Bayu memegangi kepalanya dan berteriak, "Sialan."Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Brian dengan jari gemetar.Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan rasa terima kasih.Panggilan itu segera tersambung. Bayu langsung bicara dengan tajam."Brian, aku nggak peduli kamu sedang apa! Sekarang! Jangan tunggu lama! Pergi ke Rumah Sakit Harapan sekarang juga!"Suara di ujung sana sedikit berisik, seperti berada di tempat ramai."Kak Bayu? Hebat sekali perempuan itu. Sampai menyeretmu ikut pura-pura! Aku masih bisa mengerti kalau cuma perempuan bodoh itu saja, tapi kenapa kamu ikut-ikutan, Kak? Aku beneran masih ada urusan di sini, nggak ada waktu meladeni sandiwara kalian! Dia selalu ribut-ribut setiap aku pergi ke tempat Laudya! Bahkan sekarang sampai melibatkanmu. Nggak bisakah dia lebih mandiri? Aku tutup dulu, masih ada urusan!"Bayu baru membuka mulut dan belum sempat bersuara, tapi Brian sudah menutup telepon.Bayu menatap telepon yang telah ditutup dan menelepon nomor
"Berlutut! Kamu cari-cari ayahmu, 'kan? Dia ada di sini! Kamu bodoh atau tolol? Buat apa kami menipumu? Dasar nggak tahu malu!"Bayu terlalu emosional. Istrinya segera menepuk-nepuk lengannya untuk menenangkan.Tapi entah karena terlalu kewalahan atau kenapa, istrinya berhenti berusaha menenangkan dan berjalan menjauh dengan kaku.Brian terjatuh ke lantai memandangi abu itu, lalu foto di tanganku.Dia menjambak rambutnya sendiri dan berteriak.Tiba-tiba, dia mendongak dan menatapku dengan tatapan menyeramkan.Seperti binatang buas, dia mengaum dan menerkamku."Ini semua salahmu! Ayahku sudah sangat tua, tapi kamu nggak merawatnya dengan baik! Kamu gagal berbakti padanya saat dia masih hidup, jadi matilah dan lanjutkan tugasmu sebagai menantu di alam kubur! Mati! Mati!"Tangannya mencekik leherku. Aku tidak berdaya, tidak bisa mendorongnya meski telah mengeluarkan segenap tenagaku. Tepat saat kupikir aku akan mati lagi, tangan yang mencekik leherku mengendur.Aku berjuang untuk bangun d
Setelah upacara pemakaman, Brian berlutut dengan tatapan kosong di depan nisan ayahnya. Memandangi foto di batu nisan dan menangis tersedu-sedu.Melihat wajahnya yang sedih, aku tidak merasa apa-apa selain bahagia dan benci.Aku tidak berani sendirian dengannya, jadi aku ingin membicarakan perceraian selagi semua orang masih di sana.Sebelum kata-kata itu keluar dari mulutku, ponsel Brian berdering lagi.Brian tidak mengangkatnya, tapi penelepon sepertinya tidak mau berhenti sampai panggilan diangkat.Brian mengangkat telepon saat panggilan ketiga berbunyi.Entah apa yang dia dengar dari sana, dia panik seketika.Dia cepat-cepat bangkit dan berjalan keluar dari pemakaman."Mau apa lagi!"Bayu menghentikan Brian dengan tatapan tidak senang."Kak, keadaan Laudya sedang gawat. Anaknya baru meninggal karena penyakit parah. Dia sangat terpukul dan mencoba bunuh diri! Aku harus pergi!"Aku hanya merasa konyol mendengarnya. Aku juga punya anak dengan Brian dua tahun lalu.Tapi anak itu tidak
Aku membuat janji dengan Anett untuk bertemu di kedai kopi pada jam tiga sore. Aku terlambat beberapa menit karena macet.Saat aku tiba, Anett sudah di sana.Dia sudah minum kopi di salah satu meja sambil lanjut bekerja menghadap laptopnya.Betapa beruntungnya. Aku dulu ingin menjadi wanita karier, tapi Brian membujukku berhenti bekerja saat aku hamil. Dia memintaku tinggal di rumah saja untuk merawat anak. Bahkan setelah keguguran dan aku ingin kembali bekerja, dia melarangku dan menyuruhku pulang merawat ayah mertuaku.Anett sangat fokus menyaksikan sesuatu.Dia bahkan tidak sadar saat aku mendekat."Sedang lihat apa?""Eh, kamu sudah sampai? Ini, ada video yang sedang viral. Seorang pria menangis menggendong istrinya yang baru saja kehilangan anaknya."Sepertinya tidak asing."Yang melompat dari di rumah sakit?""Ya, benar!"Aku tersenyum pahit."Laki-laki itu suamiku, Brian."Anett tertegun. Lalu tiba-tiba teringat sesuatu dan tersenyum dengan kepala menggeleng."Jadi begitu? Aku l
Aku diminta pergi ke kantor polisi untuk membayar denda dan menegosiasikan kompensasi agar Brian bisa pergi.Aku tidak ingin pergi, tapi kemudian kupikir bahwa waktu ini bisa kumanfaatkan untuk membicarakan perceraian. Aku tidak berani bertemu dengannya sendirian.Brian duduk di kursi besi kantor polisi. Saat melihatku datang, dia menghindari mataku dengan ekspresi aneh.Aku membayar denda dan memberi kompensasi kepada korban sebesar 60 juta.Brian mengambil jaketnya dari kursi dan menatapku tajam, berkata padaku dengan amarah tertahan."Kakakku nggak bisa datang. Aku nggak mungkin sengaja ingin menghubungimu."Aku menarik napas dalam-dalam, menatap pria yang membuatku mual ini."Brian, ayo bercerai!"Dia sedang berjalan ke pintu. Saat mendengar kata-kataku, dia menoleh ke arahku dengan tidak percaya."Kamu yakin?""Aku yakin!"Tapi dia menatapku dengan wajah mencemooh dan menertawakan."Kamulah yang dulu sangat ingin menikah sehidup semati denganku. Main sandiwara apa lagi sekarang?"
"Sekarang, matilah untuk menemani mereka dan menebus dosa-dosamu!"Dia mencabut pisau entah dari mana dan melotot, menerkam ke arahku."Buka pintunya! Brian!"Saat aku sedang memikirkan bagaimana cara keluar dari situasi ini, terdengar suara ketukan.Bayu!Aku ingin membukakan pintu, tapi aku tidak berani.Brian sangat dekat dengan pintu. Jika aku membukanya, aku takut akan membahayakan diriku sendiri."Brian! Aku tahu kamu di sana! Kalau kamu nggak buka pintu, aku panggil polisi!"Brian sangat menghormati Bayu, tapi kini dendam di matanya semakin menjadi-jadi setelah mendengar kata-kata Bayu.Brian menatapku dan menarik napas panjang."Sejak kapan kamu selingkuh dengan Bayu? Hah? Cuma karena aku nggak mencintaimu dan nggak mau menyentuhmu, kamu berubah jadi perempuan murahan? Nggak sabar ingin merangkak ke tempat tidur kakakku? Hilda, kamu sungguh murahan!""Brian, jangan kira semua orang itu sama denganmu! Aku dan Bayu nggak ada apa-apa. Aku bahkan jarang melihatnya! Jangan nilai aku
Kemeja putih Brian telah berubah menjadi merah karena darah.Bayu menjatuhkan pisaunya dengan panik saat melihat Brian terkapar tanpa tanda-tanda kehidupan di lantai.Dia memegangi luka di perut bagian bawahnya dan buru-buru berlari menuju lift.Tapi, saat lift terbuka, beberapa orang polisi keluar dan menjegalnya ke lantai."Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku nggak bersalah! Aku membela diri! Aku cuma membela diri! Dia ingin membunuhku! Aku membela diri! Lepaskan aku!"Seorang polisi memeriksa kondisi Brian dan menemukan denyut nadi serta napas yang lemah, jadi mereka segera memanggil ambulans.Ambulans segera datang, membawa Brian dan Bayu ke rumah sakit secara terpisah.Sebagai salah satu pihak yang terlibat, aku dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.Aku tidak melakukan pembunuhan, hanya membela diri menggunakan air cabai buatan sendiri. Karena tidak ada sidik jariku di pisau dan mendengarkan kesaksian tetangga, aku bisa segera pergi.Luka Brian terlalu parah dan dia menin
Kemeja putih Brian telah berubah menjadi merah karena darah.Bayu menjatuhkan pisaunya dengan panik saat melihat Brian terkapar tanpa tanda-tanda kehidupan di lantai.Dia memegangi luka di perut bagian bawahnya dan buru-buru berlari menuju lift.Tapi, saat lift terbuka, beberapa orang polisi keluar dan menjegalnya ke lantai."Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku nggak bersalah! Aku membela diri! Aku cuma membela diri! Dia ingin membunuhku! Aku membela diri! Lepaskan aku!"Seorang polisi memeriksa kondisi Brian dan menemukan denyut nadi serta napas yang lemah, jadi mereka segera memanggil ambulans.Ambulans segera datang, membawa Brian dan Bayu ke rumah sakit secara terpisah.Sebagai salah satu pihak yang terlibat, aku dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.Aku tidak melakukan pembunuhan, hanya membela diri menggunakan air cabai buatan sendiri. Karena tidak ada sidik jariku di pisau dan mendengarkan kesaksian tetangga, aku bisa segera pergi.Luka Brian terlalu parah dan dia menin
"Sekarang, matilah untuk menemani mereka dan menebus dosa-dosamu!"Dia mencabut pisau entah dari mana dan melotot, menerkam ke arahku."Buka pintunya! Brian!"Saat aku sedang memikirkan bagaimana cara keluar dari situasi ini, terdengar suara ketukan.Bayu!Aku ingin membukakan pintu, tapi aku tidak berani.Brian sangat dekat dengan pintu. Jika aku membukanya, aku takut akan membahayakan diriku sendiri."Brian! Aku tahu kamu di sana! Kalau kamu nggak buka pintu, aku panggil polisi!"Brian sangat menghormati Bayu, tapi kini dendam di matanya semakin menjadi-jadi setelah mendengar kata-kata Bayu.Brian menatapku dan menarik napas panjang."Sejak kapan kamu selingkuh dengan Bayu? Hah? Cuma karena aku nggak mencintaimu dan nggak mau menyentuhmu, kamu berubah jadi perempuan murahan? Nggak sabar ingin merangkak ke tempat tidur kakakku? Hilda, kamu sungguh murahan!""Brian, jangan kira semua orang itu sama denganmu! Aku dan Bayu nggak ada apa-apa. Aku bahkan jarang melihatnya! Jangan nilai aku
Aku diminta pergi ke kantor polisi untuk membayar denda dan menegosiasikan kompensasi agar Brian bisa pergi.Aku tidak ingin pergi, tapi kemudian kupikir bahwa waktu ini bisa kumanfaatkan untuk membicarakan perceraian. Aku tidak berani bertemu dengannya sendirian.Brian duduk di kursi besi kantor polisi. Saat melihatku datang, dia menghindari mataku dengan ekspresi aneh.Aku membayar denda dan memberi kompensasi kepada korban sebesar 60 juta.Brian mengambil jaketnya dari kursi dan menatapku tajam, berkata padaku dengan amarah tertahan."Kakakku nggak bisa datang. Aku nggak mungkin sengaja ingin menghubungimu."Aku menarik napas dalam-dalam, menatap pria yang membuatku mual ini."Brian, ayo bercerai!"Dia sedang berjalan ke pintu. Saat mendengar kata-kataku, dia menoleh ke arahku dengan tidak percaya."Kamu yakin?""Aku yakin!"Tapi dia menatapku dengan wajah mencemooh dan menertawakan."Kamulah yang dulu sangat ingin menikah sehidup semati denganku. Main sandiwara apa lagi sekarang?"
Aku membuat janji dengan Anett untuk bertemu di kedai kopi pada jam tiga sore. Aku terlambat beberapa menit karena macet.Saat aku tiba, Anett sudah di sana.Dia sudah minum kopi di salah satu meja sambil lanjut bekerja menghadap laptopnya.Betapa beruntungnya. Aku dulu ingin menjadi wanita karier, tapi Brian membujukku berhenti bekerja saat aku hamil. Dia memintaku tinggal di rumah saja untuk merawat anak. Bahkan setelah keguguran dan aku ingin kembali bekerja, dia melarangku dan menyuruhku pulang merawat ayah mertuaku.Anett sangat fokus menyaksikan sesuatu.Dia bahkan tidak sadar saat aku mendekat."Sedang lihat apa?""Eh, kamu sudah sampai? Ini, ada video yang sedang viral. Seorang pria menangis menggendong istrinya yang baru saja kehilangan anaknya."Sepertinya tidak asing."Yang melompat dari di rumah sakit?""Ya, benar!"Aku tersenyum pahit."Laki-laki itu suamiku, Brian."Anett tertegun. Lalu tiba-tiba teringat sesuatu dan tersenyum dengan kepala menggeleng."Jadi begitu? Aku l
Setelah upacara pemakaman, Brian berlutut dengan tatapan kosong di depan nisan ayahnya. Memandangi foto di batu nisan dan menangis tersedu-sedu.Melihat wajahnya yang sedih, aku tidak merasa apa-apa selain bahagia dan benci.Aku tidak berani sendirian dengannya, jadi aku ingin membicarakan perceraian selagi semua orang masih di sana.Sebelum kata-kata itu keluar dari mulutku, ponsel Brian berdering lagi.Brian tidak mengangkatnya, tapi penelepon sepertinya tidak mau berhenti sampai panggilan diangkat.Brian mengangkat telepon saat panggilan ketiga berbunyi.Entah apa yang dia dengar dari sana, dia panik seketika.Dia cepat-cepat bangkit dan berjalan keluar dari pemakaman."Mau apa lagi!"Bayu menghentikan Brian dengan tatapan tidak senang."Kak, keadaan Laudya sedang gawat. Anaknya baru meninggal karena penyakit parah. Dia sangat terpukul dan mencoba bunuh diri! Aku harus pergi!"Aku hanya merasa konyol mendengarnya. Aku juga punya anak dengan Brian dua tahun lalu.Tapi anak itu tidak
"Berlutut! Kamu cari-cari ayahmu, 'kan? Dia ada di sini! Kamu bodoh atau tolol? Buat apa kami menipumu? Dasar nggak tahu malu!"Bayu terlalu emosional. Istrinya segera menepuk-nepuk lengannya untuk menenangkan.Tapi entah karena terlalu kewalahan atau kenapa, istrinya berhenti berusaha menenangkan dan berjalan menjauh dengan kaku.Brian terjatuh ke lantai memandangi abu itu, lalu foto di tanganku.Dia menjambak rambutnya sendiri dan berteriak.Tiba-tiba, dia mendongak dan menatapku dengan tatapan menyeramkan.Seperti binatang buas, dia mengaum dan menerkamku."Ini semua salahmu! Ayahku sudah sangat tua, tapi kamu nggak merawatnya dengan baik! Kamu gagal berbakti padanya saat dia masih hidup, jadi matilah dan lanjutkan tugasmu sebagai menantu di alam kubur! Mati! Mati!"Tangannya mencekik leherku. Aku tidak berdaya, tidak bisa mendorongnya meski telah mengeluarkan segenap tenagaku. Tepat saat kupikir aku akan mati lagi, tangan yang mencekik leherku mengendur.Aku berjuang untuk bangun d
Bayu memegangi kepalanya dan berteriak, "Sialan."Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Brian dengan jari gemetar.Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan rasa terima kasih.Panggilan itu segera tersambung. Bayu langsung bicara dengan tajam."Brian, aku nggak peduli kamu sedang apa! Sekarang! Jangan tunggu lama! Pergi ke Rumah Sakit Harapan sekarang juga!"Suara di ujung sana sedikit berisik, seperti berada di tempat ramai."Kak Bayu? Hebat sekali perempuan itu. Sampai menyeretmu ikut pura-pura! Aku masih bisa mengerti kalau cuma perempuan bodoh itu saja, tapi kenapa kamu ikut-ikutan, Kak? Aku beneran masih ada urusan di sini, nggak ada waktu meladeni sandiwara kalian! Dia selalu ribut-ribut setiap aku pergi ke tempat Laudya! Bahkan sekarang sampai melibatkanmu. Nggak bisakah dia lebih mandiri? Aku tutup dulu, masih ada urusan!"Bayu baru membuka mulut dan belum sempat bersuara, tapi Brian sudah menutup telepon.Bayu menatap telepon yang telah ditutup dan menelepon nomor
Segera setelah membuka mata lagi, aku melihat ayah mertuaku terbaring di lantai.Aku punya fobia darah sejak kecil dan spontan ingin menelepon suamiku.Saat membuka kunci ponselku, aku teringat saat suamiku menusukku dengan pisau dapur sebelum aku mati.Rasa sakit itu seperti masih melekat. Dengan jari-jari yang gemetar, aku menghentikan niat untuk menelepon suamiku dan beralih untuk menelepon Bayu, sepupu suamiku.Telepon itu diangkat tanpa menunggu lama."Sayang, cepat pulang. Ayah jatuh berdarah-darah. Aku harus apa? Aku takut darah, cepat pulang!"Aku pura-pura panik dan salah sambung. Suaraku terisak-isak cemas."Jangan panik. Aku ke sana sekarang."Rumah sepupuku sangat dekat dari sini. Tidak sampai sepuluh menit jalan kaki.Seperti yang kuharapkan, pintu depan di ketuk dalam waktu kurang dari lima menit.Aku membuka pintu dengan tergesa-gesa dan pura-pura terkejut melihat orang yang datang."Kak Bayu? Bukannya aku telepon Brian?"Dia tidak menjelaskan, tapi segera menggendong ay