Pintu ruangan terbuka tanpa ketukan. Kamarudin dan Lukman sontak saja kelabakan.“Muka kalian kenapa? Kok kayak abis liat setan aja.”“Nggak ada apa-apa, Babe.” Kamarudin memberikan kode agar Lukman segera pergi. Pria itu harus segera kabur agar Anya tidak mencurigai mereka.“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”Cepat-Cepat Lukman angkat kaki. Mereka baru saja menyusun rencana. Jangan sampai ekspresi wajah mereka tertangkap, lalu istri atasannya melakukan interogasi. Mereka bahkan belum melancarkan aksi yang direncanakan.“Kenapa, Babe?”Kamarudin bangkit. Ia menyusul sang istri yang mendudukan diri di sofa.“Nope.. Aku cuman bosen di depan. Nggak ada yang bisa aku lakuin abisnya.”“Gimana kalau kamu pergi belanja aja?”“Nggak bisa dong. Kan masih jam kerja. Masa iya aku pergi belanja.”“Why not? Kamu kan bukan sekretaris biasa.”“Jangan istimewain aku!” ucap Anya. Ia sedang belajar untuk menjadi pekerja yang profesional. Padahal perilakunya jelas-jelas menunjukkan hal yang berkebalikan. Pere
Anya memainkan kuku jari-jarinya. Ia tidak bisa tenang— tidak setelah tahu sahabatnya akan melahirkan sendiri tanpa seorang suami.Ia sudah pernah melahirkan. Alangkah menyedihkannya sang sahabat harus melalui momen menyakitkan itu seorang diri. Seharusnya Alexiz ada disampingnya, memberi kekuatan seperti apa yang Kamarudin dulu lakukan kepadanya.“Din, nggak bisa lebih kenceng lagi?”“Udah batas maksimal, Babe. Jalanan padet, kalau lebih kenceng lagi, yang ada kita kena tilang.”Lama!Apakah Angel bisa menunggu kedatangannya?! Setidaknya jika tidak ada Alexiz, ia bisa menggantikan peran laki-laki itu. Berdiri disamping Angel sembari menggenggam tangan sang calon ibu muda.“Keep your mind calm.. Kamu better hubungin orang tua Angel. Minta mereka dateng ke rumah sakit. Anak itu pasti lupa ngabarin orang tuanya.”Anya memijat pelipisnya. Kepalanya berdenyut, n
“Anya gimana keadaan anak Tante?!”“Nggak seburuk saya, Tan,” balas Anya. Wajahnya sedatar nada suaranya.Sejak berhasil menguasai sedikit kewarasannya, Anya terus saja tegak. Mama Josephin dan Kamasea itu tidak mau mendudukkan dirinya barang sebentar. Ia sedang menunggu calon korbannya didorong keluar oleh para tenaga medis. Berlagak seperti seekor elang yang mengintai mangsanya.“Kamaru, istri kamu kenapa?!” tanya Mama Alexiz. Perempuan itu datang bersamaan dengan sang besan— yang tak lain merupakan ibu kandung si Sinting Angel.“Menantu, Tante.” Kamarudin pun menceritakan penyebab mengapa istrinya tampak menyeramkan. Hal tersebut kontan saja membuat kedua mama Angel tercengang.“Ya Ampun, Anya. Tante minta maaf ya. Kamu tolong jangan marah ke Angel.”Oh, tidak bisa! Ia akan tetap marah. Ia bahkan akan memukul Angel habis-habisan untuk meluapkan kekesalannya. Api amarahnya t
Rencananya awalnya usai meletakkan barang bawaan di hotel, Anya akan langsung berburu kuliner yang dirinya incar. Namun rencana tinggallah rencana. Setelah mesin pendingin ruangan dinyalakan, aroma ranjang tercium menahan langkah kaki Anya. Tubuh wanita itu ambruk di atas ranjang. Melekat erat seperti sengaja diolesi dengan perekat.“Papa..”“Yes, Cantik.”Kamarudin menutup layar laptopnya. Ia bangkit dan bergabung dengan si kembar yang memainkan mainan mereka di sebuah sofa panjang.“Mama apan anun-nya?”Kamarudin memindahkan Anya ke atas pangkuannya. “Mungkin sebentar lagi. Sea sabar ya. Mama hari ini kerjanya banyak banget. Terus kan belum istirahat karena mau ajak Sea sama Abang pergi jalan-jalan.”“Mama apek-an?” Josephin pun menimbrung.“Iya, Jo. Makanya langsung bobok pas sampe hotel.” Kamarudin menyentuh puncak kepala sang putra. Jo
Beruntunglah Kamarudin tidak menaruh ekspektasi tentang jalan-jalan dadakannya. Ia juga tak mempertanyakan cita rasa otentik yang istrinya maksud— mungkin semua itu dikarenakan dirinya yang terlalu mengenal Anya secara luar dan dalam.Sejujurnya, dibandingkan pergi untuk berburu rawon, yang mereka lakukan lebih cocok disebut sebagai shopping ke Mall di kota yang berbeda.Hari telah berganti dan yang Anya lakukan hanyalah mengelilingi Pakuwon. Tentu saja sembari menghamburkan uang bersama Little Anya. Keduanya akan menjadi sangat kompak saat menyalurkan hobby mereka.“Mah, bedanya kita beli rawon di Jakarta apa ya? Papa pernah makan juga waktu meeting. Rasanya nggak kalah enak kok.”Lukman sendiri sudah memberikan sederet list penjual rawon terkenal, bahkan ada yang dikatakan telah melegenda karena lamanya tempat itu berjualan. Namun, dari nama-nama tersebut, tidak ada satu pun yang istrinya pi
Kepala Kamarudin serasa ingin pecah. Anya serius. Wanita itu tidak menarik kata-katanya. Dia bahkan diam-diam menghubungi papa mertuanya. Entah kapan dan dimana, intinya ia kecolongan untuk yang satu itu.‘Kamarudin. Uang bukan masalah. Asalkan Anya senang, kamu tinggal lakuin aja, apa yang dia minta.’“Ya, Pah. Kamaru tahu.”Kamarudin memijat pelipisnya. Untuk keluarga istrinya, uang memang bukan masalah. Namun bagi dirinya? Ia merupakan karyawan. Dirinya hidup atas gaji yang diberikan oleh perusahaan milik keluarga sang istri.‘Lemes banget kamu. Ha-ha-haha..’Tawa kecil dari mulut Tanu membuat Kamarudin merotasikan bola mata.‘Ayolah.. Gaji yang Papa kasih nggak nyukupin?! Ajuin proposal kenaikan gaji dong. Pasti rekening kamu tinggal satu digit ya? Hahahaha!’“Bukan begitu, Pah. Sudah lebih dari cukup.”Kamarudin hanya tidak suka cara Anya hidup. Wanita itu selalu
“Bu..”Sinta menyambut kedatangan Anya dan rombongan dengan air mata. Perempuan yang berdiri disisi anak lelakinya itu menangis, membuat Anya menariknya ke dalam pelukan.“Kamu harus kuat demi anak kamu, Sin.” Ucap Kamarudin. Ia tahu Anya tak bisa berkata-kata. Perempuan itu diam, berbanding terbalik dengan kecerewetannya di mobil kala menuju kediaman orang tua Sinta.“Sudah, sudah! Air mata hanya akan memberatkan langkah almarhum. Kamu yang ditinggalkan tidak boleh merebut penerangan beliau dengan tangisan kamu.”“Ma-maaf, Pak.”“Din, ah! Biarin Sinta nangis,” amuk Anya. Sinta harus bisa meluapkan kesedihannya agar hatinya lega.“Kata-kata Bapak benar, Bu. Kasihan mendiang ayah saya.”“Kamu tuh,” kesal Anya tetap memprotes meski perkataan Kamarudin dibenarkan.Kamasea melangkahkan kaki ke depan. Gadis kecil kesayangan Kamarudin itu men
Tak terhitung banyaknya tempat yang mereka jadikan sebagai spot pemberhentian sesaat. Sebentar-sebentar Anya meminta berhenti. Entah itu dengan alasan mual atau ingin memakan sesuatu. Kesimpulannya, dibandingkan para anak-anak, Anya jauh lebih rewel dari mereka bertiga. Ibu muda itu akan merengek ketika keinginannya tidak dituruti. “Sekarang dimana ya?!” tanya Anya celingukan. Ia menatap luar jendela, tapi tak mengenali area dimana mobilnya melaju. Anya sempat tertidur beberapa saat, sebuah keajaiban karena tubuhnya yang terlalu lelah. Belum lagi kepalanya terus berdentum. “Semarang, Babe.. Why?” “Baru masuk apa udah keluar tol?” “Mau keluar tol tapi abis itu masuk lagi. Iya kan, Pak?” Kamarudin meminta konfirmasi sang supir. “Betul, Pak. Sebentar lagi akan memasuki tol Jatingaleh. Ibu mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya sang supir telah terbiasa dengan perilaku istri atasannya. “Hotel Pak, please. Saya nggak kuat. Punggung saya mau patah rasanya.” Sudahlah, Anya angkat
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik