Dengan langkah meragu Salwa mengambil tempat duduk yang kosong di atas sofa di hadapan dua orang gadis dengan penampilan yang berbeda. Namun seketika tatapannya tertuju terlebih dahulu pada seorang gadis yang berada di atas kursi roda. Gadis berwajah Chindo itu terlihat sangat berbeda saat ini. Dulu ia berambut panjang dan suka dikuncir tinggi hingga menampakkan leher jenjangnya. Cara ia duduk dan berdiri pun dengan dagu terangkat menampilkan sifat arogan. Pun, ia mengenakan busana yang minim. Penampilannya saat ini kentara berbeda. Rambutnya dipotong pendek sebahu dengan poni samping yang menampilkan sisi feminimnya. Ia mengenakan kaos oversize berwarna putih dengan celana jeans berwarna biru langit. Air wajahnya terlihat teduh tak lagi angkuh. Lantas tatapan Salwa bergulir pada gadis yang berjilbab lebar mirip dirinya. Ia duduk di sofa sepertinya ia lebih dulu tiba di sana. Gadis itu terlihat modis dengan setelan syari berwarna burgundy. Namun meskipun demikian seperti halnya Vi
Salwa mendesah pelan dan merasa gelisah ditatap secara intens oleh pemuda tampan di hadapannya. Meskipun ia menunduk, ia merasa jika tatapan pemuda itu terpacak padanya. Neng Mas yang berada tak jauh dari gadis itu merasa gerah melihat penampakan dua sejoli itu. Rasanya ia ingin melarikan diri dari situasi canggung dari sana kemudian melambaikan tangannya ke arah kamera seraya berkata, ‘aku tak sanggup, Wir!’ “Kenapa gak dimakan? Gak enak ya?” tanya Salwa dengan tatapan yang tertuju pada piring berisi mie kwetiau yang masih utuh. Saat ini mereka tengah menikmati kwetiau yang dibuat Salwa. Sesaat kepergian Shafiyah dan Violeta, Salwa memilih mengulik masakan di dapur. Ia iseng memasak sebelum pergi ke Jakarta sembari menunggu jemputan calon suaminya. Rupanya Daniel datang lebih awal, sehingga mau tak mau gadis itu memasakan untuknya pula. “Mau sebentar lagi,” jawab Daniel Dash dengan ke dua tangan bertumpu pada meja. “Sebentar lagi? Ckck!” Salwa mendecak sebal. “One hour later!!”
“Bagaimana menurutmu, Mbak? Apakah cocok dengan kamarnya? Saya sudah melakukan renovasi besar-besaran, Mbak. Saya menggabungkan empat kamar menjadi satu kamar khusus untuk Mbak Salwa.” Seorang pemuda berbicara dengan logat Jawa kental, menjelaskan dengan detail ruangan yang akan ditempati oleh Salwa dan Neng Mas selama magang di perusahaan anak cabang PT JD Group di Jakarta. Salwa mengedarkan pandangannya sembari menyimak dengan seksama penjelasan karyawan itu dengan perasaan campur aduk. Bagaimana tidak, satu sisi gadis berjilbab lavender itu merasa senang bisa mendapatkan tempat tinggal mewah karena konsep dan desain interiornya dibuat mirip seperti hotel. Namun sisi lain, ia merasa apa yang Daniel lakukan berlebihan. Masalahnya saat ini Salwa juga sebagai bagian dari pegawai yang magang dan memiliki status yang sama dengan pegawai lain-yang tinggal di mess yang sama. “Woahhhh! Bagus sekali, Mas. Saya suka sekali! Pertahankan pekerjaan Anda, Mas!” Neng Mas mewakili Salwa berko
“Apakah kau yakin dengan keputusanmu?” tanya Evan harap-harap cemas. Pasalnya, kondisi Violeta yang lumpuh bisa menjadi bahan bully-an orang yang melihatnya. Apalagi Evan tak bisa selalu menemaninya. Saat ini Evan masih mengikuti program internship kedokteran di salah satu rumah sakit swasta kota Bogor. Sementara itu perawat yang biasa merawatnya hanya datang saat pagi dan sore hari.Violeta mau tak mau harus belajar mandiri untuk tetap hidup normal selama kakinya lumpuh. Ia harus melakukan segala sesuatu sendiri. “Aku yakin, Van! Kalau aku mengandalkan Suster terus aku jadi keenakan. Aku sembuhnya lama. Aku malas dan hanya berdiam diri mengandalkan bantuan,” sahut Violeta dengan penuh keyakinan.Meskipun Violeta berbicara cukup meyakinkan dan percaya diri, Evan tak lantas percaya. Ia tetap merasa khawatir jika terjadi sesuatu pada sepupunya itu. Evan sudah menganggap gadis itu seperti adik kandungnya sendiri.“Evan, please! Aku hanya menyelesaikan tahun terakhir kuliah, Van! Hanya s
Malam itu usai pengajian rutin keluarga di pondok, seluruh keluarga Kiai Umar satu per satu pergi berpamitan ke rumah masing-masing. Kecuali seorang wanita, cucu menantu yang lebih memilih terakhir pulang dari pondok karena ia ingin bicara dengan Kiai Umar, Ustaz Rahman dan Ustazah Aliya. Ia ingin meminta maaf atas kekisruhan yang disebabkan olehnya. Wanita berjilbab biru itu duduk dengan menunduk dalam, menepikan egonya untuk memohon ampunan dan kata maaf pada keluarga yang telah berbuat baik pada mereka. “Abah, Abi dan Ummi, saya mau meminta maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang telah saya perbuat pada kalian. Maafkan saya, karena saya telah dibutakan hawa nafsu dunia. Mencintai Kang Ilham melebihi cinta pada sang pemilik Cinta. Sehingga saya melakukan apapun demi mendapatkan apa yang saya inginkan-” Shafiya menghela nafas panjang, mengambil jeda beberapa detik. Terasa berat sekali ketika ia mengungkapkan keinginan dan rasa penyesalan terbesarnya pada mereka yang telah berbuat b
Beberapa hari yang lalu, “Apa maksudmu?” tanya Shafiyah dengan suara yang gemetar. Ia begitu ketakutan menghadap Ilham. Ilham sosok pria yang dingin dan jarang sekali tersenyum. Shafiyah pernah melihat beberapa kali senyum Ilham tanpa sengaja saat pria itu mengobrol dengan Zahra dan Salwa. “Kau tuli? Kau takkan pergi kemana-mana! Kau akan pulang!” Ilham menarik koper milik istrinya dan membawanya masuk ke dalam bagasi mobilnya. Shafiyah menahan pergelangan tangan Ilham lalu berkata, “maaf, aku tak bisa ikut bersamamu lagi, Kang. Sungguh, maafkan aku, kita bisa berpisah sekarang. Ah, ya, saya sudah meminta maaf pada keluarga besar Kang Ilham dan …” imbuh Shafiyah terputus saat bibirnya ingin menyebutkan satu nama yang paling ia tak suka namun ia harus belajar menerimanya. Ia juga sudah menepikan egonya, meminta maaf pada gadis itu. “Dan apa?” tanya Ilham menaikan nada suaranya di balik rinai hujan yang semakin deras menyerbu mereka. Mereka kini berada di tepi jalan dengan basah ku
Seorang gadis beberapa kali menyedot ingusnya dan mengusak air matanya yang turun deras. Sudah hampir setengah jam gadis itu menangis setelah ia keluar dari ruang kantor sang direktur utama di mana ia bekerja.Kawannya menasehatinya dan berusaha menenangkan hatinya agar sabar dan tegar. Namun usahanya sia-sia macam membujuk anak tantrum yang sedang sakit gigi.Prok, prok, prokTepuk tangan justru menyambut tangis gadis muda nan cantik itu. Salah satu staf resepsionis menertawakan tingkah gadis itu-yang meratapi nasibnya karena ia dipindah tugaskan ke bagian divisi marketing, divisi yang paling ingin ia hindari.Ia bersedekap tangan di dada dan berkata dengan nada angkuh. “Sudah kubilang, kau ngeyel sih! Coba kau ikuti saranku! Setidaknya kau puas telah membalas dendam dan memberikan pelajaran berharga pada gadis kampung itu!”Gadis itu mendongak setelah mengusak air matanya kasar lalu berkata, “bukan urusanmu, Manda!” ucapnya sembari menghentakan kakinya meninggalkan Amanda dengan waj
Terjadi percakapan diantara duà orang karyawan berusia matang di lobi kantor.“Pak Daniel itu orangnya perfeksionis dan tak mudah percaya pada orang! Jadi dia kesulitan sendiri saat menangani pekerjaan di kantor. Ibarat kata, ia serakah mengerjakan pekerjaannya sendiri karena merasa karyawannya tidak mampu.”“Oh, begitu! Pantas sekretaris bernama Suci itu dipindahkan ke divisi lain!”“Kalau itu kasusnya beda! Dari awal Pak Daniel meminta sekretaris pria dari bagian HRD. Tapi bagian HRD hanya mendapat pelamar rata-rata wanita untuk bagian itu. Ada sih saingan Bu Suci tapi ya Pak Daniel mana mau berurusan dengan pria yang melambai.”“Bapak bisa aja! Padahal tak apa-apa. Dia ‘kan melambai juga mungkin kurang hormon aja. Tak mungkin dia mengganggu Pak Daniel. Eh, seperti kau tak tahu saja, bagian Divisi keuangan itu para pria begitu?”“Begitu apa?”“Ya, begitu? Mereka bahkan tampilannya gagah tetapi mereka ternyata jeruk makan jeruk.”“Hah? Kok bisa?”“Sekarang ini apapun bisa terjadi! Le