"Nisa, ya?!"
Ucapanku terpotong dengan teriakan dari dalam rumah. Bersamaan kami menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita tua berdiri di depan pintu yang terbuka. Persis dengan foto di ponselku. Beliau, Umi Inayah.Alhamdulillah ....***"Wik! Bantu cepat, bawakan tasnya ke dalam. Pasti berat, ya?" teriak Umi Inayah menghampiriku.Laki-laki di sebelahku ini terdiam sesaat, memandang aku dan Umi bergantian, kemudian mengambil tas pakaian yang berada di sampingku. Dia tersenyum sekilas dan tanpa berkata-kata, masuk membawakan tas besar itu.
Aku langsung menghampiri Umi dan mencium tangannya diikuti Alif.
"Saya Nisa, Umi Inayah.""Panggil saya Umi saja," ucapnya sambil tersenyum hangat.
"Ini, pasti Dwi! Dan, ini Alif, ya!" Umi mengelus Dwi kemudian mengirimku orang-orang baik yang menolongku. Mereka bukan saudara tetapi rela untuk menolongku, ini karena kehendak-Nya.
"Ini Mbok Sarinem panggil saja Mbok Sari. Sebelumnya ada Mbok Iyah juga, tetapi sekarang ikut anaknya. Nah dia ini saja yang menemani di rumah segede ini. Kalau ada kalian, Umi tidak akan kesepian lagi," terangnya sambil mengajakku ke kamar yang akan kami tempat. "Ini kamar kalian. Lumayan cukup untuk kalian, kan?"
"Ini sungguh terlalu bagus untuk kami, Umi," ucapku sambil mengedarkan mata ke sekeliling. Ada tempat tidur besar, cukup luas untuk kami bertiga. Almari besar dan meja kecil, jendela tinggi terbuka dengan taman di depannya. Rumah Umi Ina, ruman kuno yang memiliki pintu dan jendela yang tinggi. "Tetapi Umi, saya sudah mengatakan kepada Mbak Fatimah. Saya di sini sementara dan akan mencari kost. Maaf sudah merepotkan," ucapku dengan menunduk hormat.
"Sini duduk," ucapnya menarikku ke tempat tidur. Kami duduk berdampingan, Umi menghadap ke arahku. "Sudah, tidak usah dipikir dulu. Kamu di sini bukan beban buat, Umi. Fatimah sudah menceritakan semuanya tentang kamu. Sabar, ya. Anggap, Umi ini ibumu. Sekarang bersih-bersih badan, setelah itu kita bisa berbincang," ucapnya dengan menepuk bahuku dengan tersenyum menenangkan kemudian keluar dari ruangan.
*Alif dan Dwi sudah mandi dan berganti pakaian, begitu juga aku. Setelah menyusui sebentar, aku keluar kamar. Umi yang duduk di ruang tengah langsung menyambutku.
"Alif, sini nonton TV. Nisa, biarkan Dwi dengan Umi. Kamu bisa menata pakaian kalian," ucapnya seraya mengambil Dwi dari tanganku.
"Baik, Umi. Terima kasih." Aku segera menyelesaikan merapikan kamar, memasukkan barang kami yang sedikit ke dalam almari baju.
"Masak apa, Bik?" tanyaku melihat Bik Sari memotong-motong wortel.
"Ini, Mbak Nisa. Umi menyuruh saya masak Asem-Asem Daging, tetapi saya tidak yakin yang saya buat ini enak. Biasanya yang masak Bik Iyah, saya cuma bantu potong-potong," ucapnya sambil mengambil sepotong daging dari kulkas.
"Boleh saya bantu, Bik?" tanyaku. Aku mendekat, sayur wortel, buncis dan kentang sudah dipotong dadu. Sudah disiapkan bumbu-bumbunya, seperti bawang merah, bawah putih, dan lainnya, spesialnya ada belimbing wuluh. Sudah lengkap!
"Sini saya bantu potong dagingnya. Biarkan saya masak, mungkin Bik Sari masih ada perkerjaan," ucapku sambil meminta daging yang di bawanya.
"Beneran Mbak Nisa? Kalau begitu, saya tinggal jemur pakaian, ya!" ucapnya girang. Aku tersenyum dan mengangguk.
Pekerjaan memasak memang kesukaanku. Dulu di kampung dan terakhir di rumah mertua, tugasku memasak. Entah, siapa sekarang yang memasak di sana, setahuku Mbak Rini tidak telaten kalau melakukan pekerjaan ini.
Aku potong dadu senada dengan potongan sayur. Selain rasa, aku juga memperhatikan bentuk makanan, harus semenarik mungkin jngan sampai terkesan berantakan. Makanan pertama yang menarik mata, setelah itu baru dengan rasa.
Seharusnya, Bik Sari memotong daging dulu langsung di rebus, setelah itu baru memotong sayur sambil menunggu daging empuk. Memasak juga memerlukan pengaturan waktu, kalau terbalik bisa acara masak memakan waktu lama.
Tumis bumbu ditambah lengkuas, daun salam dan potongan cabe besar hijau dan merah, kemudian ditambah rebusan daging beserta kaldunya. Setelah mendidih dimasukkan sayuran potong tadi. Siap, rasa asam dari belimbing wuluh terasa segar. Setelah di angkat, baru potongan tomat di masukkan, jadi tomat masih terasa segar.
"Lo, kamu yang masak, Nisa? Bibik mana?" tanya Umi mengagetkanku. Umi menggendong Dwi yang sudah tertidur pulas.
"Iya Umi. Bik Sari jemur pakaian. Ini sudah selesai, kok," ucapku sambil mencuci tangan dan melepas celemek. Aku mengambil bayiku itu untuk ditidurkan ke kamar.
"Hhhmm, enak! Kamu ternyata pinter masak, ya. Fatimah juga sempat cerita ke Umi. Kamu juga pintar buat jajanan," ucap Umi. Dia menyendok masakanku ke mangkok kecil dan menikmatinya.
"Iya Umi, saya permisi menidurkan Dwi dulu," ucapku membungkuk dan melangkah ke kamar.
Dwi menggeliatkan tubuhnya, tangannya menggapai biasanya dia minta ditemani sebentar. Aku baringkan tubuhku di sampingnya dan mengusap-usap punggungnya sampai dia tertidur pulas.Biasanya, Mas Ridwan akan menggodaku dengan ikut berbaring di belakangku. Dia mencium kepalaku, bahkan tak jarang membuatku geli karena ulahnya. Kalau sudah seperti itu, kami akan berakhir dengan saling membalas walaupun tanpa suara.
Tak jarang, Mas Ridwan membisikkan kata sayang dan terima kasih sudah mengurus anak-anak. Baginya, anak adalah anugrah, karena itulah dia bertekad memberikan kehidupan yang lebih baik, dengan apapun caranya termasuk pergi ke laut untuk menambah penghasilan.
"Terima kasih, Dek Nisa"Deg!
Suara itu, suara Mas Ridwan. ***Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.Aku helakan napas dengan mata terpejam.Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.*****"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. "Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...." "Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung. "Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahk
"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. "Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar. "Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi. "Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku. "Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi. "O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam. "Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk
"Mbak Nisa! Tadi malam di cariin Mas Bowo. Katanya terima kasih kopinya enak, camilannya juga enak," kata Bik Sari. Aku baru pulang kembali dari mengantar Alif sekolah dan langsung belanja ke pasar. Bik Sari yang selesai menyapu halaman mengikutiku dari belakang."Tadi malam, maunya saya ketok kamar Mbak Nisa, tetapi kok lampunya mati. Aku bilang saja Mbak Nisa sudah tidur," jelas Bik Sari lagi."Pak Bowo masih ada di sini, Bik?" tanyaku sambil mengeluarkan belanjaan dari pasar. Sayur, buah dan ikan segar. Empon-empon juga habis, aku membeli untuk stok."Mbak Nisa ingin nemui Mas Bowo?"Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arahnya. "Endak, lah. Untuk apa?" tanyaku balik.Bik Sari hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ya, mungkin mau ngobrol," celetuknya. Aku jawab dengan senyuman saja.Tadi malam, setelah membuat kopi, aku langsung mengantar ke teras depan. Aku lihat dia memakan nugget sebagai camilannya dengan lahap. "Terima kasih, ya!" ucapnya dengan tersenyum d
Kami makan bersama, Umi, keponakan umi, aku, dan kedua anakku. Sambil memangku Dwi, aku menyuapinya dengan nasi tim yang dicampur dengan daging ikan dari sup ini. Umi memuji masakanku, dia bilang supnya menyegarkan. "Tumben kamu mau makan ikan, Wik?" tanya Umi. Dia memang sering memanggil Wik daripada Bowo. Katanya dulu ketika kecil dia tidak bisa menyebut nama lengkap, Wibowo, jadinya panggilan kecilnya Wik. "Enak!" katanya sambil menambahkan nasi untuk kedua kalinya. "Makanya, cepet cari istri. Biar ada yang masakin!" celetuk Umi. Uhuk ...! Mas Bowo terbatuk mendengar ucapan Umi. Dia langsung meneguk air putih di sebelahnya."Mesti begitu kalau ditanya Umi. Mamamu itu lo, ngejar-ngejar Umi untuk nyarikan istri kamu. Sampe bingung jawabnya!" "Ya, cuekin aja, Mi.""Pacarmu yang bulan kemarin itu aja. Cepet dilamar.""Sudah putus. Ah, Umi bikin nafsu makanku hilang," jawab Mas Bowo"Nafsu makan ilang opo! Sudah dua piring gitu!" sanggah Umi disambut tertawa Mas Bowo.Aku tersenyum
"Usahamu sudah mulai tumbuh, kamu harus memupuknya terus. Jangan sampai pelangganmu kecewa, karena usaha makanan itu maju atau tidak tergantung ininya pelanggan," jelas Umi sambil menunjuk mulutnya. "Iya Umi, saya mengerti. Karena itu, saya minta ijin mulai memakai dapur belakang," ucapku. Ada bangunan kecil di belakang rumah. Kata Umi dulu dapur kotor saat di rumah ini penghuninya lengkap. Namun, karena anak Umi tinggal dilain kota dan yang di rumah sekarang tinggal Umi, jadi dapur besar itu tidak digunakan lagi."Pakai saja secepatnya. Cek dulu, masih bagus tidak peralatan yang di sana. Untuk pesanan sore ini, kamu pakai dapur di depan dulu," ucap Umi dengan menepuk bahuku."Sekalian minta ijin, Umi. Besuk saya pergi dulu ke toko perhiasan. Saya ingin menjual ini untuk modal," kataku dengan memperlihatkan isi buntalan yang diberikan Emak Sayuti dulu. Satu kalung, dua gelang dan beberapa cincin, simpanan Emak saat masih aktif berdagang dulu.Umi menarik tanganku dan menutup kembali
"Mbak Nisa, dipanggil Umi. Ini saya selesaikan saja," ucap Mbak Sari mengambil alih yang aku kerjakan. Setelah makan bersama, aku membersihkan dapur, Dwi tertidur dan Alif bermain di halaman. Aku melepaskan celemek dan bergegas ke depan.Sudah ada Umi dan Mas Bowo yang duduk di ruang tengah. Umi menepuk sofa di sebelahnya untuk aku duduki."Nisa, Umi senang usahamu mulai jalan. Zaman sekarang sudah berbeda, tidak banyak orang membawa uang cash. Senin depan kamu buka rekening, mudahkanlah pelangganmu dalam pembayaran," jelas Umi."Iya Umi. Minggu depan saya cari kesempatan untuk ke bank," jawabku."Besuk hari minggu, kalau belanja peralatan, biar Bowo antar. Mumpung dia libur. Jangan sendiri, di kota ini tidak aman kalau kamu tidak mengerti," jelasnya disambut anggukan Mas Bowo yang di sebelahnya."Apa tidak merepotkan. Seharusnya hari libur buat istirahat. Saya bisa menggunakan angkutan umum, toh pasar tidak terlalu jauh dari sini. Kalau diijinkan, saya ajak Bik Sari saja," ucapku sen
"Mbak Nisa, kita mampir makan dulu ya. Aku lapar!" ucap Mas Bowo saat kami selesai belanja peralatan di pasar. Kasihan juga dia, bolak-balik membawa peralatan dari dalam pasar ke mobil walaupun ada tukang angkat yang mengikutinya. Kakinya pasti penat, seharian mengikuti aku keliling pasar. Tidak hanya mencari peralatan yang aku butuhkan, tetapi juga membandingkan harga yang paling bagus."Alhamdulillah, dapat harga bagus. Yang toko tadi, sudah pelayannya judes, harganya tidak boleh di tawar. Untung kita ke tempat yang ini Mas. Dapat harga murah!" ucapku senang. "Selisihnya cuma lima ribu, Mbak," celetuk Mas Bowo."Ya tetep lebih murah, Mas. Lima ribu kali berapa, lumayan bisa buat beli lainnya. Dapet bonus sutil, lagi!" Senyumku mengembang dengan sendirinya, memandang sutil yang aku pegang. Suatu kebanggaan tersendiri mendapat harga lebih murah ketika belanja."Cewek itu memang aneh. Dapet sutil gitu saja sudah senang," gerutu Mas Bowo lirih walaupun aku mendengar dengan jelas.Di
"Mbak Nisa ... Mbak."Terdengar suara memanggil namamu. Aku mengerjapkan mata, dan mengumpukan kesadaranku. Ternyata aku tertidur."Tidurnya nyenyak sekali, Mbak. Kecapekan, ya. Ayo kita turun. Kita sudah sampai," ucap Mas Bowo sambil membuka sabuk pengaman."Sudah di rumah?" tanyaku kebingungan. Aku longokkan kepalaku di jendela, ada mobil berjejer di sekeliling. "Kita mau makan, Mbak. Ingat?" ucapnya sambil tertawa melihatku kebingungan. Duh, gara-gara ketiduran. Aku merapikan rambut dan bajuku kemudian turun dari mobil. "Mas, ini di mana?" tanyaku lagi."Tuh!" jawabnya dengan menunjuk tulisan kecil di tembok yang bertuliskan parkir Tunjungan Plaza. Aku bergegas berlari mengejar langkah panjang Mas Bowo yang jalan lebih dulu. Kami masuk di keramaian dan memasuki rumah makan, tepatnya restoran."Mas Bowo. Kita tidak salah makan di sini?" bisikku. Mataku membulat saat melihat menu terutama angka yang di bawahnya. Bagiku harganya yang lumayan mahal."Sudah, pilih yang Mbak Nisa suka.
“Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku
(Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen
Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s
Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya
Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi
Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak
"Aku ingin minta ijin kepada Ridwan untuk menjaga kalian," ucapnya dengan menatapku tajam."Mas ...."Aku memberanikan diri membalas tatapannya, memastikan kesungguhan niat laki-laki yang selama ini mendampingi kami. Sungguh, sejujurnya aku tidak bisa menggantikan kedudukan Mas Ridwan di hati ini. Namun, perhatian dan kesungguhannya membuatku goyah untuk tidak menyambutnya.“Kenapa Mas Bowo tetap bersikukuh menerimaku? Sedangkan saya hanya wanita yang mempunyai hati yang sudah tidak utuh lagi. Dengan apa yang Mas Bowo dimiliki, banyak wanita yang lebih bisa didapat. Saya hanya-- .“ “Stop. Jangan diteruskan lagi,” ucapnya memotong perkataanku dengan menunjukkan jari telunjuknya di bibir ini. “Nisa …. Aku hanya ingin kamu memberiku sedikit ruang di hatimu. Aku hanya ingin kamu yang mendampingi di setiap langkahku.”Aku menunjukkan senyuman sebagai ucapan terima kasih. Di usiaku yang tidak muda lagi dan bahkan sudah mempunyai anak dua, dia bisa menerimaku. Ini yang membuatku ragu, apa
Samar aku dengar suara sedang berbincang. Menyebut namaku dan seperti suara ... ya, suara Mas Bowo. Mataku aku buka perlahan, yang aku lihat bukan dia, tetapi orang lain berjas putih. Aku di mana?"Bu Nisa sudah sadar," ucap orang itu saat melihatku berusaha duduk. "Nisa! Alhamdulillah kau sudah sadar," teriak Mas Bowo langsung mendekatkan kursi ke arah tempat tidurku. Aku menoleh ke arahnya dan mengedarkan pandanganku, di mana aku sekarang?"Ini di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan, karena tidak segera sadar, aku membawamu ke sini," jelasnya. "Ja-jadi saya semalaman tidak sadar?" tanyaku sambil melihat jarum infus yang menancap di tanganku."Iya, Bu. Tapi, sekarang sudah tidak ada masalah lagi. Keadaan Bu Nisa ini karena kondisi badan yang lemah dan pikiran," jelas orang itu yang ternyata dokter. "Baiklah, saya permisi dulu. Pak Bowo, pastikan istrinya makan yang banyak," ucapnya kemudian keluar diikuti suster di belakangnya.Selalu seperti ini, orang menyebut kami pasangan suami
Air mata ini luruh dengan sendirinya. Semakin deras tak terbendung. Sedikit harapan yang baru saja timbul sudah musnah sudah, setelah foto berikutnya yang diperlihatkan Mas Bowo.Sebuah gundukan tanah dengan nisan tidak bernama. Aku menatap kamar tidur Emak, terdengar tangisnya meskipun pintu sudah ditutup rapatTadi, setelah beberapa saat tidak sadarkan diri, Emak berlahan membuka mata. Dia langsung menarik tangan Mas Bowo."Nak, kabar Ridwan sekarang bagaimana? Dia sehat, kan?" tanyanya berusaha untuk duduk. Aku sibuk menggosok minyak kayu putih di kakinya. Kabar tentang Mas Ridwan terputus karena pingsannya Emak.Mas Bowo tersenyum dipaksakan dan tidak berucap apapun. Hanya menyodorkan foto berikutnya yang membuat dunia kami terbalik. Dengan tangan gemetar, Emak mengusap foto di ponsel itu. Menatap jauh ke sana seakan memastikan ini bukanlah mimpi. "Nak Bowo, Nisa, Emak istirahat dulu," ucapnya langsung masuk ke kamar dan menutup rapat pintu."Mas ... Ini benar?" Dia mengangguk m