"Cepat! Ke kamar! Dia semakin dekat!" rintih Hana, suaranya hampir bergetar karena gugup.
Rey tidak langsung bergerak. Sebaliknya, pria itu justru tersenyum miring, senyum yang membuat Hana merinding bukan karena takut, tetapi karena ada sesuatu yang berbahaya dalam tatapannya.Tanpa sepatah kata pun, Rey menggenggam pergelangan tangannya dan membawanya berbelok ke dalam gedung. Dari tempat mereka bersembunyi, terdapat sebuah pertigaan koridor yang mengarah ke area kamar hotel.Cahaya lampu yang lebih redup membuat jalur itu terlihat lebih sepi dibandingkan ballroom yang masih ramai dengan tamu-tamu di belakang mereka.Rey berjalan cepat, tetap menggenggam tangan Hana dengan erat. Langkah mereka nyaris tak bersuara karena lantai koridor dilapisi karpet tebal berwarna biru tua.Aroma khas hotel yang mewah menyeruak di udara, namun Hana sama sekali tak bisa menikmati itu semua. Napasnya sedikit terengah karena mereka berjalan dengan cepat,"Maaf, Tuan. Karena kupikir justru denganmu aku akan aman ..."Suara Hana terdengar rendah, hampir seperti bisikan. Ia bahkan menunduk, tidak berani menatap Rey langsung, jemarinya sibuk memainkan kuku jarinya seolah mencari sesuatu untuk dialihkan.Rey, yang tengah mengenakan kemeja barunya, menoleh. Gerakannya terhenti sesaat.Kata-kata sederhana itu terasa aneh di telinganya.'Dia merasa aman denganku?'Sebuah pemikiran yang asing. Tidak seharusnya mengganggunya, tapi entah kenapa, hatinya sedikit tergelitik. Ia menatap punggung Hana yang masih menunduk, mencoba membaca ekspresi perempuan itu.Bukannya menanggapi perkataan Hana, Rey malah merogoh saku celananya, menarik kartu akses hotel, lalu melangkah mendekat. Tanpa basa-basi, ia menyerahkan kartu itu padanya."Beristirahatlah di sini," ujar Rey dengan nada tegas. "Akan kusampaikan pada orang-orang kalau kau sedang tidak enak badan."Hana mendongak, menata
Hana kemudian berlutut di hadapan Rey yang tengah duduk di tepi ranjang. Tanpa ragu, ia menggenggam tangan pria itu dengan kedua tangannya yang kecil, mencoba memberikan kehangatan di tengah ketakutan yang jelas masih menyelimuti Rey."Baiklah …, aku di sini, Rey," ucapnya dengan suara lembut, penuh ketulusan.Rey menatap jemari mungil Hana yang menutupi sebagian besar tangannya yang lebih besar. Sentuhan itu sederhana, tetapi ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang meresap ke dalam hatinya, menghangatkan rongga dadanya yang terasa sesak beberapa saat lalu.Ia menghela napas panjang, merasakan tubuhnya mulai tenang. Perlahan, debaran panik yang mengguncangnya tadi berkurang, digantikan oleh ketenangan yang asing, namun begitu nyata.Saat ia mengangkat kepalanya, matanya langsung bertemu dengan netra Hana. Mata itu … sejuk, lembut, dan entah bagaimana, mampu menenangkannya tanpa banyak usaha.“Kenapa kau bisa …?” Suara Rey begitu rendah, sed
Mata Hana terbuka lebar. Jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat sebelum kembali berdebar kencang. Ia refleks menarik tubuhnya sedikit ke belakang, berpaling dari tatapan Rey yang begitu dekat, begitu intens."Apa maksudmu, Rey?" tanyanya, suaranya mengandung keraguan. "Bukankah hubungan kita ini palsu?" Alisnya berkerut, mencoba memahami arah pembicaraan pria itu.Rey tetap diam sejenak sebelum akhirnya mengangkat dagunya sedikit, tatapannya kosong menatap lurus ke depan. "Ya... Pertunangan palsu," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar begitu tenang, nyaris tanpa emosi. "Kita akan bertunangan sampai orang-orang dari masa lalu kita menyerah."Tapi itu bukan satu-satunya alasan.Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia membutuhkan Hana.Seperti saat ini, di mana hanya Hana yang mampu menenangkan detak jantungnya yang kacau, mengusir kekosongan dalam dirinya yang selama ini tak bisa ia jelaskan. Hana seperti candu yang tak seharusnya ia n
"Ya, Ibu sudah membahasnya dengan Tuan Noh. Ibu juga melihat sepertinya kau bahagia dengan Rey ... Dia anak baik," Lauren menanggapi gumaman Hana dengan nada lembut, seolah keputusan ini sudah bulat.Hana terdiam, berusaha tetap tersenyum, meski di dalam hati dia mendengus.Baik katanya? pikirnya dalam hati. Dia memang terlihat gentleman di luar, tapi sebenarnya ... dia sungguh menyebalkan!"Bagaimana kalau pertunangannya bulan depan?" usul Tuan Noh tiba-tiba. "Momennya pas, setelah anniversary First Food selesai, kita bisa mulai merancang persiapannya."Hana tersentak mendengarnya. "Bulan depan? Apa tidak terlalu cepat, Tuan?" tanyanya, sedikit khawatir."Tidak—uhuk! Uhuk!" Tiba-tiba Tuan Noh terbatuk keras, membuat percakapan terhenti."Tuan, Anda baik-baik saja?" Hana refleks berdiri, tangannya dengan sigap mengelus punggung pria tua itu. Lauren pun buru-buru menuangkan segelas air putih dan menyerahkannya.Tuan Noh m
Malam terasa semakin sunyi.Dari balkon, angin membawa aroma tembakau yang semakin samar, bercampur dengan dinginnya udara malam. Rey bersandar pada pagar besi, jemarinya masih menggenggam rokok yang tinggal separuh."Kau tidak bisa tidur?" tanyanya, suaranya terdengar berat, hampir malas.Hana menghela napas, menggeleng pelan. "Bagaimana keadaan Tuan Noh?"Rey mengembuskan asap rokoknya sebelum menjawab, "Sejauh ini baik-baik saja. Kakek hanya perlu banyak istirahat." Tatapannya kosong, menerawang ke depan, matanya mengabaikan keindahan gemerlap lampu kota yang terbentang luas di bawah sana.Hana memperhatikan wajah Rey dalam diam. Garis wajahnya yang tajam, rahangnya yang tegang, serta kelopak matanya yang menyiratkan kelelahan yang tak terucap.Asap rokok yang perlahan menghilang ke udara seolah menjadi simbol dari beban yang coba dilepaskannya, beban yang selama ini disembunyikan di balik sikap arogan dan ketidakpeduliannya.
"Ya, aku datang ke sini untuk menyetujui pernikahan di antara kita …, aku setuju bila tak ada kontrak," ucap Hana dengan suara yang sedikit bergetar, namun matanya tetap menatap Rey dengan penuh keyakinan.Rey menyeringai kecil, ekspresi khasnya yang selalu penuh dengan godaan dan kepercayaan diri. "Jadi kau ingin bebas tanpa batasan?" godanya dengan nada sengaja dibuat lebih rendah, seolah ingin menguji reaksi Hana.Wajah Hana seketika memerah, jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. "Ah, maksudku bukan ke arah sana, Rey!" sergahnya buru-buru, mencoba meredam panas yang mulai menjalar ke wajahnya.Rey tidak langsung menanggapi. Ia justru menyingkirkan meja kecil di antara mereka, lalu perlahan mendekat, tubuhnya condong ke depan, mendekatkan wajahnya ke arah Hana."Ke arah mana yang kau maksud?" bisiknya tepat di telinga Hana, suaranya dalam dan menggelitik, membuat bulu kuduknya berdiri. "Bukankah kita sedang membicarakan pernikahan tan
Dalam mata terpejamnya, Hana merasakan sentuhan hangat di tangannya, juga hembusan napas yang begitu dekat. Sensasi itu terasa begitu nyata hingga perlahan kelopak matanya terbuka.Samar, ia melihat sosok di depannya. Pandangannya masih kabur karena baru terbangun, tapi begitu kesadarannya pulih, ia segera menarik diri, melepaskan tangannya dari genggaman Rey dengan kaget.“Rey? Bagaimana kau bisa ada di kamarku?” suaranya setengah panik, alisnya berkerut dalam.Rey tetap tenang, tubuhnya masih berbaring santai di sampingnya. “Aku menunggumu bangun. Ibumu dan kakekku sudah lebih dulu sarapan,” jawabnya santai, seolah tidak ada yang aneh dengan situasi ini.Hana menghela napas panjang, menunduk sambil mengusap wajahnya yang masih terasa kantuk. “Huft… Kau kan bisa menunggu di sofa, kenapa harus berbaring di sampingku?” keluhnya, lalu menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya.Gerakan sederhana itu menarik perhatian Rey. Ia menatap
Hana mendesis pelan sambil memejamkan mata, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang tak teratur. Tangannya mengepal di atas wastafel, berusaha menahan diri agar tidak terbawa suasana aneh yang diciptakan Rey. Tapi rasa panas yang merayap di kulitnya akibat sentuhan Rey terlalu sulit untuk diabaikan.Dengan cepat, ia membuka mata dan berbalik menghadap Rey."Cukup! Terima kasih!" katanya tegas, suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya.Tanpa pikir panjang, Hana mendorong pelan dada Rey, mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Namun, bukannya menjauh, Rey tetap berdiri di tempatnya. Tubuhnya yang tegap seperti batu besar yang sulit digeser.Tatapan Rey yang tajam menatapnya lurus-lurus. Kemudian, tanpa peringatan, ia menangkap tangan Hana yang menempel di dadanya. Dengan gerakan yang lembut namun tegas, ia menarik tangan itu dan mendekatkan wajahnya ke arah Hana.“Jangan sungkan meminta tolong pada calon suamimu ini,” ucapnya
Hana duduk di bangku taman rumah sakit, bahunya bergetar halus menahan isakan. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya, tapi air mata tetap jatuh tanpa bisa dihentikan.Seharusnya ia tidak merasa sesakit ini. Seharusnya ia kuat.Tapi nyatanya, dadanya terasa sesak.Ia sudah berusaha mempercayai Rey. Berusaha membuka hatinya untuk pria itu, meski bekas luka yang Juna tinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Namun, baru saja ia mulai melangkah maju, dunia seolah mengingatkannya bahwa ia bisa dikecewakan lagi.'Kenapa sih, aku harus selalu merasa seperti ini?'Ia menarik napas panjang, tapi justru semakin terasa berat. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, gemetar. Ia trauma. Ia takut.Dan yang lebih menyakitkan, justru Juna yang sekarang duduk di sampingnya.Bukan Rey.Juna menatap Hana dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah, ada kepedihan, ada keinginan besar untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tapi ia tahu ia tidak berhak.Pelan-pelan, ia berlutut di hadapan Hana,
Pagi itu, suara notifikasi ponsel membangunkan Hana dari tidurnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat pesan yang masuk.[Pagi, Hana. Kamu udah ke rumah sakit? Kalau belum, aku bisa antar. Jangan sungkan. Sungguh, biarkan aku menebus kesalahanku di masa lalu.]Hana menatap layar ponselnya beberapa detik, jari-jarinya ragu untuk mengetik balasan. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur, mengusap rambutnya ke belakang sambil merenungkan kata-kata dari Juna.Juna kini terlihat benar-benar berusaha berubah. Sejak kemarin, sikapnya terasa berbeda. Lebih tulus, lebih dewasa. Tapi… apakah itu cukup untuk menghapus semua yang telah terjadi di antara mereka?"Huft, ya sudah… apa boleh buat," gumam Hana pelan.Akhirnya, ia mengetik balasan. [Baiklah, terima kasih. Aku setuju.]Tak butuh waktu lama, Juna membalas. [Aku akan menjemputmu dalam 30 menit.]Hana meletakkan ponselnya, lalu bangkit dar
Rey melangkah cepat mendekati Veronica, napasnya sedikit memburu karena ia hampir setengah berlari sejak keluar dari mobil. Ruang tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah perawat yang berlalu-lalang serta desahan napas cemas dari para keluarga pasien lainnya."Veronica!" panggilnya dengan nada mendesak.Wanita itu menoleh, wajahnya sedikit pucat, entah karena cemas atau kelelahan. Ia segera berdiri dari kursinya, menatap Rey dengan sorot mata yang sulit ditebak, ada kecemasan, ada rasa bersalah, dan mungkin sedikit kelegaan karena Rey akhirnya datang."Apa yang terjadi?" tanya Rey tanpa basa-basi.Veronica menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku hendak berkunjung ke rumah kakek, hanya ingin mengobrol santai sambil menikmati kue kesukaannya. Kami berbicara cukup lama, lalu kakekmu pamit ke toilet," jelasnya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi setelah hampir tiga puluh menit, dia tak juga kembali. Aku mulai merasa ada yang tidak beres, jadi
"Oh iya, Bu," ucap Rey dengan nada ringan, tapi matanya sekilas melirik ke arah Juna dengan sorot penuh kemenangan. "Desainerku akan datang kemari untuk fitting baju tunangan dan baju pengantin juga."Lauren yang baru saja menyesap tehnya nyaris tersedak mendengar ucapan Rey. Ia terbatuk kecil, kemudian tersenyum kikuk sambil menatap Hana. "Mm, iya baiklah. Rasanya cepat sekali," komentarnya, meski ada nada terkejut dalam suaranya.Hana yang sejak tadi berusaha menahan kegelisahan kini merasa lebih salah tingkah. Ia buru-buru menyelesaikan potongan cake di piringnya dan bangkit dari tempat duduknya. "Aku sudah selesai. Ibu, aku bantu cuci piring, ya," ujarnya, menghindari percakapan lebih lanjut.Sementara itu, Rey dengan santai menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Lauren dengan senyum tipis. "Tentu saja, Bu. Jika kita sudah menemukan yang tepat, maka kita harus mengikatnya dengan janji suci. Aku akan menyesal bila kehilangan wanita seperti Hana," ucapnya dengan nada mantap, tat
Mobil Rey melambat saat tiba di depan rumah Lauren. Ia mengerutkan kening begitu melihat mobil asing terparkir di depan."Siapa itu?" tanyanya, masih memegang kemudi, matanya menyelidiki kendaraan tersebut.Di sampingnya, Hana terdiam. Ia mengenali mobil itu dalam sekejap. Plat nomornya begitu familiar, seperti bayangan dari masa lalu yang enggan pergi.‘Kenapa dia di sini?’ batinnya, dadanya terasa sedikit sesak."Semoga aku salah," gumamnya lirih sebelum membuka pintu mobil dan turun lebih dulu. Langkahnya tergesa, berusaha menahan ketidaknyamanan yang mulai merayap. Rey melangkah santai di belakangnya, sorot matanya waspada, meskipun ekspresinya tetap tenang.Begitu tiba di depan pintu rumah, Hana segera mengetuknya cepat sebelum membuka."Bu, aku pulang!" suaranya lebih tinggi dari biasanya, ada kegelisahan di balik nada panggilannya.Namun, tubuhnya menegang begitu saja saat pintu terbuka dan pemandangan di dalam rumah menyapa matanya.Juna berdiri di depan sofa, tangan terselip
Juna tahu persis kelemahan Hana. Jika ia ingin menggoyahkan hati mantan istrinya, cara terbaik adalah melalui orang yang paling berarti baginya, ibunya, Lauren.Dengan keyakinan penuh, ia segera menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya di siang hari yang terik, menuju sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis. Ia tidak akan datang dengan amarah atau paksaan. Tidak. Kali ini ia akan menyerang dengan cara yang lebih halus, cara yang lebih sulit ditolak.Dalam perjalanan, Juna mampir ke sebuah toko kue kecil yang terkenal dengan berbagai macam cake buatannya. Ia memilih dengan hati-hati, dan akhirnya membeli sepotong cake greentea. Bukan tanpa alasan, ia ingat betul bahwa itu adalah favorit Lauren.Setelah transaksi selesai, ia kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.Setibanya di rumah sederhana milik Lauren, Juna turun dari mobil dengan percaya diri. Tangannya dengan santai menenteng kotak cake yang baru saja dibeliny
Rey meletakkan gelas kopinya di meja dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Matanya menatap Hana dengan intensitas yang sulit diartikan, bukan marah, bukan cemburu, tapi sesuatu yang lebih dalam."Jadi dia masih menganggap dirinya bagian dari hidupmu?" suaranya terdengar datar, tapi ada bahaya yang mengintai di balik ketenangan itu.Hana menghela napas, menarik kursi dan duduk. Ia memainkan sendok di hadapannya, bukan karena gugup, tapi lebih kepada memberi dirinya waktu untuk berpikir sebelum menjawab."Aku tidak peduli lagi apa yang dia pikirkan. Aku sudah membuat keputusanku, Rey," katanya akhirnya, suaranya lembut tapi tegas.Rey memperhatikan ekspresinya, mencari tanda-tanda keraguan, tapi tidak menemukannya. Itu seharusnya membuatnya lega, Hana benar-benar sudah melepaskan masa lalunya.Tapi tetap saja, sesuatu dalam dirinya tidak bisa menerima begitu saja tindakan Juna."Aku akan menangani ini," ucapnya akhirnya sambil menatap Hana intens.Hana langsung menatapnya taj
Ruangan itu terasa suram. Meja jabatannya yang sudah usang tak lagi berkilau seperti saat pertama kali ia duduki bertahun-tahun lalu. Segalanya terasa basi, seperti dirinya yang tak lagi punya taring dalam dunia bisnis ini.Juna duduk di kursinya, jemarinya dengan malas mengetuk permukaan meja, sementara matanya terpaku pada layar ponselnya.Di sana, terpampang wajah Hana.Senyumnya. Sorot matanya. Segalanya tentang perempuan itu masih sama seperti dulu, masih memikat, masih mampu menusuk ke dalam hatinya tanpa ampun.Tapi kali ini, bukan rasa cinta manis yang memenuhi dadanya.Melainkan obsesi yang merayap seperti racun.Juna tersenyum kecil, senyum yang tidak seharusnya dimiliki seseorang yang waras. "Kau menghancurkanku sampai ke palung terdalam, tapi aku terima, Hana ... aku memang pantas mendapatkannya ... Dan kini... Begini ya rasanya mencintaimu? Aku rasanya gila ... Lebih gila lagi menginginkanmu."Suara itu liri
Dalam kehangatan air di dalam bathtub ... suasana mencair.Uap tipis mengepul di sekeliling mereka, mengaburkan batas antara air dan udara, antara realitas dan keinginan yang tak terelakkan. Setiap gerakan kecil menyebabkan riak lembut di permukaan air, seakan mengiringi detak jantung mereka yang tak beraturan.Rey bersandar di sisi bathtub, tatapannya tak beranjak dari wajah Hana.Wanita itu duduk di depannya, kulitnya yang lembap berkilauan di bawah bias cahaya yang redup. Air yang hangat membungkus tubuh mereka, namun kehangatan sesungguhnya berasal dari sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih berbahaya dan sulit untuk dipadamkan."Katakan, Hana …" Suara Rey serak, seperti gumaman yang beresonansi di dalam dada. "Apa yang kau rasakan untukku?"Ia tidak terburu-buru, tidak memaksanya dengan sentuhan atau ciuman, tetapi dengan kehadiran di depan Hana, ia ingin keberadaannya terasa bukan hanya dalam pikiran Hana.Hana menatapnya.Sejenak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kedalaman