“Naira kenapa?”Rayhan mengempaskan tubuhnya ke sofa dan menjawab, “Ketemu ibunya. Mbak Lissa kayak gak tahu aja.”Azzam dan Alissa saling melirik, lalu menatap Rayhan yang memejamkan mata.“Kalian tadi ribut disana?”“Bukan ribut lagi.” Rayhan menyibak rambutnya, memperlihatkan luka yang tertutup oleh darah beku. “Saya sampai dilempar vas sama Ayah.”Diam-diam Rayhan melirik Hana yang hendak keluar, namun wanita itu sama sekali tidak peduli dan malah menghampiri para keponakannya yang asyik bermain.“Memangnya kalian disana ngapain?” tanya Azzam serius.“Ya maunya sih sewajarnya tamu yang datang berkunjung, Mas. Tanya kabar, ngobrol, bercanda. Tapi ibunya Naira malah mancing-mancing emosi kami, ayahnya juga diem aja padahal ibu udah ngomong yang enggak-enggak, eh habis itu kami dimarahin dan diancam gak bakalan dikasih warisan kalau masih berani membangkang. Ya kami pergi aja sekalian.”“Terus Naira sekarang dimana?”“Di rumah. Mungkin tidur, atau sembunyi. Dia gak mau ngomong waktu
“Me-meninggal?”Semua orang yang ada di kantor menoleh dengan ekspresi terkejut, namun Dea mengabaikannya dan mencengkeram gagang telepon erat-erat. Matanya memanas, dan sebentar saja pandangannya sudah memburam.“Iya, bener De. Beliau meninggal kemarin setelah koma satu minggu. Kabarnya beliau kecelakaan waktu pulang dari pesantrennya Maryam.”Bibir Dea bergetar, namun tidak ada suara yang keluar darinya.“Kamu mau melayat dia gak?”“Saya jelas gak boleh keluar. Ditambah lagi dua minggu lalu beliau maksa saya pulang dan ngatain temen saya sama anaknya Kyai pemilik pesantren ini.” Dea menunduk dan mengusap matanya, kemudian melanjutkan, “Sampein aja sama mereka kalau saya ikut berdukacita.”“Maafin saya, De.” Dini—adik Lina—berkata dengan nada meminta maaf. “Saya pikir karena kalian dekat, jadi kamu harus tahu berita ini.”Dea menatap meja di depannya dengan sorot kosong. Ya, dia dan Lina dulu memang dekat bak sahabat. Tapi setelah sekian lama disini, entah kenapa dia mulai merasa sem
“Jadi, tangis di depan keluargamu itu palsu? Permintaan maafmu ke mereka itu palsu? Juga semua kalimat yang kamu ucapin ke keluargamu itu bohong?”Dea menunduk. Di hadapan Aluna, dia tidak berani berkata-kata dengan kasar seperti yang dilakukannya terhadap Maya tadi. Sekujur tubuhnya juga dingin, merinding mendengar kemarahan Aluna yang kesekian kalinya.“Apa kematian ibu angkatmu masih gak bisa bikin kamu sadar?”Dea mendelik.“Jangan sebut-sebut beliau!”“Saya bakalan terus nyebut beliau dan menjadikannya contoh kalau kamu masih gak bisa menunjukkan perubahan!” teriak Aluna. “Kamu disini bukan untuk main-main, Andrea! Kalau begini terus, semua orang juga gak bakalan tahan mengurus kamu! Termasuk keluargamu sekalipun!”“Bagus kalau begitu! Biar saya dikeluarin dari sini!”“Enggak!” Suara familier membuat mereka menoleh. Hana yang baru kembali dari kantor berdiri di depan pendopo, sorot matanya yang tajam mau tak mau membuat Dea bergidik. “Apapun yang terjadi, kamu gak akan keluar dar
Satu tahun kemudian...“Capek kan? Udah bosan kan hidup kayak begitu terus?”Dea tidak menjawab. Pandangannya tertuju ke kolam ikan di depan mereka, sibuk memikirkan banyak hal.“Apa salahnya kamu nurut, bersikap baik, dan gak bikin masalah? Memangnya hidupmu gak tenang kalau gak ribut sehari aja?”Dea masih diam. Hana meliriknya, lalu mengembuskan napas.“Kasihan orangtuamu disana kalau lihat kelakuanmu ini, De.”Mata Dea memanas. Dia memang lelah, sungguh. Tapi dia tetap tidak bisa mengenyahkan perasaan dengki dan getir setiap kali melihat kehidupan Hana yang sempurna. Itu sebabnya dia selalu membuat masalah. Bukan pada Hana, Aluna, maupun semua orang kemarahannya tertuju, melainkan pada dirinya sendiri.“Ini udah satu tahun. Minimal berubah meski sedikit-sedikit. Kalau kamu terus begini sampai hidup di luar sana nanti, gak akan ada orang yang mau deket-deket dan nolongin kamu. Bahkan peduli pun enggak.”Mata Dea semakin panas, dan sebentar saja pipinya sudah basah.“Aku juga sering
“Kok diem aja? Kalian ngobrol dong.”Naura melirik pemuda yang duduk di sebelah orangtuanya itu dan kembali menunduk. Dia tahu jelas karakter dingin orang itu, tapi dia tidak menyangka kalau dirinya jauh-jauh datang ke sini untuk diabaikan.“Umi, saya harus balik ke kantor lagi. Masih ada banyak pekerjaan.”“Alihin saja semuanya ke Shihab. Kamu disini.”Pria itu—Asyraf Muhammad—mengangguk dengan tampang terpaksa dan menyandarkan punggung ke sofa. Di tempatnya sendiri, Naura mulai bertanya-tanya kenapa pria itu seperti tidak suka melihatnya. Sejak dia tiba tadi hingga detik ini, Asyraf tidak pernah menyapa maupun mengajaknya mengobrol selayaknya kerabat lama. Hal itu membuatnya tak nyaman sekaligus merasa tidak disukai.“Umi, Naura permisi ke kamar mandi dulu ya,” pamitnya pada Salwa.Salwa mengangguk. Sekali lagi diliriknya Asyraf, lalu berjalan menuju dapur. Diingatnya lagi ucapan Harris beberapa waktu lalu yang menjelaskan kalau dirinya, Salwa, dan orangtua Asyraf sepakat untuk menj
“Maaf kalau sampai sekarang saya masih dingin terhadap kamu.”Naura yang tengah melepas kerudungnya menoleh mendengar ucapan Asyraf. Dari cermin, dia bisa melihat sorot bersalah sekaligus datar dari wajah pria yang sejak beberapa jam lalu resmi menjadi suaminya.“Gak apa-apa. Saya tahu Mas pasti butuh waktu,” balas Naura tenang, meski di sisi lain tidak yakin dengan dirinya sendiri. Tiga bulan lamanya, dia bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan dirinya. Asyraf bahkan tidak berusaha mengenalnya seperti pasangan-pasangan lain yang menikah karena dijodohkan. Asyraf juga tidak pernah bertanya apa yang dia sukai seperti yang dia lihat dari Isyqi dan Rayya beberapa waktu lalu.Asyraf hanya mengangguk, lalu melepas pakaiannya sendiri dan berganti baju. Tanpa memedulikan Naura yang menatapnya, dia meraih laptop dan kembali fokus dengan tugasnya.“Mas.”“Hm.”Naura meliriknya lagi, kemudian menghela napas. Tanpa banyak kata, dia kembali membersihkan wajahnya, kemudian bangkit dan mengambi
“Itu siapa?”Najwa menoleh, menatap sosok yang ditunjuk kakak iparnya. “Mbak Mazaya. Pengurus disini.”“Pengurus?”Naura memang baru pertama kali melihatnya. Tapi di dalam hati, dia merasakan adanya ancaman dibalik ketenangan gadis itu.“Iya.” Najwa menyahut malas. “Ayo, Mbak. Keburu pagi.”Naura buru-buru memasuki aula. Dilemparkannya senyum pada setiap santri yang menyalami dan mencium punggung tangannya, kemudian duduk diantara Najwa dan Bella, adik sepupu Asyraf. Dari sudut mata, dia melihat Mazaya ikut masuk ke aula dan duduk di ujung ruangan yang tak jauh dari mereka.“Mbak, ayo mulai,” bisik Najwa.Naura tersentak, lalu berdeham dan memulai pengajian pagi. Sesekali matanya melirik Mazaya yang tetap fokus mengaji sambil menegur santri-santri lain yang berbisik-bisik.Bella memundurkan kepalanya saat bahunya dicolek seseorang.“Naura lihatin siapa sih?” tanya Kiran, istri Fathan.“Maza.”Kiran melirik Mazaya. Gadis itu masih fokus, meski sesekali dia melirik ke sekeliling ruangan
“Pengantin baru itu harusnya seger, cerah, ceria. Bukannya kusam kayak lap dapur ndalem.”Asyraf tidak menghiraukan sindiran itu dan tetap fokus mengetik. Sesekali diteguknya kopi, lalu membalik halaman kitab terjemahan di hadapannya.“Hei!” Sepupunya yang lain—Shihab—menjentikkan jemari di depan mukanya. “Yang ceria dong! Baru kali ini aku lihat pengantin baru mukanya kucel gini.”Fathan yang baru tiba melirik Asyraf datar, lalu duduk di meja kerjanya dan membuka laptop.“Jangan ganggu aku!”“Kamu berantem sama Naura?” tanya Zavier, sepupunya yang lain.Asyraf tidak menjawab. Tidak. Dia memang tidak bertengkar dengan Naura. Tapi Naura sempurna mengabaikannya sejak pagi tadi. Istrinya memang menyiapkan semua keperluannya, tapi tanpa suara dan membuat Asyraf tersiksa.“Naura juga gak keluar rumah. Dimana dia?” tanya Lutfan.“Di rumah lah. Ngapain dia di sekolah?” balas Asyraf sengit. “Kalian ini sibuk banget ngurusin rumah tanggaku. Gak punya kerjaan?”Fathan menoleh sejenak ke arah pi
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J