Mas Baja tak membuka obrolan tambahan. Ia masih ayik dengan gawainya. Aku yang merasa diabaikan pun menghentikan aktivitas memasak. Kumatikan kompor dua tungku itu lalu beranjak ke kamar depan. Putri kami sudah bangun. Ia asyik dengan mainannya.
"Ibu kenapa? Sedih?" tanyanya saat melihat setetes air lolos dari mataku. Aku pun menggeleng. "Jangan sedih, Bu. Sini Akila peluk," ucapnya dengan merentangkan kedua tangan. Aku pun tak sanggup menahan rasa sedih itu. Dengan cepat kuhamburkan tubuh pada peluknya."Doain Ibu, Kak. Doain Ibu bisa dapat kerja di desa." Tangan Akila mengusap punggungku lembut.Selesai berpelukan dengan Akila, aku menyeka air mata. Tak bisa kubayangkan jika tak ada dia di rumah ini. Sudah pasti hari-hari akan terasa sangat menyesakkan. Gawai yang tadi teronggok di salah satu sisi ranjang Akila kulihat kembali. Dengan cepat menyentuh benda pipih itu saat aplikasi pesan menampilkan adanya pesan baru.[Maksudnya apa, Nduk? Kenapa tiap ada masalah Ibu selalu dibawa-bawa?]Pesan berikutnya adalah tentang screen shoot percakapan mereka. Ibu dan suamiku. Tanpa berpikir panjang aku langsung membalas pesan Ibu. Tidak terima dengan apa yang disampaikan Mas Baja. Aku pun bangkit dari posisi duduk seraya melangkah menuju ruang televisi."Mas, kamu apa-apaan? Kenapa WA Ibu segala?" Sungguh aku paling benci saat Mas Baja membeberkan rahasia rumah tangga kami. Ekspresinya tetap santai seolah tidak ada hal yang membuatku marah."Mas! Bisa gak kalau ada masalah sedikit, gak bawa-bawa soal itu. Gak perlu bahas masalah yang sama!""Setiap kali kamu pingin pulang pasti kamu nangis. Lihat, bahkan sampai seperti ini. Marah-marah, ngomel gak jelas. Aku malas dan benci melihatmu yang lemah. Kamu masih ingin kembali sama masa lalumu itu, 'kan? Iya?" Mas Baja memang kerap bersikap dingin. Namun, sekalinya membahas masa lalu ia bisa sangat panas."Mas, aku mau pulang bukan karena itu. Aku beneran cuma mau lihat Pakde. Itu aja." Kali ini tak bisa aku terus disalahkan olehnya. Aku memang ingin melayat ke rumah Pakde. Hanya itu."Munafik kamu!" Dengan cepat Mas Baja berlalu dari depanku. Ia menuju kamar Akila. Aku pun membuntutinya."Mau ngapain, Mas!" sergahku dengan menarik tangannya."Apa lagi!" ucapnya lantas menatap dengan ekpresi mengerikan."Jangan, Mas. Jangan sakiti Akila." Dengan cepat aku membuat pagar betis di depan pintu kamar putri kami."Minggir!""Gak Mas, aku gak mau kalau sampai kamu nyakitin Akila. Aku yang salah, Mas. Aku yang salah."Mas Baja tetap berjalan maju. Ia tak peduli saat tanganku mencoba menahan kenop pintu. Tenaganya yang memang lebih kuat berhasil mendorongku. Tubuhku terjerambab di lantai."Aku tak seburuk itu, Amira. Aku hanya ingin tahu anak kita sudah bangun atau belum." Tangan Mas Baja memutar kenop pintu. Pikiran buruk melintas di kepala. Aku sangat takut Mas Baja menyakiti Akila."Hai, Nak. Apa kamu mau ikut Ayah?" tanyanya dengan wajah berhias senyum hangat.Akila yang memang sangat penurut dengan ayahnya pun mendekat. Ia membawa boneka berwarna ungu hasil dari pengumpulan koin kami saat main di Time Zone. "Ke mana, Ayah?""Ke kantor Ayah. Hari ini mood ibu kamu sedang tidak stabil. Ayah tidak mau kamu jadi sasarannya." Sontak mataku membulat. Apa maksud perkataan Mas Baja?"Sudah lah Amira. Aku tahu habis ini kamu pasti malas menjalani hari-harimu. Aku juga tahu ada orang yang memberi komentar di kolom komentar postingan kamu. Aku tahu semua." Mas Baja mendongak. Dadanya tampak sesak."Maksud, Mas?""Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu semuanya." Mas Baja tidak menatapku. Ia memandang Akila dan boneka ungunya."Akila, kembali ke ranjang, Nak. Jangan lupa tutup pintu. Ibu mau bicara sama Ayah, di luar." Mataku menatap tajam pada Mas Baja. Akila yang sudah paham mengikuti intruksiku. Ia mundur beberapa langkah dan kembali mendekat pada ranjangnya. Akila putri kami yang sangat pandai."Masih pagi Amira. Aku tidak mau berdebat denganmu.""Aku tidak berniat untuk berdebat, aku hanya butuh penjelasan." Kutarik lengan Mas Baja. Bisa jadi masalah seperti ini akan berlarut dan berkepanjangan.Meski tampak jengah, Mas Baja mengikuti kemauanku. Pintu kamar Akila kututup rapat. Dengan perasaan tak keruan aku mengajak Mas Baja bicara di ruang tengah. Siaran televisi kartun kesukaan Akila masih tampak di layar."Kolom komentar? Siapa yang komentar?" tanyaku begitu Mas Baja duduk di kasur lantai di depan televisi."Siapa lagi kalau bukan masa lalu kamu.""Masa lalu? Kenapa bisa masa lalu?" Aku masih belum mengerti maksud ucapan Mas Baja. Jangan sampai apa yang kupikirkan tertebak olehnya."Iya. Masa lalu yang tidak pernah bisa kamu lupakan. Sampai-samlai kamu mengabadikan namanya." Mas Baja tampak kesal. Ia bahkan menatap rendah ke rahaku."Apa maksud kamu Mas? Memangnya dia komentar apa?!" Tak bisa kusembunyikan rasa penasaran sekaligus kekesalan."See! Bahkan kamu berani bernada tinggi setiap membahas laki-laki itu.""Bukan begitu. Sudah lama lama aku tidak membuka f*. Jadi aku tidak tahu, Mas." Mas Baja mendecih. Ia tahu kebohonhanku terlalu kentara. Jelas-jelas aku sedang gencar melakukan promo penjualan buku baruku."Aku tidak mengira kamu akan seperti itu, Amira. Aku dengan sangat bodoh baru tahu kalau cerita itu tentang kalian. Bahkan kamu membuatnya seolah-olah fiksi. Menggambarkan dengan sangat baik kegagalan hubungan kalian. Menyesal aku, sudah mendukungmu di jalan itu." Tangan Mas Baja bersedekap. Ia seperti sudah tahu banyak hal."Novel? Tentang itu?" Mataku membelalak. Mengingat apa yang kutulis dan rilish beberapa bulan lalu. Cerita yang sudah lama kusimpan dan hanya kunikmati sendiri. Aku sedang mempublikasikannya lewat karya."Sangat jelas dan gamblang. Bisa jadi orang itu sedang bangga karena kisah kalian diangkat dalam tulisan dan diabadikan. Bisa jadi orang itu sedang tertawa mendapati kamu belum bisa melupakannya. Aku yang jelas-jelas suamimu sama sekali tak ada nilainya." Mas Baja memulai argumen panjangnya."Hanya karena itu lantas kamu menghubungi, Ibu, Mas? Hanya karena itu lantas kamu membeberkan semua masalah kita?""Aku lelah Amira kalau seperti ini terus. Aku lebih baik mundur untuk menjadi suamimu. Cara terbaik hanya dengan memberi tahu keluargamu."Mataku terasa panas. Tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Mas Baja. Sudah sejak lama kami sepakat untuk tidak melibatkan keluarga di setiap masalah rumah tangga kami. Aku sangat malu kalau orang-orang terdekatku tahu yang sebenarnya. Aku mematung di depan Mas Baja. Laki-laki yang membawaku pergi jauh dari desa itu."Kamu kembali saja pada laki-laki itu. Balik saja ke desa dan mengejarnya." Ini kali sekian kami membahas tentang mantan. Tak ada habisnya meski sudah dengan banyak cara aku menhindarinya."Kamu jangan salah paham, Mas. Memangnya apa komentarnya?" Aku yang memang belum mengecek f* merasa penasaran. Apa yang coba dia lakukan?Mas Baja bangkit dari posisi duduknya. Ia melangkah menuju kamar dan kembali dengan membawa ponsel. Sudah pasti ia akan menunjukkan komentar itu. Dari seseorang yang sudah lama tidak menghubungiku.Apa tujuannya? Apa yang melatarbelakanginya? Apa yang ia inginkan sebenarnya?Jantungku seakan meloncat keluar saat Mas Baja menujukkan layar ponselnya. Sebuah kesalahan besar telah kulakukan.Setelah sekian lama menghilang. Apakah aku sama saja membuka akses komunikasi untuknya?***Sama seperti gadis-gadis desa pada umumnya. Setelah lulus SMA harapanku hanyalah menikah dengan laki-laki pilihanku atau keluarga. Aku yang sadar betul dengan ekonomi keluarga tidak akan memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah. Meski sekuat tenaga orang tuaku mengupayakannya. Masih segar diingatan saat ia yang kucinta justru mematahkan satu-satunya harapan itu."Nduk, jangan lupa kuenya dibawa kalau kamu mau mampir ke rumah Arhab." Sebuah keresek hitam Ibu siapkan. "Gak mungkin mampir lah, Bu. Kan ini acaranya gak di masjid.""Ya putar arah, Amira. Dari tempat tema kamu terus belok ke kanan kamu ambil jalan turunan. Lurus terus nyampe kan ke rumah Arhab." Ibu terus memaksaku. Meski aku tahu tidak mungkin kami akan bertemu di sana. Entah sejak kapan semua berawal. Saat kami bertemu di salah satu pernikahan temanku, yang juga suadaranya aku mulai terbiasa dengan suara lembutnya. Mas Arhab kad
“Amira! Apa yang kamu lakukan!” Mas Baja berjalan maju ke arahku. Ia kembali ke ruang televisi. “Kamu tahu ini satu-satunya barang yang masih bisa dijual bukan? Kenapa malah kamu jatuhkan?!” Mata Mas Baja terarah pada televisi tabung itu. Dulu kami punya yang lebih baik. Berbentuk layar pipih.“Maaf, ma-af, Mas.” Aku benar-benar kehilangan akal. Kata-kata Mas Baja tentang perempuan murahan membuatku muak.Pintu kamar Akila berderit. Gadis itu pasti penasaran apa yang terjadi. Meski takut, ia memunculkan diri.“Kenapa rusak, Bu?” tanya Akila melihat televisi itu.“Ibu gak sengaja, Nak. Gak sengaja ngejatuhinnya.”“Kamu cepat siap-siap, Akila. Kita ke rumah nenek saja. Ibu kamu memang payah.” Mas Baja menarik tangan Akila. “Mas, jangan begitu, Mas. Makanya kamu dengar dulu penjelasanku. Tidak langsung pergi. Aku juga tahu kamu akan ke tempat perempuan itu, bukan?” Sudah beberapa bulan ini aku mencurigai Mas Baja. Ia seperti melakukan kebohongan besar di belakangku.“Hah? Perempuan? Kam
Mobil silver itu benar-benar pergi. Pintu rumah masih terbuka begitu juga dengan pintu gerbang di ujung halaman. Mas Baja seakan sengaja tidak menutupnya. Ia pergi tanpa perlu menengok ke belakang, seperti yang biasa ia lakukan. Perlahan aku bangkit dari posisi duduk. Mengayunkan langkah ke arah daun pintu lalu menutupnya. Ucapan Mas Baja mengusik kembali ruang hening yang selama ini begitu nyaman untuk kusinggahi. Foto dalam kolom komentar itu seolah menunjukkan orang yang sudah lama pergi ingin kembali menyapa dengan cara yang berbeda. Seketika aku bergidik ngeri membayangkannya. Seperti daun pintu ini. Meski tertutup rapat aku tak menguncinya. Apakah hatiku memang tidak pernah benar-benar terkunci untuk seseorang di masa itu? Segera kutepis semua pikiran aneh. “Kamu tidak boleh goyah, Amira. Setelah ini bersikaplah seperti biasa. Seolah tidak ada masalah dengan Mas Baja. Ya. Kamu hanya perlu melakukan seperti itu.” Kulanjutkan kembali niat untuk berangkat kerja. Sudah sangat ter
Sembari mengambil motor di parkiran aku memikirkan pesanan Mas Baja. Martabak telur dengan dua telur bebek. Uang seratus ribuan yang sudah tidak lengkap lagi karena harus kualokasikan untuk membeli bensin, akan semakin berkurang sore ini. Sementara gajianku harus menunggu sampai tanggal empat. Tidak seperti perusahaan pada umumnya yang tanggal dua puluh lima gaji sudah masuk ke rekening. Aku tetap meneruskan perjalanan meski sesekali perutku berbunyi. Berkendara ke arah barat dari kantor setelah dua puluh menit, membuatku menemukan penjual martabak langganan keluarga Mas Baja. Mereka terutama Ibu sangat suka dengan martabak terang bulan ini. Pernah suatu hari aku membelikan dengan merek lain, Ibu sama sekali tidak menyentuhnya. Jantungku berdebar saat tampak dari jauh tenda berwarna biru milik penjual itu belum terbentang. Jangan-jangan hari ini libur. Aku pun menarik kencang gas di tangan kanan. Memastikan dugaanku itu. Tepat saat roda motorku berhenti di depan gerobak, terdapat tul
Teriakan Mas Baja tak kuhiraukan sama sekali. Dari kaca spion tampak dia mengumpat. Sejenak kuhela napas. Rasanya teramat sesak. Terlebih aku harus kembali tanpa Akila. Gadis kecil itu sudah pasti akan dikelilingi dengan materi. Gadis kecil itu sudah pasti akan bisa mendapatkan semua barang yang ia inginkan. Namun, aku tak yakin ia bahagia. Motor matic merah melaju di jalanan yang semakin gelap, menuju satu-satunya tempat untukku. Andai ada satu orang saja yang bisa kumintai tolong sudah pasti aku memilih tidak ke rumah itu. Setengah jam berkendara pagar besi itu menyapa. Pagi tadi aku sengaja tak menguncinya. Berharap Mas Baja akan pulang bersama Akila. Sayang, pintu tak terkunci itu tidak berarti. Kudorong pintu gerbang ke sebelah kanan setelah turun dari motor. Kembali menaiki dan memakirkannya di garasi. Rasanya badan lelah sekali. Melihat bangunan mewah ini membuat keningku mengernyit. Dua hari lagi sudah tanggal satu. Sementara uang untuk cicilan belum nampak hilalnya. Aku pun
Terlalu larut dalam kenangan itu membuatku sampai lupa diri. Buru-buru kuangkat bungkus martabak dan masuk ke rumah. Aku akan segera merebah. Malam ini kucukupkan sampai di sini. Menangis bukanlah sebuah solusi. Hal semacam ini hanya akan melegakan perasaan saja dan semua tetap sama. Besok uang untuk cicilan tetap harus kusiapkan. Pintu jati berukuran besar itu kututup rapat. Langkahku sedikit gontai saat sampai di ruang tengah. Televisi tabung itu masih teronggok di lantai. Aku lupa merapikannya. Perlahan kudekatkan diri pada bangkai televisi yang sudah pecah monitornya. Bodoh. Teramat bodoh sampai menghancurkan barang. Biasanya ini kerjaan Mas Baja. Sayang, kali ini karena tanganku sendiri. Kuangkat televisi itu dan mengembalikan ke tempat semula. Saat menatapnya hatiku kian berlubang. Nasib buruk tak henti menjumpai setelah menikah dengan Mas Baja. Apa yang tampak di permukaan kadang tak sama dengan dasar. Semuanya sangat berbeda. Kuhela napas berat. Mendongak untuk menghalau se
“Yang benar, Mbak kalau ngomong. Jangan sembarangan!” seru Arga. Aku bahkan belum sempat membalas ucapan senior perempuan ini. Malas membuat masalah terpaksa aku memilih diam.“Aku gak sembarangan, Ga. Banyak buktinya. Dia aja yang gak tahu diri” Wajah senior perempuan di kantor kami semakin sinis. Ia membenciku hanya karena Bos tidak memecatku. Lama-lama aku ingin menyumpal mulutnya juga. “Ngomong gak ada bukti itu pembual, Mbak!” Arga terus menimpali ucapan senior. Mungkin dia paham jika perempuan yang bertengkar akan lebih fatal. Konsentrasiku pun menjadi terbagi. Aku tak mampu memfokuskan diri pada pekerjaan dan ingin menyeran balik ucapan senior. Beruntung ponselku bergetar diiringi dengan nada dering kencang. Aku pun mengurungkan niat dan beralih ke panggilan itu. Nama Martia terpampang di layar.“Ya, ada apa, Mar?”[Pulang, Mir, sekarang juga. Ibu kamu masuk rumah sakit!] Kalimat itu menghantam gendang telingaku. “Kapan, Mar? Gimana kondisinya?!” teriakku karena panik. Arga
Siapa dia dari mana asalnya. Aku jelas sangat paham. Sejak awal wanita itu memang milik Mas Baja. Namun, aku mencoba memanipulasinya. Menganggap rumah tangga kami tenang seperti aliran sungai tanpa riak. Nyatanya aku salah besar. Laki-laki dan seseorang tidak bisa berubah secepat itu. Satu tahun bukan waktu yang cepat untuk mengabaikan semua masalah. Namun, aku terus memaksakan diri berjalan di biduk ini.Sudah bukan hal baru aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Lebih intensnya saat Mas Baja kerap melakukan kunjungan kerja ke berbagai kota. Bisnis yang ia kembangkan menjadi alasan. "Biasa, cuma relasi, Mir. Paling biar aku mau kerja sama makanya chat begitu.""Tapi, Mas nomor ini sering banget lho," ucapku seraya menunjukkan layar ponsel."Dah, blokir aja." Dengan tanganku sendiri aku memblokir nomor wanita yang kerap mengirimkan pesan pada Mas Baja. Tak pernah tahu jika ada banyak cara untuk mereka berkomunikasi. Bodohnya aku luluh karena tindakan tegas Mas Baja. Kututup pint
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami