“Sin, jangan lupa kata-kata saya!”
Kamarudin menatap istrinya. Entah apa yang wanita itu katakan. Melihat piasnya wajah Sinta, istrinya pasti merencanakan hal-hal di luar akal sehat.
“Mah, ayo! Keburu macet jalanan.”
“Iya, iya! Nggak sabaran banget sih, Pah. Orang tinggal pulang aja.”
Anya melipat ketiga jari-jari tangan, menyisakan kelingking dan ibu jarinya, lalu menempelkannya pada lubang telinga. Ia meminta Sinta untuk menghubunginya terkait rencana mereka.
“Mah, pintu liftnya mau nutup!”
“Ya Ampun, Papa!” decak Anya. Perempuan itu menghentakkan kakinya.
Kamarudin benar-benar menyebalkan. Tidakkah pria itu melihat ia sedikit memiliki urusan. Para pria sungguh tidak mengerti perasaan wanita.
“Kamu sama Ibu, ngobrolin apa Sin?” tanya Lukman. Ia juga penasaran dengan apa yang istri atasannya bahas dengan Sinta.
“Anu, Pak. Jangan bilan
“Jo..”Untuk sesaat, Josephin terdiam. Anak kecil itu menghirup napas dalam-dalam, membuat dadanya naik ke atas.“Acihin Mama?” tanyanya, mengambil apa yang papanya berikan.“Iya, Bang. Papa minta tolong ya..”Sudah dua kali Josephin menjadi perantara sang papa. Ia ditugaskan untuk mengantarkan sebuah benda kepada mamanya.“Mama tan dak au. Na-apa diakca?!”Papanya memberikan kartu yang sama dan mamanya terus menolak. Ia tidak tahu kenapa sang papa harus memaksa mamanya. Padahal jelas-jelas wanita itu tidak mau menerimanya.“Bilang aja boleh sepuasnya.”Sebenarnya, tanpa Josephin pun Anya dapat mendengar perkataan Kamarudin. Mereka berada di dalam satu ruangan. Sejauh apa pun jarak keduanya, tak ada tembok yang menghalangi suara Kamarudin untuk sampai pada gendang telinga Anya.“Jo apek yoh, Pah,” protes si sulung. Waktu bermain bersama adiknya jadi terganggu karena perang dingin kedua orang tuanya.“Please!” mohon Kamarudin dengan menangkupkan telapak tangan di depan dada. Josephin s
Tangis Anya kemarin hampir saja mengantarkan Kamarudin ke tempat peristirahatan terakhir para manusia di bumi.Tidak mudah menghadapi murka seorang Miranti Hasan, terlebih itu berkaitan dengan menantu kesayangannya. Si kembar benar-benar terancam menyandang gelar baru di usia balita-nya.Sebuah gelar paling menyedihkan untuk ditanggung para anak, yakni Anak Yatim.Gosh! Membayangkannya saja, Kamarudin mampu.Untunglah kemalangan tersebut dapat dihindari. Anya yang tidak ingin kehilangan uang tutup ngambeknya, maju, pasang badan untuk menjelaskan kondisi rumah tangga mereka yang telah membaik. Wanita itu juga mengatakan jika dirinya sudah membalas toyoran Kamarudin.“Alhamdulillah, saya masih bisa ngopi pagi ini.”Surti menahan tawanya. Perempuan yang sedang menyuapi Josephin itu menjadi salah satu saksi huru-hara semalam. Ia paham benar makna dibalik kata-kata majikan lelakinya.Anya tak menanggapi sindiran Kamaru
“Yuhuu!! Papaaa!!”“Ssstt!” Kamarudin menunjuk ranjang yang berada di dekat sofa ruang kerjanya. Ia memberitahu Anya tentang anak-anak mereka yang masih tertidur dengan gerakan tangan.“Ups, maaf.”Anya melangkah, mendekati Kamarudin. “Jam makan siang. Aku laper.” Ujarnya sembari membelai perut.“Mau makan apa? Biar dicariin Lukman.”Anya mengerucutkan bibirnya. Ia kan bosan. Ia ingin menghirup udara bebas. Jika Lukman yang mencari makanan, ia akan terkurung di ruangan suaminya. Tidak ada bedanya dengan dirinya duduk dibalik meja kerja Sinta.“Pengen keluar nyari..”“Kerjaan aku masih banyak, Babe. Liat..”Banyak berkas menumpuk di atas mejanya. Meski selama cuti semua pekerjaan dipegang oleh Lukman, ia tetap harus meninjaunya ulang. Semua itu ditujukan agar tidak terjadi masalah dikemudian hari.“Ya udah
“Buka mobilnya, Lukman!” Tahu istri atasannya sedang dalam emosi yang tinggi, dari kejauhan Lukman menekan tombol kunci mobilnya. Brak!! Ah— pintu mobilnya menjadi sasaran. Tidak apa-apa. Mobil itu merupakan hadiah atas kerja kerasnya, yang diberikan oleh si pelaku pembantingan. “Mbak Surti, cepet masuk. Di depan lagi saja. Jangan ganggu Ibu. Nanti kamu kena juga.” Surti bergegas naik, begitu pula dengan Lukman. “SINTING!” Makian itu mengalun sangat tinggi. Tak ada yang bergeming. Lukman maupun Surti, mereka semua diam. Membiarkan Anya meluapkan kemarahannya. ASPRI Kamarudin itu mulai menyalakan mobil, menjalankannya perlahan untuk keluar dari area restoran. “Manusia Purba mana itu cewek?! Dia kerja di Handoyo, tapi dia nggak tahu siapa saya?! Wah! Amazing banget!” Darah Anya mendidih. Ia benar-benar tidak habis pikir. Hampir setiap hari dirinya berkunjung ke perusahaan. Ia pun kerap berjalan keluar bersama Kamarudin, papa dan mamanya— lantas bagaimana bisa ada gosip tak masu
Rumah Anya seketika banjir hadiah. Beberapa petinggi mendatangi kediamannya, menyampaikan rasa bersalah mereka atas kelalaian pihak Human Resource. Mereka siap untuk diberhentikan asal dapat melindungi para anak buah yang tidak bersalah.Rasa tulus itu pun sampai ke hati Anya. Bukan dikarenakan sogokan yang diberikan kepadanya, melainkan karena kepedulian yang tak lain adalah bagian dari tanggung jawab orang-orang itu terhadap para bawahannya.“Sayang.” Kamarudin menganggukkan kepalanya. Ia percaya Anya akan memaafkan mereka. Toh semula berasal dari kesalahpahaman belaka.“Ya sudahlah! Nanti saya akan bicarakan ini ke Papa saya. Jangan sampai terulang lagi. Bagaimanapun, ini menyangkut citra perusahaan kita.”“Baik, Bu. Terima kasih atas kepercayaan yang Ibu kembali berikan kepada kami.” Ucap CHRO mewakili petinggi HRD yang lain.“Hanya kepada kalian, tidak untuk karyawan yang telah menghina saya.
“Mama.. Ceya anja anyak..”“Loh, Abang mana?” tanya Anya karena Josephin tidak terlihat dalam rombongan anak perempuannya.“Bwang? Bwang tan ma Papa.”“Sur, Jo nggak ada nyamperin kamu?”“Nggak, Mas,” jawab Surti. Seketika saja Anya dan Kamarudin dilanda panik. Pasalnya ini merupakan kali pertama Josephin hilang sendirian. Biasanya anak itu hilang karena adiknya.“Din! Cari-cari!” pekik Anya. “Kalian disini, jangan kemana-mana. Biar nggak kepisah-pisah lagi.”“Iya, Mbak Anya.”“Aku kesebelah mainan, Babe.”“Telepon aku kalau udah ketemu.”“Bwang iyang?”“Nggak, Mbak Sea.” Mbok Asih mencoba menenangkan. Kalau tahu kakaknya menghilang, Kamasea pasti akan menangis dan itu malah semakin memanaskan situasi yang ada.“Mbak Sea mau beli buah nggak?”“Eyuk Bok.”“Jeruk.. Yuk, kita cari yuk, jeruknya..” Tak perlu diragukan lagi seberapa hebat pengalaman Mbok Asih dalam mengasuh Anya. Perempuan itu dapat dengan mudah mengalihkan perhatian Kamasea.Sementara kedua majikannya mencari Josephin, M
“Kamu serius, Sayang? Opa kamu sebentar lagi nyampek. Dia pasti nggak masalah buat ngerombak perusahaan.” Anya mengangguk, “it’s okay, Pah. Anya udah ngerasa baik-baik aja.” “Yah, kalau itu mau kamu, Papa nggak akan lanjutin lagi. Tapi kamu harus yakinin Opa. Dia keliatan marah banget waktu Papa telepon.” “Anya..” “Opa..” Pria paruh baya yang sedang mereka bicarakan telah tiba. “Apa yang bisa orang-orang Opa lakuin, Sayang? Bilang ke Opa.” Handoyo berjalan pelan dengan tongkat digenggamannya. Dibelakang pria itu, para tangan kanan setianya mengekor. Mereka merupakan manusia yang rela mati demi melindungi keluarga besarnya. “Opa duduk dulu ya.. Aku udah nggak apa-apa kok. Tadi emosi sesaat aja.” “Kamu dimarahin suami kamu?” tuduh Handoyo sembari melirik Kamarudin yang langsung menegang ditempatnya. Ada perbedaan cara bertindak dalam menyelesaikan masalah, dan itu sudah Handoyo ketahui sejak lama. Selama apa pun suami cucunya bergabung, tak serta merta membuat laki-laki itu menjad
“Maaf ya, Jeng Lastri. Anak saya memang suka ada-ada aja. Tolong jangan dianggap serius bercandaannya.”Lastri tersenyum, “nggak apa-apa, Jeng Sasmita.” Perempuan itu bersiap pulang. Dirinya sudah tertahan dua jam lamanya, hingga ikut makan malam di rumah tetangga barunya.“Sudah jam sembilan lebih, saya pamit dulu, Jeng. Takut suami di rumah nyariin.”“Jo, sana!” Anya mendorong pelan tubuh Josephin. “Say goodbye ke Tasya, Jo.” Putranya harus terlihat gentleman dihadapan calon pacar dimasa depan.“Anya,” tegur Sasmita. Ia merasa tak enak hati. Di hari pertama tetangganya berkunjung, putrinya malah bertingkah konyol dengan menjodoh-jodohkan anak dibawah umur.“Ih! Kan Anya ngajarin sesuatu yang baik, Mah. Siapa tahu bisa jadi bestie-nya Jo sama Sea. Iya kan, Din?” kilah Anya lalu mencari dukungan Kamarudin.“I-ya,” jawab
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik