'Mungkinkah itu tanda bahwa dia masih memiliki rasa cemburu padaku?' batin Elzien tersenyum tipis tapi disembunyikan lagi dengan menunduk.Shifra tak berani menatap dua pria yang berstatus suaminya. Sungguh dia tak menyangka akan berada di dalam situasi rumit seperti ini. Memiliki suami seorang Elzien saja dia masih belum percaya saat itu. Maka dia memilih fokus menyelesaikan kuliah dulu. Meski diridhoi suaminya kala itu, tapi tetap saja hati dan keimanannya diliputi rasa bersalah sepanjang waktu.Ditambah lagi hatinya masih tertaut dengan satu nama sejak SMA. Javaz, adik iparnya sendiri yang setiap hari masih dilihatnya. Bertemu tatap dan tak jarang berinteraksi dalam batas wajar. Keadaan yang sering dia abaikan dan buang jauh demi setia pada Elzien yang menjadi suaminya."Andai suatu saat aku harus pergi meninggalkanmu, maka gapailah cita-cita dan cintamu yang mungkin terhenti karena aku menikahimu,"Kalimat Elzien yang sering didengarnya kala malam hari. Seperti sebuah firasat dan
'Mas El ... maafkan Shifra,' batinnya bergantian menatap dua laki-laki yang menunggu kalimat selanjutnya.'Witing tresna jalaran songko kulina' - 'Cinta tumbuh mengakar dari terbiasa'Mungkin adalah istilah yang cocok untuk disematkan pada posisi Shifra sekarang. Terbiasa dari masih remaja 17 tahun dengan perhatian dan kasih sayang seorang Javaz sampai dia dalam keadaan terpuruk kehilangan pun pria itulah yang menemani dan menguatkannya. Berdiri di sisinya di saat Haribawa dan Zora menunjukkan kebencian padanya.Sedangkan bersama Elzien, pria yang menghalalkannya, dia merasa dituntut dan harus bisa menerima sebagai istri yang sholihah. Selama dua tahun mencoba memupuk benih cinta dari Elzien dengan keikhlasan dan ketulusan mencari keridaan Tuhannya. Hasilnya, di saat sudah mulai tumbuh harus tercabut kembali akar itu karena kepergian suaminya."Allah ... berilah petunjuk-Mu atas siapa yang harus kupilih. Seseorang yang akan membawaku mendapat Rida dan Berkah dari-Mu baik untuk agamaku
"Papa ...." isaknya meletakkan kepala di ceruk leher sang Ayah.Elzien mengangguk dan ikut menangis, memperat pelukannya tapi tak sampai menyakiti Ezra.Shifra semakin terisak dan bergetar hebat tubuhnya. Talaq Elzien sudah terhitung jatuh saat dia ucapkan tadi. Karena dia ingat bahwa ucapan yang dianggap terjadi atau sah meskipun dikatakan untuk mainan adalah ucapan pernikahan dan perceraian.Apalagi Elzien memang benar-benar sudah memutuskan untuk berpisah dengan Shifra. Dan sudah mengucapkan kalimat talaq untuknya.Berat bagi seorang perempuan harus menerima ujian bertubi-tubi seperti yang dialami Shifra."Bolehkah Ezra punya Ayah dan juga punya Papa?" tanya bocah laki-laki itu dengan mata berbinar menatap Elzien yang bingung harus menjawab apa."Ezra lebih suka Bunda sama-sama dengan Ayah atau Papa?" Zora mencoba membuat pilihan."Ezra suka Ayah, tapi Ayah nggak ada? Papa ... Ezra takut, kayak zombie, tapi tapi digendong Papa Ezra suka! Papa nggak kayak zombie, hehehe ...," celot
"Aunty ... tadi Ezra lihat Ayah di balik pintu, kenapa Ayah sembunyi? AYAAAH!" teriaknya lagi kembali berlari sampai ke taman samping."Benarkah? Di mana, Sayang?" tanya Zora mengikuti arah Ezra yang sedikit memelan."Ayaaah!" pekik Ezra kegirangan sambil memeluk Javaz yang membelakanginya."Kenapa Ayah lari dari Ezra? Apa kita sedang main petak umpet? Jadi Ezra menang? Yeeaaay ...! Giliran Ayah cari Ezra, tutup mata dulu!" celotehnya random sambil menggoyang lengan pria yang masih bergeming tak merespon perlakuan Ezra."Ayo Ayah! Ayo!" rengeknya lagi berjalan ke sisi depan Javaz dan mendongak."Ayah nangis? Apanya yang sakit, Yah? Coba kasih tahu Ezra, biar nanti diobati sama, Bunda," Bocah laki-laki yang hanya setinggi pinggang orang dewasa itu memindai tubuh di depannya."Ezra ... sini dulu sama Aunty!" bujuk Zora membungkuk menyejajarkan tubuh dengan keponakannya agar lebih didengar."Nggak mau! Ezra mau obatin Ayah dulu! Ayah pasti kesakitan? Makanya sampai keluar air matanya, iy
"Mas ... Shifra membutuhkanmu! Ezra lebih butuh kamu, Mas ...."Mendengar suara lembut dengan sedikit isakan itu, Javaz menghentikan langkahnya. Tanpa membalikkan badan, dia memejamkan mata dan mengembuskan napas berat. Shifra memanggilnya dengan Mas sejak lama, dan sekarang di belakang sana ada Elzien yang memang dipanggil dengan Mas oleh Shifra. Dia melangkah kembali setelah tak ada respon apapun beberapa detik dia berhenti."Mas!?" teriak Shifra berdiri dan berlari mengejar Javaz yang sudah berjarak beberapa meter dari posisi awalnya.Dengan linangan air mata dan sedikit mengangkat gamisnya, Shifra mengikis jarak hingga sampai di belakang punggung suami keduanya."Shifra mencintai Javaz sejak dulu ... Shifra gila karena Javaz juga menggilainya. Jika Javaz pergi maka Shifra harus bersamanya ...." ucapnya melingkarkan lengan di perut Javaz dan bersandar di punggung lebar ternyaman baginya.Elzien yang melihat itu seketika menitikkan air mata. Menunduk tajam dan mencoba menata kembal
"Ezra?! Apa yang terjadi, Nak? Ezra!?" pekik pria di kursi kerjanya sontak berdiri dengan panik.Sambungan terputus sepihak dan Javaz mulai menghubungi ulang, tapi tak bisa tersambung lagi. Hatinya mulai gelisah tak tenang, sungguh dia sangat khawatir apa yang terjadi.Segala hal mungkin terjadi di jalanan, apalagi sedang berkendara sambil melakukan panggilan sangat dilarang. Javaz merasa bersalahbdan terus mencoba mencari tahu dengan melacak sinyal terakhir melalui GPS ponsel Ezra yang memang sudahblama terhubung dengannya.Setelah berhasil menemukan titik lokasinya, gegas ia melajukan motor sport-nya."El ... sesuatu terjadi pada Ezra! Aku sedang menuju ke sana! Tolong bantu siapkan IGD dan dokter terbaik!" Javaz mengirim pesan suara di tengah mengendarai kuda besinya dengan kecepatan penuh.Semenjak Ezra memahami keadaan orang tua dan pernikahan Bundanya. Remaja 15 tahun itu mencari keberadaan dua ayahnya. Keduanya sangat senang dan memberi segala fasilitas untuk kesayangan mereka
"Astaghfirullah! Kamu di mana, Ezra Sayang!?" isaknya menyentuh dada dan mulai mengalirkan air mata."Bunda ... Ezra di sini. Kok nangis?" Tiba-tiba sang Anak yang dinantikan Shifra memeluknya."Alhamdulillah! Ke mana saja kamu, Naaak!? Kamu mau Bunda kena serangan jantung? Kenapa nggak ada kabar seharian? HP juga mati, heuh?!" omel Shifra sambil terisak-isak memukuli dada bidang Ezra yang justru terkekeh memeluknya."Iya ... maaf Bunda! Ezra 'kan tadi bilang mau ada pertemuan bahas acara perpisahannya Kelas 3 yang tinggal dua minggu lagi? HP juga tadi jatuh trus mati total, pas mau kabarin Bunda ...," terang Ezra masih memeluk ibunya dengan erat dan mengelus punggung yang menonjolkan ruas tulang belakangnya."Ezra ...," panggil Shifra mengendus pakaian putranya."Ya, Bun?" balasnya memberi jarak pada tubuh sang Bunda yang mengernyitkan kening."Ka-kamu ... ganti parfum?" tanya perempuan yang terus mengingat dan mulai mengenali aroma khas dari baju Ezra."Ganti gimana? Dari dulu selal
'Maaf Bunda ... Ezra minta maaf untuk tak menepati janji Ezra kali ini ... maaf!' balasnya tak diucapkan."Ini kenapa, Nak?" Shifra kembaliengusap perban yang panjang menutup dahi hingga pelipis Ezra."Tadi mau nyelametin HP, nggak nyampe. Ya ... jadinya kena tralis besi pembatas lantai dua, Bun. Makanya Ayah sama Papa langsung tahu. Karena-""Karena kalian masih menjalin hubungan di belakang Bunda selama ini? Iya?" potong Shifra menarik tangannya dan membuang wajah."Iya Bunda ... maaf!" balas Ezra lemah."Bunda maafkan kali ini saja. Jika terulang, jangan pernah lagi temui, Bunda! Hiduplah dengan mereka berdua! Anggap Bunda sudah tiada!" ucap Shifra penuh penekanan."Iya ... Ezra, janji!" Kalimatnya terjeda karena dia berkata "nggak bisa" dalam hati sebelum kata janji terucap.Kedua anak dan ibu itu saling berpelukan dengan Shifra yang terus mengomel pada putranya.*******"Tumben Bos, kemarin bolos?""Ezra! Kok kemarin nggak jadi pimpin rapat OSIS-nya?""Jidat Lo kenapa, Bro?"Ezra
"Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa
"Lebih baik aku tiada dari dulu ...." gumamnya menunduk tak sanggup lagi melihat kondisi Shifra yang mulai menyakiti dirinya sendiri dengan memaksa melepaskan jarum infus dan mencakari wajahnya sendiri.Elzien tak pernah melihat keadaan perempuan di depannya seburuk sekarang. Hati pun ikut hancur lebur dan mulai berembun sudut matanya.Bagaimana tidak, saat Javaz masih bisa bangkit dan memeluk Shifra erat. Mantan istrinya itu melemah dan mulai tenang dalam dekapan sang adik. Sekuat itulah cinta keduanya.Dahulu, di sisinya Shifra akan bersikap seperti ibu. Begitu dewasa dan seolah membimbingnya seperti anak. Elzien nyaman dan merasa terlena, hingga lupa bahwa seorang istri butuh perhatian dan keluh kesah tersampaikan. Mungkin saat itulah semua maaalah berakar. Hingga sekarang menjadi bom waktu yang meledakkan semuanya. Shifra tak mampu lagi menahan diri dalam kewarasan yang selam ini berusaha ditampakkannya."Shif ... tenanglah! Dia Ezra, putramu, bayi kecilmu, kekuatanmu, penglebur d
"Sial! Cari tahu tentang dia juga, Brengsek!? Siapa yang berani melawanku?!" geram seseorang melemparkan botol minuman keras di atas meja ke dinding."Nggak ada yang boleh lebih unggul dari putraku!" lanjutnya mengepalkan tangan sambil memukul meja di depannya.Pihak berwajib melakukan penyelidikan terhadap kebakaran yang terjadi di rumah Shifra. Banyak hal janggal ditemukan dan semua mengarah pada satu nama ART paruh waktu yang datang pagi pulang sore hari.Dia diduga mematikan saluran air dari PDAM yang mengalir ke tandon besar rumah. Kemudian tabung gas dibiarkan dalam keadaan menancap setengah regulatornya, jadi seolah terjadi kebocoran. Ada beberapa botol kecap dan saos yang diisi minyak tersebar di sekitar pekarangan. Siapa lagi yang sengaja bisa leluasa melakukannya kecuali orang yang bebas keluar masuk dari rumah itu.ART bernama Linda itu tengah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dia hanya menangis dan terus menggeleng pasrah mengikuti arahan petugas membawanya
"Ezra? Ezra ... kenapa panas sekali? Ezra! Rumah kita terbakar! Ezra!? EZRAAAA!" teriakan Shifra di tengah kobaran api di seluruh kamar dan rumahnya tak membuat sosok yang baru saja tertidur di sampingnya bergerak sedikit pun.Tangan Shifra terus mengguncang tubuh pulas itu sambil memanggil namanya. Karena kebutaannya dia tak tahu bahwa di telinga Ezra tersumpal head phone. Sekuat apa pun memanggil namanya tetap tak terdengar. Apalagi sebelum tidur remaja itu baru saja meminum obat pereda rasa sakit untuk lukanya sekaligus obat tidur yang diresepkan bersamaan.Saking geramnya ibu tiga puluh tujuh tahun itu menggigit lengan Ezra."Aaarrrgh!?" teriaknya terjingkat kaget kemudian diikuti istighfar berkali-kali melihat dirinya sudah dikelilingi api.Dia memeluk ibunya yang sudah berlinangan air mata dan hampir sesak napasnya."Bunda naik punggung Ezra dan pegangan yang erat, ya? Bismillah!" titahnya menarik bed cover sekaligus sang Bunda ke punggung.Berlari mencari celah menuju kamar man