"Ma-Mama tak bisa tuduh Papa sembarangan. Mama ada bukti apa?" Om Warisman kelabakan super kaget.
"Kalau tidak benar, kenapa Papa gugup dan ragu seperti itu? Hah?" Tante Yoesita kini menyerang suaminya dengan beberapa kalimat pertanyaan. Bagus, Tante.
Aku dan Feri menyaksikan persitegangan mereka. Bukan tak sopan, tapi kami butuh segala bukti-bukti dan sebagainya.
"Mah, tapi ini ada apa? Kok ada mereka? Malu, Mah, jangan bertengkar di depan mereka. Dan kenapa mereka kesini?" Masih tanda tanya dengan adanya kami diantara mereka. Keringat dingin pria berusia sekitar empat puluh tiga tahunan itu bermunculan.
"Inget ya, Pah. Sekali Papa tak jujur. Kali itu juga Papa, Mama tendang dari rumah ini. Biar Papa sekalian jadi gelandangan." Tante Yoesita mengancam. Ia nampak mengumpulkan seluruh energi untuk menghantam Om Warisman.
Om Warisman menggaruk bagian pelipis menyeimbangkan suhu tubuhnya yang
"Fer, ini bukan jalan ke rumah, ya! Kamu mau bawa aku kemana?" bentakku panik. Pertanyaan mulai muncul ketika pria yang dibilang Simbok cekep itu membawaku ke arah jalan yang berbeda dengan tujuan ke rumah. Harusnya ambil jalan lurus malah belok ke arah kiri."Bawel."What? Bawel?Dia malah pasang wajah santai sambil terus fokus menyetir. Tak ada raut kesalahan atau memperhatikan pertanyaanku. Dia terus tancap gas saja tanpa bicara apapun mengenai jalanan yang kini ia jajal."Kok bawel? Kamu mau bawa aku kemana? Pokoknya aku mau pulang!" gertakku."Rel? Kamu mau pulang atau mau bertemu dengan Andri juga Maya dulu? Hah?" jawabnya bertanya. Apa?"Hah? Maksud kamu?" Lumayan penasaran."Kamu mau ketemu dulu sama mereka atau tidak? Atau mereka langsung kujebloskan saja ke kantor polisi?" tawarnya. Oh, jadi dia akan bawa aku ke mereka berdua."E
Sejak ucapan Feri tadi yang membuatku malu, mulut ini tak berhasil angkat bicara. Rasanya mau jawab apa? Diam saja lebih baik."Kalau diam gini, tandanya kamu malu, kan? Hayoh, santai aja lagi. Kan tadi kamu cuma akting. Ya, kan?" Akhirnya dia mengerti. Tak harus kujelaskan panjang lebar pula."Nah, itu tahu. Jangan GR deh. Akting aku 'kan harus full. Biar gak di curiga." Mendadak suhu tubuh ini membaik. Mulai mengatur nafas dan tenang. Sekejap kulihat Feri yang fokus menyetir ke arah kantor polisi. Namun segera kukibas pandangan ini."Beneran juga gak apa-apa. Aku singgel, kok," ujarnya lagi amat santai. Apaan pria ini? Sok kecakepan."Ish. Ogah! Mau singgel mau dobbel kek, gak niat. Deket kayak gini juga terpaksa," ketusku terus memperhatikan jalan raya.Ia malah terkekeh. "Oh ya? Kok kaya main bulu tangkis? Singgel sama dobbel di sebut-sebut. Kalau kamu suka sama aku juga gak apa-apa. A
Aku lega karena Mas Andri, Maya dan Om Warisman sudah menghuni jeruji besi. Sidang putusan mereka pun akan dilaksanakan setelah sidang perceraianku dengan Mas Andri dilaksanakan.Masalah mereka selesai. Tak mungkin lagi ada yang bisa bebaskan mereka. Atau dengan sanksi ikut terseret masuk dengan ketiganya."Non, ini susu hangatnya. Segera masuk, Non. Dingin. Entar masuk angin." Mbok Mun tiba-tiba datang mengagetkan. Kenapa pula harus kaget? Bukankah setiap malam itu kebiasaan Simbok?Sejenak menghela nafas panjang. "Makasih ya, Mbok." Kuraih gelas tinggi berisikan susu putih paforit. Namun pandangan ini masih kabur kemana-mana. Masih belum nyaman."Kok ngelamun, Non?" tanya Simbok. Dia ikut duduk di kursi sebelah."Bukannya den Andri sudah di tangkap sama si Maya juga?" ujar Simbok. "Non kepikiran?" imbuhnya lagi.Kugelengkan kepala. "Bukan soal itu, Mbok. Tapi ada hal lai
"Aurel? Ngapain kamu kesini?" Dengan raut wajah tak enak Arjuna menghampiriku yang sedari tadi menunggunya. Sembari kedua telapak tangannya angkuh merogoh bagian saku celana putih yang ia kenakan."A-aku mau bicara." Gugup dan beberapa kali meneguk liur. Dia makin mendekat. Tatapannya bagaikan anjing yang melihat kucing. Sinis. Siap menghantam. Aku yang sudah berdiri pun lumayan ketakutan."Gak ada waktu." Ia jawab ketus. Bilang tidak ada waktu tapi menghampiri."Kalau gak ada waktu, untuk apa kamu tanyakan perihal orang yang ingin ketemu kamu tadi sama staff kamu. Itu artinya kamu ada waktu dan akan mempersilahkan tamu kamu bertemu, kan?" cerocosku. Kami saling bertaut pandangan yang tak enak. Sesekali matanya mendelik. Kalau bukan karena ingin pinta maafnya, aku malas datang menemuinya. Pasti Om Almarhum pun disana kesal melihat kami yang masih bermusuhan karena kepergian dirinya. Bagaimanapun juga hati ini belum tenang.
Like + Komentar = Lanjut***Baru sampai di depan rumah benda pipih milikku sudah berdering saja. Segera kurogoh benda itu dari tas kecil yang belum juga terselendang di bahu.Nomor yang masuk tak kukenal, namun aku segera mengangkatnya siapa tahu ada hal penting. Dan itu mungkin dari kantor."Ya? Hallo? Assalamualaikum?"Sejak beberapa kali mendengar kesantunan mereka yang mengucap salam sebelum bicara, aku jadi terbiasa. Sempat malu kepikiran betapa buruknya hidup ini."Waalaikum salam. Aurel? Ini Tante Sandra."Deg!Baru saja kaki melangkah ke tangga untuk menginjak lantai rumah, aku sudah kaget. Seketika teringat dengan omongan Feri tadi. Kalua ibunya akan meneleponku.Dan benar saja!Kugigit ujung bibir bawah. "Em? Ya, Ta-nte?" jawabku gugup. Jauh di lubuk hati ini sa
PoV AndriNamaku Andri Rudianto. Pria yang sejak awal mengincar wanita yang bernama Aurel. Dia adalah anak dari atasanku di kantor. Sempat ingin mendekatinya namun malu dan ragu. Tapi, tak lama setelah niatku muncul, ibunya, bosku meninggal dunia. Dan aku lumayan menaruh iba padanya. Yang ternyata dia hanyalah seorang anak tunggal yang jauh dari sanak saudara ibu atau ayahnya pula.Perjumpaan kami sejak awal hanya sebatas bos dan karyawan. Namun, sejak Bu Bos meninggal, aku mulai memberanikan diri untuk mendekatinya. Dia cantik, sedikit cuek dan mungkin lumayan manja. Di sela kesedihan atas kepergian ibunya aku hadir. Dan dia menerima baik kehadiranku. Mulai berteman. Bertukar nomor handphone dan kami lumayan dekat.Aku tahu banyak pria yang menyukainya. Namun, karena sikap dirinya yang cuek dan seperti angkuh, menjadikan pria lain enggan dan sungkan mendekatinya. Tapi, setelah dekat, Aurel ternyata rendah hati, tak an
PoV Aurel ***Beberapa hari kemudian."Gimana? Sudah siap?" Feri menjemputku dan dia sudah siap saja di depan rumah. Padahal aku tak memintanya untuk menjemput. Mobilku pun sudah siap sejak tadi."Kok di jemput segala? Aku bisa bawa mobil sendiri.""Gak apa-apa. Tanda terima kasih karena kamu juga sudah bantuin aku. Yuk masuk!" Pintanya sembari membukakan pintu. Kepala ini mengangguk saja lalu masuk ke dalam mobil Feri yang berbeda dari sebelumnya. Bicaranya juga tak sejutek awal. Hem, curiga.Feri sudah duduk dan siap menancap gas menuju pengadilan negeri. Aku masih melamun. Bagaimana kalau mereka tak dapat hukuman yang setimpal?"Rel?" Tiba-tiba Feri mengagetkan. "Hem?" kagetku. Dia merayapkan tangannya ke belakangku. Wajahnya juga dekat sekali seperti seorang pasangan yang akan ber ...Aku kaget. "Feri ka-?"Dan t
Like dan Komentar = lanjut***"Rel? Kok murung? Kamu nyesel?" tanya Feri yang fokus menyetir. Dia pasti melihat raut wajahku yang sendu dan sejak tadi diam."Aku masih gak nyangka hidup aku akan seperti ini, Fer. Punya suami baru seumur jagung, udah bercerai. Suamiku juga malah berbuat kriminal. Ya Tuhan ....""Sabar. Allah itu sudah jodohkan setiap makhluknya. Yang baik dengan yang baik, begitupun sebaliknya, yang buruk." Feri menanggapi."Maksud kamu aku buruk? Gak baik?" tanggapku. Dia malah menggelengkan kepala sambil terkekeh. "Bukan, tuh kan suudzon. Bersyukur Allah perlihatkan keburukan Andri sejak awal. Sebelum kalian dapat momongan. Itu artinya, Allah sudah siapkan lagi jodoh buat kamu." Ia memaparkan."Ah sudahlah. Jangan bahas lagi. Oh ya, aku kok bingung sama tingkah kamu sama Arjuna. Kalian sahabat, tapi kayak apa ya? Kayak d
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.