Juna tahu persis kelemahan Hana. Jika ia ingin menggoyahkan hati mantan istrinya, cara terbaik adalah melalui orang yang paling berarti baginya, ibunya, Lauren.Dengan keyakinan penuh, ia segera menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya di siang hari yang terik, menuju sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis. Ia tidak akan datang dengan amarah atau paksaan. Tidak. Kali ini ia akan menyerang dengan cara yang lebih halus, cara yang lebih sulit ditolak.Dalam perjalanan, Juna mampir ke sebuah toko kue kecil yang terkenal dengan berbagai macam cake buatannya. Ia memilih dengan hati-hati, dan akhirnya membeli sepotong cake greentea. Bukan tanpa alasan, ia ingat betul bahwa itu adalah favorit Lauren.Setelah transaksi selesai, ia kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.Setibanya di rumah sederhana milik Lauren, Juna turun dari mobil dengan percaya diri. Tangannya dengan santai menenteng kotak cake yang baru saja dibeliny
Mobil Rey melambat saat tiba di depan rumah Lauren. Ia mengerutkan kening begitu melihat mobil asing terparkir di depan."Siapa itu?" tanyanya, masih memegang kemudi, matanya menyelidiki kendaraan tersebut.Di sampingnya, Hana terdiam. Ia mengenali mobil itu dalam sekejap. Plat nomornya begitu familiar, seperti bayangan dari masa lalu yang enggan pergi.‘Kenapa dia di sini?’ batinnya, dadanya terasa sedikit sesak."Semoga aku salah," gumamnya lirih sebelum membuka pintu mobil dan turun lebih dulu. Langkahnya tergesa, berusaha menahan ketidaknyamanan yang mulai merayap. Rey melangkah santai di belakangnya, sorot matanya waspada, meskipun ekspresinya tetap tenang.Begitu tiba di depan pintu rumah, Hana segera mengetuknya cepat sebelum membuka."Bu, aku pulang!" suaranya lebih tinggi dari biasanya, ada kegelisahan di balik nada panggilannya.Namun, tubuhnya menegang begitu saja saat pintu terbuka dan pemandangan di dalam rumah menyapa matanya.Juna berdiri di depan sofa, tangan terselip
"Oh iya, Bu," ucap Rey dengan nada ringan, tapi matanya sekilas melirik ke arah Juna dengan sorot penuh kemenangan. "Desainerku akan datang kemari untuk fitting baju tunangan dan baju pengantin juga."Lauren yang baru saja menyesap tehnya nyaris tersedak mendengar ucapan Rey. Ia terbatuk kecil, kemudian tersenyum kikuk sambil menatap Hana. "Mm, iya baiklah. Rasanya cepat sekali," komentarnya, meski ada nada terkejut dalam suaranya.Hana yang sejak tadi berusaha menahan kegelisahan kini merasa lebih salah tingkah. Ia buru-buru menyelesaikan potongan cake di piringnya dan bangkit dari tempat duduknya. "Aku sudah selesai. Ibu, aku bantu cuci piring, ya," ujarnya, menghindari percakapan lebih lanjut.Sementara itu, Rey dengan santai menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Lauren dengan senyum tipis. "Tentu saja, Bu. Jika kita sudah menemukan yang tepat, maka kita harus mengikatnya dengan janji suci. Aku akan menyesal bila kehilangan wanita seperti Hana," ucapnya dengan nada mantap, tat
Rey melangkah cepat mendekati Veronica, napasnya sedikit memburu karena ia hampir setengah berlari sejak keluar dari mobil. Ruang tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah perawat yang berlalu-lalang serta desahan napas cemas dari para keluarga pasien lainnya."Veronica!" panggilnya dengan nada mendesak.Wanita itu menoleh, wajahnya sedikit pucat, entah karena cemas atau kelelahan. Ia segera berdiri dari kursinya, menatap Rey dengan sorot mata yang sulit ditebak, ada kecemasan, ada rasa bersalah, dan mungkin sedikit kelegaan karena Rey akhirnya datang."Apa yang terjadi?" tanya Rey tanpa basa-basi.Veronica menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku hendak berkunjung ke rumah kakek, hanya ingin mengobrol santai sambil menikmati kue kesukaannya. Kami berbicara cukup lama, lalu kakekmu pamit ke toilet," jelasnya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi setelah hampir tiga puluh menit, dia tak juga kembali. Aku mulai merasa ada yang tidak beres, jadi
Pagi itu, suara notifikasi ponsel membangunkan Hana dari tidurnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat pesan yang masuk.[Pagi, Hana. Kamu udah ke rumah sakit? Kalau belum, aku bisa antar. Jangan sungkan. Sungguh, biarkan aku menebus kesalahanku di masa lalu.]Hana menatap layar ponselnya beberapa detik, jari-jarinya ragu untuk mengetik balasan. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur, mengusap rambutnya ke belakang sambil merenungkan kata-kata dari Juna.Juna kini terlihat benar-benar berusaha berubah. Sejak kemarin, sikapnya terasa berbeda. Lebih tulus, lebih dewasa. Tapi… apakah itu cukup untuk menghapus semua yang telah terjadi di antara mereka?"Huft, ya sudah… apa boleh buat," gumam Hana pelan.Akhirnya, ia mengetik balasan. [Baiklah, terima kasih. Aku setuju.]Tak butuh waktu lama, Juna membalas. [Aku akan menjemputmu dalam 30 menit.]Hana meletakkan ponselnya, lalu bangkit dar
Hana duduk di bangku taman rumah sakit, bahunya bergetar halus menahan isakan. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya, tapi air mata tetap jatuh tanpa bisa dihentikan.Seharusnya ia tidak merasa sesakit ini. Seharusnya ia kuat.Tapi nyatanya, dadanya terasa sesak.Ia sudah berusaha mempercayai Rey. Berusaha membuka hatinya untuk pria itu, meski bekas luka yang Juna tinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Namun, baru saja ia mulai melangkah maju, dunia seolah mengingatkannya bahwa ia bisa dikecewakan lagi.'Kenapa sih, aku harus selalu merasa seperti ini?'Ia menarik napas panjang, tapi justru semakin terasa berat. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, gemetar. Ia trauma. Ia takut.Dan yang lebih menyakitkan, justru Juna yang sekarang duduk di sampingnya.Bukan Rey.Juna menatap Hana dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah, ada kepedihan, ada keinginan besar untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tapi ia tahu ia tidak berhak.Pelan-pelan, ia berlutut di hadapan Hana,
Setelah selesai menjenguk Tuan Noh, Hana merapikan tasnya dan bersiap untuk pulang bersama ibunya. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Rey berdiri di hadapannya, menghentikan langkah Juna yang tadinya berniat mengantar mereka.“Biar aku saja yang mengantarmu pulang,” ujar Rey dengan nada tegas. Dirinya menghadap Hana, namun tatapannya mengarah langsung pada Juna, memastikan bahwa pria itu tidak punya ruang untuk menolak.Hana melirik Rey, malas berdebat. Sudah cukup semua ketegangan hari ini, dan ia tidak ingin memperpanjang drama. “Terserah,” gumamnya pelan, lalu merangkul lengan Bu Lauren.Juna menaikkan satu alisnya, menatap Rey dengan ekspresi datar. "Lalu, bagaimana dengan Nona Veronica?" tanyanya santai, meski ada sedikit ketegangan dalam suaranya.Rey menoleh sekilas ke arah Veronica yang berdiri di belakang mereka. “Dia bisa kau antar. Rumahnya searah dengan tempat tinggalmu”Juna melipat tangan di dadanya, menimbang sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada acu
Juna melirik sekilas ke samping, di mana Veronica duduk dengan anggun di kursi penumpang. Gadis itu tampak tenang, menatap lurus ke depan dengan bibir sedikit mengerucut. Setelah keluar dari rumah sakit dan meninggalkan Rey bersama Hana, suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi oleh suara mesin yang menderu pelan.Juna sendiri bukan tipe orang yang suka memulai percakapan. Tapi ada sesuatu tentang Veronica yang membuatnya penasaran. Selama ini ia tak terlalu memperhatikan perempuan itu, tapi melihat bagaimana interaksi mereka dengan Rey dan Hana tadi, dia bisa menyimpulkan satu hal: Veronica dan dia sama-sama orang yang ‘terbuang.’"Kamu diam aja," ujar Veronica tiba-tiba, memecah keheningan. "Biasanya cowok yang mengantar seorang cewek akan mencoba berbasa-basi."Juna meliriknya sekilas. "Aku bukan tipe cowok kayak gitu."Veronica tertawa kecil, nada suaranya mengandung sedikit sarkasme. "Ya, aku bisa menebaknya. Dingin, sedikit kaku... mungkin juga egois?""Aku lebih suka m
Hari-hari Hana berlalu dalam kesunyian yang sibuk. Ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang sengaja ia cari-cari, seolah sibuk adalah pelarian terbaik dari kenyataan yang terus membayanginya.Meski tubuhnya mulai terasa mudah lelah, ia tetap memaksa diri untuk aktif, menyibukkan tangan dan pikirannya, agar tak terlalu larut dalam rasa sepi.Dalam sela-sela rutinitasnya, saat malam tiba atau waktu istirahat siang, Hana punya satu hiburan kecil yang setia menemani, game restoran favoritnya. Ia memainkan game itu bukan sekadar untuk kesenangan, tapi juga sebagai tempat di mana ia merasa bebas, bebas dari penilaian, dari kenyataan, dan dari rasa sesak di dada. Ia pun mulai aktif di grup chat dalam game, sesekali ikut dalam obrolan ringan yang membuatnya tertawa kecil.Waktu berlalu, dan sedikit demi sedikit Hana membuka diri. Ia menulis dengan hati-hati, seolah masih ragu, namun merasa ada kehangatan dari komunitas kecil itu."Aku sedang mengandung," tulisnya di salah satu obrolan grup
Juna menatap tajam ke arah Rey, tidak gentar sedikit pun dengan emosi yang membara di mata pria itu. Dengan satu gerakan tegas, ia menepis tangan Rey yang masih mencengkeram kerah bajunya."Sebaiknya kau yang menjauhi Hana! Bukan aku!" desis Juna, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ia sadar ini adalah koridor rumah sakit, dan pertengkaran terbuka hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.Rey terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, wajahnya menegang dalam campuran emosi yang sulit dijelaskan. Perlahan, ia mengendurkan cengkeramannya, melangkah mundur selangkah demi selangkah, tapi sorot matanya masih tertuju ke pintu ruangan dokter.Hana masih di dalam sana.Ia ingin masuk, ingin bertanya langsung kepada wanita itu, ingin mendapatkan kepastian dari bibirnya sendiri. Tapi sebelum ia sempat bergerak lagi, Juna mendorongnya. Bukan dorongan kasar, melainkan gerakan halus, namun bagi Rey, dorongan itu terasa seperti hantaman yang mengguncang hatinya."Pergi," bisik Juna, nada suara
Sudah hampir sebulan sejak Hana mulai bekerja sebagai owner PT. First Food. Waktu berlalu begitu cepat, dan meskipun ia masih menyesuaikan diri dengan peran barunya, ia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya.Namun, di balik kesibukannya, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia perhatikan, kehamilannya. Hari ini adalah jadwal kontrolnya, dan tanpa bisa dihindari, seseorang menawarkan diri untuk mengantarnya.Juna.Pria itu masih saja muncul dalam hidupnya, berusaha mengambil celah sekecil apa pun untuk mendekat lagi. Meski Hana berusaha menjaga jarak, Juna selalu menemukan alasan agar tetap ada di sekitarnya.Dan sekarang, di dalam mobil yang melaju menuju rumah sakit, suasana terasa canggung.“Apa masih sering mual?” tanya Juna sambil menyetir.Hana yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela, menghela napas. “Udah mulai berkuran, nggak separah pertama kali.”Juna meliriknya sekilas. “Aku masih sering kepikiran. Kalau aja aku dulu lebih—”“Jangan bahas masa lalu, Juna.” Suara
Malam semakin larut, dan Hana yang awalnya hanya berniat merebahkan diri di kasur akhirnya tertidur dengan tenang. Rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya perlahan memudar seiring napasnya yang semakin teratur.Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos melalui celah tirai membangunkannya. Hana menggeliat pelan sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Saat layar menyala, sebuah notifikasi dari game yang biasa ia mainkan menarik perhatiannya.Notifikasi dari akun bernama Reys_toran muncul di layar:[Hi, apa kau mau masuk grup?]Hana tersenyum kecil, lalu mengetik balasannya dengan ringan.[Ya, tentu]Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari penting, ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor PT. First Food sebagai owner baru. Meskipun pagi harinya masih dihiasi rasa mual seperti biasa, kali ini tidak separah sebelumnya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan perutnya sebelum beranjak ke kamar mandi.Se
Malam itu, Hana kembali duduk di kursi makan dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam sendok, tetapi setiap kali ia hendak menyendok makanan, rasa mual kembali menghantam.Aroma makanan yang dulu ia sukai, kini terasa begitu menyiksa. Bahkan sekadar mencium bau kopi yang diseduh ibunya pagi tadi saja sudah cukup membuat perutnya bergejolak.Bu Lauren yang sudah mengamati putrinya sejak tadi, akhirnya meletakkan semangkuk sup hangat di hadapan Hana."Ibu buat yang ringan saja. Setidaknya sup ini bisa kamu terima di perutmu," ucapnya lembut, duduk di seberang meja.Hana menatap sup yang mengepul itu. Aroma kaldu yang ringan sedikit menenangkannya, dan tanpa banyak kata, ia mulai menyendok sup tersebut pelan-pelan.Setelah beberapa suap, tubuhnya mulai terasa sedikit lebih baik. Ia meletakkan sendok, lalu menghela napas panjang.Hening menyelimuti mereka sejenak sebelum tiba-tiba Hana terisak.Tanpa peringatan, ia bangkit dari tempat duduknya dan memeluk ibunya erat. Bahunya terguncang
Siang itu, Rey melewati meja kerja Hana, dan di sana telah kosong.Tak ada lagi tumpukan naskah atau secangkir kopi yang biasa menemani wanita itu bekerja. Tak ada jejaknya di sini. Hanya ruang hampa yang tersisa, sama seperti hatinya yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Hana.Dulu, ia mungkin tidak menyadari betapa terbiasanya melihat wanita itu di sekelilingnya. Tapi sekarang, setiap sudut gedung ini mengingatkannya pada sosoknya, suara lembutnya saat mendiskusikan naskah, ekspresi seriusnya saat mengetik, bahkan aroma parfumnya yang samar.Rey mendesah pelan, tak bisa berdiam diri lebih lama di sini. Pikirannya kacau. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah keluar dari gedung agensinya, membiarkan udara siang yang terik menerpa wajahnya.Langkahnya cepat menuruni anak tangga menuju pelataran parkir, hingga suara seseorang mengejar dari belakang."Tuan! Anda mau ke mana?"Rey menoleh sekilas. Itu Bastian, sekretarisnya, yang kini sedikit terengah mencoba menyusul.Tatapan Rey tajam,
Hana menarik napas perlahan, mencoba menenangkan dirinya agar tidak terlihat gelisah. Ia tahu tatapan Rey tengah mengamatinya, menuntut jawaban lebih dari sekadar kata-kata. Tapi tidak, ia tidak bisa membiarkan Rey tahu yang sebenarnya."Hanya kelelahan saja, Tuan," jawabnya akhirnya. Suaranya terdengar cukup tenang, tapi jari-jarinya yang meremas kain celana di sisi tubuhnya mengkhianati kegelisahannya.Rey menatapnya lekat, seakan mencoba menembus pertahanannya. Ia bersandar ke sandaran kursinya, menghela napas panjang seolah frustasi."Hana …" Suaranya sedikit lebih lembut, tidak lagi sekadar suara seorang atasan kepada bawahannya. "Berhenti bersikap begini padaku… Aku—"Namun sebelum Rey bisa melanjutkan kata-katanya, suara lain tiba-tiba memotong momen di antara mereka."Rey?"Hana refleks menoleh. Veronica berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat, seakan tak sengaja mengganggu percakapan mereka. Wanita itu melangkah masuk dengan santai, membawa tas kotak
Di rumah sakit yang sama, Rey berdiri di koridor lantai dua, tepat di depan jendela besar yang menghadap ke halaman parkir. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan jelas sosok Hana yang baru saja keluar dari pintu utama rumah sakit.Langkahnya terhenti.Matanya tidak bisa lepas dari wanita itu. Wajah Hana tampak pucat, rautnya lelah, dan gerakan tubuhnya lebih lambat dari biasanya. Bahkan dari kejauhan, Rey bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.Tapi perhatiannya semakin teralih ketika seorang pria menghampiri Hana.Juna.Pria itu dengan sigap membukakan pintu mobil untuknya, memperlihatkan perhatian yang begitu terang-terangan. Rey mengepalkan tangannya tanpa sadar. Ada sesuatu yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas sejenak.Kenapa Juna selalu ada di dekat Hana?Rey tahu mereka punya sejarah, tapi bukankah mereka sudah berpisah? Lalu, kenapa sekarang seolah-olah Juna yang menjadi tempat bersandar bagi Hana?Dia ingin mendekat, ingin bertanya langsung pada Hana. Tapi
Hana melangkah keluar dari ruang periksa dengan langkah yang terasa begitu berat. Seolah setiap langkah yang ia ambil adalah satu langkah menuju ketidakpastian yang lebih besar. Pikirannya penuh, emosinya bercampur aduk. Ia menekan perutnya dengan tangan, seolah mencoba menyerap kenyataan bahwa ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.Bukan ia tidak senang. Tidak sama sekali. Tapi waktu yang tidak tepat ini membuatnya bingung. Bagaimana ia akan menjalani semuanya? Bagaimana ia akan menghadapi Rey?Di sampingnya, Bu Lauren diam-diam menghela napas panjang sebelum akhirnya merangkul pundak Hana dengan penuh kasih sayang."Nak …," suara Lauren terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Ia menatap wajah putrinya dengan penuh kekhawatiran. "Itu anak Rey, 'kan?"Hana menegang. Ia tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.Lauren menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. "Dia harus tahu," bisiknya lembut.Namun, Hana dengan cepat menggeleng. Matanya terpejam sejenak sebelum ia mengang