Lily masuk ke ruang bagian pemasaran bersama Dini. Dia mengucapkan salam ke rekan satu timnya yang sudah datang, tetapi Lily merasa rekannya kini memandang sungkan padanya.Lily memandang ke arah meja kerja Sonia. Meskipun sosoknya tidak tampak, tetapi Lily melihat tas wanita itu sudah ada di atas meja.Lily tak peduli, dia duduk dan langsung membuka laptop. Pekerjaannya menumpuk karena Sonia memberinya beban lebih berat dari staf lain.Ponsel Lily tiba-tiba bergetar menarik fokus Lily dari laporan yang harus dia susun dan selesaikan.[Apa kamu ada waktu? Aku mau bertemu]Kening Lily berkerut samar melihat nomor asing yang ke ponselnya dan mengirimkan pesan.Namun, dari foto profil yang terpampang Lily bisa tahu pemilik nomor itu adalah Bryan.Lily membiarkan saja pesan Bryan tanpa berniat membalas, tetapi lagi-lagi pesan dari mantan tunangannya itu masuk dan membuat Lily kesal.Lily ingin langsung memblokir, tetapi satu pesan dari Bryan kembali masuk ke ponselnya.[Apa kamu memiliki
Arsen memandang keluar jendela mobil mewah miliknya yang dikemudikan Thomas.Beberapa saat yang lalu Arsen baru mendapat kabar dari Bibi Jess tentang Lily yang tetap bersikeras berangkat kerja meski ia larang.Pria tampan itu urung tersenyum menyadari Thomas sejak tadi mengawasi dari kaca spion tengah. Tatapan Arsen beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di samping kursinya."Pak, apa Anda yakin akan melakukan ini?"Arsen tak menjawab pertanyaan Thomas, dia meraih ponsel itu lalu menyalakannya."Tahun ini sepertinya akan menjadi tahun keberuntunganku. Aku tidak menyangka selingkuhan Jerry adalah psikiater Lily," ucap Arsen.Thomas tersenyum, dia memandang Arsen lagi sebelum kembali fokus mengemudi.Thomas menggeleng samar. Di dunia ini apa yang tidak bisa Arsen lakukan? Jangankan hal yang lurus, yang buruk saja bisa bosnya tangani."Bedebah sialan itu memberiku obat perangsang di hari pertama kakiku menginjak negara ini," kata Arsen. "Dia pasti tidak menyangka selama ini aku memeg
Sore itu Lily membuat beberapa staf ARS Company yang kebetulan pulang bersamaan dengannya terkejut. Dua unit sedan mewah dengan dua sopir yang sudah membukakan pintu sama-sama mempersilahkan Lily naik. Lily mengatupkan bibir rapat. Sopir dengan mobil berwarna abu-abu metalik merupakan sopir Arsen yang tadi pagi mengantarnya, sedangkan sopir paruh baya di belakang dengan sedan hitam adalah sopir pribadi papanya. "Nona, apa Anda tidak mau pulang?" Lily memandang sopir Arsen lalu beralih ke sopir Adhitama. "Mbak Lily, Papa Anda ingin bertemu." Lily merasakan dadanya berdenyut nyeri. Akhirnya dia mendekat ke Deni — sopir Arsen dan berkata, “Aku akan meminta izin suamiku, jadi kamu bisa pulang saja." Deni bergeming. Dia bisa terkena masalah jika tidak melakukan tugas dengan benar. "Tapi Nona, saya bisa terkena marah Tuan." "Tenang saja! Aku pastikan kamu tidak akan kena marah suamiku." Lily menggunakan suara lirih saat menyebut kata suami. Dia takut jika sampai ada yang me
Adhitama sangat terkejut mendengar ucapan Lily, apalagi putrinya ini seperti sedang menantang keraguannya akan hubungan pernikahan yang Lily jalani.Adhitama menghela kecil. “Baiklah kalau kamu memang sangat yakin akan hal itu.” Pria itu menatap tanpa keraguan pada Lily. “Papa tunggu kamu membuktikan ucapanmu.” Meskipun sebenarnya Adhitama belum berharap Lily memiliki anak lebih dulu karena belum yakin pada Arsen, tetapi demi membuktikan ucapan Lily, Adhitama harus mengambil keputusan itu.Lily terkesiap, bahkan sampai meneguk ludah dengan kasar. Dia tidak menyangka kalau sang papa akan setuju dengan ucapannya untuk cepat-cepat memberikan cucu.Padahal Lily hanya ingin meyakinkan saja agar sang papa percaya dengan ucapannya, tetapi siapa sangka Adhitama malah menuntut balik.“Oh ya, bagaimana bisnis Papa?” tanya Lily mengalihkan pembicaraan dengan membahas masalah perusahaan.“Baik,” jawab Adhitama, “papa juga sudah mendapat direktur penggantimu,” imbuh Adhitama lagi.Lily diam sesaa
Lily syok karena bentakkan Arsen, membuatnya secara impulsif membalas tak kalah keras. “Kenapa kamu membentakku?!”Lily menatap Arsen kesal karena suaminya itu memandangnya seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan fatal.“Kenapa tidak pulang dengan Deni?” tanya Arsen. Nada bicaranya masih sama, tinggi.“Kamu sendiri, kenapa pergi tidak bilang? Sekarang tiba-tiba pulang, besok tiba-tiba pergi. Kamu bebas pergi kemanapun tetapi aku tidak?” balas Lily kesal, suaranya juga masih ikut meninggi. Tidak terima Arsen yang baru pulang dari entah dari mana justru membentaknya.Wajah Lily memerah menahan emosi, meski matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.Arsen menatap datar pada Lily. Dia tidak pernah menyangka kalau Lily bisa balas membentaknya seperti sekarang.Karena Arsen masih diam, Lily kembali meluapkan perasaannya. “Kalau menikah kontrak hanya menguntungkan salah satu pihak, bukan ini tujuan awal kita menikah.” Lily bicara dengan nada tegas, dagunya sedik
Lily membelalakkan mata saat Arsen tersenyum tepat di depan wajahnya. Senyum pria itu membuat jantung Lily berdetak tak karuan. Hingga dia mundur ke belakang dengan pipi merona."Lakukan apa? Jangan aneh-aneh," ucap Lily salah tingkah. Dia menengadahkan tangan kanannya ke Arsen. "Berikan kontrak pernikahan dulu padaku, aku tidak mau melakukan apapun untukmu sebelum hubungan kita jelas."Lily melihat Arsen menegakkan punggung, pria itu begitu tenang berbeda dengannya yang semakin kikuk sampai terbatuk-batuk.“Tidak perlu membicarakan kontrak pernikahan,” kata Arsen sambil melewati Lily dan tangan kanannya mengusap puncak kepala Lily. “Masuk ke dalam ruang kerjaku dan tunggu aku di sana.”Lily membeku, matanya mengerjap beberapa kali, lalu Lily mengangkat tangan kanannya untuk menyentuh dada sebelah kiri. Baru ketika Lily berhasil mengendalikan dirinya, Arsen sudah tidak terlihat.Di dalam ruang kerja Arsen, Lily duduk diam menunggu Arsen, untungnya jantungnya sudah berdetak normal kemb
Lily tiba-tiba merasa gerah, terlihat jelas raut wajahnya menunjukkan rasa malu.Lily langsung berdiri. Pembicaraan ini terlalu intim, jika Lily masih terus ada di sana, Lily tidak tahu apa yang akan dilakukan Arsen padanya!Kening Arsen terangkat melihat Lily berdiri. “Kamu mau ke mana? Tugasmu belum selesai." Arsen bicara dengan nada tegas seraya menatap pada Lily.“Kembali ke kamar!”Setelah mengatakan itu, Lily meninggalkan Arsen begitu saja di ruang kerja.Melihat kepergian Lily yang malu-malu seperti itu membuat pria itu tersenyum, menggoda Lily ternyata menyenangkan. Jadi, ini belum seberapa, masih banyak hal yang bisa Arsen lakukan dan membuat Lily meminta Arsen berhenti untuk menggodanya.Baru Lily menutup pintu ruang kerja Arsen dan melangkah beberapa langkah, tiba-tiba dari arah belakang Lily mendengar pintu ruangan Arsen kembali dibuka.Suara pintu yang langsung terbuka tanpa diketuk, jadi membuat Lily penasaran. Dengan langkah pelan, Lily kembali mendekati ruang kerja Ars
Hari berikutnya.Lily sudah bersiap-siap untuk pergi bersama Arsen. Dia sedang memakai sepatu ketika melihat Arsen keluar dari kamar ganti dan sudah berpakaian rapi.“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Lily karena Arsen belum memberitahu tujuan mereka.“Kamu akan lihat nanti,” jawab Arsen seraya mengancingkan manik ujung kemeja polos yang dipakainya.Kerutan samar terlihat di dahi Lily. Semoga Arsen tak membawanya ke tempat aneh-aneh.“Ayo!” ajak Arsen saat melihat Lily sudah selesai memakai sepatu.Lily mengangguk. Dia segera berdiri seraya meraih tasnya, lalu berjalan keluar kamar bersama Arsen.Arsen dan Lily menuju mobil yang sudah disiapkan di depan teras. Lily keheranan saat melihat Arsen berjalan ke arah pintu kemudi.“Kenapa? Cepat masuk.” Di antara pintu mobil yang terbuka, Arsen berdiri dan menatap Lily.“Kamu mau menyetir sendiri?” tanya Lily merasa aneh. Belakangan ini Arsen selalu pergi dengan sopir, tetapi sekarang pria itu yang mengendarai mobilnya sendiri.“Ada masala
Dini seketika diam. Dia menatap Lily dengan tatapan tak percaya. “Kamu bercanda? Mana mungkin kamu istrinya Pak Arsen?"Lily mengedikkan kedua bahu. “Seperti gosip yang kamu dengar, aku juga bisa dengan mudah membuat gosip dan membuat gempar dengan pernyataanku," ucapnya .Dini menggeleng pelan dan menganggap Lily hanya sedang bercanda. “Sudahlah Lily! Kamu jangan bertindak aneh-aneh. Lebih baik fokus ke tahap akhir pemilihan direktur pemasaran.”Lily seketika ingat akan hal itu, lalu berkata, “Oh ... ya, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.”Dahi Dini berkerut halus. “Ke mana?”“Ikut saja, nanti juga kamu akan tahu.”“Kapan perginya?” tanya Dini penasaran.“Nanti habis makan siang.”Dini mengangguk-angguk.Mereka masuk ke ruangan, di sana sudah ada Sonia dan staff lain yang sedang asik bergosip.“Pak Arsen memang sangat kaya, pulang dari kantor saja memakai helikopter padahal mobil juga banyak di bawah,” ucap salah satu staff.“Pasti dia pergi menjemput kekasihnya untuk mengajak ken
Arsen melihat senyuman hambar tergambar jelas di wajah Lily. Dia membiarkan wanita itu berjalan meninggalkannya di belakang dan hanya memandangi punggung Lily.Arsen membeku di tempatnya untuk beberapa detik, sebelum dia berjalan cepat dan memeluk tubuh Lily dari belakang. "Masih seperti mimpi?" bisiknya.Lily mengangguk. Tak lama dia berjengket.Arsen menggigit telinga Lily sampai wanita itu mengaduh, setelahnya Arsen menyandarkan dagu ke pundak Lily."Masih merasa ini mimpi?" Arsen berbisik lagi di telinga Lily.Lily menggeleng. "Tidak! Aku percaya ini bukan mimpi," ucapnya. Suaranya tercekat. Lily memejamkan mata menahan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat Arsen mulai menciumi lehernya.Perbuatan Arsen membuat Lily tak kuasa.Mereka berakhir kembali ke kamar dan melakukan aktivitas menyenangkan bagi pasangan suami istri seperti malam sebelumnya. Arsen memeluk Lily setelah mereka bercinta, tatapannya beralih ke kalung yang melingkar di leher wanita itu. Arsen men
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari
Lily penasaran. Benarkah apa yang dikatakan bundanya kalau pria akan luluh dengan mudah di atas ranjang? Lily membawa pulang ke mansion Arsen semua baju tidur dan lingerie yang tadi mereka beli. Lily menyimpannya rapi ke dalam lemari, lalu memakai satu baju tidur yang bundanya bilang sangat cocok untuknya tadi. Dia mematut diri di depan cermin menunggu Arsen pulang. "Aku tidak bisa membiarkan Sonia menang, apalagi karena masalah internal rumah tangga seperti ini," ucap Lily. "Kalau memang jalan lurus susah ditempuh, aku akan menggunakan jalan orang dalam." Lily mengerjap, kemudian menggeleng untuk menyadarkan diri. "Tidak! Intinya malam ini aku harus mendapatkan hatinya." Lily melihat kembali model baju tidur yang dia pakai dari pantulan cermin. Lily yang begitu polos, manis dan tidak tahu apa-apa tentang hal berbau dua puluh satu tiba-tiba harus merayu pria. "Tenang! Pokoknya aku harus membuat Arsen luluh," ucap Lily lagi. Dia lantas menyemprotkan parfum mahal ya