"Ke Bali, apa untuk urusan pekerjaan?"Alex diam, tak lama ia memilih untuk mengangguk kecil. "Iya, aku pergi Ke Bali untuk urusan pekerjaan, aku memberitahumu sesuai dengan dengan kesepakatan kita sebelum menikah dulu," jawab Alex ragu.****"Kau tak masalah kan jika aku pergi ke sana selama dua hari?"Raya tak langsung menjawabnya, entah mengapa ia merasa sedikit aneh dengan sikap Alex yang terkesan menghindar dari tatapan matanya."Apa saat ini kau sedang tidak berbohong padaku?" Tanya Raya sambil menyipitkan matanya."Ke-kenapa aku harus berbohong padamu?""Sikapmu sedikit aneh. Kau juga terlihat gugup menjawab pertanyaanku." "Aku tidak gugup." "Sikapmu sangat mencurigakan." Lanjut Raya."Apanya yang mencurigakan? Kau saja yang aneh. Ah, sudahlah aku mau tidur," kilah Alex berusaha menghindar."Selamat malam."Dengan langkah cepat, Alex berjalan menuju kamarnya. Sebelum menutup pintu kamarnya, masih terlihat pemuda itu mengintip istrinya yang masih asyik menyanyi.Blam.Alex me
Raya memutuskan untuk terus menjelajah kamar milik suaminya. Raya semakin meyakini jika yang ditemukannya adalah foto diri Stella. Meski foto itu sedikit buram, karena diambil belasan tahun lalu, namun. Raya yakin jika gadis berseragam putih abu-abu itu adalah Stella. Tak lama, ia mengambil sebuah catatan kecil yang ada disudut bagian bawah meja kerja Alex, sebuah catatan kecil yang nyaris tersembunyi oleh tumpukan map."Bali with Stella, akhir minggu ini."****"Bali with Stella?" Raya mengeja kalimat catatan yang tertulis dalam kertas itu.Untuk beberapa saat, Raya diam menatap kalimat dalam tulisan itu. Bibirnya berdecak kesal. Menandakan emosinya kini sedang berubah."Apa maksudnya ini? Ia bilang pergi karena urusan pekerjaan, tapi ternyata pergi dengan Stella, Apakah ini artinya Alex dan Stella sudah berjanji akan berlibur bersama disana, karena inikah ia sampai berbohong padaku?"Raya menggeleng pelan. Ia tak habis pikir dengan cara berpikir Alex sekarang. Pernikahan mereka mema
"Aku cemburu ...? Kau bilang aku seorang sedang cemburu?""Iya, kau cemburu nona!" Sambar Winda cepat."Tak mungkin. Itu tidak benar. Aku hanya tak suka ia membodohiku, berbohong padaku. Entah mengapa rasanya seperti ...""Seperti tidak rela melihat mereka bersama, iya kan?"Raya diam, keningnya masih terlihat berkerut. Namun, Raut wajahnya mengatakan jika ia setuju dengan pernyataan Winda."Lalu ...?""Apanya?" Ketus Winda."Lalu, apa yang kulakukan?" Lanjut Raya.Winda menggeleng cepat. "Tanyakan itu pada dirimu sendiri, apa yang kau inginkan dengan pernikahanmu. Jika kau mau pernikahanmu hancur dalam setahun kedepan. Maka, tutup matamu tak usah pedulikan apapun yang dilakukan suamimu dan Stella. Tapi, jika kau ingin pernikahanmu bertahan, maka berjuanglah. Buktikan kekuatan dan berkuasanya seorang istri untuk menghajar pelakor," jelas Winda bersemangat."Kau memang kompor meleduk.""Lho aku benar, Raya. Jika aku yang berada diposisimu. Sudah ku susul mereka ke Bali.""Aku bisa mem
"Terserah kau saja. Aku tak akan menang melayanimu bicara jika mode si Patrick ini sudah muncul."Mereka menikmati makanan yang tersaji. Sesekali masih diselingi tawa keduanya. Hingga tak terasa hanya menyisakan piring dan gelas kotor saja di meja."Ah, aku kenyang." Terdengar Winda bersendawa."Sering- sering saja kau mengajakku makan seperti ini," puji Winda sambil melebarkan kedua sudut bibirnya."Iya, kau tenang saja. Aku akan sering mentraktirmu seperti ini.""Lalu, apa kau sudah tahu apa rencanamu selanjutnya?" Tanya Winda sambil mengambil sebuah tusuk gigi dan segera mengunakannya."Tentu saja. Aku tahu apa yang harus kulakukan." Raut wajah Raya kini terlihat sangat misterius, seketika membuat Winda bergidik.***"Auramu kini terasa horor. Raya. Jangan bilang jika kau akan pakai jasa dukun santet." Mata Winda memicing memandang Raya."Sembarangan. Kau pikir aku seputus asa itu, hingga mengambil jalan hitam. Tenanglah, aku masih bisa berpikir waras," balas Raya."Katakan apa ren
"Mama senang kau kesini. Mana Alex, sayang?""Aku datang sendiri kesini. Mas Alex ada urusan pekerjaan diluar kota," jawab Raya."Mama tahu pasti ada yang ingin kau bicarakan dengan mama kan. Hingga tanpa memberi kabar lebih dulu kau datang mengunjungi mama kesini?" Tebak ibu mertua Raya sambil mengulas senyum.***"Ayo duduk disini," ajak Bu Sekar, mertua Raya.Mereka melangkah menuju kesebuah sofa yang tak jauh dari meja kerja. Sofa set berwarna abu abu gelap yang sangat kontras dengan warna dindingnya yang putih polos."Tidak, aku kesini karena tak enak sendirian dirumah, ma." Raya menjawab pertanyaan ibu mertuanya tadi."Aduh, mama lupa, Raya." Bu Sekar menepuk pelan kepalanya."Sebenarnya mama sudah minta sama sebuah yayasan penyalur untuk mencarikan asisten rumah tangga untuk bekerja di rumah kalian. Mama tahu Alex pasti keberatan jika banyak orang asing dirumah. Tapi, jika satu atau dua orang ART dipekerjakan untuk membantu dan menemanimu dirumah, kurasa Alex akan setuju. Karen
"Ma, cincin ini," tanya Raya."Pakai saja. Mulai sekarang itu adalah milikmu.""Terima kasih, ma. Akan ku jaga cincin ini baik baik," sahut Raya."Mama percaya padamu.""Ayo, nanti mama akan beri tahu makanan atau hal apa saja yang disukai Alex dan hal yang tidak disukainya. Kita bisa bicara banyak setelah makan.""Iya ma." Raya mengangguk, lalu mengikuti langkah ibu mertuanya menuju meja makan.****Raya memandang kembali cincin berhiaskan permata safir biru itu dijari manisnya. Pertemuannya dengan ibunya Alex kemarin, membuatnya yakin akan keputusannya untuk memisahkan Alex dari cengkraman Stella.Cukup lama ia memandang cincin itu. Sesekali bibirnya terlihat menyunggingkan senyum. Nampak jelas suasana hatinya kini sedang senang.Raya melangkah menuju lemari pakaian dan mengambil sebuah rok panjang berwarna coklat muda dan juga sebuah cardigan rajut kuning, lalu memakainya. Sengaja ia tak mengikat rambut panjangnya. Membuatnya terlihat benar-benar begitu manis.Sebuah Sling bag berw
Mata Raya tak berkedip ketika melihat sosok yang tak asing sedang berdiri di dekat pintu utama rumahnya. Tak lama kemudian, Arya melintas dari samping dan langsung menyapanya."Kau sudah pulang Alex, kupikir kau akan lama mengurus pekerjaanmu di Bali?"****"Kau sudah pulang?" Tanya Raya masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang."Iya, begitu pekerjaanku selesai, aku langsung pulang," jawab Alex ketus."Ah, jadi benar ini kau," ulang Raya sambil menjawil pipi Alex."Kau apa-apaan sih, dasar aneh!""Ternyata, ini benar benar kau." Raya terkekeh.Wajah masam masih diperlihatkan Alex kala ia melihat Arya yang melirik Raya sambil mengulum senyum. Membuat Alex berdecak kesal."Ke-kenapa kalian bisa pulang bersama?" Tanya Alex ketus sambil melirik Raya."Kami tak sengaja bertemu di mall, lalu menikmati secangkir kopi di sebuah kedai, benar kan Raya?" Arya langsung menjawabnya."Iya, Mas Arya sangat baik, ia menemaniku disana, kau tahu jika tak ada dia mungkin aku akan bosan send
"Dasar bodoh," umpat Raya spontan."Kau bilang aku bodoh!""Iya, kau bodoh. Kenapa tak suka. Kau sengaja kan mau cari ribut denganku. Ayo!" Tantang Raya."Apa kau yakin ingin menantangku?" Mata Alex menyipit lalu menghampiri Raya. Tak lama, ia membisikkan sesuatu ketelinga Raya."Aku terima tantanganmu. Bagaimana kalau untuk pemanasan kita tidur bersama malam ini? Menghabiskan malam pertama kita sebagai pengantin, dengan begitu kau bisa menilai apakah aku bodoh atau tidak dalam memuaskan mu?"***Byurr.Segelas air putih ditumpahkan Raya keatas kepala Alex. Membuat pemuda itu langsung mengumpat kesal."Apa yang kau lakukan?""Mendinginkan dan membersihkan kepalamu, agar otak kotormu itu bersih dari pikiran jorok," sungut Raya."Ah, kau ...!" Alex menggeram kesal."Kalau kau mau kau habiskan saja sisa mie dimeja, aku sudah tak berselera lagi." Ucap Raya sambil berlalu meninggalkan Alex yang masih sibuk mengelap sisa air dikepalanya."Benar benar gadis tak punya etika. Mengapa aku sampa
"Terima kasih kau sudah bekerja keras untukku selama ini, jika perasaanku sudah lebih baik. Aku akan segera kembali, saat itu kau ambil semua kontrak. Aku tak akan menolaknya." Ujar Stella lalu menutup teleponnya."Maaf, tapi yang kubutuhkan saat ini adalah menjauh, karena jika aku tetap melihat Alex dan Raya bersama, akan membuatku sulit untuk bertahan. Aku butuh waktu untuk melepas segala beban ini dan menerima semua kenyataan ini." Aku butuh ketenangan untuk menata hidupku kembali." Bisik Stella hampir tak terdengar.****Tiga minggu kemudian."Kau benar- benar akan pergi?" Tanya Alex pada Arya, kakak tirinya. Ia sengaja datang ke rumah keluarga Pak Bambang. Untuk memastikan ucapan ibunya yang mengatakan bahwa Arya akan berangkat ke Australia, awal bulan depan."Iya, aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku disana." Jelas Arya membenarkan pernyataan Alex."Kapan kau akan pergi?" "Minggu depan." Jawab Arya."Kau pergi bukan karena menyerah, bukan?""Anggap saja itulah a
Maaf, Kita Sudah MantanWajah mereka saling berhadapan satu sama lain, rona kemerahan nampak dipipi Raya, rasa malu membuat gadis itu memalingkan wajahnya, melihat sikap Raya yang masih malu, Alex membelai lembut pipi wanitanya."Aku ingin memiliki anak darimu, bisakah kita memulainya malam ini," goda Alex."Kau memang pria mes*m, entah mengapa aku bisa mencintaimu." Balas Raya tersenyum.***Tiga hari sudah Alex berada dirumah mertuanya, dan hari ini mereka akan kembali ke Jakarta, karena pekerjaan Alex yang sudah menunggu. Ada rasa haru ketika Bu Hartati melepas kepergian anak dan menantunya. Namun, setidaknya ia tak perlu khawatir lagi, karena Alex sudah berjanji akan menjaga dan membahagiakan putrinya seumur hidup.Tangan Bu Hartati melambai begitu Alphard hitam itu bergerak dan semakin menjauh, duduk dikursi belakang ada Alex yang berdampingan dengan Raya, sementara Pak Budi duduk dibelakang kursi kemudi. Perjalanan belasan jam akhirnya dilewati tanpa terasa karena rona bahagia
[Aku mencintai Raya. Tolong jangan mengganggunya lagi.]Kalimat itu terdengar sangat tegas diucapkan Alex. Membuat Arya mengerti jika ia tak akan pernah bisa bersaing dengan Alex. Ia pasrah jika akhirnya harus melepas Raya kembali pada Alex.Arya membuka laci meja kerjanya dan melirik pasport yang ada didalamnya. Tangannya kemudian meraih pasport itu dan menatapnya cukup lama."Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mencari seseorang yang benar-benar bisa menerimaku." Lirihnya pelan.***Alphard hitam menepi tepat didepan pagar rumahnya. Deru mobil itu masih terdengar, tak lama nampak ada seorang pria yang keluar dari arah pintu kemudi, lalu berputar arah, mengeluarkan sebuah travel bag dan koper.Raya dan Bu Hartati masih memperhatikannya, sinar lampu tak cukup terang untuk melihat siapa gerangan yang baru saja keluar dari sana. Rasa penasaran membuat Bu Hartati fokus menatap pria itu."Mobil siapa itu?" Bu Hartati mengulang pertanyaannya, tanpa menoleh."Entahlah, aku tak tahu, mak. Tap
"Kau ada disini, Raya? Mak pikir kau sudah tidur, nak?"Sapaan Bu Hartati membuat Raya sedikit terkejut, refleks ia menoleh kearah ibunya yang berdiri di bibir pintu lalu duduk di sebelahnya, di kursi rotan panjang ini."Belum.""Apa hubunganmu dengan Alex, masih bermasalah?" Tanya Bu Hartati pada putrinya.***"Sedikit," jawab Raya."Kau mau cerita pada emakmu ini, nak?"Raya menghela nafas panjang begitu mendengar ucapan ibunya. Ada rasa terharu dalam hatinya atas pertanyaan ibunya. Membuat perasaan saat ini sedikit lebih baik."Alex dan aku memang menikah karena suatu alasan. Kami bertemu pertama kali di ..." Raya mulai menceritakan awal mula pertemuan mereka hingga akhirnya sepakat untuk menikah. Sesekali gadis itu terdiam, dan mengigit bibirnya, kala ia harus menceritakan bagaimana selama pernikahan, mereka tidak pernah berbagi tempat tidur.Bu Hartati menggelengkan kepalanya tatkala mendengar penjelasan putrinya. Ada rasa iba saat ia menatap ke wajah anak sulungnya itu. Sorot ma
"Aku hanya kau tidak ingin melewatkan kesempatanmu untuk menjadi lebih bersinar. Karirmu sedang bagus saat ini. Cobalah untuk berpikir ulang dan mempertimbangkannya lagi."Stella menghela nafas panjang, ia tahu akan sulit baginya untuk menolak keinginan managernya. Hanya saja saat ini yang diperlukan olehnya adalah menyembuhkan luka hatinya."Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya lagi, tapi jika nanti keputusanku sudah final, kuharap kau bisa menerimanya." Ujar Stella lalu memutuskan sambungan teleponnya.****Mata Bu Hartati mendelik tajam pada Raya, putri sulungnya yang baru saja tiba lima menit yang lalu dari Jakarta. Tatapan wanita berusia empat puluh tahunan itu terasa menghujam seakan mengetahui alasan dibalik kepulangan putrinya. Meski dalam hati sebenarnya ia gembira karena Raya pulang mengunjunginya tetap saja ia tak bisa menepis rasa kecewanya akan sebuah kebohongan.Dua hari yang lalu, Bu Sekar, besannya telah meneleponnya dan membeberkan alasan dibalik pernikahan mereka, i
"Aku dalam perjalanan ke Palembang." Lapor Alex pada istrinya begitu panggilan teleponnya tersambung. Tak lama, wajah Alex nampak mendengkus kesal, karena lagi lagi Raya memutus sambungan teleponnya."Dasar kepala runcing. Entah mengapa aku bisa jatuh cinta dan menikahi wanita keras kepala seperti dirinya." Rutuk Alex yang langsung di sambut gelak tawa oleh Pak Budi."Jangan tertawa, pak." Sungut Alex kesal."Maaf, tapi aku tak bisa menahan tawa," ucap Pak Budi lalu menghentikan tawanya."Jangan kesal. Wanita memang seperti itu. Kita para laki-laki yang harus mengerti dan berjiwa besar menerima sikap mereka yang kadang kadang absurb dan membuat kesal. Istri saya juga sering marah pada saya tanpa alasan yang jelas." "Istri saya, kalau sudah kelihatan gelagatnya mau marah, saya langsung menyingkir pak. Soalnya bisa panjang urusannya. Apalagi kalau sudah mengomel. Wah, alamat tidur sama guling di luar saya pak," gurau Pak Budi sambil tetap fokus dengan kemudinya."Biasanya apa yang bisa
"Itu biasa terjadi, karena Mas Alex panik. Maka, hal kecil dan terlihat sepele bisa terlupa.""Mungkin saja kau benar. Terima kasih karena sudah membantuku dan maaf, jika aku sudah mengganggu waktu istirahatmu." Tutur Alex."Sama sama dan cobalah untuk menelponnya lagi. Siapa tahu kali ini Raya akan menjawabnya." Winda mencoba memberi saran.****Raya memandang ke luar jendela. Pemandangan malam yang gulita kini menghampirinya. Sesekali tampak kerlipan lampu jalan, membuat perjalanan pulangnya terasa syahdu. Rasa rindu kepada keluarga membuatnya tak sabar ingin segera bertemu dengan keluarganya.Malam kini semakin larut, Raya melirik layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam, ada puluhan notifikasi panggilan telepon masuk ke ponselnya yang tidak disadarinya. Sejak keluar dari rumah Alex, ia mengaktifkan mode senyap (silent) pada ponselnya.Sepanjang perjalanan Raya hanya diam, membuang pandangan keluar jendela, menikmati pemandangan malam, di sebelahnya dud
"Tak apa. Jadikan itu sebagai pelajaran untukmu. Jika suatu saat nanti ada pemuda yang jatuh cinta padamu, kau bisa lebih menghargainya." Ujar Arya bijak.Stella tersenyum getir mendengarnya. Tak lama, ia kembali menuangkan wine yang tersisa di botol ke dalam gelas, lalu dengan cepat, tanpa sempat dicegah, ia meminumnya sampai habis. ***"Hidupku terasa menyedihkan. Aku ditolak oleh orang yang selama bertahun tahun, perasaan cintanya kuabaikan. Rasanya tak akan ada lagi yang bisa mencintaiku seperti dirinya dulu." Isak Stella lirih.Lama Arya terdiam, karena tak tahu bagaimana harus bersikap atas pernyataan Stella barusan. Stella meliriknya seakan menunggu reaksinya. Karena merasa Arya mengacuhkan pernyataannya, akhirnya membuat Stella berdiri dan mengambil sebotol Red wine lagi dari dalam lemari kaca yang berada tak jauh darinya."Jangan minum lagi," Arya berusaha mencegah ketika melihat Stella memegang alat pembuka tutup botol."Kau tak perlu cemas. Aku tak akan mabuk." Stella terk
"Bu Raya bilang jika nanti bapak pulang, tolong masuk ke kamarnya."Setelah mendengar pesan yang disampaikan Pak Anton, Alex langsung membuka kunci rumahnya dan langsung berjalan menuju ke kamar Raya. Perasaan gelisah bercampur dengan rasa penasaran membuat Alex lupa untuk menelpon Raya dan bertanya langsung padanya. Tangan Alex nampak jelas sedikit gemetar begitu membuka pintu kamar Raya. Matanya menjelajahi tiap sudut ruangan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah amplop berwarna putih di atas nakas.***Drrtttt!Ponsel Arya bergetar, tepat disaat ia baru saja hendak keluar dari ruang kerjanya. Dengan cepat tangannya merogoh ponselnya dari dalam saku jasnya.Raut wajah Arya seketika berubah ketika melihat nama yang tertera dilayar pipih itu. Sebuah pesan singkat yang dikirim Stella padanya. Pesan yang berisi agar ia bisa datang ke apartemen gadis itu.Arya meraih tas kerjanya lalu keluar dari ruangannya. Ia melirik sekretarisnya yang masih merapikan mejanya, lalu berjalan menuju temp