"Duduk, Bu. Emosi tidak akan menyelesaikan masalah. Iwas sudah dewasa. Demikian juga dengan Vira. Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri."Merasa situasi mulai tidak kondusif, Pak Ilham turun tangan. Sedari tadi ia mengamati reaksi setiap orang tatkala Iwas bercerita. Dari bahasa tubuh masing-masing Pak Ilham menyimpulkan sesuatu. Namun ia tidak mau gegabah sembarang menuduh."Ibu harus mencegah Iwas membuat pilihan yang salah, Pak! Coba bayangkan kalau Nabila yang mengalami cobaan seperti Vira?" Bu Arini bersikukuh memegangi lengan Iwas. Ia tidak mau menyerah. Ia harus menyelamatkan masa depan putranya."Ibu hanya memandang satu sisi. Itu tidak adil, Bu. Bisa tidak Ibu bayangkan, bagaimana kalau Nabila dalam posisi Gayatri?" ucap Pak Ilham lembut. Bu Arini terdiam. Ia tidak punya alasan untuk membantah suaminya. Perlahan ia melepaskan pegangannya pada lengan Iwas. Namun ia tetap berdiri di samping Iwas."Tidak bisa begitu juga, Ham. Vira tidak bersalah dalam keruwetan mas
"Ini satu sifatmu yang baru aku ketahui lagi. Kamu yang bertanya. Tapi kamu sendiri yang menjawab pertanyaan itu. Kalau begitu, untuk apa kamu bertanya padaku? Buang-buang napas saja," rutuk Iwas kesal."Oke... oke... aku minta maaf. Lanjutkan ceritamu. Aku janji akan mendengarnya hingga selesai," janji Vira. Ia punya rencana baru. Tapi ia harus tahu dulu isi hati Iwas."Pertama kali aku melihat Gayatri adalah saat ia dan teman-temannya menjenguk ayah di rumah. Ayah sakit tipes waktu itu. Aku laki-laki normal. Aku suka melihat Gayatri waktu itu. Iseng memotret Gayatri diam-diam. Sayangnya aksiku itu dipergoki ayah. Ayah kemudian memperingatiku agar tidak mendekati anak-anak didiknya. Bukan hanya Gayatri seorang." Iwas membuka rahasia yang sebelumnya hanya diketahui oleh dirinya dan ayahnya. "Makanya kamu bersedia menemaninya ke ulang tahun Citra? Karena sebelumnya kamu memang menyukainya?" tebak Vira."Benar. Kalau aku tidak menyukainya, buat apa aku mengambil resiko diamuk ayah kare
Gayatri bolak-balik mengecek ponsel sambil mengintip jendela. Setengah jam lagi Iwas akan tiba di rumahnya. Iwas tidak datang sendirian. Menurut Iwas ia akan datang dengan membawa serta kedua orang tuanya. "Non Ratri, rujak bebeknya sudah datang. Non mau makan di dapur atau di sini saja?" Bu Dedeh menghampiri Gayatri. Namun Gayatri tidak meresponnya sama sekali. Nona mudanya ini berjalan hilir mudik di ruang tamu sembari terus memelototi ponsel. "Non Ratri," Bu Dedeh menepuk bahu Gayatri."Hah, apa, Bu?" Gayatri tergagap. "Rujaknya sudah diantar bapak gojek. Non mau makan di mana? Di dapur atau di sini saja." Dengan sabar, Bu Dedeh mengulangi pertanyaannya. "Simpan di kulkas saja dulu, Bu. Saya sudah tidak kepingin makan lagi. Eh, ayah dan ibu di mana, Bu?" "Ada di ruang keluarga, Non. Sedang menonton televisi. Ini Ibu mau membuat cemilan untuk bapak dan ibu," ujar Bu Dedeh."Bagus. Berarti ayah dan ibu sedang santai." Gayatri lega. "Oh iya. Cemilannya dibuat agak banyak ya, Bu?
Bugh!"Bangun! Kamu itu pengecut! Sebagai seorang laki-laki, seharusnya kamu menyelesaikan masalahmu sejak sepuluh tahun lalu. Kamu pecundang rendah yang tidak memikirkan akibat dari perbuatanmu. Lari dari tanggung jawab seperti cecurut!" Pak Sanwani menarik kerah baju Iwas agar berdiri, untuk kemudian menghempaskannya kembali. Iwas mengibaskan kepala. Berusaha menjernihkan pandangannya yang mengabur. Hidungnya terasa hangat oleh tetesan darah. Sementara sudut bibirnya yang robek terasa perih. Giginya telah melukai bibirnya sendirinya. "Pak, itu anakmu ditolong, dong! Apa Bapak mau Iwas mati?" Bu Arini melepaskan cengkraman tangannya dari sang suami. Ia bermaksud menolong Iwas. Sekonyong-konyong Bu Fauziah maju dan ganti menahan tangan Bu Arini."Ibu kasihan melihat anak Ibu yang baru sebentar saja digebuki. Sementara kami, orang tua Gayatri. Sudah sepuluh tahun kami melihat anak kami kehilangan masa depan, tanpa kami bisa berbuat apa-apa," hardik Bu Fauziah.Rontaan Bu Arini terhen
"Sudah selesai cerita versimu, Rin? Kalau sudah, gantian. Aku yang akan menceritakan versiku." Pak Sanwani baru bersuara setelah menelaah isi hati Bu Arini."Cerita versi penyangkalanmu, maksudnya?" dengkus Bu Arini sinis."Bu Arini ternyata type orang yang judgemental ya? Suami saya belum bercerita. Tapi Ibu sudah berprasangka buruk bahkan sebelum Ibu mendengar apa yang akan suami saya ungkapkan." Bu Fauziah dingin. Sebagai seorang istri sudah seyogyanya ia membela suami. Istimewa apa yang dikatakan Bu Arini tidak benar adanya."Jaga sikap dan dengarkan, Bu. Ibu tadi sudah diberi kesempatan oleh Pak Sanwani bukan? Kita sudah tua-tua semua sekarang. Jadi, mari kita urai benang kusut ini. Kasihan anak cucu kita karena terkena imbas masa lalu kita yang tidak selesai-selesai." Pak Ilham menasehati sang istri."Silakan, Pak Sanwani. Mulai saja ceritanya. Sudah waktunya kita berdamai dengan masa lalu. Syukur-syukur bisa memperbaikinya, demi anak cucu kita." Dengan bijak, Pak Ilham berusaha
"Rencana apa, Was? Ingat, Pak Hartono itu teman Ayah. Ayah tidak suka kalau kamu berbuat curang. Jikalau kamu ingin membatalkan pernikahan, bicarakan baik-baik. Ayah bersedia menemanimu." Pak Ilham tidak setuju dengan rencana Iwas."Bukan, Yah. Iwas bukan ingin mencurangi Vira. Tapi Iwas ingin membuktikan sesuatu. Iwas menduga, Vira ada kaitannya dengan penguntit dan juga teror yang kita semua alami." Setelah perseteruan kedua belah pihak mendingin, Iwas memutuskan untuk berterus terang saja. "Mengapa Abang berpikiran begitu?" tanya Ratri penasaran."Karena tempo hari saat saya membicarakan tentang mobil yang ingin menabrakmu, Vira terlihat gelisah. Apalagi setelah saya mengatakan kalau kamu akan melaporkan masalah ini pada pihak yang berwajib. Vira makin ketakutan," terang Iwas. "Selain itu saya juga teringat akan kejadian saat acara gathering party PT. Wibawa Real Estate di hotelmu beberapa bulan lalu. Kamu ingat tidak. Saat party sedang berlangsung, Vira memberi kita masing-masin
"Setelah mengetahui duduk permasalahannya, kami tidak keberatan menunggu selama sepuluh bulan. Asal setelah sepuluh bulan itu kamu benar-benar menikahi Vira." Pak Hartono menasehati Nara. "Jikalau tidak ada aral yang melintang, saya pasti akan menikahi Vira. Tetapi jika Vira--""Tidak akan! Saya mengenal anak saya. Begitu juga denganmu bukan? Vira bukan perempuan bodoh yang bertindak tanpa berpikir panjang. Kalau ia memang tidak menyukai Gayatri, mustahil ia bisa mentolerir kedekatan kalian berdua. Betul tidak?" Pak Hartono memotong kalimat Nara. Vira itu putrinya. Jiwa kebapakannya tercuil saat mendengar ada orang yang mendiskreditkan putrinya."Saya harap juga begitu, Pak," sahut Iwas singkat.Bohong. Kamu pasti berharap sebaliknya bukan, Nar? Batin Vira.Vira yang sedianya akan menghidangkan minuman ke ruang tamu, menghentikan langkahnya. Ia mencuri dengan obrolan Nara dan ayahnya. Sekonyong-konyong ponsel di saku Vira bergetar."Akhirnya lo nelpon gue juga," desis Vira kesal. Sud
"Walau kamu sendiri juga tahu kondisiku dan Gayatri, aku terima hujatanmu. Aku cuma tidak menyangka kalau kamu sekarang mahir menyindir-nyindir alih-alih menyuarakan isi hatimu seperti biasanya."Pipi Vira memerah. Saking nervous karena kehadiran Om Danu serta takutnya kehilangan Nara, ia sampai bertingkah kampungan."Maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud bertingkah childish begini. Aku hanya takut kamu berpaling pada Gayatri. Sekali lagi, aku minta maaf, Nar." Setelah menyadari kesalahannya, Vira berusaha memperbaiki sikapnya. Dulu Nara menyetujui perjodohan ini karena tertarik pada sikapnya. Ia harus mempertahankan ketertarikan Nara padanya. Harus!"Maaf ya, Nar? Aku sedang PMS. Makanya emosiku tidak terkontrol." Vira mengelus sekilas lengan Nara dan merebahkan kepalanya kikuk ke lekuk bahu Nara. Ia memang jarang mendemonstrasikan keintimannya pada Nara.Sementara Nara, punggungnya seketika menegang. Ia memang tidak nyaman bersentuhan secara intim begini. Namun ia terpaksa membiarka
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m
Gayatri tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Berpikir keras sebelum menjawab. Iwas memintanya menjawab jujur. Makanya harus hati-hati. Lebih baik ia memberi jawaban yang aman saja."Sama saja kok, Bang. Dulu maupun sekarang, saya suka-suka saja.""Begitu ya? Coba berikan alasannya." Iwas tidak mau dijawab seadanya. Ia ingin mengetahui perasaan Gayatri padanya."Alasannya? Apa ya? Sikap Abang dulu walau dingin, Abang baik pada saya. Buktinya Abang dulu bersedia memenuhi permintaan saya. Baik itu permintaan menemani ke pesta ulang tahun Citra, ataupun ke rumah sakit menemui Zana.""Kalau saya yang sekarang?" cecar Iwas lagi. "Kalau Abang yang sekarang, ya lebih ramah sih." Gayatri mulai kesulitan merangkai kata-kata. Ia memang paling tidak bisa memuji-muji orang. Setelan pabriknya memang begitu."Masa cuma begitu? Tambahin lagi dong. Kan saya minta jawabnya yang jujur." Sembari tetap fokus menyetir, Iwas memasang telinganya baik-baik. Sulit sekali rupanya meminta Gayatri mengutarakan
Iwas menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Saat ini Gayatri tertidur dalam mobil. Kepala Gayatri bersandar nyaman di bahunya. Selama berkendara dari gerai mie ayam menuju rumah Gayatri, Gayatri terkantuk-kantuk yang berakhir dengan tertidur di bahunya. Iwas tidak tega membangunkan Gayatri. Ia tahu Gayatri kelelahan. Mendekati rumah Gayatri, Iwas melambatkan laju kendaraan sebelum benar-benar berhenti. Saat Pak Irwan membuka pintu gerbang, Iwas melajukan kendaraan dan berhenti di teras rumah. Iwas menunggu sekitar lima menit, baru ia membangunkan Gayatri. Lebih baik Gayatri istirahat di kamar saja daripada bersandar begini."Tri, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu." Iwas mengusap-usap bahu Gayatri."Heh, sampai di rumah? Kok tidak ke hotel saja?" Gayatri tersentak saat dibangunkan Iwas. Menyadari bahwa sekarang ia sudah berada di rumah, Gayatri mendecakkan lidah. Salahnya sendiri yang ketiduran. "Kamu mau ke hotel ya? Apa kamu tidak capek, Tri? Bukannya lebih baik kalau kamu isti
"Saya dan Vira mempunyai masa lalu yang hampir sama. Jikalau Vira kerap dilecehkan oleh omnya, saya oleh ayah tiri saya." Nia memandangi langit-langit ruangan. Hari ini ia menerima kunjungan dari Gayatri dan Nara di kantor polisi. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai pemisah. "Jikalau Vira dijebak omnya dengan photo-photo, saya dijebak dengan masalah finansial. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Kalau saya mengadu, ayah tiri saya mengancam akan menceraikan ibu saya. Saya terpaksa bertahan demi ibu dan adik-adik," ungkap Nia jujur."Saya menyesal atas semuanya, Tri. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur," ucap Nia lesu."Saya tidak akan menghakimi masa lalu Mbak Nia, karena saya tidak berada di posisi Mbak. Yang saya sayangkan kenapa kalian berdua tidak berterus terang dari awal? Masalah kalian ini sebenarnya penyelesaiannya sederhana. Kalian cukup mengaku saja