Setelah mendapat tugas, akhirnya Intan pun pegi ke IGD untuk memulai kerjanya.Beruntung sebelumnya ia pernah bertugas di sana. Sehingga Intan tidak terlalu bingung ketika praktek di sana lagi."Pagi dokter Intan," sapa salah seorang perawat yang sudah mengenal Intan."Pagi, Sus," sahut Intan. Ia senang karena disambut dengan baik saat tiba di sana."Duh, seneng banget deh kalau dokter Intan praktek di sini," ucap suster."Suster bisa aja. Gimana pagi ini, banyak pasien gak?" tanya Intan."Lumayan, Dok. Tapi semua udah ditanganin, kok. Tinggal observasi aja. Ini laporannya," sahut suster."Oh, kamu yang kerja di sini?" tanya salah seorang dokter yang berjaga di IGD."Iya, Dok," sahut Intan sambil tersenyum."Duh, repot deh kalau gantian sama dokter magang. Nanti kalau ada apa-apa aku juga yang kena," gumam dokter itu. Ia terlihat kurang menyukai Intan."Maaf, Dok. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak merepotkan dokter," jawab Intan."Harus itu! Tolong lebih teliti, ya! Say
"Sabar ya, Dok. Dia emang begitu," ucap suster saat dokter kepala itu pergi."Gak apa-apa kok, Sus. Aku juga udah gak kaget, hehe," jawab Intan. Kemudian ia lanjut membahas pekerjaannya lagi."Gimana, tadi ada pasien darurat lagi, gak?" tanya Intan sambil melihat laporan."Gak ada kok, Dok. Yang tadi observasi juga sebagian ada yang udah pulang. Tinggal pasien rawat inap lagi nunggu kamar ready," jawab suster."Ooh, syukurlah kalau begitu. Berarti hari ini gak terlalu penuh, hehe," sahut Intan sambil mengusap perutnya."Aku kok baru sadar ya kalau penampilan dokter Intan ini berubah," ucap suster."Oya?" tanya Intan sambil tersenyum. Saat ini ia mengenakan hijab berwarna mustard dan rok rempel dengan warna senada."Iya. Dulu dokter gak pake hijab, kan?" tanya suster itu."Hehehe, iya.""Wah, alhamdulillah ... jadi makin anggun dan cantik, Dok. Tapi maaf ya, Dok. Kayaknya sekarang dokter agak cubby. Tapi malah makin cantik, lho," ucap suster itu, hati-hati.Intan pun tersenyum. "Maklum
Semua mata menoleh ke arah Zein yang tiba-tiba meninggalkan ruangan prakteknya. Ia berlari ke poli kandungan yang lokasinya tidak terlalu jauh itu."Prof kenapa?" tanya suster yang ada di luar."Gak tau tuh, aneh banget. Tadi aku cuma info kalau dokter Intan pingsan. Secara beliau kan mantan konsulennya. Tapi Prof kayak kaget banget gitu. Terus langsung lari," jelas suster yang baru keluar dari ruangan Zein."Lha, udah kayak suaminya aja," ucap salah satu suster."Tau tuh," sahut yang lain.Namun kemudian mereka langsung saling menatap. "Jangan bilang kalau Prof emang ...?" Mereka tidak melanjutkan ucapannya. Namun mereka yakin apa yang mereka pikirkan sama."Woah, kalau sampe bener, bisa heboh banget, sih. Secara kalian tau sendiri gimana galaknya Prof ke dokter Intan dulu, kan?""Daebak. Itu sih namanya ketula. Udah diomel-omelin, malah jadi istri," timpal yang lain."Duh, aku jadi penasaran banget, nih. Pingin tau kelanjutannya.""Udah kayak baca novel aja!""Hehehe, abisnya seru."
Napas Zein terlihat menggebu. Di tangannya ada beberapa file dan tab yang ia bawa dari mejanya itu.Ceklek!Zein membuka pintu ruangan dokter tanpa permisi. Hingga semua dokter yang ada di ruangan itu menoleh dan mereka langsung berdiri saat menyadari bahwa Zein lah yang datang ke ruangan mereka."Selamat sore, Prof," ucap mereka, begitu sopan.Zein tidak menjawab. Wajahnya seperti orang hendak perang. Matanya memindai seluruh ruangan itu dan langsung tertuju ke orang yang tadi ada di video.Deg!Orang itu gugup saat Zein menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Ia mengatur napas karena yakin Zein sedang emosi.Semua yang ada di ruangan itu saling melempar pandangan. Mereka bertanya-tanya apa yang membuat Zein sampai datang ke sana. Sebab, selama ini pria itu hampir tidak pernah datang ke tempat tersebut.Awalnya Zein ingin mengamuk. Bahkan menghajar dokter kepala itu. Namun ia masih berusaha menjaga wibawanya. Sehingga Zein marah dengan cara yang cukup elegant.Tap!Zein
"Sore, Dok!" sapa Intan. Ia masih menghormati dokter itu sebagai atasannya. Ia pun tidak tahu bahwa Zein sudah menemui dokter itu.Tentu saja hal itu membuat dokter kepala tersebut semakin ketar-ketir. Apalagi saat Zein melirik ke arahnya dengan tatapan sinis."Dok! Saya mau minta maaf karena sudah bersikap kurang baik pada dokter Intan. Saya tidak bermaksud seperti itu," ucap dokter itu, gugup."Lho, gak perlu minta maaf, Dok. Emang sayanya yang masih amatir. Justru saya yang harus minta maaf karena sudah membuat semuanya jadi berantakan," jawab Intan.Ucapan Intan barusan membuat dokter itu tidak enak hati."Tidak, Dok. Saya yang salah karena telah menempatkan dokter Intan di IGD. Besok saya akan atur lagi penempatannya. Dokter Intan sedang mengandung, jadi akan saya tempatkan di ruangan yang tidak terlalu sibuk," ucap dokter itu, gugup."Tidak perlu. Nanti saya sendiri yang akan memilih posisinya," ucap Zein. Setelah itu ia mengajak Intan pergi.Zein masih kesal pada orang itu. Seh
Seketika lutut dokter itu pun terasa lemas."Dokter jangan bercanda, deh! Masa iya udah nikah? Kapan nikahnya? Aku gak pernah denger, tuh," ucap dokter itu. Ia berusaha untuk tidak mempercayainya."Kapannya sih gak tau. Cuma kalau salah emang belum resepsi. Lagian semua juga udah heboh kok dari kemarin," jawab teman dokter sombong."Makanya aku juga heran kok dokter berani banget julidin istrinya Prof. Kirain udah tau," timpal yang lain."Kalain kenapa gak bilang, sih? Aku mana tau kalau dia istrinya Prof," keluh dokter sombong itu."Ya sebenernya kami bilang atau enggak, gak akan ngaruh kalau dokter gak julid. Ya, semoga aja kamu gak ngalamin kayak kepala dokter, kemarin.""Emang kenapa?" Dokter sombong itu penasaran."Kemarin kan beliau disemprot sama Prof. Kayaknya sih bakal turun jabatan. Secara istrinya udah dijahatin begitu. Sampe pingsan pula."Dokter sombong itu pun langsung pucat. Ia khawatir Intan akan mengadu pada Zein. Apalagi kemarin ia pun sempat julid pada Intan.Sement
Mereka semua langsung menoleh ke arah pintu. Kemudian melihat ada Zein melintas di sana."Waduh, gimana kalau dokter Intan ngadu?" gumam salah seorang dokter."Ya mau gimana lagi? Terima nasib, lah," timpal dokter yang lain.Akhirnya mereka semua cemas dan khawatir Zein akan memarahi mereka.Padahal Zein datang ke sana hanya untuk menjemput istrinya. Berhubung pernikahan mereka sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi, Zein pun tidak sungkan menjemput Intan untuk makan siang bersama."Sayang, hari ini kamu mau makan apa?" tanya Zein saat sudah berada di hadapan Intan.Semua yang ada di dalam ruangan tadi pun menguping. Sebab mereka taku
"Oh iya. Baik, Prof," jawab para suster. Mereka sedikit gugup karena sedang terkesima dengan sikap Zein.Zein pun langsung berlalu meninggalkan tempat itu."Ya Tuhan, di mana ya nyari suami yangkayak gitu? Perhatiannya itu, lho. So sweet banget," ucap salah seorang suster."Kalau pun ada, dia belum tentu mau sama kamu," ledek yang lain."Iih, kamu mah ngerusak mimpi orang lain aja, deh!""Hehehe, lagian Prof itu terlalu perfect. Mimpinya jangan ketinggian."Sementara itu Zein pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Padahal harusnya hari ini ia ada janji dengan asistennya di kantor ikatan dokter untuk membahas rencana peluncuran buku ba
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?