Siang itu, suasana di depan kantor sementara Morgan dan tim berubah kacau. Langit yang sedikit mendung tidak mampu meredakan panasnya emosi ratusan orang yang berkerumun di depan pagar perumahan itu. Suara teriakan dan desakan semakin menggema, menyedot perhatian penghuni sekitar."Kembalikan uang kami!" seseorang berteriak lantang, suaranya memecah keramaian, diikuti teriakan lain yang tak kalah emosional."Woi, keluar kalian!" teriak seorang pria berbaju batik yang terlihat memimpin aksi. Beberapa orang lainnya menggedor-gedor pagar dengan tangan kosong, bahkan ada yang memukulnya dengan benda keras seperti tongkat atau kayu.Di tengah kerumunan itu, beberapa ibu-ibu terlihat mengomel keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah kantor. "Mahasiswa kok nipu! Anak muda macam apa itu? Kita bayar mahal buat apa?" Salah satu dari mereka menggandeng anak kecil yang memegang kertas bertuliskan, "Uang Kami Dimana?"Teriakan demi teriakan semakin memanas, beberapa orang mulai melontarkan makian kasa
Morgan melangkah maju sedikit, tetapi kerumunan justru semakin menggila. Seseorang mencoba mendorong maju, sementara yang lain berteriak semakin nyaring."Mana uang kami?Kembalikan!""Penipu! Jangan cuma diam di situ!""BAPAK-BAPAK IBU-IBU SAYA MOHON TENANG!" bentak Morgan. Kodam suaranya sampai keluar dan berhasil menghentikan riuh para masa. "SAYA MEMANG GAGAL DALAM PROJEK INI. TAPI SAYA TEKANKAN. DP KALIAN MASIH AMAN," ucap Morgan menunjukkan tas hitam besar itu lalu membukanya. Dia menunjukkan sejumlah uang yang berada di dalam tas tersebut. Dion dan Jon saling menatap. Apalagi yang mereka pikirkan selain darimana Morgan mendapat uang sebanyak itu. "BAGI YANG INGIN MEMBATALKAN KERJASAMA DENGAN KITA SILAHKAN AMBIL KEMBALI UANGNYA," *Regina sedang duduk di bangku taman kota, menikmati suasana siang yang sejuk. Ponselnya berada di tangan, jarinya menggulir layar, membuka aplikasi Instagram untuk menghabiskan waktu.Namun, pandangannya tiba-tiba terpaku pada sebuah unggahan vide
Regina yang duduk di belakang Morgan terus tersenyum, meskipun ia berusaha menutupi rasa malunya. Matanya tak bisa berhenti memandang Morgan, merasa sesuatu yang tidak biasa muncul di benaknya."Demi apapun, Morgan... sweet banget sih," pikirnya dalam hati, merasa kagum sekaligus terkejut dengan sikap Morgan yang terkesan tenang dan sangat misterius.Sementara itu, Morgan yang melaju dengan fokus tiba-tiba melirik sekilas melalui spion kanan. Melihat Regina yang tersenyum seperti orang yang sedang salah tingkah membuatnya mengernyitkan dahi. "Ni cewek stress atau gimana sih?" batinnya. Ia tidak bisa membendung rasa heran yang tiba-tiba muncul. Namun, ia memilih untuk tidak terlalu memperhatikannya, lebih memilih untuk tetap fokus pada jalanan yang semakin sepi.Perjalanan di atas motor terasa lebih panjang dari biasanya, tapi juga anehnya menyenangkan. Ia menyadari betul ada sesuatu yang menggelitik di dalam dadanya setiap kali berada di dekat pria itu. Kagum, mungkin. Tapi lebih dar
Morgan merasakan cengkeraman Regina yang semakin erat di bahunya, namun itu tidak cukup. Dengan satu tangan tetap memegang setang motor, ia menarik tangan Regina agar melingkar di pinggangnya."Pegang erat. Jangan sampai lepas," katanya dengan keras, suaranya terdengar melalui desingan angin yang terus menyerang.Regina menurut tanpa banyak bertanya, meski tubuhnya mulai gemetar. Motor mereka melaju semakin cepat, tetapi suara knalpot dari belakang terus menghantui. Suara bising itu seperti gema dari ancaman yang semakin mendekat, menyesakkan dada Regina.Tiba-tiba, dari sudut matanya, Morgan melihat satu motor geng itu mengambil jalur lain, memotong jalan dengan kecepatan tinggi. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi tak ada banyak waktu untuk bereaksi.Benar saja, dalam hitungan detik, salah satu motor geng itu berhasil memotong jalurnya dan berhenti mendadak tepat di depan. Morgan refleks menarik rem keras-keras, suara decitan ban menggesek aspal terdengar memekakkan. Motor yang m
Wajah Morgan penuh luka memar. Ada lebam ungu kebiruan di sekitar pipi kirinya, sementara sudut bibirnya mengering, meninggalkan bekas darah yang pecah saat ia berusaha berbicara.Regina segera menghampiri mereka. "Jadi yah, Morgan tadi nganterin aku. Untung aja ada Morgan. Coba aja kalau aku pulang sendiri. Pasti aku nggak mungkin bisa nelpon ayah," ujar Regina. Prof Robert terdiam. "Pasti ada yang mengincar Regina. Setiap kali aku membahas administrasi kampus, anakku selalu jadi sasarannya," batin Prof Robert. Disatu sisi Morgan juga merenung. "Ini pasti ulah musuh kakek. Nggak ada abisnya musuh kakek nyerang aku. Sekarang malah nyerang temen-temenku. Ini nggak bisa dibiarin. Aku harus bertindak," ucap Morgan. "Kalau begitu saya Permisi pak, Regina," ucap Morgan. "Heh tunggu," pinta Prof Robert. Morgan mengurungkan niatnya untuk pergi. Tak disangka Prof Robert memegang pundak Morgan dan berkata "Makasih ya,"ucapnya dengan lirih. Morgan menganggukkan kepala. *Malam itu, Morg
"Aduh cemong-cemong gini nggak papa deh asal camer tau," Pagi-pagi Jon tak hentinya mengejek Morgan sembari mencubit pipi Morgan."Apasih Jon," Morgan menghindar. "Heh Jon, blush on alami ini jadi prasasti tau nggak," sahut Dion. "Hahaaa bener juga. Prasasti pengorbanan untuk raden ayu Regina dan untuk kanjeng Robert," imbuh JonJon dan Dion sampai tertawa terbahak-bahak. Alih-alih ikut tertawa Morgan justru semakin kesal. Ia menyesal menceritakan apa yang terjadi kemarin siang pada dua temannya. "Puas.. Puas kalian?" "Banget Gan,bangetttt," Jon sampai menepuk pundak Morgan Sambil tertawa. Tak terasa langkah mereka telah tiba di kompleks perumahan. Saat mereka membuka pintu, suasana di dalam kantor yang dulu tampak rapi dan teratur kini berubah drastis. Pemandangan pertama yang mereka temui adalah jendela yang hancur, pecahan kaca berserakan di lantai. Di sekitar pecahan kaca, beberapa kertas penting yang seharusnya disimpan dengan aman tergeletak acak, sebagian tergulung dan
"Sialan! Masa yang boleh masuk cuma 1 orang sih," gerutu Morgan di depan gedung rektorat. "Mau gimana lagi Gan, udah kita tunggu info dari Dion aja," ujar Jon sambil memegang pundak Morgan. Saat mereka sedang kesal, pemandangan yang mereka lihat kali ini justru menambahkan kekesalan pada diri mereka. "Prof Robert kayak mau nyamperin kita deh, Gan," ucap Jon mengamati langkah pria setengah abad itu yang seperti mengarah ke mereka berdua. "Ah, pasti mau ngomel nih," sahut Morgan. "Gimana, kabur aja. Pura-pura nggak tau," usul Jon. "Nggak nggak, udah kita ladenin aja," sahut Morgan.Bayangan Prof Robert semakin dekat. Begitu juga dengan angan-angan Morgan ketika melihat pria itu yang selalu teringat omongan pedasnya. "Kalian ngapain disini," tanya Prof Robert. "Nunggu Dion pak," sahut Morgan. "Ada masalah apa sampai kalian lapor ke rektorat," tanya Prof Robert. Jon hanya diam. Tapi dalam hati ia membatin "ni orang ketinggalan berita atau gimana sih," ucap Jon dalam hati. "Panj
Selesai membaca, Morgan hanya menarik napas pendek, tanpa tanda-tanda senang atau kesal. Wajahnya tetap datar seperti biasanya. Ia menatap tulisan itu sebentar, cukup untuk memastikan siapa pengirimnya. Tidak ada kejutan, tidak ada perasaan berlebih. Dia sudah tahu.Kertas itu ia lipat kembali dengan asal dan ia genggam bersamaan dengan kotak sandwich di tangannya. Matanya kemudian kembali menatap ke arah parkiran, mengawasi sekitar sejenak, seperti memastikan tidak ada yang memperhatikan. Meski pikirannya sempat terlintas pada pengirimnya, ia tidak terlalu memedulikan maksud di balik pesan itu. Tanpa terburu-buru, Morgan hanya berdiri di sana sebentar, kotak sandwich masih dalam genggamannya. Tanpa berasumsi atau mencari nama yang mengirim sandwich itu, Morgan sudah tau siapa pengirimnya. "Nggak bapaknya nggak anaknya kenapa hari ini pada aneh ya. Si bapaknya ngasih janji mau bantuin, si anaknya tiba-tiba ngirim sandwich," ucap Morgan Sambil menggantungkan kresek itu pada spion. *
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke