Walupun Amira sudah 3 Minggu bergabung di perusahaan Louis Group, namun tak satupun karyawan yang mengetahui tentang status wanita cantik itu dengan Marc. Karena saat di kantor Amira selalu memanggil Marc dengan panggilan pak. Walupun mereka selalu datang dan pulangnya bersama."Selamat pagi Pak Marc Alfaro Louis," sapa Karra yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.Wanita berambut pirang itu menerobos masuk tanpa mengetuk pintu ruangan Marc terlebih dahulu. Sikapnya itulah yang membuat pria tampan berusia 40 tahun itu tidak menyukainya.Marc hanya melihat Karra sekilas, lalu kembali fokus menatap layar laptopnya. Ia sama sekali tidak mempersilahkan Karra untuk duduk, bahkan saat Karra berbicara Marc tak meresponnya sedikitpun."Marc, apa kamu tak mendengarnya?" protes Karra dengan wajah kesal.Siapa yang tak kesal, ia berbicara panjang lebar sejak tadi namun lawan bicaranya tidak merespon sedikitpun."Karra, aku sedang sibuk," sahut Marc tanpa melihat lawan bicaranya."Hm, kamu selal
Waktu menunjukkan pukul 10 malam, Amira masih duduk di balkon. Ancaman dari Karra terngiang-ngiang di telinganya, sehingga membuat Amira tidak bisa tidur."Kamu kenapa masih di sini?" ucap Marc yang berdiri di pintu balkon.Amira memutar kepala sambil bibirnya tersenyum tipis, "Aku belum ngantuk Mas." "Tapi ini sudah larut malam, sudah waktunya untuk tidur."Ocehan Marc membuat Amira bangkit dari kursi, masuk ke dalam kamar. Sebelum tidur Amira terlebih dahulu membasuh wajah dan menggosok gigi ke kamar mandi. Sementara Marc masih duduk di sofa, pria tampan itu sibuk dengan laptopnya. "Tidak, tidak."Marc refleks menegakkan kepala, ditatapnya Amira yang tertidur di atas ranjang. Kedua matanya tertutup rapat, namun bibirnya mengatakan sesuatu."Dia pasti mimpi," ucap Marc dengan nada lembut.Ia kembali menatap layar laptopnya, jari panjangnya berselancar di keyboard untuk mengetik sesuatu."Tidak...Mas, Mas." Amira kembali berteriak.Marc refleks bangkit dari tempatnya, kaki jenjangny
Satu hari Amira tidak fokus bekerja, otaknya memikirkan Jordan. Ingin rasanya menjelaskan yang sebenarnya kepada tunangannya itu. Amira tidak mau Jordan sampai salah paham lalu membencinya.Walupun Jordan tidak akan menerimanya lagi, setidaknya tunangannya itu sudah mengetahui yang sebenarnya. Amira pun sudah tidak berharap lagi untuk hidup bersama dengan Jordan."Apa kau sedang memikirkan pria itu?" Amira yang duduk di ruang keluarga refleks memutar kepala ke arah datangnya suara. Seperti dugaannya, pemilik suara itu adalah Caterina."Apa kau terkejut?" Caterina kembali bertanya sambil menghampiri Amira ke sofa."Aku tidak mengerti maksud Nyonya," ucap Amira.Caterina tersenyum getir, "Jangan membohongi dirimu sendiri, aku tahu kamu mengerti maksud dari pertanyaanku.""Aku benar-benar tidak mengerti," sahut Amira."Ok, apa kau sedang memikirkan Jordan? Apa kau terkejut melihat Jordan?" Caterina mengulang pertanyaannya dengan menyebut nama Jordan.Tentu hal itu membuat jantung Amira
Saat keduanya asik bercumbu, Marc tiba-tiba menghentikan aksinya. Pria tampan itu melepaskan bibirnya dari bibir Amira, tangannya yang tadinya sedang meremas gunung kembar wanita cantik itu, seketika ia lepaskan."Ada apa Mas?" tanya Amira dengan nada berbisik.Marc tidak menjawab, ia bangkit dari atas tubuh Amira lalu bergegas ke kamar mandi. Ini kedua kalinya ia gagal melakukan hubungan badan dengan Amira, waktu itu karena Marcell datang tiba-tiba, kali ini karena tangannya tak sengaja menyentuh perut Amira yang sudah mulai menonjol. Seketika gairahnya drop mengigat wanita cantik itu sedang mengandung anak pria lain."Ada apa dengannya?" Amira bertanya kepada dirinya sendiri, "Apa karena...." Amira tidak melanjutkan kata-katanya, ia menurunkan kedua kaki dari atas tempat tidur. Melangkah menuju kamar mandi, tangannya dengan lembut mengetuk pintu."Mas, Mas," panggil Amira."Cukup Amira, jangan berusaha menggodaku. Aku tak ingin menyentuhmu," sahut Marc dari dalam kamar mandi."Ya T
Amira dan Marcell ke luar dari ruangan dokter secara bersamaan, keduanya melangkah menuju parkiran. Setibanya di sana Amira melihat mobil Marc sudah tak ada, matanya berputar untuk mencari keberadaan Bagus."Apa kamu mencari pak Bagus?" tanya Marcell."Iya, tadi aku meninggalkannya di sini," jawab Amira yang masih memutar mata mencari sopir suaminya itu."Bagus sudah pergi, kak Marc ada pertemuan dengan klien di suatu tempat, itu sebabnya dia meminta Bagus untuk segera pulang," ucap Marcell.Jelas pria tampan itu berbohong, Marc tidak meminta Bagus untuk pulang tetapi Marcell yang mengirim pesan kepada Bagus. Ia menyuruh pria paruh baya itu untuk pulang terlebih dahulu."Oh, kok pak Bagus tidak memberitahuku ya?" keluh Amira.Ia meraih ponsel dari dalam tas, berniat untuk memesan taksi melalui aplikasi ponselnya. Tetapi Marcell segera meraih ponsel itu dari tangan Amira."Marcell, kembalikan ponselku." Amira berusaha meraih ponselnya dari tangan Marcell."Tidak, kita akan pulang bersa
Tidak semudah itu untuk membuat Marc percaya, ia tahu Amira berbohong. Namun pria tampan itu tidak memaksanya untuk berkata jujur. Keduanya pun kembali membicarakan pekerjaan........................Tepat pukul 4 sore Marc sudah meninggalkan kantor, ia menemui klien ke sebuah kafe bersama asisten. Sedangkan Amira tetap di kantor, sebenarnya Marc sudah mengajaknya tetapi Amira menolak karena pekerjaannya belum selesai."Akhirnya selesai juga," ucap Amira.Ia merapikan mejanya, menaruh buku-bukunya ke rak lalu meninggalkan kantor. Memang seperti itulah Amira, ia tidak pernah mengandalkan office boy untuk merapikan ruangannya.Saat melangkah menuju lift tiba-tiba ponselnya berdering, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal."Amira, aku menunggumu di parkiran. Jordan," ucap Amira sambil membaca pesan.Amira menarik napas, ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas tanpa membalas pesan Jordan terlebih dahulu. Kakinya segera melangkah setelah pintu lift terbuka, pesan dari Jorda
Tanpa mempedulikan kandungannya, Amira berlari menuruni anak tangga menuju lantai satu. Saat itu juga Marcell ke luar dari kamarnya, pria tampan itu tercengang melihat Amira."Amira, hati-hati." Marcell berteriak mengingatkan Amira."Marc, Marc," ucap Amira. Bibirnya gentar sehingga membuatnya tidak bisa bicara dengan jelas.Marcell berlari mengikuti Amira menuju pintu utama, "Marc kenapa Amira?"Amira bukannya menjawab, ia justru menarik tangan Marcell masuk ke dalam mobil."Kamu kenapa Amira? Ada apa dengan kak Marc?" Marcell benar-benar bingung dengan sikap Amira."Marc kecelakaan, Marc kecelakaan," jawab Amira dengan mengulang kata-katanya."Di mana?" Marcell terlihat panik dan khawatir."Sudah dibawa ke rumah sakit."Keduanya pun meninggalkan kediaman Louis menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan Amira tidak berhenti meneteskan air mata sambil berdoa di dalam hati. Sedangkan Marcell fokus menyetir dengan kecepatan tinggi, keduanya sama sekali tidak saling bicara.Setibanya di ru
"Bibi," panggil Amira sambil tercengang."Iya Nyonya." Hanum juga sama halnya dengan Amira."Apa ini barang-barang milik nyonya besar Louis?" tanya Amira.Ia berpikir Caterina lah pemilik barang-barang yang ada di sana, sebab wanita tua itulah yang tak mengizinkan siapapun masuk ke gudang. Mungkin saja Caterina takut barang-barangnya disentuh oleh orang lain. Hanum menggeleng, "Tidak Nyonya, aku tak pernah melihat nyonya besar memakainya."Amira menatap lemari dari atas hingga ke bawah. Namun matanya berhenti di sebuah kotak perhiasan. "Mungkinkah perhiasannya di dalam kotak itu?" tanya Amira dengan lembut dan nyaris tak terdengar.Hanum pun memutar mata ke arah kota perhiasan, "Mungkin saja Nyonya," ucapnya.Amira melangkah, ia membuka lemari lalu meraih kota perhiasan dari dalam sana. Tanpa ragu Amira langsung membukanya."Ini kan perhiasan nyonya Adella," ucap Hanum setelah melihat isi dalam kotak."Bibi tidak salah?" tanya Amira untuk memperjelas."Tidak Nyonya, perhiasan ini di
Tepat pukul 7 malam, Marc dan Amira sudah meninggalkan kediaman Louis. Sepasang suami istri itu menuju sebuah gedung hotel bintang lima. Di mana malam ini resepsi pernikahan klien Marc, kebersamaannya satu hari ini dengan Amira membuat Marc lupa untuk menghadiri acara pernikahan kliennya itu."Mas, aku malu," ucap Amira setelah Marc menghentikan mobilnya diparkiran."Kenapa malu?" Tentu Marc bertanya demikian!"Aku belum pernah ke acara pernikahan sebesar ini, jadi aku merasa canggung Mas," jawab jujur Amira."Gak usah canggung, kan ada aku." Marc membuka pintu mobilnya, ia berjalan menuju pintu mobil Amira."Ayo," ajak Marc sambil menyodorkan tangannya.Amira tersenyum gugup, ia ragu untuk menyambut tangan Marc walupun status mereka suami istri."Ayo," desaknya yang langsung dituruti Amira.Keduanya berjalan menuju pintu utama gedung, dengan posisi bergandengan tangan. Jujur saja jantung Amira berdegup kencang, apalagi saat semua mata tertuju ke arah mereka."Selama datang Tuan Marc.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, hari yang ditunggu kini telah tiba. Saat ini Amira sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor pengadilan agama.Rencana perceraian itupun sudah diketahui seluruh penghuni kediaman Louis, tentu Caterina sangat bahagia. Bahkan ia sudah tidak sabar lagi agar segera ketuk palu.Amira meraih ponsel dari atas meja rias lalu menghubungi Marc. karena akhir-akhir ini Marc jarang kembali ke kediaman Louis, ia datang saat ada perlunya saja. Bisa dikatakan Marc dan Amira tidak pernah lagi satu kamar atau tidur bersama, hal itu karena permintaan Amira.Wanita cantik itu sengaja membuat jarak diantara mereka, itu semua ia lakukan agar cintanya kepada Marc tidak semakin mekar, yang akan mempersulitnya untuk berpisah dengan pria tampan itu."Mas di mana? Aku udah siap," ucap Amira setelah sambungan teleponnya terhubung."Aku masih di hotel, tapi aku sudah meminta pak Bagus untuk menjemputmu," sahut dari seberang sana."Baiklah." Amira memutuskan sambungan t
Setibanya di hotel, Bagus membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Sebab Marc sudah memberinya satu kunci."Silahkan masuk Nyonya," ucap Bagus dengan lembut dan sopan.Sementara di dalam ruangan tidak ada orang, namun dari arah kamar mandi terdengar suara air. Sudah bisa dipastikan jika Marc sedang membersihkan tubuhnya di dalam sana.Sambil menunggu Marc ke luar dari kamar mandi, Amira merapikan tempat tidur Marc yang sedikit berantakan, sedangkan Bagus sudah pergi dan menunggu di parkiran.Setelah 27 menit berlalu, akhirnya pintu kamar mandi terbuka. Amira refleks berteriak melihat Marc ke luar tanpa mengenakan handuk, pria tampan itu polos tanpa sehelai benang."Aoow...."Mendengar teriakan Amira, Marc pun ikut berteriak karena terkejut. Ia kembali ke kamar mandi untuk meraih handuk, lalu melilitkannya di pinggang untuk menutupi area kejantanannya."Kamu kenapa ada di sini?" tanya Marc setelah ke luar dari kamar mandi."Kita harus bicara Mas," jawab Amira."Kita bisa bicara
"Aku dan Amira sudah saling mengenal, tapi kami tidak memiliki hubungan apapun. Hanya saja...." Marcell terdiam, ia tidak melanjutkan kata-katanya.Marc menyipitkan mata, "Hanya saja, apa?" desaknya."Hanya saja Amira langsung mengandung," jawab Marcell dengan nada bergetar.Marc refleks mengepalkan kelima jari tangannya, melayangkan satu pukulan di wajah tampan Marcell."Amira jelas-jelas hamil, tapi kamu masih mengatakan tidak ada hubungan diantara kalian," sentak Marc, bahkan seluruh tubuhnya gemetar karena emosi."Kakak harus dengar penjelasanku dulu," ucap Marcell dengan lembut.Walaupun sudut bibirnya sudah mengeluarkan cairan merah! Tapi Marcell tidak sedikitpun marah atau kesal kepada Marc."Semuanya sudah cukup jelas Marcell, tidak ada lagi yang perlu kamu jelaskan. Kamu laki-laki yang tidak bertanggungjawab, kamu seperti orang asing, jauh berbeda denganku dan almarhum papah." Marc benar-benar marah.Ia tak menyangka, pria bajingan yang sudah menghamili Amira adalah adiknya s
Satu Minggu telah berlalu, kondisi Amira sudah semakin membaik hanya saja ia belum bisa banyak bergerak dan melakukan aktivitas. Semenjak kembali ke kediaman Louis, Amira tidak banyak bicara, sifatnya berubah 50 persen. Suara ketukan pintu menyadarkan wanita cantik itu dari khayalan, "Masuk.""Permisi Nyonya." Hanum menjulurkan kepala dari balik pintu, sambil membawa sebuah nampan di tangannya.Wanita paruh baya itu melangkah menghampiri Amira yang duduk di atas tempat tidur, ia menaruh nampan di atas meja kecil yang terletak di samping ranjang, lalu mendaratkan bokongnya di sisi tempat tidur."Nyonya makan dulu ya?" ucap Hanum dengan lembut, seraya membujuk."Aku belum lapar Bi," tolak Amira dengan ekspresi datar.Tentu dia tidak lapar, pikirannya sampai saat ini masih kacau balau. Apa yang ia perjuangkan satu persatu pergi meninggalkannya, ia rela menjual kehormatannya demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Jordan, tapi Jordan justru meninggalkannya. Ia juga rela menikah diat
"Bagaimana keadaan istriku Dok?" tanya Marc dengan nada khawatir.Sebelum membuka mulut, Dokter terlebih dahulu menghela napas. Bagaimana tidak? Bayi dalam kandungan Amira tidak bisa diselamatkan, wanita cantik itu harus segera dioperasi walaupun keadaannya saat ini belum sadarkan diri.Kepala Marc refleks tertunduk setelah mendengar ucapan dokter, ia mengeratkan gigi dan mengepalkan kelima jari panjangnya. Walupun bayi dalam kandungan Amira bukanlah anaknya! Tapi Marc merasa sedih dan kecewa.Begitu juga dengan Marcell, pria tampan itu mendaratkan bokongnya di atas kursi dengan kasar. Kesempatannya untuk memiliki keturunan kini musnah, Marcell benar-benar menyesal atas tindakannya. Jika dia tidak menarik tangan Amira, semua ini tidak akan terjadi.Berbeda dengan Karra dan Caterina, keduanya bersorak ria di dalam hati masing-masing. Sebelum mereka bertindak bayi malang itu sudah tiada, kini hanya menunggu giliran ibunya yaitu Amira."Ya sabar ya Marc." Karra mengelus lengan Marc, ia s
Tanpa terasa waktu telah berlalu, saat ini benda bulat itu telah menunjukkan pukul 6 pagi. Amira segera bangkit dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya."Apa kamu ada meeting pagi ini?" Pertanyaan itu menyambut Amira saat ke luar dari kamar mandi."Mas sudah bangun?" Amira balik bertanya, ia menatap Marc yang duduk di sisi ranjang yang juga menatapnya."Bukan meeting Mas, tapi aku harus menyelesaikan gaun pengantinnya," lanjut Amira sambil melangkah menuju ruang ganti."Oh, apa kamu butuh bantuan?" Marc kembali bertanya.Amira menghentikan langkahnya, "Tidak Mas, hanya tinggal sedikit lagi, aku bisa sendiri.""Baiklah kalau begitu." Marc bangkit dari sisi ranjang melangkah menuju kamar mandi, begitu juga dengan Amira melanjutkan langkahnya masuk ke ruang ganti.Setelah selesai sarapan, Marc meninggalkan kediaman Louis. Sedangkan Amira bergegas ke ruang kerjanya yang terletak di lantai tiga. Ia harus menyelesaikan gaunnya sebelum jam 12 siang."Apa yang
"Benarkah? Kamu tidak berbohong?" tanya Marc dengan rasa tak percaya."Iya Mas," sahut Amira sambil tersenyum paksa.Ruangan itupun seketika hening, Marc duduk bersandar sambil menatap Amira tanpa berkedip dengan posisi kedua tangan terlipat di dada. Cara bicara Amira membuatnya sedikit curiga, bahkan kecurigaan itu sampai membuatnya lupa akan tujuannya menemui Amira."Sore ini aku ada pertemuan dengan klien, apa kamu ingin ikut denganku?" Marc kembali membuka mulut setelah hening beberapa menit.Amira tersenyum paksa, "Maaf mas, aku gak bisa ikut. Malam ini aku harus lembur untuk menyelesaikan gaun pengantinnya, karena besok klien akan datang menjemputnya."Amira sengaja membuat alasan untuk menolak Marc, hal itu ia lakukan untuk menjaga jarak dari Marc. Amira tidak mau kedekatan itu akan membuat bunga-bunga cinta tumbuh dan mekar dalam hatinya."Baiklah kalau begitu." Marc bangkit dari kursi dan bergegas meninggalkan ruangan Amira.........................Tanpa terasa waktu telah m
Satu bulan telah berlalu, saat ini usia kandungan Amira sudah memasuki 4 bulan. Perut wanita cantik itupun sudah terlihat menonjol."Mas, hari ini aku terlambat ke kantor," ucap Amira yang baru ke luar dari ruang ganti."Apa kamu ada urusan?" tanya Marc tanpa melihat lawan bicaranya.Pria tampan itu sedang berdiri di depan meja rias sambil merapikan dasi dan memasang benda bulat di pergelangan tangannya."Tidak, hari ini aku harus ke rumah sakit untuk periksa kandungan Mas," jawab jujur Amira.Marc menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyisir rambut, ditatapnya Amira melalui pantulan kaca. Seketika ia berpikir untuk menemani Amira ke rumah sakit."Apa perlu aku temani?" Akhirnya Marc membuka mulut."Gak usah Mas, aku bisa sendiri. Lagipula pagi kan Mas ada meeting dengan klien!" Sebenarnya Amira ingin sekali ditemani oleh Marc, hal ini sudah lama ia harapkan. Tetapi Marc pagi ini ada jadwal meeting, Amira terpaksa menolaknya."Iya kamu benar, aku hampir saja lupa," timpal Marc,