Kalau bukan karena situasinya tidak tepat, mungkin Hana sudah melompat dan mencium Rafa saat itu juga. Saat ini, Bilham dan anak buahnya sudah mengepung Rafa dari tiga arah dan memblokir semua jalan keluar."Semuanya hati-hati! Jangan berbelaskasihan! Bocah ini bisa bela diri!" Bilham memperingatkan kedua anak buahnya.Anak buahnya yang berada di sebelah kiri lebih cerdas dan tenang, dia berkata, "Kita hitung sampai tiga, lalu serang bersamaan! Sehebat apa pun dia, nggak mungkin dia bisa menahan tiga golok sekaligus!"Rafa tersenyum. "Secara teori, benar. Tapi dalam praktiknya? Coba saja.""Satu ... dua ... tiga! Serang!"Kalau begitu, coba saja. Bilham berteriak, lalu membawa kedua anak buahnya menyerang Rafa dari tiga arah sekaligus.Tiga bilah golok tersebut berkilat di bawah sinar matahari dan memancarkan cahaya tajam."Mati kamu!"Rafa tiba-tiba merendahkan tubuhnya, lalu melompat dan menendangkan kaki kanannya dengan kekuatan penuh!Bum! Bum! Bum!Ketiga pria itu terpental ke bel
"Jangan tembak! Dia orang baik!"Galih keluar dari mobil dengan lengan kirinya dibalut perban yang masih berdarah. Dia berteriak, "Rafa! Kamu baik-baik saja?""Pak Galih!" Rafa bersemangat melihatnya, tetapi tetap tidak berani berdiri. Dia hanya tersenyum dan menjawab, "Aku baik-baik saja, jangan khawatir!"Galih mengangguk, lalu menunjuk Bilham. "Orang ini! Dia bawa pisau ke kantor koperasi dan mengancamku untuk menyetujui pinjamannya! Dia bahkan melukaiku dengan pisau itu! Untung saja Rafa datang dan menyelamatkanku!"Rafa terkejut. Lengan Galih terluka? Kenapa dia tidak ingat ada kejadian seperti itu?Namun dalam sekejap, Rafa langsung mengerti. Galih pasti sengaja melukai dirinya sendiri untuk menjebak Bilham!Di kantor tadi, hanya ada Bilham dan Galih. Jadi, Galih bisa saja melukai lengannya sendiri dengan pisau itu, lalu menuduh Bilham agar dia masuk penjara.Hana tiba-tiba berteriak histeris, "Para berengsek ini menculikku! Mereka mau melecehkanku! Bahkan mereka mau melakukannya
"Leluhurmu? Wah, ternyata kamu keturunan orang hebat ya. Maaf kalau aku kurang sopan."Galih tertawa, "Kalau urusan ini sudah beres, aku mau belajar teknik itu darimu! Biar tubuhku nggak ringkih lagi dan nggak gampang diganggu preman."Saat itu, polisi sudah menyelesaikan proses pengumpulan bukti. Tiga mobil tambahan datang untuk membawa semua tersangka.Galih yang memiliki banyak koneksi, langsung berbicara dengan salah satu petugas berpakaian sipil, "Rafa ini sudah menolong orang dan sekarang harus ikut untuk membuat laporan.""Tapi, dia punya ibu yang sakit di rumah. Ibunya pasti akan khawatir. Tolong kirim seseorang ke Desa Kenanga untuk ngasih tahu keluarganya kalau dia ikut aku ke kota dan akan pulang besok."Petugas itu mengangguk dan mencatat alamatnya, lalu naik motor untuk mengantarkan pesan. Setelah itu, Rafa baru merasa tenang dan ikut ke kantor polisi di kabupaten.Hana duduk di samping sambil memeluk lengannya erat-erat. Wajahnya masih tampak syok. Rafa menepuk tangannya
"Nggak mau!"Hana semakin kehilangan kendali dan mencoba merobek baju Rafa. "Kalau kamu menolakku, aku akan terus mengikutimu seumur hidup! Bahkan kalau aku mati, aku akan menghantuimu!"Gawat!Rafa tidak berani mendorongnya dengan kasar. Namun, saat dia berusaha menolak, tangan Hana sudah merambat ke bawah dengan gerakan agresif."Rafa, masih mau bilang kamu nggak menginginkanku? Aku tahu kamu juga mau .... Lihat dirimu sendiri ...." Napas Hana semakin berat dan dia membuka pakaian Rafa."Kak Hana, jangan!" Rafa tidak tahan lagi. Dia langsung mendorong Hana menjauh.Jika dia tidak segera menjauh, tubuhnya akan bertindak tanpa pikir panjang! Rafa bukan orang yang tega melakukan hal seperti ini. Dia tahu ini salah.Hana tertegun, lalu menatapnya dengan mata sedih. "Jadi ... kamu tetap menganggapku kotor?""Bukan begitu, Kak Hana ...." Rafa mundur perlahan dan tertawa canggung. "Aku harus pulang untuk mandi. Kita bicarakan lain kali, ya? Lain kali!"Hana menghela napas panjang. "Baiklah
Rafa mengangguk dan mengarang cerita untuk menenangkan Miko."Kak Miko, begini ceritanya .... Bilham membawa pisau untuk mengancam Pak Galih. Aku cuma kebetulan jadi saksi. Lalu, Pak Galih menelepon polisi dan membawaku ke Pabrik Pracetak Perkasa untuk menangkap mereka. Pas kebetulan juga, aku berhasil menyelamatkan Hana yang diculik ....""Oh, jadi begitu. Pak Galih memang hebat."Miko menghela napas panjang, merasa senang sekaligus khawatir. "Bilham memang sudah ditangkap. Tapi kalau suatu hari dia dibebaskan, entah dia bisa balas dendam nggak?"Rafa tertawa santai. "Tenang saja, Kak. Pak Galih bilang mereka baru bisa keluar dalam 20 tahun."Wajah Miko akhirnya kembali ceria. "Baguslah, setidaknya kita bisa hidup damai selama 20 tahun ke depan."Rafa mengangguk. "Aku mau mandi dulu, lalu mau lihat Ibu.""Tunggu ...." Miko tiba-tiba menarik lengannya."Kenapa, Kak?""Nggak kenapa-napa ...." Miko terdiam sejenak, lalu mengernyit dan bertanya, "Rafa, tubuhmu ... ada aroma Hana. Jangan b
Saat Rafa masih ragu-ragu di depan pintu, Hana sudah melihatnya dari dalam. "Rafa, kenapa berdiri saja di situ? Masuklah.""Eh ... iya, Kak Hana." Dengan berat hati, Rafa masuk ke dalam rumah dan meletakkan obat yang dibawanya. "Aku bawakan obat untuk menenangkan pikiranmu, supaya kamu bisa pulih lebih cepat.""Terima kasih, Rafa. Kamu memang baik padaku." Hana tersenyum manis.Hari ini, Hana tampil berbeda. Dia mengenakan gaun panjang, rambutnya terurai lembut, dan dari tubuhnya tercium aroma wangi yang samar.Bahaya.Rafa tidak berani berbicara lama. Setelah menjelaskan cara meminum obat, dia berniat segera pergi. Namun, Hana menghentikannya. "Tunggu sebentar, Rafa."Rafa menoleh. "Kenapa?"Hana menghela napas pelan. "Angga pasti nggak akan berani pulang dalam waktu dekat. Menurutmu, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku nggak punya anak, sendirian di rumah ini .... Aku bosan. Aku harus mencari sesuatu untuk dilakukan."Rafa berpikir sejenak, lalu berkata jujur, "Kak Hana, menurutku
Belinda tercengang. "Kalian benaran ... jual alatnya seharga dua miliar?""Ya, pas sekali dua miliar."Rafa mengangguk dengan serius, lalu mengeluarkan koin logam dari sakunya dan menyerahkannya kepada Belinda. "Ini dua ribu rupiah untukmu, sebagai ucapan terima kasih karena sudah menunjukkan kepedulian kepada Ibu dan Alice dengan membawa sekilo tahu waktu pulang ke rumah."Di rumah ini ada ibu yang lumpuh dan keponakan kecil yang masih belajar bicara, tapi sebagai anak perempuan, Belinda pulang hanya membawa sekilo tahu? Benar-benar mengecewakan!Memberinya dua ribu rupiah saja sudah terlalu banyak!Belinda segera menyadari nada sindiran itu. Wajahnya sedikit memerah."Mau kalian jual seharga 10 miliar pun, aku nggak akan minta bagian. Sesama saudara kandung juga tetap harus jelas soal utang piutang. Rafa, Miko, cukup kembalikan saja uang yang kupinjamkan."Miko terlihat ragu. "Kak, uang ini untuk Rafa buka klinik. Gimana kalau ....""Kak Miko, biar aku yang urus." Rafa langsung memot
Pekerjaan tukang sederhana sebenarnya tidak sulit. Selama punya tangan dan kaki, siapa pun bisa belajar. Dalam perjalanan pulang, Rafa membeli sebuah baby walker untuk Alice. Dengan begitu, Alice bisa bermain lebih leluasa, dan Miko bisa sedikit lebih santai.Saat dia sampai di rumah, makan siang sudah siap. Miko menyembelih seekor ayam jantan kecil, lalu membeli sekilo daging dari Hisyam. Daging itu dimasak bersama tahu sebagai hidangan untuk menjamu Belinda.Hari ini bukan hari berkunjung ke pasar, tapi di rumah Hisyam masih ada daging sisa dari penjualan kemarin yang disimpan di lemari es. Di desa ini, makan daging sebenarnya cukup mudah, asalkan ada uang.Saat hidangan disajikan, Miko mengambil sebotol bir. "Rafa, temani Kakak minum segelas. Cuaca lagi panas, kita minum bir untuk menyegarkan diri."Rafa langsung menenggak segelas penuh. Lalu, dia mengambil sepotong tahu sambil menghela napas panjang dan berkata, "Orang miskin seperti kita, sulit sekali mau makan tahu. Sampai harus
Wanita itu mengira Rafa tidak puas, jadi berkata dengan nada menyesal, "Aku tahu kamu mungkin kurang puas, tapi aku cuma bisa kasih segitu. Tapi, aku bisa menambahkan 20 juta sebagai tanda terima kasih karena sudah membantuku tadi.""Nggak, nggak ... aku sangat puas." Rafa berbicara jujur. Dia tersenyum dan meneruskan, "Dalam bisnis, memang harus begitu, harus adil. Soal uang terima kasih, aku nggak bisa terima. Aku bantu bukan karena uang.""Jarang sekali ada orang baik sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Baiklah, aku antar kamu ke pasar, biar aku langsung kasih uangnya."Mobil pun melaju menuju pasar obat tradisional."Namaku Karina. Kamu bisa panggil aku Kak Karina." Sambil menyetir, wanita itu bertanya, "Siapa namamu? Dari mana asalmu?""Aku Rafa, dari Desa Kenanga.""Oh, oh ...." Karina mengambil sebuah kartu nama dan tersenyum. "Kalau nanti kamu datang ke kota ini lagi, hubungi saja aku kalau butuh bantuan. Mau jual atau beli obat, aku bisa bantu. Aku jamin kamu bisa jual dengan h
Perampok yang satunya marah besar! Dia mengayunkan kunci inggrisnya ke arah kepala Rafa!"Matilah!" Rafa dengan sigap mengayunkan ranselnya, memukul kunci inggris itu hingga terlempar. Kemudian, dia menyusul dengan satu tendangan tepat ke perut perampok itu!"Aaaarrgh ... ughhh ...." Perampok kedua langsung jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi, keringat bercucuran."Berani-beraninya kalian menindas wanita!" Rafa masih dipenuhi amarah. Dia kembali melayangkan tendangan bertubi-tubi, membuat wajah kedua perampok itu penuh luka lebam.Wanita yang memakai rok pendek itu ketakutan. Dia bergegas bangkit dan berteriak cemas, "Dik, cukup! Kalau terus dipukul, mereka bisa mati!"Rafa baru menghentikan aksinya. Dua perampok itu merangkak ke mobil mereka dengan tubuh penuh darah. Dengan sempoyongan, mereka masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu kabur."Fiuh ...." Wanita itu menghela napas lega. Dia merapikan rambut dan pakaiannya, lalu mengangguk ke arah Rafa. "Terima kasih banyak ya.""Sama-sama.
"Ke pemandian ... bisa lihat apa?" Rafa bingung."Lihat apa? Lihat burung! Di pemandian banyak burung, silakan lihat sepuasnya!" sahut pria tua itu dengan ketus."Buset! Begini caramu berdagang?" Rafa murka, menatap tajam pria itu. "Ya sudah! Aku nggak akan pergi ke pemandian hari ini. Aku akan tetap di sini, melihat burung tuamu!"Tiga pegawai wanita di toko itu saling melirik dan menahan tawa. Mereka memberi isyarat agar Rafa segera pergi."Sial, pagi-pagi sudah bertemu iblis. Sial sekali!" Rafa memelototi pria tua itu, menggerutu sambil berjalan pergi.Awalnya, Rafa masih merasa ada kedekatan dengan tanah leluhurnya. Namun, hari ini dia bukan hanya diincar pencuri, tetapi juga bertemu dengan kakek menyebalkan ini. Perasaan hangat itu lenyap seketika.Dia bahkan mulai berpikir, mungkin nenek moyangnya yang pindah ke Desa Kenanga dulu telah mengambil keputusan yang tepat! Tempat ini benar-benar buruk!Rafa masuk ke toko di seberang. Karena telah belajar dari pengalaman, kali ini dia l
Mata Rafa juga sedikit panas, tetapi dia menahan air matanya. Dia menghapus air mata Miko dan berucap, "Kak, tenang saja. Aku tahu tanggung jawabku, aku nggak akan mengecewakanmu."Miko mengangguk, lalu perlahan melepaskan pelukannya. Dia melihat Rafa pergi semakin jauh.Di timur, langit mulai memancarkan sinar fajar. Rafa berjalan cepat melewati jalan setapak menuju Kota Muara. Sesampainya di sana, dia menyewa sebuah mobil van dan langsung menuju stasiun kereta api kota kabupaten.Lima jam perjalanan dengan kereta api. Akhirnya sebelum tengah hari, Rafa tiba di Kota Obat, pusat perdagangan herbal terbesar!Di kota kecil biasa, paling-paling hanya ada satu atau dua toko obat. Di kota besar, mungkin hanya ada satu pasar obat. Namun di sini, bukan sekadar pasar, melainkan kota khusus untuk obat!Dari namanya saja, sudah terasa perbedaan skala yang luar biasa. Sebagai keturunan langsung dari tabib legendaris, Rafa merasa bersemangat.Dia berjalan sambil mengamati suasana hingga akhirnya t
Rafa sungguh kehabisan kata-kata. Dia mengayunkan tangannya, lalu jarum peraknya langsung menusuk punggung tangan Arumi."Aaaahhh ...!" Arumi menjerit kesakitan.Sebelum Arumi pergi, beberapa warga desa mulai berdatangan. Sorenya, semakin banyak yang datang berobat. Ini karena makan daging kerbau, lalu mengalami panas dalam.Rafa akhirnya menjual habis semua ramuan herbalnya untuk meredakan panas dalam, juga semua persediaan pil.Inilah yang disebut efek domino. Kerbau tua milik Rahman mati, membuat seluruh desa menderita panas dalam, tetapi justru memberi Rafa keuntungan kecil.Satu pasien bisa menghasilkan 20 ribu, jadi totalnya dia berhasil mendapatkan 400 ribu. Uang receh tetap uang!Saat makan malam, Rafa berdiskusi dengan Miko. "Kak, besok aku harus pergi jauh. Aku mau ke Kota Obat, kampung halamanku, untuk beli beberapa bahan obat."Dia harus menjual batu empedu kerbau itu, menukarnya dengan uang, lalu membeli obat untuk menyembuhkan Diah."Kampung halaman?" Miko tidak mengerti,
"Kak, ini klinik. Kita ... bicarakan soal pengobatan." Rafa mulai berkeringat. Matanya menghindar, tidak berani menatap wajah Hana. "Sebenarnya ... apa yang sakit?"Baru saat itu, Hana melepaskan tangannya dari pipi dan mendekatkan wajahnya. "Gigiku sakit."Rafa mengangguk, mengambil senter untuk memeriksa mulut Hana, lalu meraba nadinya. "Nggak apa-apa, Kak. Kamu cuma kepanasan ....""Kepanasan?" Hana tersenyum. "Ya, aku memang kepanasan. Bisa nggak kamu bantu meredakan?""Ten ... tentu bisa ...." Rafa langsung gugup dan terbata-bata. "Kak, kamu makan apa dua hari ini?""Apa lagi? Ya daging kerbau yang kamu kasih 1,5 kilo kemarin, karena kamu kasihan padaku," sahut Hana dengan nada penuh keluhan."Daging kerbau?" Rafa langsung paham.Di cuaca panas seperti ini, makan daging kerbau berlebihan memang bisa menyebabkan panas dalam. Niat baiknya justru membawa masalah untuk diri sendiri."Nggak apa-apa. Aku akan bantu kamu redain panasnya .... Eh, maksudku, aku akan racik obat untukmu." Ka
Setelah mendengar analisis Rafa yang begitu logis dan masuk akal, Miko akhirnya merasa tenang. Namun, dia masih bertanya, "Rafa, apa Pak Dika ... benar-benar akan mati?""Kak, coba ingat-ingat. Aku sudah menangani pasien selama setengah bulan ini, apa pernah aku salah mendiagnosis?" tanya Rafa balik."Memang benar yang kamu katakan ...." Miko mengangguk, lalu menghela napas. "Sayangnya, Pak Dika nggak mau mendengarkanmu. Satu nyawa hilang begitu saja."Rafa hanya mengangkat bahunya. Kalau orang memang ingin mati, apa yang bisa dia lakukan?Setelah kembali ke kamar, Rafa mengambil batu empedu yang didapatkannya. Di mana dia bisa menjual barang berharga ini?Di kota kecil? Tidak mungkin. Tempat kecil seperti itu tidak akan ada orang yang bisa menilai harganya. Selain itu, jika kabar ini bocor dan Rahman tahu, pasti akan muncul masalah lagi.Ke Kota Obat saja! Tanah kelahiran leluhur mereka, sang tabib legendaris, pusat perdagangan obat tradisional terbesar di negara ini!Namun, bukan sek
"Baik, baik." Dika mengangguk dan melambaikan tangan ke sekeliling. "Hari ini, dengan kesaksian warga desa, Pak Galih, serta Pak Hansen, aku bertaruh dengan Rafa. Hari ini aku biarkan dia lolos, tapi 3 hari kemudian, aku akan datang lagi. Jangan sampai ada yang bilang aku menindasnya!"Galih, Hansen, dan warga desa terdiam menatap Rafa. Taruhan ini terlalu besar!Rafa juga melambaikan tangan dan berseru dengan lantang, "Hari ini aku bertaruh dengan Pak Dika! Tiga hari kemudian, kalau beliau masih bisa muncul dengan sehat di depan rumahku, aku sendiri yang akan membakar klinikku dan menyerahkannya kepadanya!"Kerumunan mulai berbisik-bisik.Rafa menatap Dika dan berkata, "Pak Dika, aku sarankan kamu jangan mempertaruhkan nyawa dalam taruhan ini. Aku akan memberimu resep. Pergilah ke rumah sakit di ibu kota provinsi, jalani operasi. Gunakan ramuan herbal coptis chinensis dan houpoea officinalis, seduh dengan teh, dan minum setiap hari. Itu bisa menyelamatkan nyawamu.""Terima kasih! Tiga
"Aku beli untuk dimakan sendiri, boleh 'kan? Badanku kurang sehat, jadi aku memang suka makan obat."Rafa tersenyum, lalu meneruskan, "Kamu menuduhku membuka klinik, mengobati pasien, mencari uang secara ilegal. Silakan tunjukkan buktinya. Siapa yang kuobati? Aku menerima uang dari siapa? Tolong tunjukkan bukti itu."Kemudian, Rafa menoleh ke arah warga desa yang berkumpul di depan pintu dan melambaikan tangan. "Saudara-saudara sekalian, apa ada di antara kalian yang pernah sakit dan mencariku untuk berobat?"Orang-orang tertawa serempak. "Semua penduduk Desa Kenanga sehat walafiat!""Kamu ...!" Dika terdiam, tidak bisa membalas. Dia menoleh ke Hansen dan membentak, "Pak Hansen! Kemari dan bersaksi! Ini urusan desa kalian!"Hansen menggaruk kepalanya dan mendekat. "Bersaksi gimana?""Bersaksi kalau Rafa menghasilkan uang dengan mengobati orang!""Oh, oh ...." Hansen berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Kalau soal mengobati orang, memang ada. Ayahnya dulu seorang tabib, jadi meningga