“Saya nggak tahu, Mas. Tadi masih baik-baik aja loh padahal.”
Brak!!
Kamarudin terlonjak saat pintu ruang kejarnya dibuka secara kasar.
“Babe,” panggilnya, penuh perasaan.
“Ikutin dong! Aku kan lagi emosi! Kamu kok nggak ada khawatir-khawatirnya sih, Din! Kalau aku lompat dari rooftop gimana?”
“Astaga, Babe. Ngomong apa kamu!”
Kamarudin semakin dibuat kebingungan. Sebenarnya apa yang membuat istrinya semarah ini. Jika karena ngidam, Anya pasti akan mengatakan kepadanya secara gamblang.
“Kejar!!” Anya membanting pintu.
“Ya Tuhan! Apa sudah dimulai masa ngidamnya istri saya?” Monolog Kamarudin lalu mengikuti perginya sang istri. Tak lupa Kamarudin meninggalkan pesan agar Surti menjaga anak-anaknya.
Pasangan muda itu sama-sama terjebak oleh prasangka mereka. Keduanya memikirkan hal yang sama, tapi tak terkomunikasikan dengan baik. Kama
“Sea, sstt!” Anya berdesis dengan jari telunjuk yang dirinya letakkan didepan bibirnya. Wanita itu meminta sang putri agar tidak mengganggu tidur papanya. Setelah sampai di rumah, Kamarudin meminta waktu untuk beristirahat. Laki-laki itu terlelap, tak berselang lama usai tubuhnya mendarat pada empuknya ranjang. “Papa biar bobok. Kasihan Papa, lagi sakit,” ucap ibu dua anak itu lalu mengangkat tubuh sang putri dari atas ranjang. Anya meletakkan Kamasea disamping Josephin. “Listen! Sampe nanti sore, kalian mainnya sama Mama dulu ya..” “Dak au ah!” beo Kamasea. Tatapannya tertuju pada sang papa. “Ceya au again Papa ja.” Betapa trenyuhnya hati Anya mendengar Kamasea ingin menjaga Kamarudin. Anak itu pasti sedih melihat kondisi papanya yang lemah. Laki-laki yang biasanya kuat menjaga dirinya dan sang kakak, kini tergeletak tak berdaya dengan matanya yang terpejam. Kamarudin benar-benar tepar karena tak mampu mengkonsumsi apa pun ke dalam lambungnya. Sungguh malang, tapi Anya juga ta
“Napa utan Ceya ang dieyuk, Papa!” Kamasea menjerit, memprotes sang papa karena bukan dirinya yang papanya peluk. Gadis cilik Kamarudin itu menangis kencang, membuat Josephin ikut terbangun dari tidurnya. Kakak Kamasea itu berdiam di atas ranjang, melihat punggung sang adik yang naik-turun membelakangi dirinya. “Huwaa! Dak yeh yuk Mama! Ceya ja, Papa!” Air mata Anya berhenti mengalir. Adegan termehek-meheknya harus berakhir oleh sabotase si bintang cilik. Tak bisa dipungkiri jika Kamasea lebih jago memerankan tokoh protagonis yang teraniaya dibandingkan dirinya. Para ibu tiri jika anak sambungnya Kamasea, mereka pasti akan habis dibakar warga. Bagaimana tidak, anak itu pandai menjadikan dirinya korban. Padahal tidak diapa-apakan. “Stop! Diem! Jangan nangis lagi. Kan udah Mama lepas!” tutur Anya sembari menurunkan kedua tangannya. “Kuat nggak Pah gendong Sea?! Kalau nggak, Mama bantuin.” Kamarudin menyanggupi. Putrinya belum tentu mau digendong oleh sang istri. Daripada menambah
Satu hari, dua hari, bahkan sampai satu minggu— Kondisi Kamarudin tak kunjung membaik. Pria itu kehilangan berat badannya karena porsi makannya yang berkurang drastis. Meski dokter sudah meresepkan obat mual untuk Kamarudin, nyatanya obat tersebut tidak banyak membantu.Alhasil, Kamarudin sempat dilarikan ke rumah sakit meski hanya setengah hari. Papa si kembar itu meminta pulang setengah menghabiskan setengah kantung cairan infus.Sejak hari dimana Kamarudin pulang bersama Anya, pria itu mendapatkan cuti terhormat. Sampai keadaannya memungkinkan untuk bekerja, seluruh pekerjaan akan ditangani oleh papa Anya dan Wakil Direktur yang merupakan anggota keluarga Handoyo. Hak istimewa tersebut diberikan agar Anya tidak kerepotan, mengingat kedua cucu Tanu tidak dapat berjauhan dari sang papa.Tak hanya sampai disan
“Abang, mau beli ini nggak?”Anya menggeser layar gadgetnya, “bagus ya mobilnya. Bisa jalan loh. Abang punya-nya yang pake remot kan? Gimana kalau kita beli ini?”“Hayus?”Ya Tuhan! Demi papanya yang memang sangatlah pintar hingga bisa menjadi seorang dosen, Josephin mengapa mengkhawatirkan sekali.Anya dan Kamarudin sengaja menempatkan keduanya di ruangan yang terpisah, berdalih jika mereka sedang mengadakan sebuah permainan. Permainan tersebut bernama, ‘siapa yang bisa menunggu papa mama datang,’ yang sejatinya merupakan taktik belaka.Perbedaan jawaban terlihat jelas antara Kamasea dan Josephin. Putrinya berseru mau dengan sangat lantang, sedangkan respon tak terduga justru muncul dari bibir seorang anak piyik yang hari kelahirannya, jatuh pada tanggal serta tahun yang sama.“Nggak harus sih, tapi emangnya Abang nggak pengen?”“Tan Papa yak obiyl ang enelan.”‘Anak gue pinter banget deh ah,” sedetik kemudian Anya berubah pikiran. Perempuan itu mengumpat keras dalam hatinya. Bukan s
“Ingus aku, Pah” “Ceya uga, Papa.” “Sabar, satu-satu ya..” Ujar Kamarudin. Pria itu dengan telaten membersihkan cairan hidung anak dan istrinya. “Sekarang jelasin ke Ibu, kenapa kok pada nangis begini?” tanya Miranti. Dari menantu dan keduanya cucunya, Josephin-lah yang pertama kali bisa dirinya tenangkan. Anak itu berkata jika dirinya menangis atas suruhan sang papa. “Nggak ada apa-apa, Bu. Mantu Ibu cuman lagi kebanyakan pikiran aneh,” lalu mengalirlah serangkaian pikiran negatif Anya pada putra mereka. Miranti pun berdecak. Yah, ia paham. Menantunya masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Jadi wajar jika perempuan itu berpikir yang macam-macam. Kalau saja kesehatan mental populer di zaman dulu, ia mungkin akan seperti Anya. “Mantunya Ibu yang paling cantik…” “Antik ana ma Ceya, Enek?” potong Kamasea. Sepertinya gadis cilik itu terobsesi untuk menjadi yang tercantik. Kamasea selalu memotong kalimat yang mengandung kata cantik di dalamnya. “Cantik semuanya.. Sea cucu Nen
Melihatnya terlebih dulu— begitulah perintah Anya selanjutnya. Tanpa dilihat pun, Kamarudin tahu nasi goreng tersebut belum buka. Pedagangnya saja mungkin masih berleha-leha setelah seharian mempersiapkan dagangannya. Tak ingin membuat sang istri bersedih, terlebih dalam keadaan saat hamil, Kamarudin pun menurutinya. Sebelum itu Kamarudin menyarankan untuk mereka membeli aneka camilan. Tenaganya hampir menemui limit dan untuk pertama kalinya ia maka tanpa diminta Anya setelah menderita gejala morning sickness. “Kamu beneran cuman mau makan nasi goreng yang itu, Babe?” “Yaps! Ekspresiku kurang meyakinkan ya?” Ekspresi seperti apa pun, tidak akan pernah menyakinkan Kamarudin. Ketika hamil Anya akan menginginkan sesuatu seperti wanita itu benar-benar menginginkannya. Namun situasi tersebut bisa berubah secepat seseorang membalikkan telapak tangan. Keinginan ibu hamil tidak akan mudah dipahami. Untuk itulah para
“Sea, jangan gitu dong. Mama pengen sayang-sayangan sama Papa,” rengek Anya. Ia kan ingin mengucapkan terima kasih dari lubuk hatinya yang terdalam. Karena dirinya, Kamarudin secara khusus meminta penjual nasi goreng untuk buka sebelum jam jualannya. “Tan dah, Mama. Antian Ceya ong,” balas Kamasea yang tidak mau mengalah. “Ih, ini anak! Nggak bisa banget liat Mamanya seneng deh! Sebentar aja, biarin Papa cuman punya Mama!” “Dak ca!” tegas Kamasea. Kamarudin terkekeh. Ia merangkul keduanya, “bareng-bareng aja.” Ucap Kamarudin, menghentikan perseteruan antar wanita-wanita tercantiknya. “Semua disayang Papa. Abang Jo sini!” Kamarudin melambaikan tangannya, meminta Josephin agar bergabung bersama ketiganya. Josephin pun meletakkan crayon ditangannya. Ia bangkit lalu berjalan pelan menuju papa, mama dan adiknya. “Ceeyah ana?!” tanyanya, menanyakannya harus di sebelah mana dirinya duduk. “Mana aja
Lukman berjalan keluar dari lift. Laki-laki itu berhenti di depan meja kerja Sinta. Napasnya berhembus pendek, menatap Sinta yang juga tengah menatapnya.“Hah,” desah Lukman, mengusap wajahnya kasar. Ia tidak bisa berbuat apa pun karena atasannya sudah menyetujui pengunduran diri Sinta. Kini yang dapat dirinya lakukan hanyalah mengasihani nasibnya.“Ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu.”“Ke ruangan saya ya, Sin. Bawa berkas pengunduran diri kamu. Biar saya proses ke bagian personalia.”Sinta bangkit, “Pak Lukman beneran?” tanya-nya sampai menggebrak meja. Ia tidak percaya jika pengunduran dirinya akan secepat ini diproses. Ia bahkan belum menghadap atasannya secara langsung.“Bapak sudah ACC. Nanti setelah makan siang beliau ke kantor. Kamu ke ruangan saya aja dulu, sekalian bawa laptop kamu. Ada beberapa urusan kantor yang harus kamu selesaikan.”“Baik, Pak.&rdquo
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik