Fajar membingkai wajahku dengan kedua telapak tangan, kemudian merekatkan dahi kami berdua. Hangat hembusan napasnya menyapu wajah. Aku memejamkan mata, meresapi kebersamaan ini. Perlahan di tariknya kepalaku dalam pelukan.
“Saya tidak akan ke mana-mana, Nyonya,” jawabnya. Aku menarik kepalaku dari dada bidang itu, kembali menatap wajahnya lamat-lamat.“Apa Oma melakukan sesuatu?” tanyaku hati-hati.
Fajar hanya tertawa, kemudian menggelengkan kepala, menggenggam tanganku erat.
“Tidak, Nyonya. Semua baik-baik saja, jangan khawatir.”
Aku bisa bernapas lega mendengar itu. Ketika azan magrib berkumandang, kami beranjak dan berlarian berdua meninggalkan pantai. Kami mencari mushola terdekat, kemudian ikut shalat berjamaah bersama masyarakat lainnya.
Tepat pukul 20.00 malam, kami memutuskan pulang. Aku dan Fajar duduk di pinggir jalan, menunggu kedatangan Pak Sopian. Fajar terus me
Kutarik napas beberapa kali, kemudian mengembuskannya perlahan. Aku berusaha menahan tangis, dengan mengulum bibir. Setelahnya bangkit, dan duduk di ujung ranjang. Kuhapus air mata kasar. Kupejamkan mata lama, dan wajah Fajar seakan membayang di pelupuk mata. Meringis aku sembari menggelengkan kepala. Aku tergugu sampai bahu terguncang, air mata mengalir deras tanpa kuminta. Tiba-tiba aku ingat kotak biru yang diberikannya di hari ulang tahunku.Tergesa, aku bangkit dan membuka lemari. Semua yang ada dalam lemari kuhamburkan keluar, karena aku tak kunjung menemukan kotak itu. Di mana kotak itu? Itu satu-satunya pemberian Fajar untukku. Setelah semua isi lemari keluar dari tempatnya, terlihat kotak kecil itu ada di bagian sudut lemari. Aku tertegun lama menatapnya, kemudian dengan hati bergemuruh mengambilnya. Aku ambruk terduduk di depan lemari dengan kaki membentuk huruf V.Dengan perasaan tak menentu, kubuka kotak itu dengan sangat hati-hati karena takut merusak isinya. Kaca-kaca di
Pov : Fajar SuharjhoSiapakah aku yang mengharapkan langit di atas sana? Selamanya, bumi tidak akan pernah bisa bersatu dengan langit! Aku membuang pandangan ke luar jendela mobil yang aku tumpangi. Tidak ada kendaraan umum yang masuk ke desa ini. Selain jelek, jalannya juga sempit. Ini juga hanya sampai di depan gang, tidak masuk ke dalam. Mobil menepi. Aku turun, dan menyerahkan ongkos pada si sopir. "Makasih, Pak," kataku mengulurkan tangan.Sopir itu hanya tersenyum sembari menerima uang dariku. Setelah mobil itu pergi, aku berjalan melewati jalan setapak menuju ke rumah. Rasanya sudah tidak sabar ingin bertemu Ibu. Jadi teringat Nyonya Ratu, saat ia memberitahuku perihal kecurangan Lestari malam itu. Sepulang dari sana, aku langsung meneleponnya. Terisak-isak, Lestari memohon maaf. "Dik, kamu itu sudah Mas anggap sebagai adik Mas sendiri. Kamu, kok, tega bohongi Mas? Kamu harapan satu-satunya Mas. Sekarang kamu malah menusuk Mas dari belakang. Salah Mas apa, Dik?""Hiks, hiks,
Sampai di dapur, aku keluar menuju halaman belakang. Masih begitu banyak semak belukarnya. Ibu duduk di kursi roda sembari memberi makan ayam dengan jagung kering yang ditaburkannya ke sembarang arah. Berlarian ayam mendekat ke arah Ibu, dan mematuk makanannya dengan lahap. "Buk'e," panggilku. Saat aku pergi, keadaan Ibu sungguh memprihatinkan. Jangankan bicara, menangis pun ia kesulitan. Namun sekarang, Ibu sudah duduk di kursi roda. Tubuh kurus itu sudah tegap. Ibu setengah menoleh, kemudian membalikkan kursi rodanya. "Le. Ya Allah, Ibu kangen banget," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, dan senyum penuh keharuan. Sedikit berlari aku menghampirinya, dan langsung berjongkok guna menyejajarkan diri dengan Ibu. Kugenggam erat jemari yang sudah keriput ini, sembari menciumnya dengan takzim. "Fajar, pulang Bu," ucapku lirih. Ibu menutup mulut dengan sebelah tangan, menahan isakan. Dibelainya lembut kepala ini, kemudian mencium pucuk kepalaku. "Alhamdulillah, anak Ibu pulang," kata Ibu
POV: Fajar SuharjhoSetelah makan malam, kurebahkan tubuh di bawah ranjang Ibu dengan membentang tikar tipis sebagai alas. Selama makan, Lestari masih terlihat takut melihatku. Padahal, banyak yang ingin kukatakan padanya. Bukankah si Priyo—ayah dari Dirga—berjanji akan menikahinya jika aku dan Lestari bercerai?Tengah malam, aku terjaga. Aku beringsut duduk, berdiri, dan duduk lagi di sisi ranjang tempat Ibu terlelap. Kupandangi dengan saksama wajah Ibu yang telah menua. Kulit sudah keriput, rambut memutih, dan badan tampak kurus. Lama sekali aku tak memandang wajah ini. Kugenggam tangan, dan sedikit membungkuk untuk mendaratkan ciuman di keningnya. "Ibu, semoga panjang umur. Maaf, Fajar belum bisa membahagiakan Ibu dengan menjadi anak yang membanggakan untuk Ibu dan mengangkat derajat Ibu." Perlahan, aku mulai memijat kaki Ibu yang kurus tinggal tulang. Dengkuran halusnya menandakan bahwa Ibu sudah berada di alam mimpi. Ya Allah, berikanlah kesehatan, dan limpahkan kebahagiaan unt
Siang itu, setelah salat Zuhur, aku bermain ke rumah Pakde. Niatku datang ke sini untuk meminta pekerjaan, kalau saja ia membutuhkan tenagaku. Pakde mempersilakan kami duduk di marungan bambu yang ada di depan rumahnya. Angin semilir menyapu wajah, kami duduk di bawah pohon beringin yang rindang."Jadi, kamu mau cari kerja, Jar, ini ceritanya?" tanya Pak RT kepadaku. Aku hanya tersenyum dengan wajah menunduk. "Pakde cuma bisa kasih kerja kamu di kebun seperti biasa. Tanah Pakde yang di dekat sungai itu kayaknya udah bisa disadap. Mau kamu ngurusin kebon karetnya Pakde?" tanya Pakde sembari menyeruput kopi yang sudah disiapkan sang istri sejak tadi. "Apa saja, Pakde, yang penting halal," sahutku. Pakde satu-satunya harapanku."Yo wes, mulai minggu depan kerja, ya," ucapnya. "Terima kasih banyak, Pakde. Saya pasti akan bekerja dengan giat," kataku penuh semangat. "Ya, harus begitu. Hidup harus semangat lo, Jar!" Pakde menepuk-nepuk bahuku. Kami mengobrol hingga petang. Setelah itu
“Kamu sudah siap, Lestari?” tanyaku pada Lestari yang duduk di belakang. Aku meminjam sepeda motor Pakde—Astrea 800—ke desa tetangga, untuk mengantarnya pulang. Sedikit kesusahan, Lestari membawa tas besar berisi baju dan menggendong Dirga. “Siap, Mas,” jawabnya.“Mas jalanin motornya, ya!” “Mas, apa ndak apa-apa aku pulang? Nanti kalau Bapak sama Ibu marah, piye?”“Wes, tenang aja, nanti Mas yang ngomong.”Motor melewati jalan kecil yang di dua sisinya sawah membentang luas. Menuju ke desa tempat Lestari tinggal memang harus melewati pesawahan. Udara sejuk dan angin sepoi-sepoi menerpa tubuh kami. Kadang sepeda motor tak seimbang, dan nyaris terjatuh ke dalam pesawahan. Beruntung, aku bisa kembali membuatnya seimbang. Dulu aku sering melewati jalan ini bersama Kamila. Masih memakai seragam putih abu-abu, kami berboncengan naik sepeda. Bahkan tawa bahagia Kamila masih terdengar jelas di telinga ini.Mungkin, jika suatu saat aku ajak Nyonya ke sini, pasti lucu. Secara, ia tidak perna
“Bu, Maafkan Lestari. Maaf, Buk’e.” Lestari beringsut turun, dan memegangi kaki Bu Fitri.“Bu, ndak ada salahnya kasih kesempatan sama Lestari sekali lagi. Maaf sebelumnya, karena sekarang saya menetap di desa ini. Saya putuskan menalak Lestari, Bu. Saya rasa, tanggung jawab saya sampai di sini. Saya sudah memenuhi janji saya pada Kamila. Mohon, Ibu bisa membuka hati Ibu,” kataku sembari menenangkan Dirga yang ikut menangis.“Ya Allah, Nak Fajar! Kenapa tidak dijadikan istri yang sebenarnya saja Lestari ini untukmu, Nak? Insyaallah, bersamamu kami percaya,” pinta Ibu sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan.“Maaf, Bu, perasaan saya pada Lestari hanya sebatas adik dan kakak. Saya merasa bertanggung jawab terhadapnya karena ia adiknya Kamila, sahabat dekat saya.” Dirga sedikit tenang, setelah kuberikan kunci sepeda motor sebagai mainan. “Meskipun kami berpisah, Dirga tetaplah anak saya, Bu.” Aku duduk di kursi, meletakkan Dirga di sampingku.Bu Fitri memandang Dirga dengan
POV : Author Malam itu, Fajar duduk di balai yang terletak di depan halaman rumahnya seorang diri. Ibunya sudah tidur, setelah isya tadi. Ia memeluk radio tua pemberian Kamila, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Laki-laki itu lega, karena telah mengembalikan Lestari kepada kedua orang tuanya. Fajar tinggal memikirkan hidup, dan ibu yang harus dirawatnya. Perlahan, diputarnya radio sembari mencari sinyal yang hilang timbul. Bersyukur, ada sinyal yang nyangkut. Fajar memejamkan mata, menikmati dinginnya angin malam yang membelai wajah. Entah mengapa, bayangan Ratu seolah terus membayang di pelupuk matanya. Sebuah lagu yang berjudul Bunga dari Bondan Prakoso terdengar enak di telinga. Dengar resapiUcapkan, dan jangan berhentiKarena semua pertanyaan perlahan menghampiriMendekat, dan merusak sistim kerja otak kiriSetiap detik berdetak, menusuk-nusuk di hatiKembali terlihat raut wajahmu di anganTaburan cinta mengikuti semua senyuman Tapi dalam hati ini tak bisa ungkapkanNyal
Inilah kehidupan rumah tangga kami. Panggilan Mas kusematkan, karena ia yang meminta. Aku pun protes, saat ia memanggilku dengan sebutan Nyonya. Kini ia memanggilku selalu dengan sebutan sayang. Rumor tentang kehamilanku di luar menikah pudar dengan sendirinya. Karena sampai sekarang, kami bahkan belum dikaruniai seorang anak.Oma kembali terbang ke Malaysia, karena sudah tenang aku telah menikah dengan orang yang tepat. Ia ingin fokus melewati hari tuanya di sana. Karena di sana, Oma memiliki banyak anak angkat yang ditampungnya di rumah. Anak-anak kurang beruntung yang dibuang para orang tuanya, atau sengaja ditinggalkan di suatu tempat. Butikku yang dipegang oleh Nissa, kini berganti brand. Jika dulu Ratu Collection, kini menjadi Muslimah Collection.***“Huekkk! Huekkk!” Pagi itu Fajar muntah-muntah, saat akan berangkat bekerja.“Mas, kamu tidak apa-apa? Kamu mungkin sakit, Mas. Muka kamu pucet. Izin saja, hari ini tidak usah kerja,” kataku khawatir. Aku memapah suamiku ini ke ranj
POV : Ratu Delisya Sampai di rumah, Fajar menyiapkan segala sesuatunya untuk memasak. Ia menghidupkan tungku perapian, dan meletakkan wajan penggorengan di atasnya. Setelah mengiris semua bumbu, dimasukkannya semua bumbu ke dalam minyak panas dalam wajan, kemudian mengaduk-aduknya. Aku memperhatikannya, berusaha merekam dalam otak cara Fajar memasak. Mungkin, suatu saat aku bisa mempraktikkannya.“Nyonya, tinggal diberi garam, ya,” kata Fajar, setelah memasukkan sayur kangkung yang sudah dipotong.“Tinggal masukin garem aja, kan?” tanyaku meyakinkan.“Iya. Coba Nyonya beri garam.” Aku mengambil satu bungkus garam halus yang baru saja kami beli dari pasar, kemudian membukanya. Tanpa ragu, aku memasukkan semuanya ke dalam sayuran yang sedikit layu dalam wajan.Tawa Fajar tersembur keluar. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa ia tertawa? “Ada yang salahkah?” tanyaku dengan dahi berkerut.“Nyonya tidak perlu memberi garam sebanyak itu. Satu sendok teh saja sudah cukup.” Fajar menggelengk
Berulang kali aku mencoba mengambil air dari sumur, tetapi selalu gagal. Bagaimana aku bisa mandi, kalau mengambil airnya saja kesusahan? Ingin meminta tolong Fajar, tetapi ia sedang keluar. Kesal sekali rasanya. Bagaimana aku bisa membuktikan pada Fajar, kalau aku perempuan yang layak baginya, sedangkan hanya menimba air seperti ini saja tidak bisa. Aku membuka kedua telapak tangan, dan kulitnya sudah kemerahan. “Nyonya mau mandi?” bisik Fajar di samping telinga. Ia sudah memeluk dari belakang.“Aku sudah mencoba, tetapi tetap tidak bisa menimba airnya.”Ia berdiri di hadapanku, dan memegang kedua telapak tangan ini. Ditiupnya telapak tanganku, kemudian mengecupnya lembut secara bergantian. Aku tersenyum melihatnya. “Jangan memaksakan diri, Nyonya. Biar aku yang melakukannya.”“Tapi ... aku ingin mencoba,” rengekku. Ia tersenyum. Fajar menuntunku mendekat ke bibir sumur, kemudian mengajariku menimba air. Ia berdiri di belakang tubuhku, dituntunnya tangan ini dan diajarinya cara men
Pagi-pagi, aku datang ke rumah Pakde Jaro untuk meminjam sepeda motor. Aku akan pergi ke pasar bersama Nyonya. Hari ini, ia ingin belajar banyak hal. Keinginannya sangat kuat, yakni ingin menjadi gadis desa yang aku suka. Padahal ia tak perlu melakukan semua itu hanya untuk menarik simpatiku, toh ... aku sekarang sudah sah menjadi miliknya. Setelah berjalan selama sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga. Kebetulan Pakde Jaro dan keluarga sedang duduk di teras depan rumah.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serentak.Aku menyalami mereka satu per satu. Ada Pakde Jaro, Bude Iyem, dan anaknya. Kami mengobrol sebentar, bercerita banyak hal. Mereka juga menceritakan, kalau Lestari hidupnya sekarang sudah enak. Semenjak menikah dengan Priyo, Lestari diboyong ke rumah mertuanya yang besar dan kaya. Aku lega mendengarnya.“Kamu udah ke makan, Jar?” tanya Bude Iyem.“Belum, Bude. Mungkin lusa baru mau ke makan. Aku sedih sebenarnya, karena belum bisa memenuhi janjiku pada Ibu.
Aku berjalan ke warung yang jaraknya cukup jauh dari rumah, karena tidak ada apa pun di rumah untuk kami makan. Di warung hanya ada mi instan dan telur. Besok, rencananya baru mau pergi ke pasar untuk berbelanja. Dengan terpaksa, aku hanya membeli telur dan mi. Sampai di rumah, kuperiksa Nyonya di kamar. Namun, ia tidak ada. Ke mana Nyonya? Batinku bertanya.Aku menuju ke belakang, dan mendapati ia sedang berdiri di dekat sumur. “Nyonya mau apa?” tanyaku heran.“Fajar, aku mau mandi. Ini apa?” Aku melangkah mendekatinya. “Ini sumur. Kita mandinya di sini, Nyonya.”“Di ruang terbuka seperti ini?” tanyanya kaget.“Iya. Kita pakai kemban, Nyonya.”“Apa kemban?”Aku masuk ke dalam, mengambilkan kain yang biasa dipakai Lestari mandi. Tumpukan kain dan selimut masih tersusun rapi di rak kecil dalam kamar. Rak ini persis seperti rak sandal yang terbuat dari bambu, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Kemudian aku kembali ke luar, dan menyerahkannya pada Nyonya. “Ini, Nyonya.” Nyonya menga
“Nyonya yakin?” tanyaku, saat mendengar ia ingin mencoba tinggal di desa selama satu minggu, di rumahku yang dulu.“Tentu saja, Fajar. Kenapa memangnya?” jawab perempuan yang telah sah menjadi istriku ini. Kini, ia sedang sibuk dengan laptop di meja, sementara aku duduk di sisi ranjang.“Nyonya, kamu tidak terbiasa. Aku takut, terjadi apa-apa denganmu nanti.”“Bukankah ada kamu yang menjagaku di sana?”“Nyonya ....” Aku bingung menjelaskan semuanya pada perempuan ini. Perempuan yang biasa dilayani segala sesuatunya, dan tidak pernah sama sekali hidup susah. Bagaimana bisa ia hidup di desa. “Nyonya, di sana tidak ada hotel. Tidak ada mall. Tidak ada jaringan.”“Fajar, aku hanya ingin membuktikan, kalau aku bisa menjadi perempuan impianmu.”“Tidak perlu, Nyonya. Toh, sekarang kita sudah menikah.”Nyonya tidak mendengarkan kata-kataku, sedangkan Jesi dan Bik Darmi tampak sibuk mengemasi baju dan barang-barang kami. Nyonya menelepon orang-orang kepercayaannya untuk mengurus butik serta us
“Apa? Ke kampung halamannya Fajar, Nyonya?” tanya Bik Darmi dengan wajah kaget luar biasa.“Nyonya yakin?” lanjut Jesi, juru masak di rumah ini.“Nyonya, nanti Nyonya digigit nyamuk di sana, gimana?” tambah Wilda seraya memelukku. Aku tertawa kecil. Kami duduk lesehan di depan TV membentang ambal, semua pelayan berkumpul di sini. Hanya Fajar yang tidak ada, ia belum pulang.“Nyonya, mau tinggal di mana?” tanya Yuli, bagian cuci dan setrika pakaian.“Tanya satu-satu kenapa?” Aku merengut. “Kalian pasti tidak percaya, aku akan nekat pergi ke sana, tinggal di rumah Fajar yang lama. Aku yakin, aku bisa menjadi perempuan idaman Fajar.” Aku mendongak yakin.“Baru juga setengah hari, pasti Nyonya minta pulang. Aku yakin seribu persen,” ucap Pak Joko tukang kebun.“Apalagi rumah Fajar jelek, Nyonya. Lantai masih tanah. Pasarnya tradisional, dan jauh. Jalanan di sana becek dan jelek,” sambung Pak Sopian.“Nyonya, jangan ke sana. Nanti Nyonya gatal-gatal. Nyonya pasti tidak tahan,” kata Wilda
POV : Fajar Suharjho“Nyonya, sudah pukul 05.00 pagi. Kita salat Subuh berjamaah, yuk!” ajaknya mengusap-usap kepalaku. Aku membuka mata, kemudian sedikit menyipit melihat ke arah jam. “Iya, Fajar,” sahutku, kemudian beringsut turun dari ranjang. Fajar langsung menuju ke kamar mandi. Setelahnya giliran aku yang membersihkan diri, dan mengambil wudu. “Nyonya, sudah siap?” tanyanya, saat aku sudah berdiri di belakangnya memakai mukena.“Sudah.”Fajar memulai salat. Kami melakukannya dengan khusyuk. Bahkan sampai air mataku terjatuh, karena masih tidak menyangka suami yang aku idam-idamkan kini benar menjadi imamku.“Assalamu’alaiku warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kami sama-sama menengadahkan tangan saat berdoa, memohon rahmat dan keberkahan untuk pernikahan ini, dan memohon ampun atas semua salah serta khilaf di masa lalu. Selesai berdoa, Fajar menoleh ke belakang dan menyodorkan tangannya. Saat aku mencium punggung tangan itu, tanpa kusangka sebelah tangannya lagi me
Jam menunjukkan pukul 21.00 malam, aku sedang duduk di teras rumah menunggu kedatangan Fajar memakai piama panjang berwarna hijau lumut dan hijab instan berwarna hitam. Dari kejauhan, aku melihat pagar dibuka, dan Fajar sedikit berlari masuk ke halaman rumah. Aku berdiri menyambut kedatangannya. “Maaf, Nyonya. Apa saya terlalu malam?” tanyanya.“Tidak, Fajar. Ayo masuk, Oma sudah menunggumu.”Kami berjalan beriringan ke kamar Oma di lantai dua. Yuli dan Bik Darmi sedikit terpekik, saat berpapasan dengan kami di ruang tamu, ketika akan menaiki anak tangga ke atas.“Masyaallah, Fajar. Kamu apa kabar?” teriak Yuli sedikit berlari menghampirinya.“Alhamdulillah baik, Mbak,” sahutnya tersenyum ramah.“Kamu makin ganteng aja,” sambung Bik Darmi. Fajar langsung mengambil punggung tangan perempuan setengah baya itu, dan menciumnya dengan takzim. “Terima kasih, Bik,” sahut Fajar singkat.“Nanti aja kangen-kangenannya. Oma lagi pengin ketemu Fajar,” ucapku sembari tersenyum. Kemudian kami men