidak waras sampai menuju ODGJ. Ia paham, tapi…Haruskah disaat ia ingin curhat mengenai masalah keluarganya semalam?!“Gue tampol yak lo berdua!” Geram Anya karena keduanya malah memasang gigir pagar mereka.“Silau Nyaya!” Cengir Angel.“to much shining, shimmering, splendid diamonds-nya, Nya,” timpal Flora menambahi alasan dibalik tindakan tidak jelas mereka.Flora menunjuk sesuatu yang melingkari jari manis sebelah kiri Anya. “Ituw..” Bibirnya monyong-monyong ke depan. “Cincin lamaran lo, Nya. Bikin jiwa pelakor gue meronta-ronta, hehehe..”Anya menepuk keningnya. Perasaan sahabatnya ini lahir dari keluarga kaya raya. Perhiasan mereka pun pasti dari brand ter
Josephin tidak sengaja berpapasan dengan sang mama ketika melewati ruang keluarga. Wanita yang tadinya tampak merenung, seketika berdiri menghentikan langkahnya.“Jo, Papa kamu, dia ikut pulang kan?”Sumpah demi Tuhan mereka yang kini berbeda— Josephin sangat membenci Soraya saat wanita itu menyebut Tanu Handoyo sebagai papanya. Seluruh dunia mengetahui, jika tak pernah ada darah Tanu yang mengalir didalam tubuhnya.“Mah, stop, please!” Mohon Josephin, setengah mengeram. Dengan cara apalagi dirinya bisa menyadarkan sang mama. Ibu yang melahirkannya sudah tersesat semakin jauh. Ia merasa tak mungkin dapat menarik wanita itu ke jalan yang seharusnya mereka tapaki.“Om Tanu bukan Papaku, Mah!”“Dia Papa kamu, Jo!” Soraya membalas, menaikkan satu oktaf nadanya. “Dia suami Mama, itu tandanya dia Papa kamu!” Perempuan itu tidak menerima penolakan putranya. Sejak hari dimana Tanu menikahinya, gelar ayah pada sosok mantan suaminya sudah dirinya alihkan kepada Tanu.“Jangan jadi anak durhaka d
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik