“Yang tadi itu ibumu, Mar?”“Bukan.” Maryam diam sejenak, lalu melanjutkan, “Beliau ibu angkatku. Orangtuaku meninggal waktu aku umur sepuluh tahun, dan aku sama kakakku diadopsi sama mereka. Ayah angkatku berteman sama ayahku.”Hana yang tak sengaja mendengar dari balik jendela kantor tertegun. Betul dugaannya kalau Maryam bukanlah anak kandung Lina. Setahunya Zidan hanya mempunyai satu saudara perempuan.“Terus kenapa ibu kamu benci banget sama Ning Hana?” tanya suara kedua dengan nada ingin tahu.Hana memutuskan untuk tidak peduli lagi dan melanjutkan pekerjaannya. Beberapa santri yang baru selesai mengaji melewati kantor asrama putri sambil mengobrol dan sesekali menyapa kakak kelas maupun pengurus yang lewat. Diraihnya kotak berisi barang yang baru disortir dan meletakkannya di meja, lalu bangkit mengejar santri yang baru saja lewat.“Vanya!”Vanya menoleh.“Ke sini sebentar.”Vanya mengikuti Hana memasuki kantor, sementara teman-temannya kembali ke asrama. Hana kali ini menunjuk
“Aku gak bisa ngomong sama Ivan, Han.”Hana yang tengah berdiri di balkon menoleh saat Keira berdiri di sebelahnya.“Kenapa? Dia seharusnya tahu kan?” tanya Hana bingung.Keira menggeleng. “Ini hidup kami. Dan juga hak-nya Vanya buat suka sama siapa aja. Aku gak bisa menyenangkan semua orang, dan sebaliknya malah menyakiti diri sendiri dan sebagian orang lainnya.”Hana tertegun saat mencerna kalimat terakhir adik iparnya. Hal itu sama seperti yang selalu dilakukannya bertahun-tahun lalu. Dia selalu ingin membahagiakan hati semua orang, dan sebaliknya malah lupa dengan kebahagiaannya sendiri.“Jadi intinya, kamu gak mau bilang apa-apa? Ke Ivan soal Vanya yang suka sama dia, dan ke Vanya soal pernikahan kalian akhir semester nanti?” tanya Hana.Keira mengangguk.“Ya terserah kamu sih. Ini kan hidup kamu. Aku gak bisa ikut campur.”Mereka kembali menatap halaman. Beberapa pengurus putra yang baru kembali dari luar memasuki halaman dan memarkirkan motor mereka di parkiran samping masjid,
“Kenapa ya kita selalu ketemu terus?”Selesai pengajian sore itu, Arkan minta mampir ke Sri Ratu Mall Kediri untuk membeli sesuatu. Zara dan Faris yang juga ikut dengan mereka berempat tampak waspada melihat Zidan, Lina, dan Dea berdiri di hadapan mereka.Hana hanya tersenyum dan mengangguk, lalu meraih lengan Arkan dan menggandengnya. Perutnya keroncongan, sementara Harris dan Salwa berdiri di belakang mereka dengan sikap menunggu.“Tolong lepas tangan Anda, Mas. Tidak sopan seorang pria menyentuh wanita yang bukan muhrimnya,” sela Faris saat Zidan meraih tangan Hana.“Shut up! Ini bukan urusanmu!”“Lepas tanganmu!” Sebuah suara dingin membuat mereka semua menoleh. Gus Wahid, adik Faris yang ketujuh menyingkirkan tangan Zidan dari Hana dengan sopan. “Tidak pantas memperlakukan Ning Hana seperti itu!”Zidan mendengus, lalu berbalik dan merangkul Dea dengan satu tangan.“Kamu gak apa-apa, Han?” tanya Arkan.Hana mengangguk, menoleh pada Wahid dan berkata, “Terimakasih, Mas Wahid.”Wahid
Arkan terbangun oleh rasa sakit yang menyerang leher bagian belakangnya. Diregangkannya tubuh, lalu menoleh ke sudut kamar dimana Hana tengah shalat tahajud.Ditunggunya hingga Hana selesai shalat sambil meregangkan leher, lalu tersenyum saat Hana mendekatinya. Dia lalu membungkuk dan mencium dahi Hana yang hangat. Sejak sore tadi istrinya memang demam hingga tidak bisa menemani Salwa mengaji di aula.“Kalau rasanya masih sakit, gak usah shalat dulu juga gak apa-apa. Kan tahajud ini sunnah,” ucap Arkan lembut.Hana hanya tersenyum. Dilepasnya mukena dan melipatnya, lalu duduk di sebelah Arkan.“Mas mau shalat juga? Buruan. Aku tunggu disini.”Arkan mengangguk, lalu berjalan menuju kamar mandi. Sambil menunggu, Hana meraih ponselnya di meja nakas dan mengecek notifikasi. Ada puluhan chat dari ibunya dan Fahmi, serta ratusan chat dari Dea dan Zidan. Chat dari dua orang yang disebutkan terakhir dihapusnya tanpa membaca dan memblokir nomor tersebut.Saat Arkan selesai shalat dua puluh men
Asrama sepi karena seluruh santri tengah berada di kelas, dan Hana yang baru akan keluar menuju kantor asrama dikejutkan dengan mobil keluarganya yang memasuki halaman pesantren.Sedetik kemudian, bibirnya menyunggingkan senyum saat Rayhan dan Naira keluar dari mobil. Kontras dengan hatinya yang berdebar kencang karena takut melihat ekspresi dingin ibunya.“Assalamualaikum, Ayah, Ibu.”“Waalaikumsalam.” Rayhan menjawab hangat. Di sebelahnya, Naira hanya mengangguk sebelum melengos.“Kamu gak kerja?” tanya Rayhan sambil melirik jilidan kertas di tangan putrinya.“Ini baru mau balik ke kantor. Tadi ada laporan yang ketinggalan. Ayo masuk, Yah, Bu. Biar Hana panggil Umi sama Abi dulu.”Tanpa menunggu jawaban kedua orangtuanya, Hana berbalik dan berjalan memasuki ruang keluarga. Ada Harris dan Salwa disana, tengah berdiskusi sambil mengerjakan tugas masing-masing.“Permisi, Abi, Umi. Ada orangtua Hana di depan.”Salwa melepas kacamatanya, lalu bangkit dan merapikan pakaian. Harris menyusu
Rayhan dan Naira sudah pulang menjelang dzuhur dengan alasan masih banyak pekerjaan, sementara Hana mengurung diri dan tidak makan siang. Semua orang khawatir, namun mereka tidak bisa berkata apa-apa karena sudah tahu apa yang terjadi. Lebih tepatnya, Naira terlalu tolol untuk duduk di balik jendela dan membuat semua ucapannya bisa didengar oleh Salwa.“Apa Zara perlu naik dan ngajak Hana gabung disini, Bi?” tanya Zara pelan.Harris menghela napas sambil menggeleng, lalu kembali melahap makanannya.“Biarin aja dulu. Hana perlu waktu.”Arkan yang juga ikut bergabung di meja makan menunduk menatap piringnya yang tidak tersentuh. Dia ingin sekali bertanya pada Naira; kenapa hanya karena masa kecil putrinya yang gelap, dia tega memusuhi Hana hingga saat ini?“Kamu cuma perlu mendoakan supaya ibu mertuamu bisa berubah baik, Le,” ucap Salwa pelan.Arkan mengangguk. Dia tidak benci pada Naira, sungguh. Dia hanya sedih kenapa Naira tidak pernah berhenti menyakiti hati Hana.“Maaf, Arkan mau n
“Peraturan nomor tiga belas. Tidak boleh membawa buku yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan,” pinta Hana datar saat menemukan Vanya duduk di kantin sambil membaca novel.Dengan ekspresi tidak rela, Vanya menyerahkan buku tebal tersebut pada Hana. Dahinya seketika mengernyit saat menantu ketiga Kyai Harris tersebut malah duduk di hadapannya.“Kamu berantem sama Keira?” tembak Hana tanpa tedeng aling-aling.Vanya tidak menjawab.“Gak boleh mendiamkan saudara lebih dari tiga hari, Van. Lebih dari itu, kamu bisa jadi temannya setan,” gurau Hana sambil menyentuh tangan sahabatnya.Yang mengejutkan, Vanya menarik tangannya dengan kasar. Satu alis Hana terangkat, sebelum akhirnya memasukkan satu tangan yang tidak memegang buku ke dalam saku gamis.“Ini di luar kuasa Keira. Mau gak mau kamu harus terima, Va.”“Seharusnya dia bilang,” balas Vanya dengan suara dingin. “Dia tahu aku suka sama Gus Ivan. Seharusnya dia gak menusuk dari belakang kayak begini.”Hana tidak menjawab.Vanya berb
“Aku muak kalau diginiin terus, Mas. Rasanya kayak main belakang dari Mas Arkan, padahal dia yang selalu chat dan nelepon aku duluan.”Sore itu, Arkan akhirnya mengajak istrinya untuk bersantai di Starbucks. Dengan secangkir kopi hitam untuknya dan vanilla latte untuk istrinya, Hana berapi-api menceritakan tentang Zidan yang tidak mau berhenti menganggunya.“Terus tadi kamu angkat gak?” tanya Arkan sambil mematahkan cookies di hadapan mereka.Hana menggeleng. “Langsung aku blokir. Harusnya Mas negur dia dong. Bilang kalau Mas gak suka istri Mas yang cantik ini digangguin.”“Kamu PD juga ya ternyata.” Arkan tergelak. Dilapnya tangan dan bibir dengan tisu, lalu menyeruput kopi dan menatap Hana yang ikut menyeruput latte dinginnya.“Kan Mas sendiri yang selalu bilang kalau aku cantik.”“Iya, kamu emang cantik,” puji Arkan sambil mengulurkan tangan dan melingkarkannya di bahu Hana.Sambil bersandar pada bahu Arkan, Hana menatap Starbucks yang sore itu tidak terlalu ramai. Hanya ada selusi
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J