Tante Ruth duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Sesekali, dia menikmati teh hangat yang ada di meja. Saat ada langkah kaki yang mendekat, dia mengira itu adalah anaknya yang baru pulang sekolah. Tanpa menoleh, dia bertanya, "sudah pulang, Viola? Tumben jam satu sudah pulang, nggak ada kelas tambahan?" "Siang, Tante Ruth ... apa kabar? Kangen nggak?" Suara wanita yang sangat familiar terdengar. Tante Ruth menoleh. Kedua mata terbelalak melihat sosok yang baru datang. Wajah seolah diliputi oleh amarah. Dia berdiri. "Sarah! Berani banget kamu ke sini?" Wanita muda bernama Sarah itu tersenyum tanpa dosa. Dia adalah orang yang menyapa Mario sebelumnya. "Berani penipu kayak kamu menginjakkan kaki di rumah saya lagi! Saya akan telepon polisi!" Tante Ruth buru-buru mengambil ponsel di atas meja. Tetapi, wanita bernama Sarah itu segera menghentikannya. "Sebentar, Tante, jangan jahat-jahat gitu. Sarah minta maaf sudah menghilang dulu, tapi Sarah bukan penipu, loh." "B
Daniel hampir membanting ponsel karena sedari pagi dihiraukan oleh Vena. Iya, terlihat jelas di layar ponsel itu ada deretan panggilan tak terjawab, bahkan ditolak, dan terakhir nomornya sudah diblokir. "Kurang ajar, Vena sombong sekarang. Dulu diusir saja pakai acara drama, sekarang sok nggak mau bicara sama aku?" Dia menggerutu. Sejak pagi pula, dia mendekam di dalam ruang kerja. Setengah mengurus pekerjaan, setengahnya lagi memikirkan Vena. Pintu ruangan tersebut diketuk, lalu dibuka— terlihat Bianka di ambang pintu. Wajahnya muram ketika mengomel, "Mas, sampai kapan mau berada di ruangan? Ini sudah malam, loh. Ayo keluar dulu, kita makan malam berdua. Mama lagi keluar, aku nggak mau makan sendirian." "Aku nggak lapar, kamu makan saja sendiri. Aku masih sibuk mengurus pekerjaan.“ "Jangan bohong kamu, aku tahu kamu sibuk menghubungi mantan istri kamu itu 'kan?" "Nggak." Bianka makin kesal. Dia maju ke dalam ruangan itu, mendekati meja. ”Kamu sadar nggak, sih? Kamu sekarang
Ven memanfaatkan kondisi kamar hotel yang dilengkapi dapur. Jadi, dia memasak nasi goreng untuk makan malam. Dia menyajikan dua piring nasi goreng di meja dekat ranjang, lengkap dengan dua gelas air dingin. Mario tampak duduk di pinggiran ranjang, fokus melihat pertandingan bola di televisi. Dia lantas menoleh begitu mencium aroma enak. Senyum tersungging di bibirnya. "Kamu beneran masak nasi goreng, Sayang? Padahal kita bisa pakai layanan kamar," katanya. "Kan aku bilang mumpung ada dapur, ada bahan makanan juga di kulkas. Mending aku masak buat kamu. Aku sebenarnya pengen banget terus masak buat kamu, tapi di rumah ada koki, belum lagi kalau ketahuan Tante Ruth, nanti aku dimaki-maki lagi karena seperti pembantu." "Maaf, ya ..." Mario tergelak. "Mau bagaimana lagi, di keluargaku dari dulu, anak perempuan atau menantu wanita nggak boleh sibuk di dapur." "Nggak apa." "Maaf juga karena kita malah di hotel bukan di Villa, aku takut dikeroyok wartawan lagi." "Mau di hotel atau di
Daniel tidak bisa diam saja setelah diabaikan terus menerus oleh Vena. Dia sampai kurang tidur karena kepikiran. Bahkan, dia baru ingat kalau sudah ditinggal sendirian di rumah.Iya, ibunya sibuk dengan urusan keluarga, istrinya pun meminta ijin pulang ke rumah. Setelah mengurus dokumen perusahaannya, dia mengundang beberapa wartawan untuk ke rumah. Dia memberi kesempatan wawancara tentang pertengkaran di Hotel Winata saat itu.Apapun yang dia katakan, langsung dimunculkan di portal-portal berita online. Pengakuan Daniel malah memperburuk suasana karena dia juga mengungkit rumah tangganya saat masih bersama Vena. Dia menyalahkan wanita itu atas kematian anak mereka, lalu meninggalkannya demi pria lain alias Mario.Gossip itu menyebar bak daun diterpa angin di media sosial. Iya, sampai-sampai Tante Ruth membaca salah satu portal berita tersebut.Dia kaget dengan judul berita 'ISTRI BARU OWNER JARINGAN HOTEL WINATA MENELANTARKAN ANAK'Terdapat foto jepretan Vena dan Mario saat peresmia
"Kamu lagi!" Suara Mario terdengar marah saat menanggapi seseorang yang bicara di balik sambungan telepon. Dia berkata keras lagi, "kenapa kamu bisa telpon saya pakai nomor asisten saya, hah?" Vena memperhatikan ekspresi wajah Mario dengan seksama. Dia sudah bisa menebak kemungkinan siapa yang menelpon. Tetapi, bagaimana bisa? Di balik sambungan telepon itu suara pria sedang berbicara, "... akhirnya diangkat juga. Maaf saya harus menganggu waktu bulan madu kamu." Suara Daniel seperti lagu kematian di telinga Mario. Suami Vena ini begitu resah. "Mau apa?" "Saya sebenarnya nggak sudi juga nelpon kamu. Tapi, mau bagaimana lagi, telepon saya nggak diangkat sama Vena. Saya ada perlu sama dia." "Jangan macam-macam kamu. Mau apalagi kamu sama istri saya?" "Mengenai uang Tiga Milyar yang kamu kasih ke saya, itu kebanyakan— jadi saya berencana untuk mengajak mantan istri saya mengadakan doa bersama untuk anak kami yang sudah meninggal dunia." Mendengar itu, amarah Mario perlahan naik
Vena dan suaminya terpaksa pulang ke kota kembali. Semua itu karena harus mendatangi panti asuhan yang dimaksud oleh Daniel di hari Rabu.Sialnya, Mario harus bertemu tim pengacara dahulu, dan sekarang sudah hampir jam sembilan, tapi belum pulang juga.Vena agak resah menunggu di teras rumah. Dia bisa saja berangkat dengan taksi atau meminta salah satu satpam jadi sopir, tapi mana mungkin pergi tanpa suaminya?"Mana sih kamu, Mas ... udah jam sembilan, loh. Takutnya telat dan malah jadi masalah nanti di panti asuhan," katanya sembari melihat jam di ponsel. Dia menunggu balasan pesan dari Mario, tapi tak ada pemberitahuan apapun.Di saat bertepatan, masuklah sebuah mobil ke dalam sini. Itu kendaraan yang asing. Dia heran— kalau dibiarkan masuk oleh satpam, artinya pasti dikenal.Seseorang keluar dari dalam mobil tersebut. Tanpa diduga, itu adalah wanita asing yang dulu pernah memanggil nama suaminya saat di Bali. Iya, itu adalah Sarah.Wanita itu berpenampilan bak seorang model, tubuh
Begitu sampai di tempat tujuan, mobil yang ditumpangi Vena dikerumuni oleh wartawan.Vena keluar mobil dengan waspada. Dia tidak pernah menghadapi semua ini sebelumnya. Iya, dia hanyalah ibu rumah tangga, tapi sekarang mendadak sudah seperti artis.Tetapi, dia sadar harus terbiasa. Bagaimana pun, sang suami adalah salah satu orang terkaya di negara ini. Pria itu pasti dapat perhatian hebat jika terlibat masalah di tempat umum.Beberapa wartawan mengambil foto Vena, lalu salah satu di antaranya bertanya, "Ibu Vena, Ibu Vena, kenapa bisa terlambat menghadiri acara doa untuk mendiang anak Ibu dan Pak Daniel Adinata?""Terlambat?" ulang Vena bingung. Dia mulai tidak nyaman dikelilingi wartawan sampai tak bisa bergerak. "Maksudnya apa ini? Saya tepat waktu, kok.""Acaranya jam delapan tadi, Bu, sekarang sudah selesai, Pak Daniel Adinata sudah pergi."Vena kaget. Belum sempat dia menjawab apa-apa, para wartawan malah melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang menyudutkan. Dia pun masuk ke
Vena menaiki taksi untuk sampai di taman yang diminta. Dia duduk di kursi yang kelilingi oleh pepohonan cemara. Beberapa orang tampak jalan kaki atau jogging di area ini.Angin siang hari mengembus ke wajahnya. Suasana seperti ini mengingatkan akan masa lalu. Iya, di saat dia masih berpacaran dengan Daniel.Dahulu, dia sangat membanggakan pria itu. Nyatanya, semua sikap baik itu hanya kepalsuan. Semua sudah dia lihat ketika beberapa bulan silam, saat dia diusir dari rumah, di depan wanita selingkuhan.Harga diri Vena terasa hancur jika teringat hal tersebut. Dia masih tidak percaya, setelah enam bulan, dia harus bertemu dengan orang-orang yang membuat mentalnya jatuh.Tetapi, hidup harus terus berjalan, tidak boleh terus menerus melihat ke belakang. Dia sadar bukan lagi Vena yang dahulu. Jodohnya bersama Daniel sudah berakhir. Kini, dia adalah Vena yang baru, Vena yang sudah punya hidup baru, yang sudah menjadi istri pria lain.Memikirkan Mario membuat hatinya tentram. Tanpa sadar, b
Sarah. Iya, wanita itu dibawa oleh Tante Ruth untuk ke rumah ini. Vena tidak percaya melihatnya datang. Dari semua orang, kenapa Tante Ruth malah membawa wa restnita itu? Apa dia belum menyerah menjodohkan Mario dengannya? Tetapi, Vena menepis pemikiran itu. Untuk sekarang, dia harus bersikap baik. Lagipula, dia sedang hamil, seharusnya dia bisa mengambil hati Tante Ruth sekarang. "Oh, ini yang sedang hamil?" ucap Sarah dengan nada sinis saat sudah di hadapan Vena. "Yakin itu anaknya Mas Mario?" "Datang-datang langsung bicara seperti itu? Tidak sopan sekali kamu?" Sahut Vena yang menahan amarah. Dia tidak terima mendengar tuduhan seperti itu terhadap anak yang dikandung. Tante Ruth bukannya membela, malah mendukung omongan Sarah dengan berkata, "iya, apalagi dahulu kamu pernah semalam sama mantan suami kamu." Vena kaget mendengarnya, tak percaya kalau itu keluar dari mulut Tante Ruth. Makin ke sini, wanita itu malah makin tidak karuhan. Apa pengaruh Sarah sebesar itu sampai memb
"Sayang, kemungkinan besar Tante beneran datang ke rumah. Ditolak pun tetep bakalan datang. Mungkin sama yang lain." Akhirnya Mario memberitahu itu kepada sang istri begitu sudah kenyang sarapan. Dia mengusap mulut dengan serbet makan sembari melihat wanita itu.Vena terkejut. Dia sudah selesai makan, masih duduk berdua dengan Mario di meja makan. "Kok kamu baru ngomong?""Tadi baru ditelpon, Sayang.""Kalau begitu aku suruh Pak Johan buat beli sesuatu untuk dihidangkan gimana?""Sudah aku suruh kok, kamu santai saja di rumah. Tapi, maaf aku nggak bisa menemani kamu karena ada meeting sampai malam.""Nggak apa-apa." Vena merasa resah, belum bisa damai dengan sang bibi. Namun, dia merasa lebih tenang sekarang karena di perutnya ada calon penerus keluarga Winata. "Justru ini waktunya aku ngasih tahu Tante tentang kehamilanku ... Mungkin saja kali ini Tante bisa menerimaku.""Maaf ya, Sayang, gara-gara keluargaku, kamu jadi banyak pikiran.""Nggak apa-apa. Lagian, aku sadar diri kok ...
Gejala kehamilan seperti mual, ingin muntah, dan pusing dirasakan oleh Vena. Di pagi hari, semua gejala itu langsung menyerangnya sehingga dia harus betah di kamar mandi selama tiga puluh menit.Mario yang mendengar semuanya segera bangun, lalu turun ranjang, mendekati pintu kamar mandi. Dia mengetuk. "Sayang, kamu nggak apa-apa?"Beberapa saat kemudian, Vena keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit pucat, tapi masih kelihatan baik-baik saja. Dia mengangguk, lalu menjawab sang suami, "aku baik-baik saja, kok.""Kalau begitu kita sarapan dahulu, lalu minum obat sama vitamin dari dokter." Mario mendadak tak mengantuk lagi melihat istrinya yang seperti tidak nyaman. "Kamu mau sesuatu yang berbeda nggak? Biar dibuatkan?""Enggak, aku mau makan yang seperti biasa saja ... sama telur mata sapi.""Telur mata sapi?""Iya.""Iya sudah."Keduanya turun anak tangga, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Di sana, mereka bertemu dengan para asisten rumah tangga.Semuanya tampak segera menyiap
Bertemu Daniel adalah hal yang tak ingin dilakukan oleh Mario. Dia ingin sekali menolaknya, tapi tidak mungkin juga. Terlebih, pria itu mengajak ketemuan di restoran milik Vena. Dia tak mau membuat Vena khawatir, jadi pergi tanpa mengatakan apapun. Usai meninggalkan rumah, dia berkendara sendiri, tanpa menggunakan sopir, menuju ke restoran sang istri yang masih buka.Iya, sekarang masih jam tujuh malam. Suasana di sekitar restoran sangat ramai. Hari demi hari tempat ini ramai pengunjung.Begitu masuk ke dalam, dia langsung bisa melihat sosok Daniel yang duduk di tepi jendela, sendirian.Mario mendatanginya, lalu duduk di kursi yang di hadapan Daniel. Saat itu pula, seorang pelayan mendekat dengan buku menu."Pesan paket menu spesial," kata Daniel tanpa buku menu.Pelayan menulis pesanan, lalu menoleh ke Mario. Dia tidak tahu kalau pria itu adalah suami dari pemilik restoran.Mario sama sekali tidak melihat buku menu. Dia hanya berkata, "air putih.""Eh ..." Pelayan itu sampai heran.
Hamil?Itu adalah hal yang sama sekali tak disangka oleh Vena dan Mario. Untuk beberapa menit pertama, mereka hanya diam sembari mencerna berita itu.Perlahan, senyum Mario melebar. Tetapi, dia sadar harus tenang dulu dan memastikan kebenaran ini. Alhasil, dia mengajak istrinya untuk segera ke rumah sakit.Di sana, Vena harap-haras cemas dengan pemeriksaannya. Hasil bisa langsung diketahui tak lama kemudian, dan ternyata memang positif.Vena menahan napas saat membaca kertas hasil pemeriksaan tersebut. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah kehilangan anak, dia mendapatkannya lagi sekarang.Dia tak bisa berkata-kata hingga harus dituntun oleh Mario keluar dari ruang dokter kandungan. Mereka duduk sebentar di kursi tunggu depan tempat pengambilan obat. Ada resep yang harus ditebus— dan Mario mengurus segalanya. Sementara itu, Vena masih memandangi hasil pemeriksaan.Usai menyerahkan resep, Mario kembali mendekati Vena, lalu duduk di sampingnya. "Kita tunggu sebentar, Sayang. Ada banyak
Menikmati waktu berdua, jalan-jalan, mengunjungi tempat wisata, lalu makan siang berdua. Semua sudah dirasakan oleh Vena bersama suaminya. Dia merasa lelah. Aneh memang, tak biasanya dia gampang lelah begitu.Alhasil, saat sore hari, dia meminta untuk segera pulang karena kepalanya sakit.Di sepanjang perjalanan, Mario khawatir dengan keadaannya. Bahkan, Sampai di rumah pun, dia masih khawatir.Vena rebahan di ranjang, beristirahat lebih cepat. Sementara itu, Mario datang dengan membawakan teh hangat.Pria itu bertanya, "sayang, kamu yakin nggak ke rumah sakit dulu?""Enggak." Vena menggelengkan kepala. "Mungkin terlalu banyak kepamasan tadi. Aku ini 'kan darah rendah— jadi pusing."Mario duduk di tepian ranjang, menyerahkan teh hangat. "Ini minum dulu."Vena meminumnya. Dia merasa lebih baik, dan bersandar ke tumpukan bantal.Mario menaruh gelas yang masih berisi setengah mimuman itu di atas meja nakas. Dia memegangi paha sang istri, memijatnya perlahan. "Mau dipijat nggak?""Enggak,
Vena dan Mario duduk di bangku kosong, di sekeliling mereka tumbuh pepohonan rimbun. Keduanya bisa merasakan hawa sejuk di sekitar situ meski matahari sudah hampir sejajar di atas kepala.Mario mendongak, tersenyum melihat dedaunan pohon yang menangungi bangku ini. Dia merasa damai berada di situ.Vena menatapnya. "Kenapa senyum begitu?""Nggak apa-apa, Sayang. Aku merasa tenang berada di sini. Itu saja.""Padahal barusan kita melihat orang mencurigakan?""Kalau itu—“ Mario sempat menoleh ke berbagai arah, memastikan tidak ada pria asing itu lagi. Baru setelahnya, dia berkata, ”nggak ada siapapun. Aku memang curiga, tapi selama dia nggak ganggu kita, nggak usah dipikirkan."Vena menepis perasaan tak enaknya dia mengangguk paham. "Iya." "Semoga saja itu bukan mantan suami kamu yang gila itu lagi. Jujur, aku lelah diganggu terus. Ia pintar sekali masuk ke keluargaku.“"Maaf ya, Mas.""Nggak usah selalu minta maaf, Sayang. Dia memang brengsek. Ya sudahlah.”Vena tidak berkata apapun, m
Aroma itu familiar...Vena masih memikirkan orang yang barusaja melintasinya. Namun, dia mengabaikan itu setelah orangnya sudah jauh, menghilang di balik pepohonan.Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di Lokasi air terjun kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Ada beberapa orang yang menikmati keindahan tempat ini, sebagian lain terlihat memotret beberapa area.Mario tersenyum senang. Tak biasanya dia melihat pemandangan. "Indah banget ya, Sayang? Saking capeknya melihat laptop sama orang-orang tua bangka di ruang rapat, melihat semua ini jadi terasa di surga."Vena tertawa kecil. "Kamu kurang ajar banget. Orang-orang yang kamu hina itu 'kan pasti investor dan rekan-rekan bisnis.""Termasuk om ..." tambah Mario sama sekali tidak tertawa, malah terlihat kepikiran.Senyum Vena pun luntur. Dia kembali teringat akan ancaman sang bibi pada mereka. Tetapi, dia tidak mau merusak suasana dengan membahas itu.Dia mengusap hidung, mencium aroma-aroma lain lagi. Entah
Mario dan Vena pergi jalan-jalan ke daerah pinggiran kota. Mario sengaja memilih area yang dekat dengan jalur hutan agar tidak menarik terlalu banyak perhatian dari orang. Iya, mengingat dia membawa mobil sport.Vena melihat ke sekeliling. Dia menatap sang suami, lalu bertanya, "kamu kok lewat jalanan sepi begini?""Kenapa? Namanya juga jalan-jalan, seru 'kan lewat jalan hutan begini, asri banget." Mario sesekali melihat keluar jendela. Ia tampak tersenyum menikmati pemandangan indah pepohonan yang menjulang tinggi."Mmm .." Vena berpikir sebentar. "Kamu nggak takut ada begal? atau psikopat?"Mario tertawa, tapi masih fokus menyertir. Dia mengejek istrinya dengan berkata, "astaga, Sayang, kamu kebanyakan nonton film.""Nggak begitu juga, kamu itu yang jarang melihat berita. Justru kita ini tinggal di negara yang banyak begal, harus waspada— apalagi kamu pakai mobil beginian.""Justru kalau aku pakai mobil beginian, mana mungkin dimaling. Yakin bisa mengendari mobil ini?"Vena merasa i