“Memangnya kalau mau sowan itu harus izin kamu dulu? Saya udah izin Abahmu kok.”“Ya gak gitu maksudku.” Hana menggaruk-garuk kepala. “Mas Wahid datangnya terlalu mendadak. Mana bawa-bawa orangtua lagi.”Wahid melirik kedua orangtuanya yang asyik mengobrol dengan orangtua Hana, lalu kembali menatap sepupunya tersebut.“Abuya yang mendadak pengen ke sini. Dan Umi saya juga udah lama gak ketemu saudaranya.”Hana mengangguk-angguk, namun seketika ekspresinya berubah mendengar kalimat terakhir Wahid.“Saudara?”Wahid mengangguk. “Umi saya dan Umi kamu sepupu jauh.”Hana ternganga. Wahid mengabaikannya dan menatap halaman. Namun, dahinya seketika mengernyit melihat sosok familier di depan ruang ekskul.“Itu orang yang ganggu kamu di mall dulu kan?”“Yang mana?” tanya Hana balik.Telunjuk Wahid menunjuk Dea yang sibuk membaca mading sebelum menghilang di balik pintu.“Iya.”“Kenapa dia disini?”Hana tidak menjawab dan malah mengalihkan pembicaraan.“Gimana kabar adek sama kakak-kakak Njenen
[Bulan ini hafalan saya masih di juz 18, Mas.][Ada rencana mau ikut khataman dalam waktu dekat?]Atas saran dari Alissa, akhirnya Isyqi dan Rayya saling bertukar kontak dan mengobrol. Topik obrolan mereka pun tidak jauh dari pekerjaan, keluarga, dan tugas kesantrian. Namun, bukan itu yang membuat ekspresi Isyqi terlihat masam bak acar bercampur cuka. Melainkan Rayya yang pendiam dan harus selalu dia yang bertanya bak HRD yang mewawancarai calon karyawan baru.[Enggak, Mas.]Isyqi menghela napas kasar. Dia betul-betul kehabisan bahan pembicaraan kali ini. Padahal ketika kecil dulu, mereka begitu akrab dan sering bermain berdua.[Ya sudah. Saya izin off dulu. Masih banyak pekerjaan]Isyqi lantas melempar ponselnya hingga mendarat di dasar meja dan mengusap wajah berkali-kali. Dia kira semuanya akan berjalan lancar, tapi lihatlah. Rayya bahkan hanya membaca setiap kali Isyqi mencoba mengajaknya mengobrol.“Kusut terus mukanya.” Arkan yang baru turun duduk di sebelahnya sambil menyetel t
“Kamu mau?”Rayya menggeleng. Lima jam menjelang acara khataman, mereka berkumpul di rumah utama keluarga Abdillah. Zara, Azka, Kayla, Sofia, dan kedua adik iparnya asyik mengobrol, sementara kedua mertuanya dan keluarga Rayya sibuk berdiskusi dengan Azzam dan Alissa.“Mas Isyqi memang selalu kayak gitu, Mbak?” bisik Rayya sambil menunjuk Isyqi yang lagi-lagi kelupaan buku catatannya.Syafiq yang sejak tadi jengah memperhatikan tingkah adiknya akhirnya berkata, “Besok bukunya tempelin di jidatmu aja. Biar gak lupa terus.”Isyqi mendelik, namun dia tidak berkata apa-apa karena menyadari lirikan Rayya terarah padanya. Dia hanya melambaikan tangan pada Hana sebelum buru-buru kabur keluar.“Dia gugup karena Rayya,” bisik Arkan yang duduk di sebelahnya.Hana meliriknya, lalu melirik Rayya yang kembali bermain dengan anak-anak Aluna dan Jeffri.“Semalam dia tanya-tanya sama Mas tentang kita dulu. Katanya dulu apa Mas gak gugup waktu berdua untuk yang pertama kalinya sama kamu di kamar?” bis
“Sebentar lagi kan liburan. Kamu mau ikut Tante enggak?”Tidak bisa membujuk Dea, Lina akhirnya mencoba untuk membujuk Maryam. Gadis itu tetap diam menatapnya yang sejak tadi sibuk berbicara sendiri.“Sekarang Tante tinggal di rumah keluarga Tante. Memang agak jauh dari rumah sebelumnya, tapi gak masalah. Yang penting kamu mau ikut pulang sama Tante....”“Pakde Aris bilang saya harus ikut dia,” sela Maryam.Lina mendecak.“Hak asuh kamu kan masih sama saya.”“Sejak kapan?” tanya Maryam balik. “Sejak kapan ayah saya memberikan hak asuh kepada Tante? Ayah saya cuma bilang ke Kak Dea supaya nyari teman ayahnya yang namanya Alan karena dia bisa bantuin kami. Belakangan saya tahu kalau ayah saya berjasa buat Om Alan dulu, makanya beliau mau mengasuh kami.”Lina mendelik.“Sejak kapan kamu berani kurang ajar?” desisnya.“Sejak Pakde Aris bilang kalau saya gak boleh diam aja sementara keburukan bergerak di sekeliling kita. Kita harus....” Ucapan Maryam terhenti saat Lina mengibaskan tangan.
“Kenapa kita ke sini, Mas?”Atas inisiatif Jeffri, Azzam, dan Alissa, Rayhan akhirnya mengajak Naira untuk mengunjungi rumah keluarganya. Meski begitu, sorot mata Naira terlihat datar saat melihat ibunya yang tengah menjahit di balik jendela.“Ini salah satu cara supaya kamu gak berlarut-larut dalam kesedihan, Nai. Dan kita juga udah lama gak ketemu keluarga kamu. Ketemu mereka sebentar aja gak apa-apa.”“Saya takut, Mas,” aku Naira lirih.“Saya bakalan temenin kamu.”Naira menatap rumahnya sekali lagi. Di sebelahnya, Rayhan menyipitkan mata saat seorang pria keluar dari rumah dan berbelok menuju halaman samping. Dia lantas menatap Naira yang masih setia melamun.“Ayo, Nai,” bujuk Rayhan sekali lagi.Naira akhirnya mengangguk, namun tetap diam dan malah menunggu Rayhan yang keluar lebih dulu. Setelah itu, dia bersembunyi di belakang Rayhan dan mencengkeram lengan kemeja suaminya erat-erat.“Assalamualaikum.”Naira semakin menunduk saat Rayhan memasuki halaman dan menghampiri pria paru
“Naira kenapa?”Rayhan mengempaskan tubuhnya ke sofa dan menjawab, “Ketemu ibunya. Mbak Lissa kayak gak tahu aja.”Azzam dan Alissa saling melirik, lalu menatap Rayhan yang memejamkan mata.“Kalian tadi ribut disana?”“Bukan ribut lagi.” Rayhan menyibak rambutnya, memperlihatkan luka yang tertutup oleh darah beku. “Saya sampai dilempar vas sama Ayah.”Diam-diam Rayhan melirik Hana yang hendak keluar, namun wanita itu sama sekali tidak peduli dan malah menghampiri para keponakannya yang asyik bermain.“Memangnya kalian disana ngapain?” tanya Azzam serius.“Ya maunya sih sewajarnya tamu yang datang berkunjung, Mas. Tanya kabar, ngobrol, bercanda. Tapi ibunya Naira malah mancing-mancing emosi kami, ayahnya juga diem aja padahal ibu udah ngomong yang enggak-enggak, eh habis itu kami dimarahin dan diancam gak bakalan dikasih warisan kalau masih berani membangkang. Ya kami pergi aja sekalian.”“Terus Naira sekarang dimana?”“Di rumah. Mungkin tidur, atau sembunyi. Dia gak mau ngomong waktu
“Me-meninggal?”Semua orang yang ada di kantor menoleh dengan ekspresi terkejut, namun Dea mengabaikannya dan mencengkeram gagang telepon erat-erat. Matanya memanas, dan sebentar saja pandangannya sudah memburam.“Iya, bener De. Beliau meninggal kemarin setelah koma satu minggu. Kabarnya beliau kecelakaan waktu pulang dari pesantrennya Maryam.”Bibir Dea bergetar, namun tidak ada suara yang keluar darinya.“Kamu mau melayat dia gak?”“Saya jelas gak boleh keluar. Ditambah lagi dua minggu lalu beliau maksa saya pulang dan ngatain temen saya sama anaknya Kyai pemilik pesantren ini.” Dea menunduk dan mengusap matanya, kemudian melanjutkan, “Sampein aja sama mereka kalau saya ikut berdukacita.”“Maafin saya, De.” Dini—adik Lina—berkata dengan nada meminta maaf. “Saya pikir karena kalian dekat, jadi kamu harus tahu berita ini.”Dea menatap meja di depannya dengan sorot kosong. Ya, dia dan Lina dulu memang dekat bak sahabat. Tapi setelah sekian lama disini, entah kenapa dia mulai merasa sem
“Jadi, tangis di depan keluargamu itu palsu? Permintaan maafmu ke mereka itu palsu? Juga semua kalimat yang kamu ucapin ke keluargamu itu bohong?”Dea menunduk. Di hadapan Aluna, dia tidak berani berkata-kata dengan kasar seperti yang dilakukannya terhadap Maya tadi. Sekujur tubuhnya juga dingin, merinding mendengar kemarahan Aluna yang kesekian kalinya.“Apa kematian ibu angkatmu masih gak bisa bikin kamu sadar?”Dea mendelik.“Jangan sebut-sebut beliau!”“Saya bakalan terus nyebut beliau dan menjadikannya contoh kalau kamu masih gak bisa menunjukkan perubahan!” teriak Aluna. “Kamu disini bukan untuk main-main, Andrea! Kalau begini terus, semua orang juga gak bakalan tahan mengurus kamu! Termasuk keluargamu sekalipun!”“Bagus kalau begitu! Biar saya dikeluarin dari sini!”“Enggak!” Suara familier membuat mereka menoleh. Hana yang baru kembali dari kantor berdiri di depan pendopo, sorot matanya yang tajam mau tak mau membuat Dea bergidik. “Apapun yang terjadi, kamu gak akan keluar dar
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J