Daniel merasa kesal menunggu reaksi Nuha akibat obat yang diberikannya padanya. Mendadak dia meragukan efek obat yang dibelinya di tempat prostitusi yang biasa dia kunjungi. Kelamaan menunggu, dia menghabiskan beberapa bungkus rokok.Tiba-tiba Daniel teringat dengan rencananya satu lagi untuk menghancurkan Nuha dan perasaannya pada kakak seayahnya, Darren Dash. Dia buru-buru mengusak puntung rokok terakhirnya. Daniel memasuki kamar kembali dan melihat Nuha yang terlihat gelisah dan meringis. Dia pun melepas ikatan tangan dan kakinya karena melihat Nuha yang terlihat lemah dengan mata yang sayu. Namun Nuha tak melakukan perlawanan apapun. Dia hanya mengusap perutnya beberapa kali, merasakan mulas tiba-tiba. Seperti ada sesuatu yang bergolak dalam perutnya.Daniel mengeluarkan ponselnya lalu menyalakan televisi layar datar raksasa yang menempel di dinding tepat di depan ranjang di mana Nuha berada. Lalu dia menghubungkan ponselnya dengan layar segi empat tersebut. Tak berselang lama, s
Setelah beberapa menit kemudian Ahmet mulai mengingat wajah Mariyam Nuha. Dia adalah turis yang berasal dari Indonesia. Ahmet dan istrinya bertemu Nuha tatkala mereka terjebak di ruas jalan Istanbul di mana demo terjadi. Ahmet menawari tumpangan pada Nuha. Kebetulan mereka menginap di hotel yang sama. Di lobi hotel mereka juga sempat mengobrol soal pertanian.“Ya Allah, dia itu gadis bernama Mariyam Nuha. Mengapa dia menunjukan kode meminta pertolongan?”Ahmet bergumam dan berkecamuk dengan pikiran sendiri.Setelah ingatannya utuh, barulah Ahmet menghampiri Nuha yang dipapah oleh Daniel Dash yang memakai masker sehingga wajahnya tak terlihat.“Kenapa dengan Anda, Nona?” tanya Ahmet pada Nuha, berpura-pura tak mengenalnya.“Perutnya sakit,” jawab Daniel Dash dengan sorot mata yang tajam. Dia tak suka dengan sapaan yang dilontarkan oleh Ahmet. Ahmet pun mulai menaruh rasa curiga melihat delikan tajam yang dilayangkan Daniel.Ahmet segera memberitahu sang istri jika dirinya barusaja meli
Setelah tiba di bandara Soekarno-Hatta, Darren Dash mengajak Mariyam Nuha tinggal sementara waktu di apartemen miliknya. Nuha masih terlihat syok dan lemas. Nuha duduk termenung di balkon dengan tatapan menerawang. Sementara itu Darren sibuk menaruh beberapa barang dan koper di kamar. Setelahnya dia pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Lalu dia memakai kaos dan celana selutut. Tak lupa dia memakai wangi-wangian. Dia pria yang menjaga penampilan.Darren membawakan obat yang harus diminum Nuha.“Nuh, minum obat dulu,”Darren menaruh satu botol air mineral dan beberapa strip obat yang harus Nuha minum.Nuha melirik sekilat pada lembaran obat yang ditaruh Darren lalu membuang wajahnya menatap cahaya kerlap-kerlip yang menampilkan keelokan gedung-gedung pencakar langit.Darren memutuskan duduk di samping Nuha, menemaninya. Dia mengeluarkan macbook untuk mengecek laporan perusahaan yang dikirim Jodi via surel.Saat Darren asik mengotak-atik keyboard, Nuha beringsut dari duduknya lal
Suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya pagi itu. Beberapa orang malas keluar rumah dan beraktifitas dalam kondisi seperti itu. Kabut turun menyelimuti daerah tersebut, hingga membuat kaca-kaca jendela berembun.Namun pemuda bertubuh bersih dan berotot yang tinggal di sebuah rumah mewah yang berada dekat hutan pinus tersebut bangun sangat pagi. Dia melakukan beberapa gerakan workout untuk menghalau rasa dingin dan ingin berkeringat.Kebiasaan pagi hari sebelum beraktifitas, pemuda berhidung bangir pergi ke halaman belakang setelah melakukan workout ringan. Dia memakai perlengkapan memanah. Seorang pelayan menyiapkan perlengkapan olahraga memanah dan menaruhnya di atas meja tak jauh dari sisinya. Pun, dia menyiapkan teh tawar dan beberapa potong buah serta segelas susu untuk majikannya.“Pak Attar, mau pakai busur yang mana?” tanya pelayan pria dengan sopan. “Horsebow,” jawab Attar dengan singkat. Lalu dia gegas memakai perlengkapan memanahnya dan menyiapkan diri.Attar mengambi
“Papa kemarin dari mana pulang malam?” tanya Kania pada Naufal yang baru turun untuk melaksanakan ritual keluarga, sarapan bersama di ruang makan. Di ruang makan, hanya ada Kania dan Naufal. Sahila tidak berada di sana. Hal tersebut membuat Naufal didera rasa penasaran. Kemanakah sang istri pagi buta. “Mama kemana?” Bukan menjawab pertanyaan Kania, Naufal malah balik bertanya pada putrinya sembari tangannya sibuk meraih sendok dan garpu. “Mama, pergi pagi sekali. Aku tak tahu kemana Mama pergi,” jawab Kania dengan mengedikkan bahunya. “Papa kemarin nyari bahan-bahan buat menu resto biasa. Agak susah soalnya. Ada barang tetapi harga mahal,” jawab Naufal lalu menyendok nasi goreng dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kania mengamati gerak-gerik sang ayah. Dia mendapat kabar dari teman kampusnya bahwa Naufal datang ke kampus dan mencari tahu tentang sahabatnya, Mariyam Nuha. Untuk apa Papa mencari tahu tentang Nuha? Kania menaruh curiga pada sikap ayahnya. Apa jangan-jangan sang
Malam itu terasa mencekam, hanya terdengar suara burung hantu yang berdekut di luar rumah. Keringat dingin mengucur deras melalui pelipis pemuda berambut pirang yang kini tengah jalan mondar-mandir di dalam sebuah kamar yang berada di dalam paviliun rumah temannya.Terdengar suara ketukan sepatu yang beradu pada lantai paving block di halaman paviliun. Suara tersebut mengusik gendang telinganya dan berhasil membuat lehernya bergerak untuk menoleh ke arah pintu.“Romi? Kau ‘kah di sana?” seru pemuda tersebut dengan suara yang berat dan setengah berbisik.Pemuda yang datang dan dipanggil Romi langsung membukakan pintu kayu tersebut dan menatap sahabatnya dengan gelengan kasar.“Gila lo!” umpat Romi seraya menatap Daniel Dash dengan tatapan sengit.“Jangan banyak bacot! Cepat bantu aku pulang!” seru Daniel Dash dengan masih menahan sakit pada lengannya yang diperban. Setelah aksi pengejaran di klinik karena telah berusaha menculik Mariyam Nuha, dia dikejar oleh polisi yang berjaga malam
Nuha menatap Dave lalu menatap Darren bergantian dengan tatapan telisik.Darren yang baru datang langsung duduk di samping Nuha, merangkul pundaknya dengan satu tangan lalu tersenyum manis pada istrinya yang terlihat cemas. “Sudah ngobrolnya?” tukas Darren pada Nuha yang dijawab dengan anggukan.Darren menghadap Dave kemudian.“Dave dan Teh Selina makasih ya untuk hari ini. Sudah mau direpotkan dan meluangkan waktunya,” ucap Darren dengan mengedipkan matanya sebelah pada Dave.Dave langsung paham akan kode yang diberikan Darren padanya.“Ah, ya, Nuha sebaiknya minum vitamin juga dan obat tidur agar bisa istirahat malam hari. Jadi Nuha takkan gelisah lagi,” papar Dave dengan menulis resep singkat dan langsung memberikannya pada Darren.“Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi ya Teh Nuha,” Selina memeluk Nuha dengan hangat, berupaya menguatkan Nuha.Dave dan sang istri pun berpamitan pulang. Baik Darren dan Nuha mengantar mereka hingga ke pintu depan apartemen.“Mas, ternyata Teh Selina
Saat prosesi pertandingan dan kenaikan sabuk tiap tingkatan selesai. Salwa tidak seperti sebelumnya begitu antusias. Dia merasa kesal mengingat di mana Maesarah Basri menjadi pusat perhatian para murid padepokan karena kepiawaiannya dalam bertanding meski dia seorang perempuan. Pun, selain seorang ustadzah dia juga seorang pendekar bersabuk merah.Meskipun dengan segala keunggulan yang dimiliki oleh Maesarah Basri sama sekali tak membuat Salwa terkagum-kagum seperti yang lain. Salwa kesal dan menaruh rasa benci pada wanita seperti dirinya, wanita oportunis yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.Salwa pernah menyaksikan saat Maesarah Basri mendatangi kakaknya, Mariyam Nuha waktu dulu. Dia jelas-jelas meminta Mariyam Nuha untuk tidak berhubungan dengan Muhammad Attar. Maesarah terus meyakinkan Nuha bahwa Nuha tak cocok menjadi menantu Kyai Ilyas karena status mereka seperti langit dan bumi. Namun Nuha bukan seorang yang lemah, dia menolak permintaan Maesarah Basri apapun alasannya.
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap