"Kamu sedang apa?" Laura menautkan alis ketika melihat isi pesan yang dikirim oleh Satria ke nomornya. Ia coba membalas pesan tersebut namun kemudian menghapusnya.Di tempat berbeda Satria menunggu balasan dari Laura yang terlihat sedang mengetik namun tak juga ada pesan yang masuk ke hpnya tersebut. Lama ia menunggu, namun pesan yang diketik oleh Laura tak juga masuk ke benda pipih yang ia pegang tersebut. Karena tak sabar lagi menunggu, Satria akhirnya menelpon gadis tersebut.Tuuuut...Tuuuuttt...Tak ada jawaban dari Laura, gadis itu membiarkan saja benda pipih itu bergetar di samping bantalnya. Laura hanya menatap benda yang sedari tadi bergetar hebat tersebut, setelah ia berpikir entah mengapa ia merasa sangat jijik kepada dirinya sendiri. Kepercayaan dirinya lenyap seiring dengan bayangan kejadian malam itu dimana ia menyerahkan semua yang ada pada dirinya kepada Satria.Sementara itu Satria sendiri merasa sangat bersalah kepada Laura dan juga Gina. Ia telah menyentuh Laura dan
"Golongan darah saya sama seperti anak itu Dok!" ucap Alex serius."Sus," dokter tersebut memanggil suster yang berjalan tak jauh dari mereka."Tolong antarkan Mas ini, dia mau donor darah!" ucap dokter tersebut."Mari Pak!" suster tersebut membawa Alex kesebuah ruangan yang dimaksud, sementara itu Gina hanya bisa menatap punggung Alex yang semakin menjauh. Jantungnya berdegub kencang, jika golongan darah Tama dan Alex sama, akankah Alex menyadari bahwa Tama adalah darah dagingnya.Ina dan Maria datang dengan tergesa,"Bagaimana keadaan Tama Gin?" tanya mereka hampir bersamaan, Gina menggeleng tanda bahwa iapun tidak mengetahui bagaimana keadaan Tama saat ini.Maria berdiri dengan bersandar didinding, matanya terpejam, berharap cucu semata wayangnya tersebut tidak kenapa-napa.Tak lama berselang, Alex kembali dengan seorang suster yang membawa satu kantong darah dan masuk kedalam ruangan dimana Tama berada, transfusi dilakukan. Suster itu masuk kedal
"Pak Alex, kebetulan sekali!" ucap Satria ketika melihat kehadiran Alex. Satria mendekat dan melangkah menghampiri Alex, ia keluar dari ruangan itu karena ia sadar, tidak baik jika banyak orang dalam ruang perawatan pasien."Bagaimana Pak Alex bisa sampai sini?" tanya Satria ketika sudah berada diluar, ia yakin sekali bahwa Alex pasti juga baru mengetahui tentang kecelakaan yang menimpa Tama."Saya yang membawa Tama kerumah sakit ini!" jawab Alex datar. Satria terdiam, sekali lagi ia merasa hidupnya tak berguna karena selalu orang lain yang berada disisi Gina ketika gadis tersebut berada dititik kesulitan, kemana dirinya?"Ayo balik, kita ada rapat satu jam lagi!" ucap Alex dengan penuh penekanan, ia seolah tahu akan niat lelaki dihadapannya ini."Hah...?" belum selesai dengan satu keterkejutan, Satria yang berencana ingin libur dan menemani Gina hari ini terpaksa harus kembali kekantor."Sebenarnya saya, ingin ijin hari ini Pak!" ucap Satria menolak ajakan Alex.
"Kamu masih tidak bisa mengambil keputusan atas hubungan kamu dengan Mbak Gina kan!" Laura beranjak bangkit sembari tersenyum smirk kemudian berjalan meninggalkan Satria yang masih terpaku duduk ditempatnya. Tak ada niat dalam hatinya untuk mengejar Laura karena memang gadis itu sudah masuk kedalam mobil yang ada didepan tempat tersebut.Masuk kedalam mobil dalam perasaan yang kecewa, Laura kembali dihadapkan dengan telepon dari Angel."Ra, kamu tau keberadaan suamiku?" tanya Angel posesif."Dia tadi pergi sama Pak Ganjar, ada urusan!" jawab Laura seadanya."Hah... gak mungkin! kamu jangan bohong. Aku baru saja ketemu sama Pak Ganjar dia baru saja pulang ke kantor," mendengar pernyataan Angel, Laura terdiam."Ra, Lauraaaaa!" teriak Angel disebrang sana."Ehh...""Kamu kok malah diam aja sih?" protes Angel."Aku lagi mikir dia dimana, sekarang aku lagi dijalan nanti ku telpon lagi!" Laura mematikan sambungan telepon tersebut secara sepihak.Ia berp
Malam itu, hujan turun deras, menghantam genteng rumah seperti ketukan berirama yang memecah keheningan. Gina duduk di ruang tamu dengan segelas teh yang sudah dingin di meja kecil di depannya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat bayangan dirinya yang terpantul samar di kaca. Di sudut ruangan, Maria duduk tak jauh darinya."Gin, beberapa hari ini kok Mama merasa ada sesuatu yang aneh ya," ucap Maria "Sesuatu yang aneh bagaimana Ma?" tanya Gina penasaran."Seperti ada seseorang yang memperhatikan kegiatan Mama dan Tama,"Gina diam sesaat, ia berpikir apa sebaiknya mereka pindah saja, sementara itu Maria masih memperhatikan putrinya dengan cemas. Tama sudah tertidur di kamar dengan selimut hangat yang membungkus tubuh kecilnya."Ma, apa sebaiknya kita pindah saja?" akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibir Gina"Gin," suara Maria terdengar pelan, memecah keheningan. "Apa kamu yakin dengan keputusan ini?"Gina menghela napas panjang, mencob
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas
Malam itu, hujan turun deras, menghantam genteng rumah seperti ketukan berirama yang memecah keheningan. Gina duduk di ruang tamu dengan segelas teh yang sudah dingin di meja kecil di depannya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat bayangan dirinya yang terpantul samar di kaca. Di sudut ruangan, Maria duduk tak jauh darinya."Gin, beberapa hari ini kok Mama merasa ada sesuatu yang aneh ya," ucap Maria "Sesuatu yang aneh bagaimana Ma?" tanya Gina penasaran."Seperti ada seseorang yang memperhatikan kegiatan Mama dan Tama,"Gina diam sesaat, ia berpikir apa sebaiknya mereka pindah saja, sementara itu Maria masih memperhatikan putrinya dengan cemas. Tama sudah tertidur di kamar dengan selimut hangat yang membungkus tubuh kecilnya."Ma, apa sebaiknya kita pindah saja?" akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibir Gina"Gin," suara Maria terdengar pelan, memecah keheningan. "Apa kamu yakin dengan keputusan ini?"Gina menghela napas panjang, mencob
"Kamu masih tidak bisa mengambil keputusan atas hubungan kamu dengan Mbak Gina kan!" Laura beranjak bangkit sembari tersenyum smirk kemudian berjalan meninggalkan Satria yang masih terpaku duduk ditempatnya. Tak ada niat dalam hatinya untuk mengejar Laura karena memang gadis itu sudah masuk kedalam mobil yang ada didepan tempat tersebut.Masuk kedalam mobil dalam perasaan yang kecewa, Laura kembali dihadapkan dengan telepon dari Angel."Ra, kamu tau keberadaan suamiku?" tanya Angel posesif."Dia tadi pergi sama Pak Ganjar, ada urusan!" jawab Laura seadanya."Hah... gak mungkin! kamu jangan bohong. Aku baru saja ketemu sama Pak Ganjar dia baru saja pulang ke kantor," mendengar pernyataan Angel, Laura terdiam."Ra, Lauraaaaa!" teriak Angel disebrang sana."Ehh...""Kamu kok malah diam aja sih?" protes Angel."Aku lagi mikir dia dimana, sekarang aku lagi dijalan nanti ku telpon lagi!" Laura mematikan sambungan telepon tersebut secara sepihak.Ia berp
"Pak Alex, kebetulan sekali!" ucap Satria ketika melihat kehadiran Alex. Satria mendekat dan melangkah menghampiri Alex, ia keluar dari ruangan itu karena ia sadar, tidak baik jika banyak orang dalam ruang perawatan pasien."Bagaimana Pak Alex bisa sampai sini?" tanya Satria ketika sudah berada diluar, ia yakin sekali bahwa Alex pasti juga baru mengetahui tentang kecelakaan yang menimpa Tama."Saya yang membawa Tama kerumah sakit ini!" jawab Alex datar. Satria terdiam, sekali lagi ia merasa hidupnya tak berguna karena selalu orang lain yang berada disisi Gina ketika gadis tersebut berada dititik kesulitan, kemana dirinya?"Ayo balik, kita ada rapat satu jam lagi!" ucap Alex dengan penuh penekanan, ia seolah tahu akan niat lelaki dihadapannya ini."Hah...?" belum selesai dengan satu keterkejutan, Satria yang berencana ingin libur dan menemani Gina hari ini terpaksa harus kembali kekantor."Sebenarnya saya, ingin ijin hari ini Pak!" ucap Satria menolak ajakan Alex.
"Golongan darah saya sama seperti anak itu Dok!" ucap Alex serius."Sus," dokter tersebut memanggil suster yang berjalan tak jauh dari mereka."Tolong antarkan Mas ini, dia mau donor darah!" ucap dokter tersebut."Mari Pak!" suster tersebut membawa Alex kesebuah ruangan yang dimaksud, sementara itu Gina hanya bisa menatap punggung Alex yang semakin menjauh. Jantungnya berdegub kencang, jika golongan darah Tama dan Alex sama, akankah Alex menyadari bahwa Tama adalah darah dagingnya.Ina dan Maria datang dengan tergesa,"Bagaimana keadaan Tama Gin?" tanya mereka hampir bersamaan, Gina menggeleng tanda bahwa iapun tidak mengetahui bagaimana keadaan Tama saat ini.Maria berdiri dengan bersandar didinding, matanya terpejam, berharap cucu semata wayangnya tersebut tidak kenapa-napa.Tak lama berselang, Alex kembali dengan seorang suster yang membawa satu kantong darah dan masuk kedalam ruangan dimana Tama berada, transfusi dilakukan. Suster itu masuk kedal
"Kamu sedang apa?" Laura menautkan alis ketika melihat isi pesan yang dikirim oleh Satria ke nomornya. Ia coba membalas pesan tersebut namun kemudian menghapusnya.Di tempat berbeda Satria menunggu balasan dari Laura yang terlihat sedang mengetik namun tak juga ada pesan yang masuk ke hpnya tersebut. Lama ia menunggu, namun pesan yang diketik oleh Laura tak juga masuk ke benda pipih yang ia pegang tersebut. Karena tak sabar lagi menunggu, Satria akhirnya menelpon gadis tersebut.Tuuuut...Tuuuuttt...Tak ada jawaban dari Laura, gadis itu membiarkan saja benda pipih itu bergetar di samping bantalnya. Laura hanya menatap benda yang sedari tadi bergetar hebat tersebut, setelah ia berpikir entah mengapa ia merasa sangat jijik kepada dirinya sendiri. Kepercayaan dirinya lenyap seiring dengan bayangan kejadian malam itu dimana ia menyerahkan semua yang ada pada dirinya kepada Satria.Sementara itu Satria sendiri merasa sangat bersalah kepada Laura dan juga Gina. Ia telah menyentuh Laura dan