Aku langsung berdiri ingin menghampirinya, akan aku buat dia tersadar! Kekesalan yang sudah terpatik membulatkan tekadku yang selama ini tertahan.
Langkah kakiku terhenti tiba-tiba, ketika suara hatiku berbisik mengingatkan apa yang dikatakan suamiku. Berbicara dengan kekesalan tidak akam menyelesaikan masalah, justru hanya akan menimbulkan keributan.
Namun, dengan apa menyadarkan Mbak Rini? Dengan perkataan? Mana dia mengerti, pikirannya sudah dibutakan dengan apa yang dia yakini. Sama saja aku bicara dengan tembok, hanya membuat ribut tanpa ada penyelesaian.
Percuma!Aku terduduk kembali dan menyebut nama-Mu. Menghilangkan amarah yang sudah menguasai hati ini.
*"Rini .... Pokoknya, kamu harus kuat. Jangan sampai dikalahkan si Nisa. Dia itu pinter mengambil hati, bisa jadi Hasan anakmu tidak mendapat warisan karena dikuasai dia."
Suara bisik-bisik, tetapi masih terdengar jelas dari kamarku. Dari suaranya seperti Bu Rusmini, adik dari ibu Mbak Rini. Dia memang dekat dengannya. Aku mendekatkan telingaku di lubang pintu, memperjelas pembicaraan mereka.
"Apalagi anaknya Alif, itu laki-laki. Bisa jadi kamu yang ditendang dari sini. Terus kamu mau ke mana? Ke rumah Ibumu? Mau tinggal dengan Bapak Tirimu yang jahat itu?" ucapnya lagi.
"Tidaklah!" Suara Mbak Rini dengan keras.
"Bagaimanapun anaknya Sardi hanya kamu saja. Ridwan itu anak angkat, apalagi sekarang dia sudah mati. Iya, kan? Yang kasihan itu kamu, selama ini dibuat bodo. Tidak disekolahkan. Akhirnya gini, kamu dimanfaatkan saja!" ucapnya seakan memanasi Mbak Rini.
Aku intip, Mbak Rini terlihat mengangguk-angguk saja.
Dia memang pendek pemikirannya, tetapi kenapa tidak ada sisa ingatan bahwa kami menyayanginya? Kenapa malah lebih percaya kepada orang yang tidak pernah ada untuknya? Kalau Bu Rusmini sayang dengannya, kenapa dari kecil tidak merawatnya. Malah Emak Sayuti yang membuat dia bisa bangkit.
"Aku sudah berusaha menyuruhnya pulang, tapi Nisa tetap tidak mendengarkan. Entah, apa yang harus aku lakukan," jawab Mbak Rini.
"Ssstt ... Rin, Bulik Rus kasih tahu. Bagaimana kalau ke orang pinter. Tinggal ditiup, beres."
"Bisa cepet memang?"
"Bisalah. Nanti Bulik bantu. Biayanya cuma lima ratus ribu. Murah itu, dibandingkan warisan yang akan kamu dapatkan."
"Mau aku. Tetapi uangnya belum ada, minggu depan Bulik ke sini, ya. Aku siapkan uangnya dulu," ucap Mbak Rini.
"Siplah. Jangan lama-lama. Keburu warisannya dia keruk habis! Eh, dia di mana? Omongan kita tidak dia dengar, kan. Aku tidak enak, nanti dipikirnya aku ngompori kamu. Padahal, bantu ponakan tersayangku ini saja."
"Dia tidur. Seharian kerjaannya gitu. Seperti benalu saja!" jawab Mbak Rini.
"Wes, aku pulang, ya. Ingat, minggu depan siapkan uangnya," ucapnya dan beberapa saat kemudian terdengar pintu depan tertutup.
Aku terduduk lemas di belakang pintu kamar. Percakapan mereka membuatku ngeri. Ternyata yang dipermasalahkan warisan. Aku saja tidak pernah berpikir tetang hal ini, apalagi berniat menguasai rumah ini. Entah apa yang akan terjadi kalau dia meluluskan niatnya. Bisa jadi tidak hanya kami dibuatnya pergi, lebih ngeri lagi kemungkinan nyawa taruhannya seperti cerita-cerita yang sering beredar.
Kegigihannya sampai berniat meminta bantuan orang 'pintar', membulatkan niatku untuk meninggalkan rumah ini. Keselamatan kami yang harus aku utamakan. Entah, bagaimana caranya kami hidup, pasti yang di Atas memberi jalan.
Namun, untuk kembali ke kampung halamanku terasa berat. Bisa jadi keluar dari masalah di sini dan membuat masalah baru.
Aku yakin, ini jalan yang terbaik untuk semuanya. Aku teringat ucapan Mbak Fatimah saat pengajian, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya.”
Hatiku sudah mantap, sekarang tinggal mencari waktu bicara dengan Emak dan Bapak untuk meminta restunya.
***
"Dek Nisa, kamu yang sabar, ya," ucap Mas Wawan Kakak kandungku. Dia mengucapkan bela sungkawa untuk kedua kalinya. Pertama, saat musibah yang terjadi dan ke dua sekarang ini."Mas Wawan, mohon doanya, di sini posisiku sulit. Mbak Rini mulai menyindirku terus. Aku harus bagaimana, Mas?" Aku berkeluh kesah meminta dukungannya."Kamu harus bertahan demi anak-anakmu. Bagaimanapun rumah mereka di sana, kan. Jangan di ambil hati lah. Perempuan memang sering ngomong pedes. Sabar, ya," ucapnya menghiburku."Ya, Mas. Aku mengerti. Tetapi dia itu ngeyel, Mas.""Dengar, ya. Rumah yang kamu tempati itu rumah Pak Sardi dan Bu Sayuti, Ridwan kan anak tunggal mereka walaupun anak angkat. Ya itu haknya kalian. Haknya Alif dan Dwi. Apalagi ada surat pengesahan dari pengadilan. Secara hukun, yang numpang itu malah si Rini itu! Diakan anak bawaaan Pak Sardi! Sedangkan rumah itu ada karena perkawinan kedua," jelasnya dengan berapi-api."Iya Mas. Aku tahu benar itu. Tetapi Mas, kemarin Mbak Rini ....""S
"Bapak, Emak, Mbak Rini, kami pamit. Mohon maaf kalau kami ada salah. Selama ini, kami merepotkan," ucapku setelah travel pesananku memberi kabar kalau sudah diperjalanan menjemputku."Jangan berkata seperti itu!" teriak Emak langsung memelukku dan mencium pipi Dwi dan Alif. "Kalian anugrah dan kebahagiaan kami," ucapnya lagi seraya mengusap air mata di pipinya."Nisa, sampai kapanpun kamu menantu kami. Alif dan Dwi, selamanya cucu kami kami," tambah Bapak Mertuaku. "Terima kasih," ucapku mencium tangan Emak dan Bapak, kemudian berakhir dengan Mbak Rini yang memberikan tangannya sedikit."Mbak Rini, saya pamit," ucapku."Kamu membawa barangmu saja, kan. Tidak bawa sesuatu yang kau ambil tanpa ijin?" tanyanya dengan sinis."Rini! Jaga bicaramu! Bapak selama ini diam, karena menganggap kamu sudah dewasa! Tapi ternyata kamu tidak berubah. Tetap bodoh!" teriak Bapak dengan keras. Tidak pernah sekalipun aku mendengar bapak teriak seperti ini. Beliau memang tidak banyak bicara, apalagi sa
Bab 8. Menuju Kota Harapan-------------------------------------Mobil semakin cepat jalannya, kami langsung berangkat ke tujuan karena kami penumpang terakhir yang dijemput.Rumah-rumah seperti berlarian ke belakang dengan kecepatan yang sebanding dengan cepatnya laju mobil. Awalnya aku menyibukkan diri membaca tulisan-tulisan di pinggir jalan, lambat laun tulisan itu mengabur terhalang titik hujan yang membasahi kaca jendela.Buliran air menetes sedikit demi sedikit, kemudian membentuk aliran-aliran air yang semakin deras. Hujan mengguyur bumi mengantarkan kepergian kami. Dwi, bayi kecilku tertidur pulas di pangkuanku. Wajahnya begitu damai dan sesekali ada senyum yang tersungging di sana. Aku menoleh ke sampingku, Alif juga sudah tertidur. Begitu nyenyak, kepalanya sedikit menengadah dengan mulut yang terbuka terdengar deru halus nafasnya yang teratur. Aku usap rambutnya, dia beringsut dan menyandarkan kepalanya di lenganku.Mas Ridwan, lihatlah kami bertiga yang merindukanmu. Sam
Sebersit sinar matahari menyilaukan mataku. Gerakan Dwi dipangkuanku membuatku terjaga. Aku ngerjapkan mata dan berlahan kubuka mata ini. Gedung-gedung besar menjadi pemandangan. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis terlihat lalu lalang. Sesekali aku melihat sepeda motor saling berebut untuk mendahului. Semuanya bergerak aktif, seperti tidak mau ketinggalan akan waktu. Inilah kota tujuan kami menggantungkan harap. Memperjuangkan hidup untuk mengantar anak-anak ke masa depan yang lebih cerah.Alif yang sudah bangun terlihat menikmati pemandangan ini, dia menoleh setelah menyadari aku sudah terbangun. Dwi pun mengerjapkan mata sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangannya. "Adek! Ci luuuk, ba!" Candaan Alif disambut tawa terkekeh Dwi. Aku dudukkan Dwi di antara kami, mereka meneruskan bercanda dengan riang. Tubuhku aku regangkan, mengurai penat dan pegal ini.Aku melihat sekeliling, hanya tinggal beberapa penumpang saja. Berarti tujuanku akan segera sampai. Kemarin, aku sudah t
"Nisa, ya?!"Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.Alhamdulillah ....***"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku. Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian, kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu. Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif. "Saya Nisa, Umi Inayah." "Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat. "Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" Umi mengelus Dwi kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya. "Ini Mbok Sarinem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia in
Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.Aku helakan napas dengan mata terpejam.Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.*****"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. "Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...." "Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung. "Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahk
"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. "Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar. "Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi. "Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku. "Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi. "O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam. "Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk
"Mbak Nisa! Tadi malam di cariin Mas Bowo. Katanya terima kasih kopinya enak, camilannya juga enak," kata Bik Sari. Aku baru pulang kembali dari mengantar Alif sekolah dan langsung belanja ke pasar. Bik Sari yang selesai menyapu halaman mengikutiku dari belakang."Tadi malam, maunya saya ketok kamar Mbak Nisa, tetapi kok lampunya mati. Aku bilang saja Mbak Nisa sudah tidur," jelas Bik Sari lagi."Pak Bowo masih ada di sini, Bik?" tanyaku sambil mengeluarkan belanjaan dari pasar. Sayur, buah dan ikan segar. Empon-empon juga habis, aku membeli untuk stok."Mbak Nisa ingin nemui Mas Bowo?"Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arahnya. "Endak, lah. Untuk apa?" tanyaku balik.Bik Sari hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ya, mungkin mau ngobrol," celetuknya. Aku jawab dengan senyuman saja.Tadi malam, setelah membuat kopi, aku langsung mengantar ke teras depan. Aku lihat dia memakan nugget sebagai camilannya dengan lahap. "Terima kasih, ya!" ucapnya dengan tersenyum d
“Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku
(Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen
Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s
Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya
Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi
Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak
"Aku ingin minta ijin kepada Ridwan untuk menjaga kalian," ucapnya dengan menatapku tajam."Mas ...."Aku memberanikan diri membalas tatapannya, memastikan kesungguhan niat laki-laki yang selama ini mendampingi kami. Sungguh, sejujurnya aku tidak bisa menggantikan kedudukan Mas Ridwan di hati ini. Namun, perhatian dan kesungguhannya membuatku goyah untuk tidak menyambutnya.“Kenapa Mas Bowo tetap bersikukuh menerimaku? Sedangkan saya hanya wanita yang mempunyai hati yang sudah tidak utuh lagi. Dengan apa yang Mas Bowo dimiliki, banyak wanita yang lebih bisa didapat. Saya hanya-- .“ “Stop. Jangan diteruskan lagi,” ucapnya memotong perkataanku dengan menunjukkan jari telunjuknya di bibir ini. “Nisa …. Aku hanya ingin kamu memberiku sedikit ruang di hatimu. Aku hanya ingin kamu yang mendampingi di setiap langkahku.”Aku menunjukkan senyuman sebagai ucapan terima kasih. Di usiaku yang tidak muda lagi dan bahkan sudah mempunyai anak dua, dia bisa menerimaku. Ini yang membuatku ragu, apa
Samar aku dengar suara sedang berbincang. Menyebut namaku dan seperti suara ... ya, suara Mas Bowo. Mataku aku buka perlahan, yang aku lihat bukan dia, tetapi orang lain berjas putih. Aku di mana?"Bu Nisa sudah sadar," ucap orang itu saat melihatku berusaha duduk. "Nisa! Alhamdulillah kau sudah sadar," teriak Mas Bowo langsung mendekatkan kursi ke arah tempat tidurku. Aku menoleh ke arahnya dan mengedarkan pandanganku, di mana aku sekarang?"Ini di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan, karena tidak segera sadar, aku membawamu ke sini," jelasnya. "Ja-jadi saya semalaman tidak sadar?" tanyaku sambil melihat jarum infus yang menancap di tanganku."Iya, Bu. Tapi, sekarang sudah tidak ada masalah lagi. Keadaan Bu Nisa ini karena kondisi badan yang lemah dan pikiran," jelas orang itu yang ternyata dokter. "Baiklah, saya permisi dulu. Pak Bowo, pastikan istrinya makan yang banyak," ucapnya kemudian keluar diikuti suster di belakangnya.Selalu seperti ini, orang menyebut kami pasangan suami
Air mata ini luruh dengan sendirinya. Semakin deras tak terbendung. Sedikit harapan yang baru saja timbul sudah musnah sudah, setelah foto berikutnya yang diperlihatkan Mas Bowo.Sebuah gundukan tanah dengan nisan tidak bernama. Aku menatap kamar tidur Emak, terdengar tangisnya meskipun pintu sudah ditutup rapatTadi, setelah beberapa saat tidak sadarkan diri, Emak berlahan membuka mata. Dia langsung menarik tangan Mas Bowo."Nak, kabar Ridwan sekarang bagaimana? Dia sehat, kan?" tanyanya berusaha untuk duduk. Aku sibuk menggosok minyak kayu putih di kakinya. Kabar tentang Mas Ridwan terputus karena pingsannya Emak.Mas Bowo tersenyum dipaksakan dan tidak berucap apapun. Hanya menyodorkan foto berikutnya yang membuat dunia kami terbalik. Dengan tangan gemetar, Emak mengusap foto di ponsel itu. Menatap jauh ke sana seakan memastikan ini bukanlah mimpi. "Nak Bowo, Nisa, Emak istirahat dulu," ucapnya langsung masuk ke kamar dan menutup rapat pintu."Mas ... Ini benar?" Dia mengangguk m