Pukul tujuh pagi aku telah tiba di rumah setelah pergantian shift dengan teman sesama sekuriti. Badanku masih terasa demam, kepalaku pusing sebelah. Bagaimana ini, padahal aku harus bergantian dengan ayahku untuk menjaga bunda di rumah sakit. Rasanya aku lemas sekali, tak sanggup untuk ke luar rumah lagi. Gimana mau menjaga bunda dan merawatnya, jika keadaanku payah begini.Gegas kuambil gadget untuk menelepon ayah."Hallo, Yah ... maaf Reza kurang enak badan, badan panas, kepala migrain dan rasanya lemes banget, Yah. Kayaknya enggak sanggup untuk gantian jagain bunda.""Waduh, kok Kamu jadi sakit begitu? Ini ayah jam sembilan ada jadwal ngajar di kampus. Terus yang jagain bundamu siapa?" Ditanya seperti itu aku juga bingung mau jawab apa, aku sudah tidak bisa berpikir lagi, kepalaku sakit sekali rasanya. Aku hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaan ayahku."Za, kok malah diem, sih? Ayah tanya loh!""Maaf, Yah. Reza udah enggak bisa mikir lagi," jawabku dengan suara lemah."Ya udah k
Pagi ini mentari bersinar cerah, sinarnya yang hangat menyelinap masuk melalui jendela kamarku, hingga mampu menghangatkan hati ini yang tadinya membeku sejak tragedi usai resepsi itu. Ah, hatiku mulai hangat karena sinar mentari, atau karena Mas Bagas ya? Tuh, kan baru juga mengawali hari, aku sudah beberapa kali mengingatnya. "Nduk, ngapain senyum-senyum sendiri di depan cermin? Lagi inget Nak Bagas, ya?" Tiba-tiba ibu sudah ada di dalam kamar dan mengagetkanku."Iih, ibu ... enggak kok," jawabku tersipu malu karena ketahuan ibu lagi senyum-senyum sendiri, Ya Allah beginikah rasanya jatuh cinta? Dulu waktu aku menerima lamaran Mas Reza, perasaan aku biasa aja, masih normal tidak seabsurd ini."Halah, jangan bohong, ibu itu lebih mengenali dirimu daripada Kamu sendiri. Cepet ke luar kamar, pake jilbabnya. Kita kedatangan tamu."Aku makin tersipu, Ibuku memang lebih mengerti putrinya ketimbang diriku sendiri. Eh, ada tamu? Siapa yang udah datang ke rumah sepagi ini?"Siapa tamunya,
Reza Menjelang Maghrib ayah baru pulang dari kampusnya. Membawa beberapa bungkusan di tangannya. "Ayah abis belanja?" tanyaku saat ayah meletakkan bungkusan-bungkusan itu di atas meja makan."Iya, ayah mau nyetok persedian bahan makanan, kan udah ada pembantu, jadi kita bisa makan masakan rumahan lagi. Oh ya, mana pembantu yang direferensiin Bulek Tutimu, Za?" tanya ayah sembari mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Dalem, Pak. Ini saya Sumi di sini." Sigap sekali Si Sumi, tiba-tiba sudah nongol di belakang ayah. Padahal aku belum memanggilnya. Pendengarannya tajam juga, gesit amat ni anak."Oh ini toh, yang namanya Sumi ya. Hm, kata adek saya, Kamu pinter masak, apa bener?" tanya ayah yang lebih mirip menodong itu."Insyaa Allah bisa, Pak. Saya dari kecil sudah diajari nenek memasak," jawab gadis desa itu sambil mesam-mesem, pede sekali dia. Belum tentu juga selera nenekmu dan seleramu itu cocok di lidah kami."Bagus kalau gitu. Ini belanjaan bisa Kamu simpan yang rapi di kul
Setelah diajak Bagas untuk ke rumah Pakde Arya, Riris dan ibunya bersiap, berpakaian rapi dan berdandan sewajarnya. Mereka berjalan menuju mobil mewah Bagas yang terparkir di halaman kos-kosannya Dimas."Memangnya Nak Bagas tidak bekerja hari ini? Ini kan bukan hari libur," celetuk Bu Rohman sambil berjalan menuju mobil."Untuk saat ini, pekerjaan nomor dua, Bu. Riris nomor satu," jawab Bagas sembari melirik ke arah Riris. Yang dilirik langsung tersipu malu dan merona pipinya."Owalah, Nak Bagas kok bisa aja jawabnya, toh. Nanti putri ibu bisa kesandung loh, eh tersanjung maksud ibu, hehehe." Ibnya Riris terkekeh, hatinya merasa senang karena ternyata calon menantunya itu memprioritaskan putrinya."Ibuuu ...." Riris mengeratkan gandengan tangan pada ibunya sembari memanyunkan bibirnya, seolah mengingatkan agar jangan membuat putrinya itu salah tingkah lagi. Bu Rohman tersenyum menggoda melihat tingkah putrinya.Melihat bosnya, Riris dan Bu Rohman sudah berjalan mendekati mobil, Pak Dul
"Bu, Riris, kenalin ini Mbak Amel dan Mbak Retno." Bagas langsung memperkenalkan kedua perempuan itu kepada Riris dan ibunya.Keduanya yang masih berdiri di depan sofa tempat duduk Riris dan ibunya itu segera membungkuk dan memberi salam dengan hormat. Riris dan ibunya langsung berdiri kemudian menyalami kedua perempuan berpenampilan seperti terapis kecantikan itu."Kami dari Kendedes Beauty & Spa," ucap Mbak Amel yang berwajah manis dengan rambut yang rapi digelung ke belakang itu."Oh, Kendedes ... kami sudah dua kali ke sana diajak oleh Mas Bagas," sahut Riris. "Iya, Mbak Riris, kami masih inget Mbak dan Ibu, meski saat itu bukan kami yang mentreatment," sahut Mbak Retno."Ibu dan Riris, sebelum ke rumah Pakde Arya, enggak papa ya perawatan dulu. Sebetulnya saya juga punya alasan tersendiri untuk hal ini. Riris, ijinkan saya untuk merubah penampilanmu dan lebih mempercantik wajahmu, aku menyukaimu apa adanya. Tapi aku ingin menunjukkan bahwa Kamu sebetulnya adalah gadis yang canti
Ditalak Usai Resepsi (63)Reza memasuki unit apartemen milik bosnya itu dengan perasaan tak karuan. Kini dia hanya bisa menonton dan mengagumi mantan istrinya itu saat berdekatan dengan bosnya."Ada apa, Pak Bagas?" Reza langsung bertanya ketika telah berdiri di depan sofa tempat bosnya duduk. Bu Rohman hanya duduk diam di dekatnya seolah tak menggubris kehadiran mantan menantunya itu. Dia enggan menyapa apalagi memperhatikan orang yang telah menyakit hati putrinya itu."Hmm, itu ada dua koper berisi perlengkapan milik terapis dari Kendedes Salon. Kamu bawa turun dan berikan kepada mereka yang sudah menunggu di lobby!" perintah Bagas dengan santainya."Baik, Pak." Reza mengangguk dan berjalan menuju dua koper yang ada di samping sofa. Wajahnya terlihat memerah menahan malu, karena dia merasa diperlakukan seperti kacung di hadapan Riris dan Bu Rohman. 'Sial, kenapa aku disuruh bawain koper orang, di depan Riris dan ibunya lagi, apa Pak Bagas sengaja mengerjaiku? Padahal pekerjaan se
Riris hanya tersenyum melihat ekspresi dari gadis itu. Bu Rohman memandang gadis itu dengan heran sekaligus penasaran, siapa sebenarnya gadis yang terlihat manja di depan Bagas itu."Bu, Riris ... perkenalkan ini Widia, putrinya Pakde Arya." Bagas berusaha mencairkan kebekuan diantara mereka.Riris mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan, namun Widia hanya diam tidak menyambut uluran tangan dari Riris. Wajahnya terlihat ketus. Bu Rohman masih memandang gadis itu dengan wajah datar."Eh, Mas Bagas, ayok kita masuk ke dalam! Sudah ditungguin sama keluarga besar kita loh, terutama sama Bulek dan Paklek Bimo." Widia malah mengalihkan perhatian Bagas dengan menyuruh pemuda tampan itu masuk. Gadis itu betul-betul tidak memperdulikan Riris dan Bu Rohman, "Widia, tolong hargai Riris dan Bu Rohman, mereka sebentar lagi juga akan menjadi anggota keluarga besar kita," pinta Bagas.Bagas tidak mengindahkan ajakan Widia, dia tidak suka melihat sikap gadis itu yang tidak sopan terhadap calo
Setelah dirasa para pelayan itu sudah tidak membicarakan tentang Widia lagi, Riris bergegas keluar dari toilet. Ketika melewati dapur,, para pelayan itu yang tengah duduk mengobrol itu kompak melihat ke arah Riris."Eh, ini calonnya Mas Bagas, ya?" Salah satu dari mereka langsung bertanya ke Riris. Riris hanya tersenyum lalu mengangguk."Namanya siapa, Mbak? Ayu banget juga kalem Mbaknya ini, cocok sama Mas Bagas nantinya.""Nama saya Riris, Mbok," jawab Riris kepada pelayan yang sudah tua berbadan gemuk itu. Mungkin lebih tepatnya adalah tukang masak di rumah itu."Oh, Mbak Riris toh namanya?" sahut simbok tukang masak itu dengan semringah.Tanpa menunggu lama Riris langsung mendekati mereka yang berjumlah sekitar empat orang itu dan menyalami satu-satu."Wah, Mbak Riris selain ayu, ternyata juga ramah dan tidak sombong, mau menyapa dan berkenalan dengan kita," sahut yang lainnya."Terima kasih, Mbok, saya juga manusia biasa seperti kalian jadi tidak ada yang bisa disombongkan. Kala