"Susanti, kalau benar-benar nggak sanggup lagi, kenapa nggak berhenti jadi polisi saja? Aku punya begitu banyak uang. Sebagian saja sudah cukup untuk kamu hidup dengan nyaman," ucap Tirta sambil menghela napas."Uangmu ya uangmu. Kalau kamu kasih ke aku, aku juga nggak bakal menerimanya. Lagian masa cuma karena punya uang, aku jadi nggak melakukan apa-apa? Aku nggak bisa diam saja. Selain itu, aku cukup suka pekerjaan sebagai polisi," jawab Susanti tegas tanpa ragu.Susanti melanjutkan, "Kalau nanti aku sudah nggak mau jadi polisi lagi, barulah aku pertimbangkan untuk jadi pajangan di rumah seperti yang kamu bilang.""Aku cuma nggak mau melihat kamu terlalu lelah. Tapi kalau memang kamu ingin terus jadi polisi, ya lanjutkan dulu," ucap Tirta.Sambil mengemudi, Tirta terus mengobrol dengan Susanti. Tak sampai setengah jam kemudian, dia sampai di depan kantor polisi. Pada jam seperti ini, kebanyakan polisi sudah pulang. Hanya tersisa beberapa orang yang bertugas untuk jaga malam.Susanti
Di dalam mobil, Farida memandang dengan tatapan penuh arti. Dia berkomentar, "Tirta baru saja satu lawan dua. Sekarang tengah malam begini, masih saja nggak berhenti? Sebenarnya seberapa suka dia melakukan itu dengan wanita?"Saat melihat Tirta dan wanita itu masuk ke vila, napasnya sedikit tidak beraturan. Kemudian dengan sedikit kebingungan, dia bergumam pada dirinya sendiri, "Tapi ... wanita yang dia gendong kali ini, kenapa aku nggak pernah lihat ya sebelumnya?"Meskipun ini adalah kedua kalinya Farida memergoki Tirta malam itu, kali ini karena dia tidak menyalakan mobil dan Tirta sepenuhnya fokus pada Susanti, dia tidak menyadari keberadaan Farida.Saat memasuki vila, Tirta menyadari bahwa bagian dalam vila masih dalam proses renovasi. Barang-barang berantakan di mana-mana sehingga dia langsung mengurungkan niat untuk melanjutkan rencana awalnya di dalam vila."Susanti, tempat ini belum beres. Nggak ada tempat yang nyaman untuk duduk atau tiduran. Lagian, sekarang sudah hampir ten
"Nggak bisa, aku nggak boleh terus mengintip .... Ini nggak bermoral. Aku harus berpura-pura nggak tahu apa-apa dan tidur. Kalau nggak bisa tidur, tetap harus coba!" ucap Farida. Dia merasakan detak jantungnya makin cepat.Farida memaksakan diri untuk menarik pandangan dari vila. Tubuhnya terasa kaku saat dia berbaring di kursi mobil yang sudah disandarkan sepenuhnya.Farida mencoba memejamkan mata dan berharap bisa tertidur. Namun sayangnya, mobilnya diparkir tepat di dekat gerbang vila. Itu hanya sekitar 20 meter dari tempat Tirta dan Susanti bersenang-senang.Di malam yang sunyi senyap, suara apa pun terdengar makin jelas. Saat mereka makin intens, Farida tak lagi mampu menenangkan pikirannya. Dia terus berganti posisi di tempat duduknya, tapi justru makin merasa gelisah.Farida tidak tahu dari mana kegelisahan ini berasal atau kapan perasaan ini akan mereda. Bahkan setelah Tirta dan Susanti meninggalkan vila untuk kembali ke klinik, kegelisahan itu tetap ada.Hingga sekitar pukul 3
"Tirta! Dasar cabul! Kamu mengintipku mandi! Benar-benar nggak tahu malu!"Cuaca di bulan Juli sangat panas. Tirta Hadiraja yang mendaki gunung untuk memetik bahan obat kepanasan sehingga langsung melepaskan pakaiannya dan menyelam di sungai. Begitu muncul ke permukaan, dia malah melihat pemandangan indah di depannya!Nabila Frenaldi, putri kepala desa, tampak memaki Tirta seraya menunjuknya. Dia baru berusia 18 tahun. Melalui air sungai yang bergoyang, samar-samar terlihat sepasang buah dada yang memikat dan ....Tirta yang tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sontak terperangah di tempatnya!"Berengsek! Kalau kamu masih menatapku, akan kucungkil bola mata!" maki Nabila dengan wajah memerah sambil menutupi bagian tubuhnya yang penting.Nabila juga kepanasan. Kebetulan, sekarang liburan musim panas. Dia merasa bosan sehingga diam-diam keluar untuk berendam. Tanpa diduga, dia malah diintip oleh Tirta!"A ... aku nggak mengintipmu. Aku juga datang untuk berendam. Apa aku perlu be
"Tirta, ada apa denganmu?" tanya Ayu dengan bingung. Dia tidak tahu apa yang membuat Tirta begitu gembira."Oh, bukan apa-apa, Bibi. Ayo, kita pulang dulu," balas Tirta sambil menahan kegembiraannya dan memapah Ayu. Dia akan mencari kesempatan untuk menguji kejantanannya nanti!Ayu mengangguk, lalu berpesan dengan sungguh-sungguh, "Lain kali, kamu harus lebih berhati-hati kalau keluar memetik bahan obat. Kalau nggak ada Nabila, kita mungkin sudah nggak bisa bertemu. Cari waktu ke supermarket besok. Kita beli barang, lalu bertamu ke rumah Nabila untuk berterima kasih. Aku akan menemanimu.""Aku sudah tahu, Bi. Tenang saja." Kemudian, Tirta membatin, 'Kalau bukan karena Nabila, aku juga nggak mungkin berniat bunuh diri.'Lantaran masih merasa enggan, Tirta menggaruk kepala sambil mengeluh dengan kesal, "Bibi, aku boleh nggak pergi nggak? Wanita itu terlalu sombong.""Jangan bicara omong kosong! Dia yang menolongmu lho! Kamu seharusnya bersikap lebih ramah! Pokoknya, besok kamu harus ikut
Melati baru berusia 27 atau 28 tahun sehingga tubuhnya masih seksi seperti wanita muda lainnya. Sentuhan hangat dari tubuhnya seketika membuat Tirta merasa makin panas."Kak Melati, jangan bercanda. Gi ... gimana aku bisa membantumu? Kalau mertuamu tahu, aku bisa dihajar sampai setengah mati!" Tirta tidak pernah mengalami hal seperti ini sehingga menggeleng dengan kuat."Tirta, tenang saja. Aku nggak bakal memberi tahu siapa pun tentang ini. Cuma sekali ini. Kalau kamu menolak, aku akan memberi tahu Kak Ayu semuanya," ancam Melati lagi saat melihat Tirta masih belum bisa diajak berkompromi."Jangan ... aku akan memberikannya kepadamu." Tirta yang kebingungan akhirnya mulai melepaskan celananya.Melati tentu senang melihatnya, tetapi dia tetap menghentikan. "Jangan buru-buru, ini pertama kali untukku. Kemaluanmu besar sekali. Aku pasti kesakitan kalau dimasukkan begitu saja. Nanti Kak Ayu mendengar suaraku.""Begini saja, mertuaku lagi pergi 2 hari ini. Malam ini, kamu datang ke rumahku
"A ... apa-apaan itu? Cepat singkirkan ...." Mata Nabila tiba-tiba berkaca-kaca. Di luar dugaannya, Tirta sudah sembuh. Nabila tentu panik."Kenapa kamu nggak bertingkah sombong lagi? Coba saja kamu mengejekku lagi. Cepat lepaskan rokmu. Kita lihat, aku bisa menidurimu atau nggak." Tirta menyeringai, mencoba untuk memasang ekspresi garang.Tirta tidak berniat untuk menodai Nabila. Dia sudah merasa puas jika wanita ini ketakutan sampai menangis. Tubuh Nabila benar-benar wangi, apalagi Tirta sedang memeluknya, rasanya benar-benar nyaman. Ketika melihat Nabila menangis, Tirta justru merasa senang."Aku ... huhu .... Tirta, kamu memang berengsek. Cepat lepaskan. Kalau kamu berani menyentuhku, aku akan ...." Nabila hendak mengancam."Kamu bisa apa?" tanya Tirta seperti orang yang sedang mengancam. Sesudah itu, dia mengangkat tangan dan menepuk bokong Nabila.Plak! Suara yang sungguh nyaring. Nabila pun menangis sesenggukan sembari memukul dada Tirta. "Huhuhuhu ... aku sudah kotor ... aku ng
Namun, Tirta segera menggeleng dan tersenyum mengejek diri sendiri. Nabila baru saja berkata, jangan mencarinya kalau tidak ada urusan penting. Wanita ini hanya membantunya karena merasa kasihan, bukan karena menyukainya.Malam hari, Melati masih menunggu Tirta, tetapi Tirta sudah kehilangan minatnya. Prioritas utama untuk sekarang adalah mendapatkan sertifikat medis dan mempertahankan kliniknya.Masalahnya, banyak tulisan yang tidak Tirta pahami di buku medis. Meskipun Nabila membantunya membujuk Agus, apakah Tirta bisa mendapatkan sertifikat medis dengan ilmunya itu?Tirta yang merasa gusar akhirnya kembali ke klinik. Ayu yang mendengar suara pun berjalan ke luar dan bertanya, "Tirta, kamu sudah kembali?""Ya, Bi. Ayo, kita pulang untuk makan," sahut Tirta.Tiba-tiba, seorang pria paruh baya berjanggut dan bergigi kuning menghampiri Tirta dan berucap, "Tirta, jangan buru-buru. Aku ingin mengobrol denganmu."Pria ini bernama Raden, dia sangat terkenal di Desa Persik. Lima tahun lalu,
"Nggak bisa, aku nggak boleh terus mengintip .... Ini nggak bermoral. Aku harus berpura-pura nggak tahu apa-apa dan tidur. Kalau nggak bisa tidur, tetap harus coba!" ucap Farida. Dia merasakan detak jantungnya makin cepat.Farida memaksakan diri untuk menarik pandangan dari vila. Tubuhnya terasa kaku saat dia berbaring di kursi mobil yang sudah disandarkan sepenuhnya.Farida mencoba memejamkan mata dan berharap bisa tertidur. Namun sayangnya, mobilnya diparkir tepat di dekat gerbang vila. Itu hanya sekitar 20 meter dari tempat Tirta dan Susanti bersenang-senang.Di malam yang sunyi senyap, suara apa pun terdengar makin jelas. Saat mereka makin intens, Farida tak lagi mampu menenangkan pikirannya. Dia terus berganti posisi di tempat duduknya, tapi justru makin merasa gelisah.Farida tidak tahu dari mana kegelisahan ini berasal atau kapan perasaan ini akan mereda. Bahkan setelah Tirta dan Susanti meninggalkan vila untuk kembali ke klinik, kegelisahan itu tetap ada.Hingga sekitar pukul 3
Di dalam mobil, Farida memandang dengan tatapan penuh arti. Dia berkomentar, "Tirta baru saja satu lawan dua. Sekarang tengah malam begini, masih saja nggak berhenti? Sebenarnya seberapa suka dia melakukan itu dengan wanita?"Saat melihat Tirta dan wanita itu masuk ke vila, napasnya sedikit tidak beraturan. Kemudian dengan sedikit kebingungan, dia bergumam pada dirinya sendiri, "Tapi ... wanita yang dia gendong kali ini, kenapa aku nggak pernah lihat ya sebelumnya?"Meskipun ini adalah kedua kalinya Farida memergoki Tirta malam itu, kali ini karena dia tidak menyalakan mobil dan Tirta sepenuhnya fokus pada Susanti, dia tidak menyadari keberadaan Farida.Saat memasuki vila, Tirta menyadari bahwa bagian dalam vila masih dalam proses renovasi. Barang-barang berantakan di mana-mana sehingga dia langsung mengurungkan niat untuk melanjutkan rencana awalnya di dalam vila."Susanti, tempat ini belum beres. Nggak ada tempat yang nyaman untuk duduk atau tiduran. Lagian, sekarang sudah hampir ten
"Susanti, kalau benar-benar nggak sanggup lagi, kenapa nggak berhenti jadi polisi saja? Aku punya begitu banyak uang. Sebagian saja sudah cukup untuk kamu hidup dengan nyaman," ucap Tirta sambil menghela napas."Uangmu ya uangmu. Kalau kamu kasih ke aku, aku juga nggak bakal menerimanya. Lagian masa cuma karena punya uang, aku jadi nggak melakukan apa-apa? Aku nggak bisa diam saja. Selain itu, aku cukup suka pekerjaan sebagai polisi," jawab Susanti tegas tanpa ragu.Susanti melanjutkan, "Kalau nanti aku sudah nggak mau jadi polisi lagi, barulah aku pertimbangkan untuk jadi pajangan di rumah seperti yang kamu bilang.""Aku cuma nggak mau melihat kamu terlalu lelah. Tapi kalau memang kamu ingin terus jadi polisi, ya lanjutkan dulu," ucap Tirta.Sambil mengemudi, Tirta terus mengobrol dengan Susanti. Tak sampai setengah jam kemudian, dia sampai di depan kantor polisi. Pada jam seperti ini, kebanyakan polisi sudah pulang. Hanya tersisa beberapa orang yang bertugas untuk jaga malam.Susanti
"Jangan cuma bilang kami nggak kuat. Kamu nggak sadar apa penyebabnya? Kamu terus berkembang, siapa pun juga nggak bakal tahan menghadapi kamu!" Suara Melati terdengar dari dalam kamar mandi, entah sedang mengeluh atau merasa puas.Tirta membalas, "Hehe. Aku sendiri juga nggak ngerti kenapa bisa begini. Bibi, Kak Melati, kalau kalian benar-benar sudah nggak kuat lagi ya sudah. Kita lanjutkan lain kali kalau kalian sudah pulih.""Aku mau ganti baju dulu. Bajuku sudah basah. Setelah itu, aku langsung pergi ke kantor polisi buat jemput Susanti. Kalian istirahat saja, nggak perlu tunggu aku pulang," tambah Tirta. Kemudian, Tirta membuka pintu kamar mandi dengan cepat, menutupnya lagi dari luar, dan berlari ke dalam ruangan klinik. Dia sama sekali tidak menyangka ada seseorang yang sedang mengintipnya dari luar. Kalau tahu, dia pasti tidak akan keluar seenaknya."Astaga ... apa aku nggak salah lihat? Mana mungkin ...," ucap Farida. Sebelum Tirta keluar, dia buru-buru bersembunyi di balik d
Ayu mengingatkan dengan suara lemah tapi tegas, "Satu jam saja ya. Setelah itu apa pun kondisimu, kamu nggak boleh ganggu kami lagi!"Tirta membalas, "Hehehe. Tenang saja, Bibi. Apa pun kondisiku, aku pasti akan bikin kalian puas kok!"Dengan sekali gerakan, Tirta memelesat masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kayu itu rapat-rapat. Bagaimanapun, malam ini dia masih punya janji dengan Susanti. Namun sebelumnya, dia memutuskan untuk bersenang-senang bersama Ayu dan Melati dulu.....Tirta sedang asyik bersenang-senang di kamar mandi bersama Ayu dan Melati. Tubuh mereka makin erat dan begitu intens hingga sulit dipisahkan.Dalam kegelapan malam di luar, sesosok tubuh ramping terlihat mendekati klinik dengan bantuan cahaya redup dari layar ponsel. Namun saat melewati kamar mandi, suara-suara aneh terdengar dari dalam. Suara itu membuat langkahnya terhenti."Itu suara Ayu, Melati ... dan Tirta? Astaga ...." Orang itu ternyata adalah Farida. Dia baru saja lembur untuk mempercepat pro
Mendengar suara Tirta yang tidak sabar, Ayu merasa kesal sekaligus lucu. Dia membalas, "Dasar bocah nakal, kenapa sih pikiranmu selalu tentang hal itu? Hari ini, Bibi lagi nggak enak badan. Jadi, jangan harap ya. Lain kali saja.""Lain kali kapan? Nggak bisa, harus malam ini. Aku sudah dua hari nggak sentuh Bibi, rasanya nggak tahan lagi!" seru Tirta. Dia segera mengaktifkan mata tembus pandangnya.Melihat dua tubuh indah yang bersinar putih bersih di balik pintu kamar mandi, Tirta hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bahkan, air liurnya hampir menetes."Hmph! Kalau gitu, kamu teruskan saja berandai-andai. Malam ini, Bibi benar-benar nggak tertarik!" ucap Ayu sambil tertawa. Dia sebenarnya sengaja meledek Tirta.Makin Ayu menolak, Tirta makin merasa tergoda. Dia pun beralih coba membujuk Melati, "Kak Melati, tolong buka pintu. Aku juga kangen sama kamu. Aku ingin memelukmu baik-baik!"Melati yang sedang di dalam kamar mandi mengikuti isyarat Ayu untuk terus meledek Tirta. Dia me
Setelah melepaskan sepatu, kaus kaki, dan pakaian luar, Arum naik ke ranjang dan bersiap untuk istirahat."Baiklah, kita langsung tidur saja. Ranjangnya nggak terlalu besar, kita berdua harus agak berdesakan. Maaf ya kalau ini merepotkanmu," ucap Yanti sambil mematikan lampu dan berbaring di samping Arum.....Sementara itu, Tirta sudah mengantar Nia kembali ke Desa Kosali dan kini sedang dalam perjalanan kembali ke kliniknya.Hanya dalam beberapa menit, Tirta sudah sampai di klinik. Saat turun dari mobil, dia membawa beberapa buku rahasia seni bela diri yang diberikan Lutfi dan berniat mempelajarinya saat ada waktu luang.Di klinik, Ayu dan Melati sedang mencoba menenangkan beberapa anak harimau yang terus saja menangis keras. Namun, kedua harimau besar tidak terlihat di sekitar.Meski Ayu dan Melati sudah mencoba berbagai cara, mereka tetap tidak bisa membuat anak-anak harimau itu tenang."Bibi, Kak Melati, kalian pergi mandi saja. Biarkan aku yang urus anak-anak harimau ini," ucap T
Arum merasa sangat canggung. Dia berucap, "Aduh ... Bu Yanti, mana mungkin aku bisa membantumu memeriksa hal seperti ini ...."Arum baru saja hendak menyarankan bahwa jika memang ada sesuatu yang aneh, biasanya akan terasa atau terlihat jelas. Namun, Yanti tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan bicara. Segera, Yanti melepas semua pakaiannya.Pemandangan itu membuat wajah Arum memerah. Dia segera memalingkan pandangannya karena merasa tidak nyaman.Yanti memberi tahu, "Arum, kita ini sama-sama wanita. Jadi, kamu nggak perlu merasa canggung. Kalau kamu nggak membantuku periksa, aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.""Kalau nggak bisa memastikan apa yang terjadi, malam ini aku nggak akan bisa tidur dengan tenang," ucap Yanti sambil memegang tangan Arum dengan penuh harap.Mendengar kata-kata tersebut, Arum tidak punya alasan lagi untuk menolak. Selain itu, dia juga ingin memastikan apakah Tirta benar-benar melakukan sesuatu yang tidak pantas kepada Yanti. K
Tirta menyalakan mobil dan mengantar Nia meninggalkan klinik."Wah, ini mobil Mercedes Maybach ya? Aku dengar harganya bisa sampai beberapa miliar. Tirta, aku benar-benar nggak sangka, ternyata kamu ini orang kaya yang diam-diam menyembunyikan kekayaanmu!" seru Nia dengan kagum sambil duduk di kursi belakang.Tirta membalas sambil tersenyum, "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu bayangkan. Tapi kalau kamu bekerja dengan baik dan nanti kebun buah kita berkembang besar, kamu juga bisa beli mobil seperti ini."Nia menjulurkan lidahnya sambil membalas, "Benarkah? Kamu ini benar-benar jago bercanda. Bisa duduk di mobil seperti ini saja, aku sudah merasa cukup puas. Sepertinya, seumur hidupku aku nggak akan mampu membeli mobil seperti ini.""Jangan terlalu pesimis. Apa pun bisa terjadi kalau kita berusaha," jawab Tirta santai, lalu tidak melanjutkan pembicaraan.....Sementara itu, Arum baru saja tiba di rumah Yanti. Sebelum sempat mengucapkan apa pun, Yanti langsung menariknya ke kamar da