Meira menggandeng tangan anak lelakinya. Langkahnya sedikit berat, namun ia meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa melangkah maju dengan berani.
Sementara itu banyak mata yang melihat ke arah Meira dan bergantian melihat ke arah Banyu yang wajahnya sudah cukup dingin. Pria itu tidak suka dengan keberadaan Meira. Kejadian ini pasti akan menimbulkan banyak kesalahpahaman.
Suara kasak-kusuk terdengar sumbang ditelinga keluarga besar Adnan. Mereka menebak-nebak siapa wanita yang berjalan dengan anak kecil yang sedari tadi berada di pesta besar itu. Bahkan anak berumur sepuluh tahun itu juga tidak pernah dilihat oleh kolega keluarga Adnan.
Mereka hanya mengenali anak kecil berumur dua tahun yang beberapa kali memang bersama Samudera ataupun Diani. Banyu juga sering membawanya dan mengenalkan bahwa bayi kecil itu adalah
Setelah beberapa jam yang melelahkan Banyu dan Lila pun melangkah menuju kamar tempat mereka beristirahat dengan bergandengan tangan. Banyu masih dengan senyumnya yang mengembang seolah memang harinya tidak rusak dengan kedatangan Meira, sedangkan Lila sendiri berjalan dengan tatapan kosong. Campuran antara rasa lelah juga terpikirkan dengan Meira dan Bara membuat tubuhnya terasa sangat lelah. Penampakan keduanya memang sangat kontras jika dilihat kali ini. Banyu membuka kamarnya dan menarik istrinya masuk dengan lembut. Lila segera tersadar dan menatap lekat suaminya. Banyu mengunci pintu kamarnya dan mereka masih berdiri di depan pintu dengan pandangan beradu. “Kenapa kamu sedih di hari pernikahan kita. Apa cuma aku yang bahagia disini?” tanya Banyu dengan tatapan lembut dan tangan yang mengusap pipi Lila dengan hangat.
Dua hari yang melelahkan dan menyenangkan dihabiskan oleh Lila dan Banyu dengan baik. Meskipun liburan setelah pernikahan hanya mereka habiskan di hotel, tapi itu saja sementara sudah cukup. Banyu dan Lila juga sudah mulai merindukan kedua anak mereka yang entah bagaimana kabar keduanya, karena tak ada satupun anggota keluarga yang bisa dihubungi atau menghubungi mereka. Baru saja mereka masuk, keduanya disuguhkan pemandangan dua anak mereka yang sedang tantrum. Banyu dan Lila tentu saja terkejut. Tidak biasanya suasana begitu ramai seperti ini. Banyu dan Lila menghela nafas besar dan mereka mendekat ke arah berlawanan. Banyu menuju Raga sedangkan Lila menuju Bara. Tangis Raga segera reda setelah melihat ayah Banyunya. Sedangkan Bara masih terisak di ujung ruangan. "
Seorang wanita paruh baya dengan baju sederhana, kini sedang duduk bersama dengan Banyu. Selepas pemakaman Meira tadi, Bara merengek tak mau kembali. Jadi Banyu menemani anak sulungnya dan menemui mantan ibu mertuanya yang datang tergopoh saat diberi tahu kondisi Meira dan lokasi anak tirinya yang telah berpulang. Kini saat Bara sudah pulang terlebih dahulu, pria itu meminta waktu berdua saja dengan mantan ibu mertuanya. "Terima kasih kamu sudah mengabari Tante, Nyu. Walaupun Tante hanya Ibu tiri Meira," ucap wanita bernama Fita itu. "Iya, Tante. Karena Banyu pikir Papa Meira masih ada. Itu semua karena Bara bilang belum pernah bertemu Kakek dan Neneknya. Jadi, Banyu mencoba cari Tante dan untungnya Tante masih dirumah . Apa Om sudah lama tidak ada?" tanya Banyu yang membuat Fita menghela nafas panjang.
Sudah seminggu ini, Bara mengurung dirinya di dalam kamar. beruntungnya kamar anak itu tidak dikunci, jadi seluruh anggota keluarga bisa mengecek keadaan Bara. Termasuk pria paruh baya yang awalnya tidak mau menganggap keberadaan Bara. Pria itu lebih banyak diam ketika Bara ada disekitarnya. Agar adil, ia pun sedikit mengabaikan Raga yang menurutnya sedang dalam fase menggemaskan. Ia tak mau Bara memiliki pandangan buruk tentang dirinya, namun ia juga masih enggan mendekat pada Bara. Perasaan sakit saat tahu anak lelakinya dipermainkan, membuatnya juga enggan pada cucu lelakinya. “Mau sampai kapan di kamar?” suara berat pria itu tentu saja mampu mengalihkan perhatian Bara sepenuhnya. Pria yang bahkan enggan menatapnya. Kini mengajaknya berbicara. Bara bingung menanggapinya. Apakah ia harus senang atau curiga?
Semua orang sedang berkumpul di meja makan saat seorang asisten rumah tangga mendekat ke arah Banyu dengan segan. “Maaf, Mas Banyu. Di luar ada yang mencari. Saya suruh tunggu dulu atau gimana ya? Maaf ya, Mas. Mengganggu waktu sarapannya,” ucap salah satu asisten rumah tangga yang tampak takut menginterupsi Banyu. “Siapa?” tanya Banyu bingung karena hari yang masih pagi, tapi sudah ada yang ingin menemuinya tanpa membuat janji. apalagi ini kediaman pribadi orang tuanya. “Pak Dimas, Mas Banyu.” Tidak hanya Banyu yang terkejut. Tapi seluruh anggota keluarga yang berada di meja makan juga merasa aneh dengan kehadiran Dimas. Tentu saja kecuali Bara dan Raga yang tidak memahami situasinya. “Ayo. Papa ikut menemui Dimas,” uca
Lila memandangi suaminya yang terpejam tapi tidak tidur. Matanya terus mengagumi ketampanan suami yang tidak pernah dia pikirkan akan menjadi miliknya. Memiliki suami yang sangat rupawan saja tidak ada di benaknya, apalagi ini banyak tambahan di dalamnya. Pintar, penyayang, dan kaya raya. Lila bagai mendapat durian runtuh. “Kamu mau sampai kapan ngeliatin aku gitu?” tanya Banyu yang ternyata telinganya memerah karena tingkah Lila. “Ternyata suamiku ganteng banget,” puji Lila tulus. “Aku memang ganteng, kok. Aku sadar.” “Mas, geli banget! Kamu sejak kapan narsis gitu?” ucap Lila yang kini mengalihkan pandangannya dan memilih menutup mata. Ia menyamankan posisi tidurnya. Banyu tertawa geli melihat tingkah istrinya yang kes
Lila terbangun setelah beberapa jam yang lalu sibuk dengan kenangannya. Ia menyingkirkan tangan suaminya sebelum beranjak untuk minum di dapur bawah. Sepanjang perjalanan menuju dapur, rumah mewah nan luas itu tampak sepi. Ia sepertinya bangun terlalu pagi. Saat matanya menemukan sebuah jam di sudut ruangan, ia melihat waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Ternyata tebakannya benar, ini masih terlalu pagi. Merasa matanya sudah segar dan tak akan bisa tertidur lagi, Lila pun beranjak ke halaman belakang rumah yang ditumbuhi banyak bunga, juga kolam renang. Setelah termenung cukup lama, suara langkah kaki membuat Lila menoleh ke belakang. Ia menemukan Diani dengan setelan olahraga mendekat ke arahnya. "Kamu bangun pagi
Lila menatap alat tes kehamilan ditangannya. Akibat dari celetukan mertuanya tadi, Lila jadi banyak berpikir. Sebenarnya dilihat dari gejalanya, memang sama ketika ia mengandung Raga. Tapi perasaan mual dan sensitif terhadap cahaya itu terjadi saat usia kandungannya memasukin minggu ke enam. Saat ini bahkan Lila belum telat menstruasi. Tanggal merah itu masih akan datang tiga hari lagi jika sesuai jadwal. Haruskah ia melakukan tes kehamilannya saat ini? Tapi, lagi-lagi Lila ragu. Saat mendapatkan Raga, ia bahkan harus menunggu lebih dari dua tahun untuk mendapatkan putranya. Lagi pula Raga masih kecil dan juga ada Bara. Pernikahan mereka bahkan belum genap satu bulan. Bagaimana ia bisa hamil secepat itu? "La? Gimana? Udah enakan? Mau ke dokter?" tanya Banyu yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam kamar dengan
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag