“Kenapa dia gak berhenti lihatin kita?” tanya Ivan saat tiba di rumah dua hari kemudian.Arkan ikut menoleh. Buru-buru Dea memalingkan muka, namun Arkan tetap bisa tahu kalau gadis itu masih terus mencuri pandang ke arah mereka.“Udah, gak usah dilihatin,” sela Arkan. “Han, mau makan sesuatu?”Hana menggeleng. Hanya ada mereka berempat saat tiba di ruang keluarga. Aisyah dan Riza sudah masuk kamar, sementara Zara dan Faris sedang mampir ke pesantren milik keluarga mertuanya.“Kulihat kamu gak makan apa-apa dari pagi, Han,” komentar Ivan.“Mulutku pahit, Mas,” balas Hana datar. Pandangannya tetap fokus pada televisi yang menayangkan berita siang.Ivan melirik Arkan, namun sahabatnya itu hanya mengedikkan bahu. Pria itu akhirnya pamit untuk meletakkan barang-barangnya di kamar Keira, lalu kembali turun dan melihat Hana masih asyik menonton berita.“Mau keluar, Kei?” tawar Ivan.“Kemana?”“Jajan, atau jalan-jalan. Kita bisa pinjem motornya Abi.” Ivan mengedikkan bahu dengan tampang tak b
“Coba lihat ke bawah."Ivan betul-betul menoleh ke bawah, diikuti Keira di sebelahnya. Hanya ada Vanya di depan gedung kelas yang buru-buru membuang muka ke arah lain.“Kamu gak mau ngomong sama dia lagi, Kei?” tanya Ivan penasaran.“Aku mau. Dia yang enggak mau.” Keira menjawab singkat, lalu kembali menyendok salad dari mangkuk mereka.“Dasar anak-anak,” sahut Arkan pedas.“Nah kan. Galaknya kumat lagi,” hardik Keira. “Sana ah. Ngerusak suasana aja bisanya.”Tak tanggung-tanggung, Ivan ikut mengusir sahabatnya tersebut. Didorongnya Arkan ke dalam rumah, lalu mengunci pintu dari luar dan kembali duduk di sebelah Keira.Arkan terkekeh, lalu melepas peci dan masuk ke kamar. Dilihatnya Hana tengah duduk sendirian di depan jendela sambil menopang dagu pada lutut.“Kok bengong?” senyum Arkan. “Udah makan siang belum?”“Udah, Mas.”Mata Hana tetap tertuju ke depan, sementara Arkan terus memandanginya dengan bingung. Spekulasi tentang ibu mertuanya yang mendesak minta uang kembali mencuat."
“Assalamualaikum.”Arkan bangkit, lalu menyambut tamu baru mereka. Suara obrolan semakin ramai dan didominasi oleh tawa sebelum pria itu mempersilahkan semua orang untuk masuk.Tawa Harris dan Rayhan yang sebelumnya terdengar kini hilang, berganti dengan wajah pucat Rayhan. Mata Rayhan langsung mencari Naira yang lengannya dicekal oleh Alissa.“Assalamualaikum, Kyai Harris.”“Wa’alaikumsalam, Mas Azzam.” Harris mengangguk. “Saya senang sekali. Hari ini rumah saya kedatangan banyak tamu.”Namun pria yang dipanggil Azzam itu hanya mengangguk dan kembali menatap Rayhan.“Apa yang kamu kerjain disini?”Rayhan tidak menjawab.“Ayo pulang, Rayhan. Kalian gak perlu melewati semuanya sendiri.”Arkan dan keluarganya saling tatap, tidak paham dengan apa yang dimaksud pria tersebut.Pria bernama Azzam itu lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dahinya mendadak mengernyit, seolah tidak menemukan sesuatu yang dicarinya.“Mana perempuan yang lari tadi?” tanya Azzam.“Itu istri saya, Pak.
“Semua ini plot twist banget gak sih, Mbak? Atau ini semua cuma mimpi?”“Ini masih mimpi?” tanya Azka sambil mencubit punggung tangan adik iparnya. Sedetik kemudian, dia terkejut dan berseru, “Kamu kurus banget.”“Perih, Mbak.”Azka tidak menghiraukannya dan meraih tangan Hana.“Kamu jarang makan ya?”“Kalo gak makan ya aku mati dong, Mbak.” Hana memutar bola mata. "Tapi kalau maksudnya jarang makan nasi, itu bener.""Kenapa males?""Makanannya gak ada yang enak." Hana menjawab cuek."Alasanmu aja kayaknya," sahut Azka sinis.Hana tertawa. Untuk pertama kalinya, hatinya terasa hangat karena akhirnya menemukan ‘keluarga’ yang bisa diajaknya bercanda dan tertawa bersama.“Udah dari lama Mbak dikasih tahu Abah kalau Mas Fadli punya adek perempuan yang diurus paman sama bibinya. Dan tambahan lagi, ada kamu di foto-foto keluarga yang dipajang di ruang tengah.” Azka berkata saat Hana bertanya tentang masa kecilnya. "Tapi Mbak Azka baru tahu itu setelah kami menikah. Itu juga karena Mbak ngi
Meski ingin bersama orangtuanya lebih lama, tapi Hana tahu mereka harus kembali pada tugas masing-masing. Dengan berat hati, dipeluknya Alissa erat-erat seolah tidak mau berpisah.“Kalau egois itu boleh, Umi pengen banget bawa kamu dan Arkan pulang sekarang.”“Hana juga mau, Umi. Tapi waktu itu cepat berlalu. Kalau kita gak ngitung, tahu-tahu aja hari itu tiba tanpa disadari.” Hana tersenyum dan mengusap air matanya. “Hana gak sabar pengen pulang ke rumah kita.”Ucapan itu membuatnya merasa hangat luar-dalam, sementara Alissa tersenyum.“Tapi jangan lupa kasih kabar setiap hari ya, Nduk. Bulan depan kalau kamu udah siap, kami bakalan jemput kalian.”Hana mengangguk. Sekali lagi dipeluknya Alissa dan Azzam, lalu melambaikan tangan saat mobil keluar dari halaman pesantren.“Jangan sedih. Gak lama lagi kita bakalan pulang ke rumah Abah,” hibur Arkan.Hana mengangguk. Sorot matanya yang selama ini muram mulai terlihat bersinar seolah bahagia dengan segala yang terjadi seharian ini. Dibiar
“Ini Mas Rayyan, Mas Jeffri, Mas Syafiq, sama Mas Musa. Mas Rayyan kakak paling besar, sekaligus paling galak,” ucap Isyqi dengan nada lucu.Hana tertawa. Di sebelahnya, Arkan yang tengah menyimak berita sambil mengetik juga ikut terkekeh. Sesekali dia menoleh ke iPad dimana kelima kakak iparnya sedang melotot satu sama lain.“Kamu cantik. Mirip Umi,” puji Rayyan.“Mas Isyqi udah bilang tadi,” balas Hana geli.“Ya sekarang giliran Mas Rayyan.” Pria itu menyahut dengan nada kebapakan. “Tadi Mbak Azka cerita kalau kamu nulis buku. Itu betulan?”Hana mengangguk.“Tentang apa?”“Sekarang tentang fiqih, Mas.”“Sebelum itu?” tanya Isyqi jail.Wajah Hana merah padam. Arkan meliriknya, lalu merebut iPad dan berkata, “Tentang bad boy, Mas Isyqi.”“Jangan disebut, Mas. Itu aib,” protes Hana sambil merebut kembali iPad-nya. Dibetulkannya posisi bantal, lalu bersandar.Keenam kakaknya tertawa lagi. Senyum mereka tidak berhenti tersungging meski Hana dan Arkan mulai bertengkar.“Dek, tenang dulu.”
“Umi gak kerja?”Alissa menggeleng. Fokusnya tertuju sepenuhnya pada Hana, kontras dengan Naira yang selalu sibuk menghitung uang di tangan dan mencaci meski Hana menanyainya dengan lembut.“Disana gimana, Umi? Santrinya baik-baik enggak?”Alissa mengangguk lagi. Diperhatikannya Hana yang bersandar dan berkata, “Wajahmu pucat, Nduk. Kamu sakit?”“Cuma pusing, Umi.” Hana terbatuk lagi, lalu melanjutkan, “Gak apa-apa. Hana udah biasa kayak gini.”“Kamu jarang tidur ya, Nduk?”Hana tidak menjawab.“Hana?”“Nanti kalau Hana jawab, Umi marah. Hana takut,” balasnya pelan.Alissa mengalihkan pandang, namun tangannya diam-diam menyeka air mata. Sejak kemarin, dia tidak berhenti menangis karena membayangkan bagaimana tersiksanya menjadi Hana yang tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh kedua iparnya.“Umi gak akan marah kalau Hana jujur,” ucapnya tegar. “Jadi, ayo ceritain sama Umi semuanya.”Pagi itu, Hana akhirnya menceritakan semuanya. Tentang novel online-nya, tentang gajinya yang besar
Satu bulan kemudian...“Kamu duduk aja, biar Mas yang kerjain semuanya.”Hana tersenyum, lalu duduk di pinggir beranda sambil mengamati Arkan yang menaikkan barang-barang mereka. Azzam dan Alissa sedang berada di ruang tamu, sekali lagi mengobrol dengan kedua mertuanya. Sementara kedua kakaknya yang lain, Isyqi dan Rayyan, duduk mengapitnya di kedua sisi.“Kamu kurus banget, Dek,” ucap Rayyan sambil mengelus kepala Hana.“Disuruh makan aja susah kok, Mas,” sahut Arkan sebal.Hana mendelik, sementara Rayyan menatapnya dengan pandangan menegur.“Ibu hamil itu harus banyak makan, Dek. Kamu suka makanan apa? Nanti kami beliin.”“Lidahku udah lama mati rasa, Mas,” balas Hana pelan. “Sejak sebelum masuk sini, aku udah gak suka makanan apa-apa lagi. Semuanya hambar.”Rayyan menatapnya iba, sementara tangannya terus mengusap kepala Hana.“Ya udah. Tapi kalau butuh apa-apa, jangan ragu buat minta ya.”“Apa aku gak bakalan ngabisin uangnya Mas Rayyan? Aku gak mau kalau nanti malah nyusahin kaka
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J