“Kenapa diam aja? Gak mau makan?”Fahmi hanya mengangguk, kemudian sibuk lagi dengan ponsel di tangannya. Alissa diam sejenak, kemudian mendekati Azzam dan berbisik di telinganya. Sesaat kemudian, Azzam mendekati keponakannya tersebut dan duduk di sebelahnya.“Kenapa kamu diam aja?”“Gak apa-apa, Pakde. Saya lagi males ngomong aja."“Bukan karena ibumu lagi kan?”“Enggak.”Diam-diam Azzam melirik Naira yang mengobrol dengan Alissa di bagian lain ruangan bersama Sofia dan Zahwa. Adik iparnya itu memang mulai menunjukkan perubahan akhir-akhir ini, berbanding terbalik dengan sikap Fahmi yang akhir-akhir ini terlihat lebih banyak diam.“Saya mau keluar dulu. Permisi.”Diciumnya punggung tangan Azzam, kemudian keluar dan berbelok menuju rumah samping. Tiba di rumah, bukannya ke kamar, Fahmi malah berjalan menuju perpustakaan dan diam disana selama beberapa waktu. Setelah itu, mendadak tangannya terangkat dan melempar tas selempangnya kuat-kuat ke dinding.“Sial sial sial sial sial!”Dua ta
“Ayang.”Wahid melirik istrinya yang mendadak duduk di dekat kakinya sambil menyenggol-nyenggol bak anak kucing. Bibirnya berkedut, gemas melihat kelakuan Rania. Namun, dia gengsi untuk menggoda duluan.“Ayang kok diem aja?” goda Rania.“Kamu kayak bocah.” Wahid berkata tanpa berhenti mengetik.“Kan biar Ayang seneng.”Sekali lagi bibir Wahid berkedut.“Udah makan?”“Belum. Ayang mau makan bareng aku?”“Cukup, Nduk. Saya geli.” Wahid segera menghentikannya sebelum tawanya pecah. Bukannya apa-apa, tapi ekspresi Rania terlihat begitu lucu. Istrinya itu tidak cocok sama sekali memanggilnya dengan nada semanja itu.Rania mendengus. “Nyebelin. Udah belajar dari Subuh padahal.”“Belajar manja?” tanya Wahid geli. “Gak usah. Jadi partner gelud saya aja.”“Baru kali ini ada suami yang nyari istri buat jadi partner gelud.” Rania membalas sinis.“Mukamu galak gitu kok coba-coba jadi manja. Gak cocok,” ejek Wahid.Rania membuang muka.“Ayang nyebelin.”Kali ini Wahid tidak segan lagi untuk tertaw
“Lama gak perginya?”“Cuma sampai besok sore kok.” Arkan berkata sambil memasukkan baju ke dalam ransel. “Kamu di rumah aja sama Rayya. Nanti Mas beliin apapun yang kamu mau.”Hana menunduk, kedua tangannya terjalin sambil berpikir keras. Hampir empat tahun mereka menikah, ini yang kesekian kalinya dia tidak bisa menemani Arkan pergi. Kali ini alasannya karena Bella sedang demam.“Kamu ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa diam aja?” tanya Arkan lagi sambil memilah-milah botol parfumnya yang sudah kosong dan membuangnya ke tempat sampah, lalu menarik bangku dan meraih ponselnya.“Memangnya Mas mau aku gimana?”“Ngambek kek, selayaknya perempuan normal yang gak diizinin ikut suaminya.”Hana mendengus.“Meski manja, aku juga tahu diri dan bersikap dewasa, Mas.”“Yang ngatain kamu gak tahu diri dan gak dewasa siapa?”Hana mengusap dada, mencoba bersabar atas kelakuan suaminya.“Kalau aku maksa ikut padahal udah dilarang, abis itu ngelarang Mas Arkan pergi kalau aku gak boleh ikut, itu gak tah
“Kamu sekarang kuliah?”Mazaya mengangguk pelan. “Nggih, Gus.”Zavier menatap gadis itu dengan sorot menilai, lantas melirik saudara-saudaranya yang lain. Namun, hanya Fathan dan Lutfan yang peduli, sementara Asyraf, Shihab, Daniyal, dan sepupu-sepupunya yang lain sibuk dengan gantungan ponsel berbentuk anime di depan mereka.“Kamu ke sini sama siapa?” tanya Lutfan.“Sendiri, Gus.”“Gak ada yang nemenin?” tanya Zavier. “Saudara atau teman misalnya?”Mazaya menggeleng. Gadis itu menoleh ke belakang sekali lagi dan berkata, “Maaf, Gus. Saya permisi dulu. Masih harus cari buku.”Tiga pria itu mengangguk, lantas menatap punggung Mazaya yang menjauh. Hingga gadis itu menghilang dari pandangan, mendadak Zavier berbalik dan menatap saudara-saudaranya yang sibuk bertengkar.“Beliin buat yang lain juga,” lerai Lutfan sambil memisahkan Daniyal dan Fawwaz yang berebut salah satu gantungan ponsel. “Ini bukan di rumah, jadi jangan berantem!”“Aku juga mau yang itu, Mas!” seru Fawwaz sambil menunju
“Kenapa kamu masih bisa santai gitu sih?”Asyraf meliriknya sedikit, lalu kembali sibuk dengan makanannya dan bertanya, “Memangnya aku harus gimana? Nyamperin dia lalu ngajak ngobrol?”“Seharusnya kamu merasa gak nyaman karena dilihatin terus. Bukannya diam aja....”“Siapa bilang aku diam aja? Memangnya Mbak Kiran gak bisa lihat kalau dari tadi aku kejang-kejang kayak cacing kepanasan?” balas Asyraf sinis.Kiran menelengkan kepala dan menjawab, “Mbak lihat kamu baik-baik aja.”“Kakinya yang gak bisa diam, Mbak,” sahut Naura sambil meletakkan potongan daging sapi di piring suaminya. “Sejujurnya aku juga enggak nyaman. Mana tatapannya itu nyeremin banget.”Itu benar. Sesekali, Fathan, Kalila, Nausheen, atau Kiran menoleh ke belakang dan menemukan Mazaya masih menatap mereka semua. Ingin pindah tempat, tapi hal tersebut pasti akan memakan banyak waktu dan menambah repot karena banyaknya makanan mereka.“Gak usah dipeduliin.” Fathan berkata. Disumpitnya daging, kemudian bertanya, “Sebelum
“Bukan cuma kamu yang gak nyaman. Aku juga.”Naura yang baru kembali dari kamar mendadak menghentikan langkah. Dengan perlahan, dia menuruni tangga dan berdiri di anak tangga terbawah.“Kamu udah lupain dia?”“Kalau belum, aku gak bakalan terus mandangin Naura kayak orang buta baru pertama kali lihat matahari.” Asyraf menjawab masam. "Mana ucapannya kemarin kelewatan banget. Andaikan obrolan itu kuceritain ke Gus Fauzan, gimana tanggapannya ya?""Marah pastinya. Istrinya dijelek-jelekin gitu, di tempat umum pula.""Harusnya aku rekam kemarin."Mati-matian Naura menahan senyum, lantas turun dan berbelok menuju dapur. Namun, baru beberapa langkah, mendadak sebuah suara memanggilnya.“Kamu mau kemana?”“Dapur, Mas.” Naura menahan senyum. Dia lalu berbalik dan bertanya, “Kenapa? Mau dibawain sesuatu?”l“Enggak. Saya kira kamu mau pergi.”Naura memutar bola mata, lalu berjalan sementara sepupu-sepupu mereka yang lain mulai meledek Asyraf. Di dalam hati, meski dia heran karena Asyraf terus
“Dia bilang begitu?!”Asyraf mengangguk. Kemarahannya masih belum hilang meski pembicaraan itu sudah seminggu berlalu, beda dengan Naura yang bahkan bisa dengan cepat melupakan seolah pembicaraan tersebut tidak pernah terjadi. Di sekelilingnya, Fauzan, Arkan, Hana, Putri, dan Revan—sepupu Naura sekaligus sahabat lama ayahnya serta orangtuanya juga Habib, Fawwaz, dan Najwa memandangnya dengan sorot marah.“Terus?”“Ya aku marahin lah. Kubilang kalau dia gak punya urusan apapun sama Ning Alina. Mau gimanapun masa lalunya, itu urusan Ning Alina dan Njenengan. Bukan dia. Terus kayaknya dia sedih, karena dia langsung kabur begitu aja.”“Sebetulnya siapa dia?” tanya Revan serius.“Dulunya pengurus disini.” Fawwaz menjawab pendek.“Dulunya?” tanya Putri penuh penekanan.Fawwaz mengusap rambut, ekspresinya terlihat salah tingkah saat membalas, “I-iya. Enam bulan lalu dia izin keluar karena mau lanjut kerja sambil kuliah. Tapi setelah itu kami gak tahu lagi dimana keberadaannya.”“Dan ternyata
Mazaya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman yang ramai. Ini adalah kunjungan pertamanya setelah enam bulan keluar, dan gugup menguasainya karena dia tidak punya teman yang bisa dia tanyai maupun diajak bicara karena semua orang mendadak menghindarinya.“Kenapa pada gak mau nemenin aku ke ndalem ya? Masa aku harus sendirian?” gumam Mazaya penasaran.Jauh di depannya—lebih tepatnya rumah tingkat tiga bercat abu-abu gelap yang berdiri diantara rumah-rumah lainnya—empat wanita mengawasi kedatangannya. Salah satunya adalah Naura yang tatapan tajamnya tidak lepas dari Mazaya.“Dia ke sini sendiri?” tanya Nada tak suka.“Kayaknya iya.” Nausheen menatap ke belakang Mazaya dan tidak menemukan siapapun disana. “Buat apa kira-kira?”“Buat apapun itu, yang jelas aku gak suka. Mau ngapain dia ke sini kalau gak ada kepentingan? Mendingan gak usah datang!” seru Naura sengit. Meski sebelumnya dia sudah melupakan ucapan Mazaya, namun melihat wajah polos gadis itu mau tak mau membuat kemarahanny
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J