Pov AuthorAndini menangis melewati malam perkenalan dengan Edo. Gadis yang sudah tak gadis lagi itu, terisak sesegukan sambil memunggungi suaminya. Selimut tebal ia tarik hingga menutupi seluruh tubuh hingga kepala. Devano menjadi merasa sangat bersalah. Dia tak bisa menahan diri untuk bereksperimen kembali dengan Edo. Hingga melukai Andini. Namun di sisi lain, ia merasa senang tak terkira, karena memang bersama Andini'lah keperkasaannya bisa kembali aktif. Setelah belasan tahun mati suri."Sayang, maaf ya," bisik Devano sambil menyentuh pelan kain selimut yang menutupi seluruh tubuh istrinya.Tak ada sahutan. Hanya isakan dan suara air hidung yang ditarik berkali-kali, yang sampai ke telinganya. Mungkinkah Andini benar-benar marah padanya? "Apa yang harus kulakukan?" gumam Devano sembari menggigit bibirnya."Saya rela kamu hukum apa saja, asal jangan nangis," katanya lagi sambil terus membujuk sang istri. Selimut yang menutupi seluruh tubuh Andini akhirnya terbuka hingga memperliha
POV AuthorDua satu plusAndini dan juga Devano sudah berada di depan rumah keluarga Andini. Mereka sengaja tiba lebih awal, agar bisa bertemu dengan seluruh anggota keluarga. Andini mencoba membuka pagar, tetapi tidak bisa karena masih terkunci. Itu pertanda subuh tadi, papanya tidak berangkat salat Subuh di masjid."Assalamualaikum, Andrea, Aleta!" teriak Andini. Devano meletakkan telunjuk di bibirnya, maksud hati memberitahu Andini agar tidak terlalu histeris memanggil orang di dalam rumahnya."Kalau suara saya pelan, tidak ada yang buka pintu. Jadi, harus keras manggilnya, Pak," ujar Andini sudah bersiap dengan menarik napas kembali, hendak berteriak kembali."Aleta! Andrea! Buka woy!" Andini berteriak lebih keras. Namun yang keluar bukanlah anggota keluarganya, tetapi para tetangga yang keluar dari rumah mereka. Andini dan Devano langsung menjadi pusat perhatian. Lelaki itu menempelkan kedua telapak tangannya, lalu diletakkan di dada. Tubuhnya juga sedikit membungkuk, tanda permo
"Pokoknya saya gak mau, kalau sampai teman-teman di kampus tahu, jika kita sudah menikah," tukasku saat tengah memasang tali sepatu sneaker. Pak Dev mengangguk, sambil mengunci pintu rumah."Memangnya kenapa gak boleh tahu?" tanyanya kemudian. Aku memutar bola mata malas, lalu menoleh pada suamiku yang nampak serius menunggu jawaban. Lelaki setengah baya itu duduk di sebrangku, sambil terus menatap ke arahku. "Gak boleh, selagi belum menikah secara negara. Ada tentara yang menembakkan senjatanya ke langit saat kita berjalan memasuki ruang akad. Ada juga pasukan yang mengiringi kita di belakang, dengan seragam serba putih," ujarku dengan antusias. Ah ... Benar-benar pernikahan impianku selama ini."Mm ... Itu kalau nikah sama tentara atau polisi, baru ada pasukan serba putih yang mengiringi. Karena nikahnya sama saya, pasukan serba putihnya bukan tentara, melainkan pocong. Ha ha ha ...." jawaban Pak Dev membuatku sangat kesal. Aku bangun dari duduk, lalu berjalan lebih dahulu keluar d
POV AuthorAndini tersentak saat mendengar ucapannya sendiri. Wajahnya mendadak membeku dengan sorot mata begitu ketakutan. Devano meti-matian menahan tawa. Lelaki itu baru sadar, saat Andini mengacamnya dengan kalimat sakti. Tanpa ia jawab pun, Andini pasti tahu jawabannya. Tidak mungkin ia tidur di luar kamar, tanpa memeluk istrinya. Hal konyol yang sangat romantis menurut lelaki itu adalah bisa bebas memeluk sang istri sedari malam hingga menjelang pagi.“Lu bilang apa barusan, Din?” tanya Tuti dengan wajah penasaran. Andini mengibaskan tangan, sebagai tanda bahwa temannya itu harus menbagaikan ucapannya barusan. Andini berjalan acuh menuju meja, masih dengan penampilan sarung yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Mulai dari kepala hingga betis. “Saya kirain mahasiswa aneh, ternyata lebih dari aneh. Ya sudah, biarkan saja Andini seperti itu. kita mulai kuis hari ini,” seru Devano pada seluruh penghuni kelas.“Pak Dev, baru juga balik dari cuti, udah kasih kuis aja,” celetuk
"Kamu belum tidur?" Andini terlonjak kaget, lalu dengan wajah kaku menyembunyikan ponselnya ke bawah bantal. Devano meraih lampu tidur, kemudian menyalakannya. Sudah tiga malam istrinya selalu tidur larut malam. Pria itu mengusap kedua matanya karena pandangan masih samar, untuk memastikan sekarang pukul berapa."Ini mau tidur," jawab Andini berbohong. Devano duduk bersandar pada punggung ranjang, lalu menarik istrinya ke dalam dekapan."Ini sudah pukul dua dinihari. Kenapa baru mau tidur jam segini?" tanya Devano dengan suara dibuat selembut mungkin."Nonton Drakor, Pak," jawab Andini kembali berbohong. Tangannya membeku di atas dada Devano. Tidak biasanya seperti ini. Jikalau istrinya ini belum benar-benar bisa menerima kondisi mereka sekarang, namun suara dan gestur tubuhnya tidak sekaku ini. "Mm ... Begitu ya?" Devano memasukkan tangannya ke dalam piyama tidur Andini. Gadis itu refleks menahan tangan Devano, membuat pria itu kebingungan. Aneh sekali, tidak pernah Andini menolakny
POV Author"Sudah sejak kapan?" tanya Devano dengan suara dingin. Tangannya dilipat di dada, dengan tatapan lurus pada Andini yang masih diam mematung di depannya."Sejak kapan, Sayang?" lelaki itu berusaha menekan suaranya. Emosi dan harga diri sebagai suami sedang ia kesampingkan. Andini tidak seperti gadis lain yang bisa dikasari, atau dicecar dengan emosi. Masalah dengan pemahaman dan telinganya juga salah satu sebab, Devano harus bersabar pada istrinya dan meminta penjelasan tanpa urat leher."Apanya?" tanya Andini masih dengan kepala menunduk."Rajin WA dan antar jemput dengan Abu. Sudah sejak kapan? Apa sebelum kamu pergi, sudah dekat seperti itu?" tanya Devano dengan suara begitu lembut dan hati-hati. Jika tadi tangannya ada di dada, kali ini Devano meletakkan kedua tangannya di atas meja makan. "Belum lama. Setelah jadi istri Pak Dev," jawab Andini lesu. Gadis itu masih sibuk memainkan ujung baju tidurnya, sambil sesekali menguap. Ini sudah pukul dua dini hari dan dia masih
“Bagaimana kalau kamu membuatkan saya teh terlebih dahulu?” bisik Devano sembari menarik ujung rambut ikal istrinya, lalu menciuminya dengan begitu lembut.“Makan di restorannya kapan?” tanya Andini lagi dengan wajah sedikit kesal. “Setelah saya menghabiskan segelas teh buatan istri tercinta,” balas Devano lembut. Dengan malas, Andini turun dari ranjang secara perlahan dan langsung menuju kamar mandi. Pinggang yang berlenggak-lenggok tanpa busana menuju arah kamar mandi, membuat Devano menggelengkan kepala sambil mengulum senyum. Jauh di dalam hatinya, apapun akan dia perbuat untuk mempertahankan pernikahannya, dengan caranya.Setelah menghabiskan teh buatan Andini, Devano pun menepati janjinya untuk membawa sang istri makan malam di restoran. Walau sudah pukul delapan malam, tetapi tidak menghalangi semangat Andini untuk menikmati malam sabtu bersama suaminya.Bukan restoran mewah yang bertabur lilin aroma terapi yang begitu romantic, tetapi Devano memilih warung pecal lele pinggir
"Mau ke mana, Pak?" tanya Andini heran, saat Devano menarik tangannya. "Kita ke dokter kandungan. Kamu telat datang bulan udah sepekan, Benarkan? Bukan telat yang lain?" tanya Devano sembari mengurus pendaftaran untuk ke poli kandungan. Andini tersenyum di balik punggung suaminya. Dia tidak mau menjawab, takut salah. Lebih baik, biarkan dokter yang memeriksa keadaannya yang sebenarnya. "Masih nomor lima belas. Tandanya kamu masih sempat makan dulu. Yuk, kita ke kantin," ajak Devano, sambil menarik tangan Andini kembali untuk berjalan ke arah kantin.Andini memperhatikan gerakan suaminya yang cukup canggung. Pria dewasa itu memesan aneka makanan dan minuman untuknya. Duduknya saja tidak tenang dan berkali-kali meremas jari. "Kenapa pesan makanan banyak sekali?" tanya Andini seraya menikmati jus jambu biji yang baru saja diletakkan pelayan kantin di mejanya. Matanya melebar dengan memperhatikan satu per satu makanan yang ada di meja. Ada juga soto Betawi, ayam bakar, sayur karedok,
Seorang Devano ternyata menunaikan janjinya untuk memberikan pesta pernikahan terbaik untuk Andini. Berlangsung di sebuah ballroom hotel mewah, pesta meriah itu diadakan. Semua setting tempat dan acara, diserahkan Devano pada salah satu teman yang dia percaya, yaitu Emir dan Aminarsih. Dua orang itulah yang membantunya mewujudkan mimpi Andini yang menginginkan pesta pernikahan seperti Tuan Putri di Negeri Dongeng.Pakaian pengantin super mewah dengan pernah pernik mengkilap menempel pada kain tile renda premium yang dibuat oleh perancang kenamaan. Semua disesuaikan dengan perut Andini yang semakin membesar di usia kehamilan menginjak delapan bulan. Tidak ada akad sebelumnya, karena memang mereka sudah menikah secara agama. Pesta langsung semarak dengan mengundang para tamu yang juga berkelas. Jangan lupakan Devano dahulu siapa? Semua relasi bisnis dia hubungi. Bukan karena ingin mengambil keuntungan dari pestanya, tetapi lebih karena semua relasi yang ia undang mengetahui bahwa dia s
Andini duduk di samping Devano. Kondisi suaminya sudah jauh lebih baik. Walau masih belum membuka mata, tetapi sudah ada pergerakan dari anggota jari tangan. Sesekali pria itu juga bergumam dan mengigau tidak jelas. Andini meminta ijin pada dokter untuk mendampingi suaminya. Anton dan Parmi juga membantu meyakinkan dokter, bahwa Devano pasti bisa sadar, dengan kehadiran sang istri di sampingnya.Andini menggenggam jemari suaminya yang sedari tadi bergerak, tetapi hanya sebatas itu saja. Air matanya sudah beranak sungai, berharap ada keajaiban untuk suaminya membuka mata. Pelan tangannya mengusap lengan palsu Devano. Dipijatnya lembut dari atas ke bawah. Lalu bergantian dengan tangan kanannya. Andini dengan sabar mendampingi suaminya, sambil membisikkan kalimat penyemangat."Pa, mau pegang anaknya tidak? Ini, Dedek di perut main akrobat terus. Keren loh, tendangannya. Seperti Bang Bokir. Tahu Bang Bokir'kan? Artis China yang jago silat itu loh." Andini terus saja mengajak Devano berbi
POV AndiniAku tidak tahu harus berkata apa, ketika tahu kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan bersama dengan wanita yang bernama Ayu. Ketika kutanya Tuti dan teman-teman di kampus, mereka mengatakan suamiku marah pada wanita itu dan memaksanya masuk ke dalam mobil dengan kasar. Jelas sekali suamiku marah dengan kelakuannya. Apakah sebenarnya memang suamiku tidak bersalah? Aku terlalu egois yang tidak mau mendengar penjelasannya. Sekian lama aku mendiamkan dan mengabaikannya. Tidak mengurus pakaian juga makannya. Dia terbaring begitu lemah dengan berbagai alat menempel di tubuhnya. Wajahnya brewokan dan lusuh. Aku pingsan sebanyak dua kali begitu mendengar suamiku kecelakaan dan koma di rumah sakit. Keadaanku yang juga tidak sehat, membuat tubuhku semakin lemah, tetapi aku tidak mau kalah, aku harus menemani suamiku, ayah anakku. Dia di sana karena aku."Hiks ...." mau menghabiskan tisu berapa banyak lagi, aku pun tidak tahu. Air mata ini masih terus mengalir dengan derasnya."Su
POV AuthorSuasana hati Andini sejak pagi, sudah tidak nyaman. Bayi di dalam perutnya pun sepertinya ikut merasakan hal yang sama. Entah ada apa? Yang jelas seharian ini Andini uring-uringan di kamar. Nasi pun tidak mampu dia telan seperti biasanya. Mual muntah yang seharusnya terjadi di trisemester kehamilan, malah didapatinya menjelang kehamilan lima bulan. Tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. Susu hamil dengan rasa vanila pun ia muntahkan. Tidak ada yang masuk dengan benar ke dalam perutnya sejak tiga hari ini.Parmi menghela napas panjang, saat mengoleskan minyak kayu putih di perut, tengkuk, leher, dan juga punggung Andini. Dengan pijatan amat lembut, dia mencoba membuat Andini nyaman, serta tidak mual muntah lagi."Masih mual?" tanya Parmi pada putrinya."Masih, Bu. Gak enak banget rasanya," keluh Andini dengan mata berkaca-kaca. Parmi terus saja memijat lembut tengkuk Andini, hingga pundak. "Mungkin bayi kamu rindu dengan ayahnya," bisik Parmi dengan senyuman hangat. Andini men
POV DevanoAndini masih marah padaku. Dia menutup mulut sepanjang hari, tidak menanyakan apapun, bahkan ketika aku dan papa pulang dari menguburkan salah satu bayi kembar kami. Ya, usia janin itu ternyata lebih dari empat bulan dan sudah nampak berwujud juga sudah ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Aku dan papa memakamkannya layaknya manusia yang wafat pada umumnya.Untunglah ada papa mendampingiku, sehingga aku yang tidak terlalu paham urusan seperti ini, menjadi paham dan mengikuti sesuai dengan arahannya. Jangan bilang hati ini tidak patah. Jangan bilang hati ini tidak terluka. Kehilangan salah satu dari bayi kembar yang dikandung Andini tentu saja membuatku sangat syok. Apalagi aku yang sama sekali tidak pernah mengalami mendampingi istri saat hamil sampai melahirkan.Apakah ini bagian dari penebus dosaku di masa lalu? Tak banyak yang bisa kulakukan saat ini. Bersujud memohon pada Sang Pencipta agar mengampuni dosa-dosaku terdahulu. Saat Amira ada di dalam kandungan ibunya, aku mal
Selama empat bulan hamil, sama sekali tidak pernah kurasakan mual, muntah, atau ngidam yang terlalu berlebihan. Hanya saja, setiap harinya wajib ada jambu air di atas meja makan. Demi menuruti keinginan bayi kami, suamiku rela membeli pohon jambu air cangkokan. Menanamnya di pekarangan rumah dan merawatnya setiap hari. Ada dua jenis pohon jambu air yang dia beli. Pertama yang berbuah hijau pucat dan satu lagi berbuah merah dan berukuran besar. Sengaja suamiku membeli yang sudah berbuah, agar kami tidak susah minta ke tetangga saat ingin mencicipinya. Pagi ini, Pak Dev sudah berangkat lebih dahulu ke kampus, sedangkan aku berangkat siang, karena jam kuliah pertama dimulai pukul sepuluh. Bibik memasak di dapur, sesuai dengan menu yang aku pesan. Sayur asem, ikan asin balado, dan goreng bakwan. Aku berencana makan terlebih dahulu, baru berangkat ke kampus."Non, sayurnya udah mateng," seru Bibik dari balik pintu. Aku meletakkan ponsel di atas nakas, lalu segera turun dari ranjang untu
POV AndiniJika kamu berulang kali gagal dalam sebuah usaha atau kesempatan, yakinlah ada kesempatan dan peluang lain yang tengah menunggumu. Banyak orang bilang, kegagalan hanya sebuah keberhasilan yang tertunda. Jika gagal hari ini, bisa saja besok kamu berhasil.Jika besok masih gagal, maka akan ada lusa yang memiliki banyak kesempatan. Baik untuk urusan rejeki ataupun jodoh. Bisa saja gagal dengan Hendri, James, Adam, Noah, Haikal, Jono, Pardi, Tama, Juna, Faikar, dan aku tak sanggup mengingat lagi, nama lelaki yang sekian banyak sudah menjalin hubungan denganku.Mereka tidak cukup baik untukku, sejak dahulu. Mereka hanya memanfaatkan kepolosan otak dan juga kebaikan hati ini, untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Berbeda dengan lelaki yang tengah memanjat pohon jambu air tetangga pagi ini. Siapa lagi kalau bukan Devano Wijaya. Lelaki tua renta, (dosaa wooy ... he he ...) yang telah menjadi suamiku karena keterpaksaan.Hanya menggunakan sarung dan kaus dalam saja, dia rela m
POV DevanoMata ini masih basah menatap layar monitor USG. Mereka benar-benar ada di dalam perut istriku. Dua janin yang insyaAllah akan tumbuh sehat dalam rahim ibunya. Aku tak sanggup mengatakan apapun, semua ini terlalu luar biasa untuk lelaki penuh dosa sepertiku. Tidak, sebaik-baik rejeki adalah yang saat ini Tuhan berikan untuk ummatnya. Jadi, aku pasti seorang lelaki pilihan, yang tepat untuk diberi tanggung jawab seorang istri istimewa dan juga anak-anak yang luar biasa. Tuhan benar-benar Maha Baik dan Sempurna. Tidak ada nikmat terindah dalam hidupku, selain memiliki anak dari wanita yang aku cintai dengan sepenuh hati.Andini mengusap tangan palsuku. Dia pun sama terisaknya denganku. Kebahagiaan yang tidak terduga begitu cepat Tuhan berikan pada kami."Papa jangan nangis terus, nanti saya sedih. Nanti kalau bayi kita ikut sedih, terus mukanya memble bagaimana?" kelakar itu membuatku tertawa di sela isakan."Amit-amit. Saya hanya terlalu bahagia akan menjadi seorang ayah da
Andini merangkul erat lengan Devano dengan gemetar. Gadis itu sama sekali tidak mau mengangkat wajahnya, karena ada Adam yang kini duduk persis di depannya dengan wajah marah dan nampak tidak terima. Dia menyembunyikan sebagian wajah di balik punggung Devano. Keadaan yang seharusnya hangat, menjadi kaku dan menegangkan. Aminarsih tidak paham dengan yang terjadi, wanita setengah baya itu dan suaminya memandangi tamu dan juga anak angkat mereka secara bergantian.“Pak, pulang yuk!” bisik Andini takut-takut. Devano menoleh ke samping, lalu mengusap lembut tangan istrinya. “Kenapa? Baru juga sampai. Gak usah takut sama Adam. Kamu dan Adam sudah tidak punya hubungan lagi’kan?” ujar Devano dengan suara cukup jelas untuk di dengar oleh semua orang yang ada dalam ruang tamu.“Adam, sekarang Andini sudah menjadi istri saya dan insyAllah sedang mengandung. Jadi ….” “Apa?” semua orang di sana, termasuk Aminarsih membelalakkan mata tidak percaya dengan pengakuan Devano.“Wah, hebat sekali.