Tiba-tiba gawai Reza berdering, gegas dirogohnya gawai yang ada di saku baju seragamnya dengan tangan kirinya. Tertera nama 'Nelly Kesayangan' sedang memanggil di layar benda pipihnya itu."Duh, ada apa ya, Nelly meneleponku, bukannya dia seharusnya sedang berangkat kerja?" gumam Reza kemudian melanjutkan mengunyah makanannya.Karena gawai Reza tidak berhenti berdering, akhirnya sambil makan diterima juga telepon dari Nelly."Iya, hallo sayang?" sapa Reza diselingi mengunyah makanannya."Iya, Mas, aku cuma mau bilang, undangan pernikahan kita udah jadi. Tadi aku dikabarin pihak percetakan. Aku minta Mas aja yang ambil ya. Nanti sebagian yang buat teman-teman kerjaku Mas anter aja ke rumah sakit ya. Aku kan pulang malam soalnya," jawab Nelly sambil terus nyerocos."Oke, nanti mas ambil undangannya," jawab Reza lagi."Mas satu lagi, itu yang buat Pak Bagas biar Mas aja loh ya yang kasih undangannya," pinta Nelly sambil berjalan keluar dari lift dan menuju lobby.Reza menghela napas kasa
"Kendedes Salon Day Spa?" Gumam Riris pelan, ketika menyadari tempat itu.Bu Rohman dan Riris saling berpandangan penuh heran. Dalam hati mereka bertanya-tanya, 'apa mau diajak nyalon lagi?'Pak Dul menekan tombol untuk membuka pintu otomatis yang berada di samping Riris dan ibunya. Pintu bergerak perlahan dan akhirnya terbuka sempurna. Namun Riris dan Bu Rohman masih bergeming di tempat mereka duduk."Silahkan Bu Rohman dan Mbak Riris," ucap Pak Dul yang akhirnya sudah keluar terlebih dahulu, tangan kanannya diayunkan ke samping membentuk sudut empat puluh lima derajat sebagai kode mempersilahkan mereka untuk keluar dari mobil.Akhirnya dengan sedikit enggan mereka turun juga dari mobil. Pak Dul mengantar Riris dan ibunya masuk ke dalam Salon. Tiba di dalam, mereka sudah disambut dengan hangat dan ramah oleh beberapa karyawati salon."Selamat datang, Ibu dan Mbak Riris," sapa mereka dengan ramah sekali. Riris dan ibunya hanya tersenyum datar sembari sedikit mengangguk."Mari ikut kam
"Nduk, bagaimana? Apakah sudah bisa menjawab lamaran Nak Bagas?" tanya Bu Rohman pelan, tangannya mengusap pelan punggung tangan Riris. Sedangkan Riris masih menunduk sejak Bagas menyampaikan lamarannya. Embun kini telah memenuhi kelopak mata Riris.Riris jadi nampak gugup ketika ibunya memintanya untuk memberikan jawaban. Wanita yang anggun dan bersahaja itu, kini merasa semua mata memandang ke arahnya. Rasa malu membuatnya tidak berani menegakkan kepalanya apalagi menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya.Riris masih terdiam, dan semua orang masih dengan sabar menunggu jawaban yang keluar dari bibir Riris yang tipis berbalut lipstik berwarna peach itu. Riris merasa waktu seakan berhenti sesaat, tidak ada suara apapun yang terdengar di ruangan itu, kecuali suara detak jantungnya yang semakin berdebar kencang. Riris merasa detak jantungnya di dengar oleh orang-orang yang ada di dekatnya saat ini. Padahal itu tidak mungkin terdengar kecuali orang itu menempelkan telinganya di dada
Mereka berjalan beriringan menuju pelaminan yang terbuat dari panggung yang tidak tinggi itu, hanya setinggi dua anak tangga saja. Panggung pelaminan yang dibalut dengan karpet berwarna merah, latarnya dihiasi oleh aneka macam bunga segar yang didominasi oleh bunga rose berwarna merah dan putih. Tidak ada kursi pengantin di sana. Karena pesta ini hanya pesta kecil yang tidak formal. Suasananya di buat sesantai mungkin. Keluarga dan para tamu bebas bergerak kemana saja, begitu pula dengan pengantinnya yang bebas ke mana saja untuk menyapa tamu-tamunya.Kursi-kursi tamu di susun melingkari meja-meja makan yang berbentuk bulat yang tertutup taplak putih yang menjuntai.Di sudut pendopo terdapat meja prasmanan berbentuk letter L. Sedangkan gubug-gubug kecil yang berisi menu hidangan pelengkap berjejer rapi di kedua sisi meja prasmanan. Para pelayan katering yang berseragam hitam putih nampak sibuk melayani para tamu dan membereskan piring dan gelas kotor yang bekas dipakai oleh para tam
Menjelang Maghrib, pesta kecil perayaan pernikahan Reza dan Nelly telah usai. Semua tamu undangan telah pulang ke rumah masing-masing. Keluarga besar Nelly yang didatangkan khusus dari Jakarta menginap di resort tempat dilangsungkannya pernikahan Nelly dan Reza.Reza memesan tiga pondok-atau biasa di sebut cottage- yang ada di resort yang bernuansa Bali itu. Dua pondok untuk mamanya Nelly dan keluarganya, sedangkan satu pondok khusus untuk pengantin baru. Pondok-pondok di sana tempatnya terpisah-pisah meski masih berada di area lokasi yang sama. Sehingga sang pengantin baru pun tetap memiliki privacy saat menginap di sana, menjalani malam pertama mereka tanpa ada gangguan dari siapapun.Dua pondok untuk keluarga Nelly letaknya di sekitar area kolam renang. Sedangkan pondok khusus untuk Reza dan Nelly posisinya agak menjorok ke laut, sehingga bisa langsung melihat pemandangan laut biru yang membentang luas ketika membuka jendela kamar pengantin ataupun berada di teras pondok.Reza meng
Hembusan angin pantai membelai lembut wajah Reza yang masih duduk santai di kursi malas di teras pondoknya. Secangkir kopi hitam tinggal tersisa ampasnya saja. Lelaki yang tengah berbahagia setelah mendapatkan istri pilihannya itu, nampak sibuk berselancar di internet mencari info lowongan pekerjaan.Seorang pelayan resort berjalan mendekat ke arah pondok Reza dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan minuman."Selamat pagi, Pak. Ini saya mengantarkan sarapan pagi," sapa pelayan wanita yang mengenakan setelan celana panjang hitam dan atasan bermotif batik itu."Pagi, oh terima kasih, ditaruh di meja sini aja, Mbak," jawab Reza sembari menunjuk meja yang ada di sampingnya.Mbak pelayan itu meletakkan dua piring nasi goreng spesial dengan telur ceplok di atasnya, kemudian satu piring yang berisi empat potong sandwich dan dua gelas lemon tea hangat."Kok dianter ke sini, Mbak, sarapannya? Biasanya kita yang datangin ke ruang makan resort untuk breakfast," tanya Reza penasaran.
Reza dan Nelly betul-betul menikmati manisnya bercinta dari pagi hingga menjelang siang. Mereka terus bergumul di dalam pondok. Dunia serasa hanya dihuni oleh mereka berdua, hingga melupakan bahwa di resort itu masih ada mamanya Nelly dan juga saudara-saudara lainnya. Beruntung mamanya Nelly dan yang lainnya paham akan hal itu dan tidak mengganggu aktifitas pengantin baru itu di dalam pondoknya. Siangnya, selepas Dhuhur, mamanya Nelly dan keluarga besarnya sudah bersiap untuk ke bandara. Mereka mengejar penerbangan sore untuk kembali pulang ke Jakarta.Nelly dan Reza hanya melepas mereka di gerbang resort. Mereka masih ingin menikmati bulan madu di resort itu. Reza dan Nelly sudah mengambil cuti nikah selama tiga hari dan mereka berniat akan menghabiskan cutinya di pantai itu."Reza, Nellly! mama tunggu kedatangan kalian di Jakarta tiga bulan lagi ya! Resepsi mewah kalian nanti akan mama persiapkan sebaik mungkin," ucap Bu Ira setelah memeluk dan mencium putrinya sesaat sebelum mema
(PoV Riris)Sepulang dari acara pesta pernikahan Mas Reza, mantan suami sehariku itu, hatiku malah berbunga-bunga. Aku sudah tidak perduli lagi dengan Mas Reza dan kehidupannya.Aku melihat dia bisa berbahagia mendapatkan istri pilihannya, istri impiannya itu saja aku sudah ikut merasa senang. Tidak ada luka dan air mata. Semoga saja mereka selalu berbahagia, dapat mengarungi rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah.Apakah aku sudah bisa memaafkannya? Entahlah. Namun jika aku mengingat kepergian bapak, lelaki cinta pertamaku yang telah meninggalkanku sesaat setelah Mas Reza dan bundanya menengok bapak di rumah sakit, hatiku langsung terasa sesak. Aku masih terluka oleh kepergian bapak yang tak akan mungkin bisa kembali lagi ke dunia ini.Kepergian pahlawan hidupku yang selalu menyisakan rindu yang semakin dalam, rindu yang teramat panjang, sepanjang hayatku. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah, agar kelak bisa dipertemukan lagi dengan bapak di Syurga-Nya. Penantian yang teramat pa
Tepat pukul delapan, semuanya telah lengkap berada di dalam Masjid Kampus nan Agung dan indah itu Bagas dengan balutan tuxedo berwarna putih tulang itu telah duduk bersila di depan meja persegi panjang yang berkaki pendek. Di depannya telah duduk pak penghulu dan pakleknya Riris--adik dari bapaknya-- yang akan menjadi wali nikahnya.Sang pengantin pria yang diapit oleh Pak Bimo dan Pakde Arya, terlihat sedikit tegang. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya untuk memulai hidup yang baru. Sedangkan Riris bersama ibunya dan Bu Bimo juga para keluarga dan tamu undangan wanita, telah duduk di balik hijab. Sehingga untuk prosesi akad nikah, hanya para hadirin pria yang bisa melihatnya secara langsung. Riris dan para hadirin wanita hanya bisa melihat di tayangan video siaran langsung yang ada di layar kaca yang terpasang di bagian depan ruangan berhijab itu.Riris duduk bersimpuh diapit oleh sang ibu dan calon ibu mertua. Di belakangnya para keluarga dan tamu wanita dari desanya Ri
"Kalau boleh tau, apa syaratnya, Ris?" tanya Bagas penasaran."Nduk, kok pake syarat toh?" bisik Bu Rohman ke telinga putrinya. Riris kemudian memandang ibunya, lalu tersenyum sembari mengangguk. Sedangkan Bu Rohman justru menunjukkan wajah tegangnya."Syaratnya, pertama ... saya minta akad nikahnya nanti di Masjid Kampus yang ada di Universitas nomor satu di Jogja, karena saya memiliki kenangan yang dalam, saat pertama kali mendatangi masjid itu dan bermunajat di sana. Yang kedua, saya ingin setelah menikah nanti, Mas Bagas harus menerima ibu saya untuk tinggal bersama kita nantinya. Karena ibu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, kecuali putri semata wayangnya," ucap Riris dengan suara bergetar hingga netranya yang berkaca-kaca. Riris dan ibunya kembali saling tatap, di kedua manik mereka telah dipenuhi oleh embun. Bu Rohman merasa terharu dengan permintaan putrinya itu, ternyata meski putrinya mau dinikahi oleh pemuda kaya, Riris masih ingat ibunya, masih amat peduli padanya.Riri
Hari yang dinanti telah tiba, selama dua pekan ini Riris dan ibunya sibuk mempersiapkan acara lamaran untuk menyambut kehadiran Bagas dan keluarganya. Dari pagi, Riris telah merias dirinya, berbekal ilmu yang didapatnya dari terapis kecantikan salon ternama yang dipesan oleh Bagas selama dia menginap di apartemen.Riris mengenakan gaun kebaya panjang selutut, berwarna hijau lumut dengan hiasan payet pada bagian bawah pinggang serta di ujung tangannya, menambah kesan mewah dan anggun. Gaun itu telah dipesan oleh Bagas dan dikirimkan pak Dul dua hari sebelumnya. Untuk bawahannya, Riris mengenakan kain jarik berbordir emas yang diwiru dengan rapih menambah kesan elegan. Rumah Riris juga telah dipasang tenda untuk para tamu undangan, dan bagian dalamnya di dekor sedemikian rupa sehingga nampak indah dengan aneka bunga di setiap sudut rumah. Back drop yang terlihat indah dan mewah terpasang di salah satu sisi dinding dalam ruang tamu untuk momen lamaran dan pengambilan foto.Dari semua o
Tak terasa sudah sepekan Riris dan Bu Rohman menginap di apartemen milik keluarga Bagas. Selama itu pula mereka setiap hari didatangi terapis kecantikan langganan yang dari awal men-treatment Riris.Gadis yang dulunya berwajah manis dan terlihat sederhana itu, kini telah berubah wajahnya semakin cantik cemerlang, meski perawatannya tidak dengan cara yang ekstrim seperti operasi plastik dan sebagainya. Perawatannya hanya membuat kulit dan wajah Riris terlihat semakin glowing. Selain itu, Riris juga belajar cara merias wajah supaya bisa tampil cantik dan lebih percaya diri. Riasan yang mampu menutupi kekurangan di wajah dan bisa menonjolkan kelebihan, sehingga terlihat semakin cantik bersinar. Apalagi Riris juga memiliki kecantikan yang terpancar dari dalam, dari hati yang bersih dan tulus apa adanya."Ris, makin hari Kamu semakin cantik, maasyaa Allah," puji Bagas di suatu sore saat mereka tengah duduk di taman tepi kolam renang yang ada di rooftop apartemen. Angin bertiup agak kencan
Setelah dirawat di rumah sakit selama dua pekan, akhirnya Bu Santi sudah diperbolehkan untuk pulang. Walaupun kondisinya belum banyak perkembangan, separuh badannya sebelah kanan lemah, namun bisa dilakukan perawatan di rumah. Asalkan minum obat dari dokter secara rutin, makan makanan yang sehat dan rendah lemak, rajin melakukan terapi dan olah raga ringan.Sumi telah diberi pengarahan oleh Bulik Tutik, bagaimana cara merawat Bu Santi dengan baik. Di pagi dan sore hari Sumi memandikan majikan perempuannya itu dengan mengelap seluruh badan dengan handuk yang dibasahi dengan air hangat dan dicampur dengan sabun mandi yang lembut. Sumi melakukannya dengan penuh hati-hati agar tidak menyakiti tubuh Bu Santi. Setelah mandi, Sumi mengajak wanita paruh baya itu jalan-jalan di halaman rumah yang luas itu dengan kursi roda. Sekedar untuk menghirup udara segar dan mengusir kejenuhan Bu Santi.Sumi juga bertugas menggantikan pampers jika sudah penuh dengan air seni dan ketika Bu Santi buang air
Tepat jam sembilan malam, Riris dan Bu Rohman tiba di apartemen. Pak Dul yang diserahi kartu untuk akses agar bisa masuk ke unit delapan kosong delapan, ikut mengantarkan Riris dan ibunya masuk sampai dalam unit."Mbak Riris, ini kartunya dipegang sama Mbak saja, pesan dari Pak Bagas. Agar Mbak bisa bebas keluar masuk apartemen ini." Pak Dul menyerahkan kartu itu pada Riris."Baik, Pak Dul, terima kasih," jawab Riris sembari tersenyum dan menerima benda tipis persegi itu dari tangan Pak Dul."Baiklah, Mbak Riris dan Bu Rohman, saya pamit dulu. Selamat istirahat. Nanti kalau mau ada perlu untuk anter-anter, bisa telepon saya."Pak Dul sedikit membungkukkan badannya lalu bergegas ke luar dari unit apartemen setelah Riris mengucapkan terima kasih padanya.Riris segera menutup pintu. Lalu keduanya memasuki kamar di mana sudah ada lemari yang berisi pakaian yang dibelikan Bagas tadi pagi. Bu Rohman sempat menyusunnya ke dalam lemari sebelum mereka mengunjungi rumah Pakde Arya."Nduk, maasy
"Loh, Wid ... Kamu nyusul ke sini?" tanya Bude Arya ketika melihat putri angkatnya sudah berada di ruang tunggu depan IGD. Wajah gadis itu terlihat cemas dan pucat."Iya, Bu ... saya khawatir sekali dengan Mas Bagas. Ingin tau keadaannya sekarang." Mendengar itu Riris semakin cemas, takut kehadiran Widia membuat jantung calon suaminya itu kembali tak stabil."Kami juga belum bisa masuk, jadi belum tau gimana kondisinya. Di dalem ada Bulik dan Paklik Bimo. Tadi sih kata Riris, Masmu sudah membaik keadaannya," sahut Bude Arya lagi.""Sini duduk sini, Wid ... samping ibu!" ajak ibu angkat Widia. Gadis yang sedari tadi masih berdiri itu, menurut dan mendekati kursi kosong di sebelah Bude Arya.Tak lama, pintu ruang IGD terbuka. Kedua orang tua Bagas muncul dari arah dalam.Bude Arya, Suaminya dan Widia segera bangkit dari duduknya dan mendekati orang tua Bagas."Gimana kondisi Bagas, Dek?" tanya Bude Arya. "Alhamdulillah sudah membaik, malah dia bilang sudah sembuh dan pingin dipercepat p
"Nduk, kok ditanya sama Bu Bimo diem aja? Bu Bimo nungguin jawabanmu, loh!" tegur Bu Rohman pada putrinya yang terlihat diam melamun itu. Padahal sebetulnya Riris sedang berpikir mau menjawab apa."Eh, i-itu ... Bu, Riris sendiri tidak tau kenapa saat Riris lihat di kejauhan Mas Bagas tampak kesakitan, jadi Riris segera berlari menuju Mas Bagas," jawab wanita berwajah manis itu dengan gelagapan."Apa saat itu putraku sedang sendirian, atau bersama seseorang?" selidik Bu Bimo yang sudah seperti petugas kepolisian lagi menginterogasi orang.Riris merasa bingung, haruskah dia menjawab dengan jujur tentang keberadaan Widia saat itu? Apakah hal itu baik untuk gadis itu, dia sebenarnya kasihan dengan Widia. Hatinya tengah patah dan terluka, haruskah ditambah lagi dengan masalah baru untuknya jika semua keluarga tahu penyebab sakitnya Bagas. "Nduk, kok malah diem lagi? Itu loh Bu Bimo tanya lagi, tinggal dijawab aja," desak ibunya Riris yang juga penasaran."Ehh ...." Riris hanya menggelengk
Setelah dirasa para pelayan itu sudah tidak membicarakan tentang Widia lagi, Riris bergegas keluar dari toilet. Ketika melewati dapur,, para pelayan itu yang tengah duduk mengobrol itu kompak melihat ke arah Riris."Eh, ini calonnya Mas Bagas, ya?" Salah satu dari mereka langsung bertanya ke Riris. Riris hanya tersenyum lalu mengangguk."Namanya siapa, Mbak? Ayu banget juga kalem Mbaknya ini, cocok sama Mas Bagas nantinya.""Nama saya Riris, Mbok," jawab Riris kepada pelayan yang sudah tua berbadan gemuk itu. Mungkin lebih tepatnya adalah tukang masak di rumah itu."Oh, Mbak Riris toh namanya?" sahut simbok tukang masak itu dengan semringah.Tanpa menunggu lama Riris langsung mendekati mereka yang berjumlah sekitar empat orang itu dan menyalami satu-satu."Wah, Mbak Riris selain ayu, ternyata juga ramah dan tidak sombong, mau menyapa dan berkenalan dengan kita," sahut yang lainnya."Terima kasih, Mbok, saya juga manusia biasa seperti kalian jadi tidak ada yang bisa disombongkan. Kala