“Kami kebetulan pernah bertemu, Bu. Sempat ngobrol banyak juga. Jadi … lumayan kenal,” jawab Ningsih. Dia tahu apa yang dikhawatirkan oleh Wulan. Tidak mau ibu mertuanya salah paham dengan kedekatan mereka yang bisa berakibat fatal pada pernikahan Wulan. Apalagi perempuan yang sempat diharapkannya menjadi menantu itu baru saja melahirkan. Butuh istirahat dan pikiran yang tenang dalam mengurus bayinya nanti.“Ooh … saya kira pernah dekat sebelumnya,” sahut Maya dengan senyum tipis.Merasa tidak puas dengan jawaban yang didapat. Dia merasa ada yang disembunyikan oleh Wulan maupun Ningsih dan Purnomo. Namun, mengingat kondisi Wulan yang baru saja melahirkan, Maya mengubur keinginannya mencaritahu hubungan Ningsih dan Wulan juga Purnomo. Dia akan mencari tahunya sendiri nanti.“Ma, Mas Langit sudah dihubungi?” tanya Wulan lemah.“Sudah berkali-kali, Sayang. Tapi, nomornya nggak aktif.”“Kemarin Mas Langit sempat
“Aman! Aman!” teriak Langit dari bawah. Beruntung dia memakai peralatan panjat tebing yang memadai. Sehingga jika terjadi seperti tadi pun tubuh masih bisa menggantung tanpa langsung jatuh ke tanah. “Alhamdulillah. Hati-hati, Ndan!” teriak anggota yang lain dari atas. “Kalian juga hati-hati. Jalurnya licin sekali!” balas Langit dengan suara lantangnya khas para prajurit. “Siap, Kapten!” jawab anggotanya dengan serempak. Kaki Langit pun akhirnya berpijak di tanah setelah melakukan penurunan tebing sekitar lima belas menit. Kini tinggal anggotanya satu persatu turun. Dia menunggu di bawah sambil beristirahat. Setelah turun semua, mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan menaiki bukit lagi, barulah sampai di patok perbatasan. Setelahnya, dia mengecek, apakah patok bergeser atau tidak. Semua harus jelas, hingga nanti dilaporkan pada atasan mereka. Setelah satu patok selesai, mereka kembali melanjutkan dengan meng
“Ketemu tetangga, Mas. Mama keluar cari bantuan. Jadilah kita ke rumah sakit sama orang itu,” terang Wulan sedikit gugup. Membuat Maya menatapnya penuh tanda tanya. Sebenarnya apa hubungan Wulan dengan temannya Awan itu? Kalau memang hanya teman biasa, kenapa nggak boleh dikasih tahu sama Langit? [“Syukurlah kalau memang ada yang berbaik hati mengantar ke rumah sakit. Aku sempat kepikiran terus di sini soalnya. Khawatir, cemas. Mana nggak ada sinyal buat hubungi kalian.”]“Ya sudah. Kamu istirahatlah dulu. Pasti capek habis tugas. Nanti kalau ada waktu senggang bisa ngobrol lagi. Anaknya juga tidur ini,” ujar Maya menatap layar ponsel Wulan yang menampilkan wajah lelah anak lelakinya. [“Ya udah, Ma. Titip Wulan sama Ara, ya.”]“Pasti, Langit. Mama akan menjaganya untuk kamu,” balasnya dengan senyuman. Lalu mengembalikan ponselnya pada Wulan.[“Ya sudah, Sayang. Nanti Mas telepon lagi. Mau lapor dulu sama Danpos.”]“Iya, Mas. Hati-hati dan terus berkabar, ya. Aku tunggu kepulanganm
[Mas Pur diundang sama Mama buat datang ke acara aqiqah Ara nanti malam, Mas]Lelaki berkumis tipis itu kembali meletakkan ponselnya setelah membaca pesan dari Awan. Undangan itu tentunya membuatnya senang karena bisa lagi ketemu dengan Wulan. Apalagi ibunya yang memang ingin bertemu dengan Wulan dan anaknya. Tapi, Pur sudah memantapkan hati untuk tidak kembali menjalin interaksi dengan Wulan, demi kebaikan perempuan yang dia cintai. Juga demi memenuhi permintaan Wulan yang tidak ingin terusik dengan hadirnya Purnomo. Perasaannya gamang. Jika memikirkan perasaan sendiri, tentu saja dia akan senang hati hadir. Tapi … dia juga harus memikirkan perasaan Wulan. Dia tidak ingin Wulan tertekan setelah melahirkan. Itu bahaya untuknya. Khawatir nanti depresi atau terkena baby blues. Purnomo jelas tidak ingin itu terjadi pada wanita yang dicintainya. Dia ingin Wulan bahagia dan baik-baik saja. Hatinya sudah cukup tenang saat tahu Wulan akhirnya dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menya
"Terima saja, Wulan.” Maya meminta menantunya untuk menerima perhiasan yang dikiranya pemberian dari Ningsih untuk cucunya. Meski tentunya agak sedikit merasa heran, karena mereka tidak memiliki ikatan keluarga, tapi memberi hadiah dengan harga yang tentunya juga tidak murah. Karena memberi perhiasan untuk cucu tercintanya. “Iya, Wulan. Tolong terima pemberian ini.” Ningsih kembali menyodorkan kotak perhiasan itu pada Wulan. “Tapi, Bu. Ini terlalu-““Tidak ada tapi-tapi, tolong diterima, ya. Ini permintaan Ibu.” Ningsih yang gemas menarik tangan Wulan dan menyerahkan kotak perhiasan itu pada mantan kekasih anak laki-lakinya.Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas melihat ekspresi Wulan yang tak terjelaskan. Lalu menepuk bahunya hingga perempuan itu tersadar. “Kalau belum dipakai, simpan saja. Ibu rasa ini cocok untuk anakmu,” katanya dengan senyuman. “Oh, iya. Namanya siapa?” Ningsih melongok ke belakang, di mana Ara sedang menjalani pemotretan. Mumpung sedang anteng tidur. “Nam
"Iya, iya!” Khawatir dengan apa yang dikatakan oleh Purnomo dan melihat kondisi temannya yang sudah semakin parah membuat perempuan itu akhirnya menuruti apa yang diperintahkan oleh Purnomo. Dia melepas semua baju yang dipakai di tubuh Sisil. Kemudian mengusapkan minyak kayu putih sesuai perintah dari Purnomo yang berbalik badan dan mengeluarkan kompor dan gas portabel dari dalam ranselnya untuk membuat minuman hangat. Karena hujan juga sudah benar-benar berhenti. “Balurkan yang banyak di seluruh badannya!” titah Purnomo lagi tanpa menoleh. Dia sibuk membuatkan teh hangat untuk Sisil dan temannya itu. Sambil menunggu air mendidih juga Sisil dipakaikan pakaian yang kering, dia menghubungi temannya yang berjaga di pos pendakian melalui HT yang sebelumnya dipinjamkan oleh temannya itu. “Zul, ini Pur. Butuh evakuasi di pos tiga. Ada-““Mas Pur kenapa?” potongnya cepat. Temannya itu langsung panik saat mendengar Purnomo butuh evakuasi. HT itu memang dipinjamkan Zul karena Purnomo men
"Awan! Kamu dengar Mama ngomong? Diajak ngobrol kok malah ngelamun,” protesnya. Membuat Maya semakin menduga jika memang ada sesuatu di antara mereka. “I-iya, Ma. Anu … aku kenal sama Mas Pur di Gunung Sindoro. Seperti yang waktu itu aku bilang,” jelasnya sedikit gugup. “Kamu tahu asal-usulnya? Tinggal di mana? Masa lalunya?” “Ya ampun, Ma. Segitunya?” keluh Awan sambil mengusap wajahnya. “Harus jelas dong. Soalnya dia kayak dekat sama kita.”“Ya, gitu ….” “Gitu gimana? Kalau ngejelasin itu yang jelas, Awan!” “Ya gitu, Ma. Karena Mbak Wulan sama Mas Pur itu ternyata teman satu sekolahan dulu,” jelasnya. Meskipun tidak spesifik. Maya menganggukkan kepalanya. “Apa mereka pernah ada hubungan sebelumnya?” “Mana Awan tahu, Ma. Lagian ngapa sih?” “Soalnya, sikap keluarganya itu kok kayak dekat banget gitu. Kayak pernah ada sesuatu sebelumnya.” Maya menatap curiga. “Ya, mereka kan satu daerah. Bisa saja kan kalau mereka memang saling kenal tanpa ada hubungan satu sama lain. Lagian
Dua tahun berlalu begitu saja, Purnomo semakin sibuk dengan hidupnya. Dia jarang pulang. Hidupnya terus berkelana dari tempat satu ke tempat yang lain. Saat itu, dia bekerja di stasiun televisi hanya satu tahun saja. Setelahnya, dia kembali fokus pada tulisannya dan sudah berhasil mengeluarkan dua buku dalam waktu satu tahun. Ini sebuah pencapaian yang di luar dugaan bagi Purnomo. “Patah hati membawa berkah,” gumam Purnomo dengan senyum merekah. Namun, semua itu tak membuat hatinya serta merta sembuh. Bayangan-bayangan Wulan terkadang melintas begitu saja di benaknya. Saat itu pula, Purnomo dengan tegas menepisnya. Dia selalu menyibukkan diri dan terus memperbaiki dirinya. Masih di Kota Surabaya, Purnomo sering kali ikut kajian di sebuah masjid besar di sana. Bertemu teman-teman yang selalu mengingatkannya pada Allah tentu saja rezeki yang begitu besar baginya. Jika tidak ada kegiatan dan dibutuhkan, dia akan ikut melakukan pencarian atau melakukan kegiatan social sebagai relawan
Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."
"Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg
"Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata
Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa
"Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be
"Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah
"Saya akan bicarakan perihal ini dulu dengan kedua orang tua. Insyallah hari ini saya akan pulang ke Jombang dan segera membicarakannya untuk kejelasan." Laki-laki bercambang tipis itu mengembuskan napas panjang. Lalu melanjutkan. "Jujur, saya juga berat menerima pernikahan ini. Tapi ... saya sebagai lelaki juga tidak akan meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawab saya begitu saja. Saya ... akan mengupayakan untuk mempertahankan pernikahan ini dan meresmikannya untuk melindungi hak perempuan," terangnya dengan tenang dan tanpa keraguan sedikit pun. Seolah yakin jika perempuan yang kini sedang menatapnya dengan jengkel itu adalah jodoh yang sudah Allah tetapkan untuknya. Ara mungkin jauh dari kata anggun karena memang karakternya keras dan mandiri akibat tempaan saat pelatihan menjadi prajurit TNI. Namun, Hafifi yakin jika di balik sifat kerasnya itu akan selalu tersimpan sisi perempuan yang mungkin tidak akan ditunjukkan pada orang lain, kecuali keluarganya. "Kenap
Laki-laki bercambang tipis itu terdiam sejenak. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "saya akan berbicara hal ini dengan kedua orang tua saya dulu, Pak, Bu. Meski saya juga tidak menyangka akan menikah dengan cara seperti ini. Tapi saya memiliki prinsip untuk menikah hanya sekali seumur hidup. Saya pun yakin jika Allah memberikan jalan hidup saya seperti ini pasti ada kebaikan di dalamnya." Wulan menatap suaminya yang mengangguk. Sementara Ara tetap menatap penuh selidik. "Sekarang ceritakan siapa dirimu sebenarnya?" tanya Ara penasaran. "Kalau kamu memang bagian dari para gengster itu, maka aku akan mengantarmu ke jeruji besi karena sudah mengusik ketenangan warga sekitar!" tekannya menatap penuh intimidasi. "Ara, nggak boleh asal nuduh begitu tanpa bukti yang jelas," tegur sang mama. "Mana ada penjahat mau ngaku, Mama," balas Ara sambil memutar bola matanya. Namun, Hafifi sama sekali tak terusik. Senyum tipis terukir di wajah manisnya. "Sebelumnya, saya
["Hallo, Assalamu'alaikum, Mas. Tumben malam-malam telepon?"] Tubuh Ara lemas seketika mendengar suara Awan di seberang telepon. Dia mengusap wajahnya sambil menyandar pasrah. "Maaf, Wan ganggu. Ada hal penting ini. Ara ... Ara mau menikah." ["Apa? Menikah? Kapan? Kok dadakan? Tapi bukannya dia belum boleh menikah, ya karena kan masih belum dua tahun berdinas."] "Itu dia, Wan. Kena musibah," katanya pelan. Lalu mengembuskan napas kasar. ["Musibah? Gimana maksudnya, Mas?"] "Iya, Wan. Jadi ...." Purnomo menceritakan semua kejadiannya secara detail. Mulai dari versi orang-orang yang memergoki Ara dan Hafifi berduaan. Sampai versi Ara dan Hafifi. ["Astaghfirullah ...."] "Keputusan nggak bisa diganggu gugat, Wan. Mereka harus menikah sekarang juga," ujarnya tampak sedikit berat. Terlebih melihat bagaimana reaksi Ara. "Aku minta kamu jadi wali nikah Ara sekarang, Wan. Nikahkan Ara meski lewat sambungan telepon," pintanya. ["Ya Allah ... kok bisa begini? Ara nggak bisa menekan?