"Makan atau mandi dulu?" Aya mengambil tumpukan pakaian yang baru kulepaskan di permukaan kasur dan memindahkannya pada keranjang pakaian kotor di dekat lemari."Makan dulu, deh." Menyisakan celana dalam yang melekat di tubuh, aku memeluk Aya dari belakang, mengurung dan mendaratkan kecupan-kecupan ringan di lengkung bahu kanannya yang terekspos saat menyingkirkan helaian rambut ke sisi kiri."Kamu bau, Bra!" Kekehan Aya terdengar riang. Mungkin ada hal baik yang telah terjadi hari ini. Melihat refleksi kami berdua ketika menghadap cermin, Aya berusaha melepaskan pergelangan tanganku dengan erat."Masa sih aku bau?" Kudesakkan sudut penciuman di samping wajahnya. "Coba cium."Kekehan berubah gelak tawa, Aya berbalik menghadapiku. Kedua tangannya menggantung di leherku sementara peganganku berpindah pada belakang tubuhnya yang terasa semakin padat."Gimana kalau mandi? Beneran kamu bau. Biar aku siapin makanannya." Bibir Aya mengerucut. Garis-garis wajahnya mengerut seolah menahan."Ya,
"Ini kantung kehamilannya, ya. Masih belum jelas, mungkin periksa berikutnya sudah terlihat," kata wanita yang menggeser kepala transduser di permukaan kulit perut Aya, menampilkan proyeksi hitam putih pada layar di dekat ranjang pemeriksaan. "Kehamilan pada trimester awal memang rentan. Makan dan istirahat yang cukup, karena di sini LDL-nya tergolong tinggi.""Pendarahannya bagaimana, Dok?" Kugenggam tangan Aya yang terasa bergetar. Ketakutan sempat menjalari pikiranku di sepanjang perjalanan menuju klinik terdekat yang memiliki pelayanan kehamilan. Aku sendiri enggak ngerti kenapa bisa merasa khawatir kali ini, padahal biasanya aku bisa sangat tenang menghadapi pasien."Ini saya resepkan vitamin dan penguat kandungan. Untuk sementara enggak usah dulu angkat-angkat yang sekiranya berat. Berhubungan dengan suami ditunda dulu yah, Bu. Ini perlu istirahat total."Pesan yang sangat panjang dari Bu Dokter memang bisa mengurangi sebagian besar resah, tetapi buat menahan diri lebih lama dari
"Selesai sif, Pak?" Nanda mengambil pulpen dari tanganku setelah aku menyelesaikan tanda tangan beberapa keterangan inventaris dan presensi."Iya." Aku masih terkejut dengan keberaniannya mengambil milikku tanpa izin seperti biasa sampai-sampai mulutku terbuka hingga pertanyaan Nanda berikutnya."Langsung pulang?""Enggak, sih. Ada janji." Kepalaku mendongak ke sisi kanan, mengingat pesan terakhir dari grup rese sebelum beralih pada Nanda yang mengembalikan pulpen ke saku jasku. "Kamu langsung ke asrama, kan?"Kekehan ringan Nanda ditutupi papan alas dalam pegangannya hanya menampakkan mata sipit yang dihiasi alis lurus dan rapi. "Ya mau gimana lagi, Pak. Mau keluar, enggak tahu jalan di kota sini."Aku baru memperhatikan. Entah. Mungkin karena baru beberapa hari terakhir Nanda jadi teman bicara sejak Mas Agus dipindahkan ke VIP. Perawat lain masih enggan mendekat denganku setelah Mbak Risa berhenti kerja karena pernikahan."Rantau?" tebakku ketika sadari Nanda mengiringi langkah di ko
Malam dari ketinggian. Hotel yang dipesan Elzar di pertengahan kota memang enggak menjulang tinggi seperti kebanyakan hotel baru. Namun, kesejukan dikelilingi pepohonan menjadi perbedaan kenyamanan paling dasar yang menjadi kelebihan tempat ini. Tentu karena posisinya juga berada di atas bukit.Balkon berpagar kayu yang menjadi tempatku dan Nanda memisahkan diri dari para orang gila dalam ruangan menampakkan lampu-lampu perkotaan yang tampak seperti bintang di lautan. Atap-atap menghilang dalam kegelapan."Sorry, tadi mereka ngasih kamu wine." Rasanya aku lagi enggak minta maaf kalau membelakanginya.Entah hanya dugaan saja atau memang benar, anggur dalam gelasku memberi efek panas ke seluruh tubuh. Biasanya alkohol menyisakan kehangatan di kerongkongan hingga perut, bukan sampai lapisan kulit."Boleh nanya enggak, Pak?" Nanda merapat di sampingku, turut menumpukan lengan pada pembatas kayu yang sama."Silakan." Kusesap lagi cairan kemerahan dari pinggiran gelas di tangan. Kepalaku mul
"Nanda kenapa, Mas?" tanya Mbak Dara yang menyambut brankar Nanda begitu masuk pintu IGD."Hipotermia. Kontra obat. Intoleransi alkohol." Aku menjawab cepat.Dokter jaga di pertengahan malam itu pasti kaget melihatku yang masih berselimut jubah mandi hotel saat menunggu pemeriksaan Nanda sambil menjawab rinci kemungkinan diagnosis. Pihak medis harus mengurai belitan berlembar-lembar handuk dan selimut ketika harus mencari jalur vena untuk pemasangan infus, tentunya juga memasang alat monitoring karena detak jantung dan intensitas napas Nanda masih rendah."Bagaimana ceritanya Nanda ketemu alkohol sama obat?" Lirikan yang tertuju padaku seperti paduan khawatir dan marah, terpampang nyata dari kerutan di kening Mbak Dara. Wanita berpenutup kepala itu sempat menggeleng."Afrodisiak sintetis." Kusebutkan jenisnya, bukan merek. Menyebutkan nama yang mudah dicari dalam penjelajahan internet bisa saja menjerumuskan orang lain untuk mencoba mendapatkan obat yang sama."Mas Abra? Ini nyawa oran
"Pagi, Sayang ...." Aku menguap setelah membuka tampilan layar ponsel dan menemukan wajah Aya tampil. Ah, tidur di kursi menyakiti punggung, aku perlu peregangan."Baru bangun?" tanya Aya. Wajahnya tampak semringah, segar di jam ... arlojiku menunjukkan jam sembilan lewat."Iya, semalam ada kasus darurat." Kuletakkan ponsel bersandar pada tumpukan buku dan aku berdiri merentangkan tangan ke atas sejauh mungkin kemudian menggerakkan kepala hingga suara patahan terdengar."Tadi Mama ngirimin makanan lewat ojol. Sampai?"Kuperhatikan, Aya meletakkan ponselnya, seperti di penyangga menghadap ranjang kami. Dia terlihat bolak-balik di ruangan. Aya sepertinya terbiasa mengenakan kaus milikku, seperti enggak pakai celana di baliknya kalau tertutupi hingga ke paha.Tunggu, dia tadi bilang apa? Kiriman makanan?Aku kembali duduk dan mendapati tas bekal berlapis kemasan merek salah satu layanan pengiriman daring di dekat bingkai foto. Di depannya tergeletak kertas pesan dari Nanda, "Disuruh antar
Tubuhku remuk tanpa istirahat setelah semalaman mengontrol keadaan beberapa pasien yang masuk IGD. Mungkin beberapa gelas kopi dan kisah para perawat yang mengajak bicara di antara tumpukan berkas cukup menghibur.Seperti seramnya koridor dengan segala suara bisikan, rintih, bahkan berbagai kekacauan benda jatuh tanpa tahu asalnya. Apa itu lucu? Mengingatnya saja bisa membuatku tertawa. Selama mengambil sif malam, belum bertemu kejadian aneh selain petugas keamanan yang berkeliling dan menawarkan dagangan istrinya dari krim perawatan sampai pakaian dalam."Baru pulang, Bra?" Aya muncul dari balik pintu kamar mandi kamar setelah aku merebahkan diri pada empuknya permukaan kasur yang tidak kusentuh selama beberapa hari terakhir.Sebelum masalah Nanda, aku memang lebih banyak beristirahat di ruangan dokter, menunggu panggilan dadakan, atau minimal menghindari Aya yang mampu membangkitkan gejolak panas seketika. Hasilnya jauh lebih panas daripada efek obat yang sempat masuk beberapa hari l
Enggak bisa pulang dulu kayaknya. Undangan dari Nanda untuk menjelajahi bagian terdalam dirinya sangat menggugah selera. Aku enggak bakal munafik jika tergoda dengan kegelapan nan hangat yang menyambut.Obat perangsang itu memang mengundang panas dan gelenyar denyutan pada inti gairah. Namun, perbuatan amoral itu pilihan. Bahkan tanpa afrodisiak, Nanda melemparkan dirinya padaku hingga berakhir di bawah selimut yang sama tanpa penghalang. Bulir keringatku bahkan belum kering sepenuhnya setelah melepas ledakan yang selama ini tertunda di dalam Nanda.Khawatir?Enggak. Nanda bilang kalau tamu bulanannya baru selesai dan semburat kemerahan yang tercetak setelah penaklukan dinding pertamanya membuat rasa bersalah kembali menghantamku."Pak?""Iya."Panggilan dari suara Nanda spontan membuatku mengangkat wajah dari belakang daun telinganya.Lengkung yang terbentuk dari kelopak matanya begitu polos bak remaja yang menemukan kesenangan baru dari kata bebas. Senyuman lebar Nanda menampakkan tu