"Sialan! Masa yang boleh masuk cuma 1 orang sih," gerutu Morgan di depan gedung rektorat. "Mau gimana lagi Gan, udah kita tunggu info dari Dion aja," ujar Jon sambil memegang pundak Morgan. Saat mereka sedang kesal, pemandangan yang mereka lihat kali ini justru menambahkan kekesalan pada diri mereka. "Prof Robert kayak mau nyamperin kita deh, Gan," ucap Jon mengamati langkah pria setengah abad itu yang seperti mengarah ke mereka berdua. "Ah, pasti mau ngomel nih," sahut Morgan. "Gimana, kabur aja. Pura-pura nggak tau," usul Jon. "Nggak nggak, udah kita ladenin aja," sahut Morgan.Bayangan Prof Robert semakin dekat. Begitu juga dengan angan-angan Morgan ketika melihat pria itu yang selalu teringat omongan pedasnya. "Kalian ngapain disini," tanya Prof Robert. "Nunggu Dion pak," sahut Morgan. "Ada masalah apa sampai kalian lapor ke rektorat," tanya Prof Robert. Jon hanya diam. Tapi dalam hati ia membatin "ni orang ketinggalan berita atau gimana sih," ucap Jon dalam hati. "Panj
Selesai membaca, Morgan hanya menarik napas pendek, tanpa tanda-tanda senang atau kesal. Wajahnya tetap datar seperti biasanya. Ia menatap tulisan itu sebentar, cukup untuk memastikan siapa pengirimnya. Tidak ada kejutan, tidak ada perasaan berlebih. Dia sudah tahu.Kertas itu ia lipat kembali dengan asal dan ia genggam bersamaan dengan kotak sandwich di tangannya. Matanya kemudian kembali menatap ke arah parkiran, mengawasi sekitar sejenak, seperti memastikan tidak ada yang memperhatikan. Meski pikirannya sempat terlintas pada pengirimnya, ia tidak terlalu memedulikan maksud di balik pesan itu. Tanpa terburu-buru, Morgan hanya berdiri di sana sebentar, kotak sandwich masih dalam genggamannya. Tanpa berasumsi atau mencari nama yang mengirim sandwich itu, Morgan sudah tau siapa pengirimnya. "Nggak bapaknya nggak anaknya kenapa hari ini pada aneh ya. Si bapaknya ngasih janji mau bantuin, si anaknya tiba-tiba ngirim sandwich," ucap Morgan Sambil menggantungkan kresek itu pada spion. *
Morgan sedikit terkejut mendengar suara yang begitu mendesak itu. Meskipun ia mencoba tenang, ada kerisauan yang samar muncul di wajahnya. Suara di ujung telepon itu terdengar mengejutkan, bahkan seolah-olah memberikan ultimatum, membuat perutnya mual sejenak. Namun, ia berusaha mengendalikan dirinya.Dengan santai, ia menggigit sandwich lagi, menikmati rasa gurih yang masih tersisa di mulutnya. "Kakek ngagetin aja," gumamnya pelan, lebih untuk menenangkan diri sendiri. Dalam kepalanya, perhitungan mulai berputar—mengingat betapa rumitnya situasi ini, dengan uang yang belum bisa ia kembalikan.Namun, meskipun telepon itu terkesan mendesak, Morgan tidak menunjukkan kegelisahan yang signifikan. Ia hanya terus menikmati sandwichnya dengan tenang, meski hatinya sedikit berdebar. "Iya-iya, pasti dikembalikan kok. Sabar kek sabar," ia menjawab lagi, kali ini dengan suara lebih santai. Seolah berbicara dengan seseorang yang hanya mengingatkan, bukan seseorang yang mengancam.Ia menarik napas
Morgan hanya mengangkat bahu, tanpa berkata apa-apa lagi, seolah memberikan isyarat bahwa dia tak ingin berlama-lama membahas hal itu."Aduh duh, ini pasti karena abis ditolongin kemarin. Lagian juga nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba banget kamu mau nganterin Regina pulang. Biasanya juga kamu tinggalin," Jon mulai menyenggol Morgan. Mengingat kemarin siang demi menghindari pertanyaan mengenai uang 3M itu, Morgan sampai rela kabur atas dalih hendak mengantarkan wanita itu. "Sial mulu deh kalau sana cewek itu. Endingnya aku dipukulin. Belum lagi ni dua orang semangat bener jodohin aku sama cewek itu," batin Morgan. "Btw ini homemade loh,"Dion membaca kotak itu. "Hah serius?" Sahut Jon."Kalau seingatku Regina pernah nge-post iklan sandwich. Kayaknya dia promosi bisnisnya sendiri," jelas Dion. Jon memetikkan jari. Itulah yang dia lakukan ketika mendapat ide. "Gan, kenapa kamu nggak ngelamar jadi delivery bisnisnya Regina. Mayan lo, sama-sama untung," usul Jon. "Ogaaaahh," s
"Datangi alamat ini, dan bawa Morgan pulang bagaimanapun caranya!""SIAP!"Arthur Collim tidak mau mendengar alasan. Dia menatap tajam ke arah anak buahnya yang berdiri berbaris di hadapannya. Semua sudah siap dengan perintahnya. Tidak ada celah untuk gagal kali ini."Lawan dia kalau perlu. Masa sama anak kemarin sore aja kalah terus?"Para bodyguardnya mengangguk patuh. Morgan selama ini selalu berhasil lolos dari kejaran mereka, tapi kali ini tidak boleh terjadi lagi. Mereka sudah menyiapkan berbagai cara untuk membawanya pulang—bahkan jika harus menggunakan cara yang lebih kasar.Begitu para anak buahnya pergi, Arthur menghela napas panjang. Ia melangkah ke balkon, berdiri di sana dengan tangan di belakang punggung, menatap ke arah langit malam yang pekat. Udara dingin menerpa wajahnya, tetapi pikirannya terus berkecamuk.Gin.Arthur tahu musuhnya itu sangat licik. Selama ini Gin selalu bermain di belakang layar, memanipulasi keadaan, dan sekarang dia berusaha menjebak Morgan. Tida
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Kota telah lama tenggelam dalam keheningan. Hanya lampu jalan yang masih menyala redup, menemani deretan bangunan yang sunyi. Sesekali suara kendaraan terdengar di kejauhan, namun lebih sering yang terdengar hanyalah desir angin malam yang mengalir di antara gedung-gedung.Jonathan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah berjam-jam duduk di bangku beton dekat taman. "Aku pulang dulu," ucapnya sambil menguap lebar. "Sudah nggak tahan, kepalaku rasanya berat banget."Dion mengangguk. Ia juga sudah mulai mengantuk. "Aku juga. Besok ada kelas pagi."Mereka berdua menoleh ke arah Morgan yang masih duduk dengan santai, kakinya berselonjor di atas bangku."Kamu nggak pulang?" tanya Jonathan heran.Morgan mengangkat bahu. "Belum ngantuk."Dion melirik jam di ponselnya, lalu kembali menatap Morgan. "Jangan sampai kemalaman. Sudah jam segini, takutnya ada apa-apa di jalan."Morgan hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. Setelah kedua temannya pergi, ia b
Pagi harinya, Morgan terbangun dengan kepala berat. Tubuhnya terasa pegal, tapi kasur tipis yang dia tiduri lebih nyaman daripada aspal. Ia mengerjapkan mata, mencoba memahami dimana dia sekarang.Di sampingnya, seorang pria berseragam duduk dengan santai, mengamatinya."Mas Morgan," sapa satpam itu dengan senyum kecil.Morgan langsung terduduk kaget. "Kok saya bisa di sini, Pak?"Satpam itu terkekeh. "Semalam saya lihat Mas kayak orang mabuk di depan gerbang. Terus saya bopong ke sini deh. Saya kira Mas mabuk beneran, ternyata enggak."Morgan memejamkan mata sejenak. Bayangan kejadian semalam perlahan kembali ke benaknya. Dia ingat mengendarai motor ke kampus dalam kondisi setengah sadar karena mengantuk berat. Dia juga ingat bagaimana aspal dingin menyambut tubuhnya saat dia akhirnya menyerah dan tertidur di depan gerbang.Morgan menghela napas panjang. "Pak, saya jadi—""Nggak cuma itu, Mas," potong satpam itu dengan nada lebih serius. "Selang beberapa lama, ada motor dan orang mon
Morgan bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dalam sekejap, matanya menangkap sosok di dalam mobil itu. Ia yakin itu adalah Prof. Gin, meskipun sosok itu hanya terlihat sekilas. Dan yang lebih mencengangkan, sebelum mobil itu melaju lebih jauh, Morgan sempat melihat Prof. Gin melirik ke arahnya. Lirikannya itu singkat, hampir tidak terlihat, namun cukup jelas bagi Morgan.“Prof. Gin?” gumam Morgan, masih terkejut.Tanpa berpikir panjang, Morgan langsung berbalik arah dan menyalakan motor dengan cepat. Ia tak peduli lagi tentang arah yang seharusnya ia ambil. Yang ada dalam pikirannya hanya satu: mengejar mobil itu. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tidak bisa membiarkannya begitu saja.Ia melaju cepat, menghindari kendaraan lain, dan berusaha mengejar mobil Prof. Gin yang semakin menjauh. Jalanan agak sepi, memberi sedikit keuntungan bagi Morgan untuk menambah kecepatan. Namun, mobil itu terlalu cepat, dan jaraknya semakin jauh.“Jangan sampai hilang!” pikir Morgan denga
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke