Ada gundukan yang keras yang menindih pahaku. Entah apa itu. Membuat alirah darahku seakan berhenti mengalir."Maaf, Al. Kaki saya tersandung. Kamu tidak apa-apa kan?" Pak Fikri langsung bangkit dari tubuhku. Wajah juteknya kini berubah memerah seolah tengah menahan malu."Kaki saya sakit, Pak. Sepertinya keseleo," jawabku setengah menahan malu. Ini adalah kali pertama ada seorang pria menindihku. Meski tak sengaja, rasanya aku malu. Bahkan dalam benak masih bertanya-tanya tentang gundukan yang keras di pahaku tadi."Saya periksa ya."Aku mengangguk saja karena kakiku rasanya memang nyut-nyutan.Tangan Pak Fikri langsung meraih kakiku. Aku pikir tangannya akan kasar tapi ternyata sangat lembut, bahkan jauh berbeda dengan telapak tangan milikku yang agak kasar karena sering menggunakan sabun cuci piring dan cuci pakaian.Diusapnya kaki ini kemudian dipijat dengan lembut membuat aliran listrik yang berada di tubuhku terasa naik. Aku menarik kaki ini karena tak enak."Kenapa? Sudah sembu
"Tolong!" Aku masih berusaha berteriak."Alsava, bangun!"Sayup-sayup terdengar suara wanita. Tapi entah dari mana datangnya. Aku hanya bisa berteriak minta tolong. "Tolong!" Usahaku hanya itu karena tubuh ini terasa kaku bak tertimpa beban yang berat. Mungkin karena Pak Fikri menindihku."Bangun, Al." Seketika aku terkejut dan langsung duduk. Keringat terasa membasahi tubuh. Aku segera membuka mata. Di sampingku ada Mama Fira yang menatapku aneh."Pak Fikri," bisikku. Kuedarkan pandangan ke sekiling ruangan kamar. Tak kulihat majikanku itu. Dimana Pak Fikri? Cepat sekali dia lari."Al, kamu kenapa? Kamu mimpi buruk?" Mama Fira duduk di sampingku dan mengusap bahuku."Hah, mimpi?" Setengah lingkung bertanya pada mertuaku."Iya, Al. Kamu pasti mimpi ya. Sampai keringatan begitu." Mama Fira mengusap dahiku."Aku mimpi, Ma?" Aku masih saja linglung dengan keadaan. Beberapa kali menelan Saliva penuh rasa ketakutan."Ya ampun, Alsava. Memangnya kamu mimpi apaan? Sampai menyebut nama Fikri
"I-iya, Pak. Tapi Pak Fikri jangan melihat. Kalau melanggar, akan saya laporkan polisi," ancamku yang sepertinya tak berarti apa-apa.Kulihat Pak Fikri sudah berdiri menghadap pintu kamar mandi. Sementara aku masih saja bergeming. Aku tak bisa mandi karena kakiku sakit. Gegas aku duduk di kloset yang ditutup. Aku mulai menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah itu,"Sudah, Pak," ucapku."Kamu belum mandi, Al," suara Pak Fikri terdengar kesal."Saya gak jadi mandi. Kalau Mama bertanya, jawab saja saya sudah mandi. Gampangkan," saranku. Mana ada laki-laki yang tahan ketika melihat wanita bertelanjang bulat. Enak saja. Aku tak akan pernah mau bertelanjang di depan Pak Fikri, meski dia suamiku."Terserah kamu. Ayo keluar, dasar jorok."Pak Fikri kembali membopong tubuhku. Meski jorok, tubuhku tetap wangi kok. Apalagi sejak pake parfum pemberian almarhum Bu Nabila yang wanginya gak akan hilang selama seminggu."Sudah selesai ya? Duh kalian romantis sekali." Mama Fira.Aku tak menyangka kala
Mengapa Oma Rani tak berperikamusiaan. Sama halnya dengan Naysila."Ma, jangan keras-keras bicaranya. Aku baru ingat kalau di rumah ini ada cctvnya." Naysila terlihat berbisik pada Oma Rani. Rupanya dia baru sadar tentang cctv di rumah ini."Ya ampun iya. Mama sampai lupa." Oma Rani menepuk dahinya. Dia kemudian melayangkan tatapan nyalang padaku."Alsava, jangan sampai kamu mengadu yang macam-macam. Kalau sampai itu terjadi maka kamu akan menyesal!" Oma Rani mengancamku. Aku hanya mengangguk saja. Tubuh ini masih berada di atas lantai karena kakiku masih terasa sakit."Ya sudah tunggu apa lagi? Bersihkan kerikil yang ada di taman belakang sekarang!" Oma Rani memerintah terdengar tegas walaupun volume suaranya ia kecilnya.Dengan langkah yang tertatih aku tak berdaya dan tak bisa membantah. Aku berusaha menuju taman belakang kemudian duduk diantara kerikil berukuran diameter sepuluh sentimeter berwarna putih di taman belakang. Satu persatu kerikil itu aku sikat dan kubersihkan. Ini ad
Malam ini mimpi buruk seolah dimulai. Demi terlihat nyata di hadapan Mama Fira, aku terpaksa menuruti perintah untuk tidur di kamar Pak Fikri.Dadaku berdebar panas. Khawatir pria tua itu akan berbuat yang macam-macam. Aku membungkus tubuhku di atas sofa yang ada di ruang kamar Pak Firki."Saya akan tidur di sofa, Pak," ucapku tanpa melirik ke arah Pak Fikri yang sedang berganti pakaian. "Kamu tidur di ranjang. Biarkan saya yang akan di sofa," balas Pak Fikri terdengar ketus."Enggak, Pak. Saya saja yang akan tidur di sofa." Tanpa menunggu persetujuan aku segera membaringkan tubuh di atas sofa yang sudah dililit selimut tebal. Aku berusaha memejamkan mata meski akan sulit tertidur. Malam ini harus berjaga-jaga jangan sampai ketahananku dibobolnya."Kamu tuh susah diatur ya!" Pak Fikri masih mengeluarkan kekesalannya namun aku berpura-pura tak mendengar.Lampu mulai dimatikan. Sunyi sepi tak ada suara di kamar ini. Tak lama terdengar suara dengkuran halus memecah keheningan. Tak kusa
Siang itu tak ada yang kupikirkan selain ingin pergi dengan Rangga sang pujaan hati. Namun niat itu harus pupus manakala suara deru mobil berhenti di depan rumah. Sepertinya aku mengenal suara mobilnya. Gegas kuintai dari balik jendela, ternyata Pak Fikri pulang. Tak biasanya dia pulang secepat ini."Al, gegas siap-siap. Kita akan pergi," titah Pak Fikri begitu dia berhasil menemukanku di ruang belakang. Padahal aku tengah bersembunyi di sana."Mau kemana, Pak?" Aku bertanya lagi."Tak usah banyak tanya, Alsava. Langsung nurut aja bisa 'kan." Pak Fikri langsung masuk ke ruangan kamarnya meninggalkanku yang masih mematung.Majikan jutek itu memang menyebalkan. Padahal aku ingin sekali pergi dengan Rangga. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya. Tapi perintah Pak Fikri memang tak bisa dibantah. Aku tak punya kekuasaan apa-apa."Jaga rumah saya. Saya akan pergi dalam dua hari. Jaga rumah saya baik-baik!" Pak Fikri memerintah pada Rangga dengan tegas setelah sebelumnya memerintah I
Ibu nampak mengernyitkan dahi. "Tidak, Al. Kamu harus tetap dengan suamimu. Setelah menikah Kamu adalah tanggung jawab suami kamu." "Tidak, Bu. Al tidak mau. Aku akan tinggal bersama ibu di sini. Lagi pula, Pak Fikri pasti tak akan keberatan kok," balasku. Kualihkan pandangan ke arah Pak Fikri."Boleh kan, Pak?" tanyaku pada pria setengah tua itu.Pak Fikri membatu dalam beberapa saat. Dia tampak gugup. "Bolehkah, Pak?" tanyaku sekali lagi padanya."Tidak," jawab Pak Fikri dengan suara tegas. Aku terbelalak mendengarnya. Bisa-bisanya dia melarangku. Memang siapa dia?"Pak, saya hanya ingin tinggal bersama ibu. Tolong jangan paksa saya untuk pulang ke rumah Bapak. Lagi pula kan ada Ijah yang bisa membantu Bapak di rumah," celotehku."Al, jangan bicara seperti itu. Pak Fikri itu suami kamu. Jangan pernah membantah perintah suami," timpal Ibu. Mungkin Ibu tak mau kalau aku jadi istri durhaka. Tapi pernikahanku dengan Pak Firki hanyalah pura-pura dan sementara saja.Oke akhirnya aku akan
Aku sudah membereskan barang-barangku ke dalam koper. Kuputuskan untuk pergi saja dari rumah Pak Fikri.Aku berjalan mengendap-endap menuju ke depan rumah saat benda bundar yang menempel di dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Aku yakin kalau Pak Fikri sudah lelap dalam tidurnya."Kamu mau kemana, Al" Tiba-tiba suara bariton mengejutkan jantung. Aku membeliak terkejut dan seketika menunda niatku membuka pintu utama."Pak Fikri!" Aduh bagaimana ini. Mengapa Pak Fikri tiba-tiba ada di situ. Bagaimana kalau dia bisa menebak niatku yang hendak kabur."Kok diam saja, kamu mau kemana?" Dia bertanya lagi padaku dengan melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Bawa koper segala. Kamu mau minggat?" Benar saja Pak Fikri bisa menerka niatku."Tidak kok, Pak," bantahku walau sedikit gugup."Lalu mau Kamana?" tanyanya lagi. Aku kembali diam karena bingung harus menjawab apa."Kembali ke kamar kamu sekarang!" Perintahnya dengan tegas. Lagi-lagi aku menurut. Tatapan Pak Fikri yang tajam memb
Pagi ini aku memilih menyudahi konflik batin ini. Aku menghampiri Pak Fikri yang duduk sendirian di sofa dengan tatapan kosong ke depan. Aku duduk di sofa yang berseberangan dengannya.Pria itu terkejut tatkala aku datang dengan tiba-tiba. Dia menoleh menatapku masih bersalah."Pak, hari ini saya sudah membuat keputusan." Pak Fikri terkejut saat mendengar ucapanku. "Keputusan apa, Al?" Suaranya bergetar saat bertanya padaku.Aku melihat kiri dan kanan terlebih dahulu. Memastikan bahwa di dekat ruangan ini tak ada Mama Fira."Mama kemana?" Aku bertanya terlebih dahulu."Mama sedang pergi ke minimarket membeli keperluan makanan," jawab Pak Fikri. "Ada apa, Al?" Suamiku itu bertanya lagi dengan suara lembut tak seperti biasanya yang selalu jutek dan sinis.Aku menghela napas terlebih dahulu. Mengatur perasaan yang terasa lebih baik dari sebelumnya."Kita tahu kan, Pak. Pernikahan ini hanya pura-pura saja. Tersisa waktu empat bulan lagi semuanya akan segera berakhir. Tapi kenyataannya sa
"Apa!" Mama Fira terkejut mendengar jawaban dari Pak Fikri barusan."Iya, Ma. Akhirnya aku bisa memiliki anak," balas Pak Fikri pada mamanya.Aku melihat bola mata suamiku dan mamanya terlihat berbinar. Mereka berpelukan meluapkan rasa bahagia. Berbeda dengan diri ini yang rasanya hancur tak memiliki masa depan lagi setelah ini."Alhamdulillah. Akhirnya kamu akan jadi seorang Ayah, Fikri." Mama Fira masih memeluk tubuh Pak Fikri terlihat sangat terharu dengan kehamilanku."Iya, Ma. Penantian yang sungguh panjang."Aku hanya diam dalam kesedihanku melihat dua manusia di depan saling meluapkan kebahagiaan. Aku kembali meneteskan air mata di pipi. Dalam diam dan bibir yang rapat aku dipapah oleh Mama Fira berjalan ke kamarku. Bukan ke kamar belakang, tapi Mama Fira membawaku ke kamar Pak Firki. Tubuh lemasku dibaringkan di atas ranjang yang empuk tapi tubuh ini terasa sakit. "Kamu istirahat ya. Mama akan buatkan kamu minuman yang segar." Mama Fira terlihat keluar dari kamar. Aku masih
"Bagaimana keadaanya, Dok?" Pak Fikri langsung bertanya kepada Dokter tentang keadaanku setelah pemeriksaan selesai. Aku masih berbaring karena rasanya mual. Bukannya menjawab pertanyaan Pak Fikri, Dokter malah menyuruh asistennya mengantarkan aku ke kamar mandi untuk buang air kecil, padahal aku sedang tidak ingin pipis.Tanpa bisa membantah, aku segera mematuhi perintahnya. Aku masuk ke dalam kamar toilet. Kemudian buang air kecil yang diminta dimasukkan ke dalam wadah kecil. Kemudian air pipis itu dibawa asisten Dokter.Aku mengerutkan kening. "Aneh banget sih. Itu air pipis kan bau."Setelah itu aku kembali duduk di depan Dokter, berdampingan dengan Pak Firki.Beberapa menit kemudian, asisten Dokter yang tadi menemaniku di toilet nampak membawa sebuah alat tes yang sepertinya membuat bola mata Pak Fikri membulat."Kok ada testpack?" Pak Fikri ternyata mengetahui alat medis itu. "Iya, Pak. Testpack ini hasil pemeriksaan air seni milik Nona Alsava barusan. Hasilnya positif," jelas
Terpaksa membuka pintu. Aku menghampiri Mama Fira yang baru saja masuk ke dalam rumah."Al, bagaimana kabarmu?" Mama Fira yang selalu baik, menyapu dengan suara ramah.Aku segera meraih dan mencium punggung tangan wanita paruh itu. "Kabar saya sehat, Ma. Bagaimana dengan kabar, Mama?" balasku berbalik tanya padanya."Baik kok. Mama dengar kamu sakit. Maaf ya Mama tak sempat menengok ke rumah sakit. Baru pulang dari luar kota makanya baru sempat datang ke sini," cerita Mama."Tidak apa-apa kok, Ma. Saya sehat. Kemarin memang asam lambung kumat. Tapi sekarang sudah membaik, Ma," terangku.Wanita paruh baya yang sangat baik itu membelai rambut ini dengan lembut membuat aku merasa diperhatikan."Al, jaga kesehatan ya. Asam lambung jangan disepelekan. Itu berbahaya." Mama Fira menyarankan."Iya, Ma. Makasi ya. Mama selalu baik pada saya," balasku semakin terharu."Mama akan masak buat kamu. Kamu sudah makan?" Aku menggelengkan kepala. Aku memang malas makan karena kesal pada Pak Fikri."Y
Pagi menjelang siang ini, kami bertiga sudah duduk di kursi ruang makan. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut ini. Hanya Ibuku dan Pak Fikri saja yang berbicara memperlihatkan keakraban. Aku tak perduli dengan topik pembicaraan mereka. Jiwa ini terasa rusak."Al, hari ini Ibu akan pergi ke mall diajak Fikri jalan-jalan. Kamu mau ikut gak?" Tiba-tiba Ibu bertanya disela-sela lamunanku. Aku menoleh pada wanita paruh baya itu. Wanita yang sangat aku hormati. Bahkan diri ini rela hancur hanya untuk kebahagiaannya."Ibu pergi berdua saja. Aku sedang malas kemana-mana, Bu. Rasanya lemas," jawabku dengan pelan. Lagi pula selangkangan ini masih terasa perih."Hmm Ibu percaya deh. Kamu pasti kecapean ya." Ibu malah menggodaku.Terserah Ibu saja mau berpikir apa pun. Aku hanya mengulum senyum saja saat Ibu menggodaku. Seakan mengiyakan tebakan Ibu."Baiklah, Ibu pergi dulu ya," pamit Ibu setelah aku mengiyakan.Tak lama setelah Ibu berlalu keluar, nampak Pak Fikri menghampiriku."Al, Ibu
Ibu malah tersenyum mendengar pertanyaan dariku. Padahal aku bertanya cukup serius padanya."Ibu kok malah senyum-senyum sih. Aku serius nanya sama Ibu. Semalam itu minuman apa?" tanyaku lagi kian penasaran saja."Memangnya apa yang kamu rasasakan semalam?" Lagi-lagi Ibu malah berbalik tanya."Ada yang berbeda dari biasanya, Bu," jawabku."Beda bagaimana?" Ibu bertanya lagi membuatku semakin merasa aneh saja."Sudah dong, Bu. Jangan berbalik tanya lagi. Aku serius nanya sama Ibu, minuman apa yang semalam Ibu berikan padaku dan Pak Fikri?" Dengan kembali nanar aku bertanya pada Ibu.Akhirnya Ibu menyudahi senyumannya. "Minuman semalam adalah jamu penyubur rahim sekaligus menambah stamina agar kalian sering berusaha untuk mendapatkan momongan," jawab Ibu yang membuat bola mataku membulat sempurna.Ya ampun Ibu. Bisa-bisanya Ibu telah menghipnotis aku dan Pak Fikri semalam. Aku jadi semakin yakin kalau ketidak sadaran semalam adalah pengaruh dari jamu yang diberikan Ibu.Dadaku terasa pa
Hawa panas masih menyeruak di kamar yang luas ini. Pun dengan Pak Firki, kulihat pria itu tampak membuka bajunya. Tak lama aku berhalusinasi. Entah apa yang terjadi dengan diriku. Malam ini aku menerima permainan panas Pak Fikri di atas ranjang tanpa bisa melawannya.Aku menikmati setiap sentuhannya. Aku mendesah di setiap kecupannya yang menjalari seluruh tubuhku. Kenikmatan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sadari Pak Fikri mulai menerobos lubang kecil milikku tanpa perlawanan. Seperti terhipnotis oleh keadaan aku sampai mendesah merasakan kala benda milik pria itu memompa kencang milikku sampai kami berdua terhanyut dalam permainan panas malam ini.***"Tidak!" Aku berteriak pagi-pagi dengan kedua tangan memegang selimut yang menutupi sebagian tubuhku.Mendengar teriakkan ini, Pak Fikri yang masih tertidur lelap, langsung bangun dan tak kalah terkejutnya denganku.Pria itu melihat tubuhnya di balik selimut tebal, tubuh telanjangnya masih tak ditutupi sehelai benangpun."
Mengapa Ibu tiba-tiba ada di sini lagi. Harusnya kan beliau sudah ke kamar tamu."Kok Ibu balik lagi?" Sengaja aku bertanya sekedar mengalihkan perhatian."Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Alsava. Mengapa kamu menolak tidur bersama suami kamu?" Nyatanya Ibu malah bertanya lagi membuatku tegang saja. Mana Pak Fikri hanya diam saja."Maksud Aku bukan menolak, Bu. Tapi—""Tidak ada alasan untuk menolak suami, Al. Kecuali kamu sedang berhalangan." Ibu memotong ucapanku."Tetap bersama suami Dalam keadaan apapun." Ibu menekan lagi. Setelah itu Ibu mengalihkan pandangannya pada Pak Fikri."Fikri, kamu pun sebagai suami harus bisa mendidik Alsava. Jika Alsava salah, didik dia. Jangan diam saja. Pertanggung jawaban seorang suami bukan hanya di dunia, di akhirat pun seorang suami akan diminta pertanggung jawabannya," pesan Ibu pada Pak Firki. Pria dewasa di depanku itu mengangguk saat diberitahu oleh Ibu."Iya, Bu. Maafkan saya. Saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Alsava," balas P
Aku dan Pak Fikri dibuat gugup hari ini. Tapi Ibu sepertinya masih saja menunggu jawabanku."Tidak kok, Bu. Jika Tuhan sudah memberikan kepercayaan, kehamilan pasti akan datang," jawabku akhirnya walaupun berat."Baguslah," balasnya. Kulihat Ibu menyeringai senang. Sementara Pak Firki hanya diam dengan menundukan kepala. Mungkinkah Ibu merasa senang dengan jawabanku? Biarlah, aku tak tega membuat Ibu bersedih hari ini.Setelah kedatangan Ibu, Pak Fikri langsung pamit sebentar untuk pergi ke kantor. Sementara aku ditemani Ibu sampai keadaan benar-benar pulih. Apa-apaan aku ini sampai pingsan gara-gara tidak makan dari kemarin. Jangan sampai hal sepele seperti ini diketahui Ibu.Siang ini aku makan cukup banyak, kebetulan sebelum Pak Fikri pergi, dia sudah menyiapkan banyak makanan di atas meja di ruanganku. Saat sore menjelang Pak Fikri sudah tiba kembali di ruanganku. Aku langsung bersiap-siap karena Dokter sudah mengizinkan pulang."Ibu, mau saya antar ke rumah atau mau menginap?" Pa