"Lo tahu, sebenarnya gue tertekan dengan pernikahan ini. Apalagi Meta sudah bisa memaafkan gue. Bukankah seharusnya menikahinya saja tanpa harus tersiksa selama setahun ke depan?"
Tubuh Daniel berjengkit kaget. "Maksud Lo, pernikahan ini hanya sementara? Untuk apa?""Ya, begitulah. Bapak yang meminta. Karena ... Gue telah melecehkannya," lirih Desta.Ada seberkas sesal terpancar dari hatinya. Namun hanya sekilas. Pria itu sangat pandai menutupi suasana hati dengan ekspresi dinginnya."Lalu apa yang akan Lo perbuat setahun ke depan?"Senyum sinis tercetak di sudut bibir Desta. Tatapannya menerawang jauh. Dahinya mengkerut seolah sedang memikirkan sesuatu yang sangat besar."Gue akan membuat pernikahan ini seperti neraka baginya. Karena dia, gue harus kehilangan waktu setahun ke depan."Tanpa Desta sadari, kedua tangan Daniel mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Pria itu sedang menahan gejolak emosi karena mendengar ucap"Kenapa kamu menatapku seperti menatap hantu? Apa saya sejelek itu di matamu?""Bu--bukan gitu, tapi kenapa tidur di sampingku?""Emangnya saya harus tidur di mana? Kita sudah menikah, dan di sini hanya ada satu ranjang."Diana menyadari apa yang dikatakan Desta memang benar adanya. Menghembuskan napas perlahan lalu melirik jam dinding yang terus berdetak. Netranya membelalak kala melihat jarum jam menunjuk angka 2.30 dini hari. Apakah suaminya baru masuk kamar jam segini? "Baiklah. Silahkan tidur. Maaf, sudah mengganggu," lirihnya lalu menuju kamar mandi. Desta menatap heran pada istrinya yang lebih memilih meninggalkannya ke kamar mandi. Tak mau ambil pusing, pria itu memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya yang letih. Dia sendiri tak paham dengan jalan pikirannya. Kenapa ia harus repot-repot tidur di kamar Diana, padahal ia sangat membencinya. Sisi lain hatinya khawatir jika istri barunya akan mengira bahwa dirinya menerima pernikahan ini. Cukup lama ia b
Pagi ini, sarapan pertama Desta dengan keluarga barunya. Semua sudah duduk melingkar di depan meja makan. Bapak dan Ibu makan dalam diam. Seolah enggan mengeluarkan suara saat ada Diana di antara mereka. Sementara Meta tampak sibuk mencari perhatian Desta. Ia mengambilkan nasi dan lauk untuk Desta. Bahkan sesekali ia berceloteh mengatakan makanan kesukaan pria itu seolah ingin menunjukkan pada Diana bahwa ialah yang paling tahu soal Desta. Diana yang merasa diabaikan mempercepat makannya agar bisa segera pergi dari sini. Sesekali Desta melirik istrinya saat mantan kekasihnya dengan sengaja menampilkan kemesraan di hadapannya. "Mau tambah lagi, sayang? Cumi asam manis kesukaanmu masih belum tersentuh lo," ucap Meta dengan suara yang sengaja dibuat manja. Desta merasa tak nyaman dengan perlakuan berlebihan Meta. Meski di hatinya masih ada nama gadis itu, tapi ia masih memiliki perasaan untuk tidak melukai istrinya di depan keluarga. "Tidak. Aku
Setelah melalui drama pagi hari, akhirnya Desta membawa istrinya ke rumah yang ditinggalinya selama ini. Sebagai istri, Diana tak mampu menolak. Ia hanya mengikuti saja kemauan sang imam. Di sinilah mereka sekarang. Di depan rumah besar berlantai dua dengan pilar-pilar besar yang membuat kesan mewah dan megah. Halamannya cukup luas dan sejuk. Di tengah-tengah halaman itu terdapat air mancur yang dikelilingi taman bunga. Sementara di sisi kanan dan kiri taman itu terdapat jalan berliku dengan paving block menuju garasi. Semua halaman yang tidak di paving, sengaja ditanami rumput jepang yang menutupi seluruh tanah. Tampak menghijau dan segar dipandang mata. Untuk sesaat Diana menikmati pemandangan indah ini dengan decak kagum. "Sepertinya aku akan betah di sini," ucap Diana dalam hati. "Selamat datang, Nona Diana. Mari saya antar ke kamar," ucap seorang pria berseragam satpam mengagetkan Diana. Ia menatap sekeliling, sudah tak ada Desta di sana.
"Saya bik Ijah, Non. Pembantu di sini. Saya sudah dua puluh tahun kerja dengan den Desta. Selamat datang di rumah ini, Non. Semoga betah.""Ah, i--iya, Bik. Saya Diana."Terjawab sudah apa yang mengganjal di dalam pikiran Diana. Melihat betapa ramahnya wanita tersebut, Diana yakin kalau orang yang mengaku pembantu itu pasti orang baik. Setidaknya dia bisa berbincang nantinya kalau dirinya butuh teman."Iya, saya sudah tahu, Non. Den Desta bilang kalau kemarin sudah menikah dan akan membawa istrinya kemari. Selamat ya, Non atas pernikahannya. Semoga langgeng," ucap bik Ijah membuat hati Diana mencelos. Namun dalam hati tetap mengaminkan doa itu. "Non Diana mau sarapan apa, biar sekalian bik Ijah buatin?""Nggak usah, Bik. Biar Diana buat sendiri aja, sekalian buatin sarapan untuk Mas Desta."Wanita setengah baya itu menunjukkan beberapa lembar roti panggang isi selai strawberry dan selai kacang kesukaan Desta. Diana memilih untuk
Pria berjambang tipis itu mencoba menghentikan Diana dengan mencekal lengannya. Tentu saja hal itu membuat sang gadis semakin geram dan ketakutan. Bayangan kejadian di apartemen beberapa waktu lalu terus berputar bak kaset rusak. "Lepasin!" Diana mencoba menghentak tangannya agar cekalan itu lepas. Namun ia salah, tangan kekar pria itu makin menguat hingga membuatnya meringis kesakitan. "Dengerin aku dulu, baru nanti kulepas."Menghembuskan napas lelah, perempuan berhijab itu mengangguk lemah. Tak ingin terlibat masalah lagi dengan pria ini. Namun nasib membawanya untuk kembali bertemu. "Baiklah. Tapi tolong lepaskan tanganmu!""Oke, oke. Aku tak akan menyentuhmu. Sekarang bisakah kita bicara dengan nyaman?" Daniel berjalan menuju kursi panjang di dekat air mancur diikuti Diana dari belakang. Entah mengapa gadis itu mengekor meski sebagian hatinya was-was bukan main. Namun ketika ia memutar bola matanya ke sekeliling terlihat
Diana yang berhati lembut, tak tega melihat orang lain mengemis maaf padanya. Meski sudut hatinya masih nyeri kala mengingat perbuatan pria itu, tapi ia bukan manusia bebal yang tak mau berdamai. "Bisa jadi pria ini memang sedang khilaf. Kalau Allah saja Maha pengampun, kenapa aku yang manusia biasa tak mampu memaafkan orang lain? Belum tentu juga aku tak pernah melakukan kesalahan," putus Diana akhirnya. "Baiklah. Aku sudah memaafkanmu. Tolong jangan pernah mengulangi hal yang sama pada wanita mana pun."Senyum pria itu mengembang sempurna. Ia yakin, suatu saat sahabatnya akan sadar jika perempuan yang dinikahinya karena terpaksa ini jauh lebih baik dari Meta yang manja dan materialistis itu. "Kalau gitu, kita bisa berteman, kan?" ucap Daniel penuh harap. Dia sudah bertekad dalam hati untuk menjadi pelindung gadis di sampingnya ini meski tanpa diminta. "Teman?""Ya, teman." Daniel mengulurkan tangannya pada Diana yang hanya
Desta menatap sahabatnya dengan tajam seolah menguliti setiap jengkal tubuhnya. Tangan kekar pria itu mengangkat istrinya yang seperti ... pingsan?"I--itu kenapa dengan dahi dan tangannya?" Daniel hanya menatap sekilas wajah sahabatnya, lalu berjalan melewatinya begitu saja. Satu per satu anak tangga ia lalui dalam diam. Diikuti Desta dari belakang yang masih penasaran dengan apa yang terjadi.Dengan hati-hati Daniel membaringkan Diana di atas ranjang. Ia memperlakukan gadis itu dengan sangat lembut seolah Diana adalah guci mahal yang akan retak jika terlalu keras meletakkannya. "Dan, katakan! Dia kenapa? Kenapa bisa bersamamu?" Desta menyeret tangan sahabatnya dengan kasar. Entah mengapa ia tak rela istrinya disentuh pria lain meski tidak ada cinta di hatinya. Menghembuskan napas lelah, Daniel menatap netra kelam Desta dengan kesal. "Emang kamu peduli? Bukankah kamu lebih suka menghabiskan waktu dengan gadis manja itu?"Tak
Dua puluh menit akhirnya gadis itu sudah kembali menutup auratnya dengan sempurna. Tentu saja Desta yang berjuang sendiri memakaikannya. "Lo masih di sini?" Kenapa nggak pulang saja?" tanya Desta saat ia melihat Daniel berbaring di sofa ruang tamu. Ia berniat untuk mengambil air minum ke dapur tadi. Namun matanya menangkap sosok yang terbaring sini. "Gue pikir Lo ingin tahu kenapa Diana bisa seperti itu. Kalau nggak butuh penjelasan, gue bakal pulang sekarang." Pria yang sejak pagi tadi bersama Diana itu bangkit dan hendak melangkah menuju pintu. "Jelaskan!""Ck, tak bisakah Lo sedikit sopan pada Gue?""Jangan banyak omong! Jelaskan kenapa kalian bisa bersama dan apa yang terjadi padanya?" Daniel menyugar rambutnya kasar. Tatapan matanya menghujam dalam ke manik kelam pria di hadapannya. Sedikit menilai apakah ia harus jujur atau tidak. Semenjak ia tahu jati diri Diana sesungguhnya, Daniel menjadi benci terhadap sahabatnya in
Pertama kali bertemu orang yang melahirkan ke dunia seumur hidupnya, Diana seperti mimpi dan tak ingin bangun lagi. Selama ini ia mengira ibunya Meta adalah orang yang telah melahirkannya juga. Ternyata dia salah.Dan kini, wanita yang telah menyediakan rahimnya untuk dia tumbuh selama sembilan bulan lebih, talah ada di depan mata. Mereka masih berpelukan melepaskan rindu. Seolah hanya ada mereka berdua di sini. Bahkan, Diana sampai melupakan suaminya. Dalam kondisi normal, ia akan merasa malu bersikap seperti ini di depan suaminya. "Apa kalian nggak menganggap kami ada?" ucap Daniel dengan nada cemburu. Sepasang wanita kembar beda usia itu melerai pelukannya. Lalu menatap tajam pada pria yang barusan berbicara. Seolah mengerti dengan tatapan itu, Daniel memilih untuk duduk di samping Desta. "Apa setelah bertemu kalian akan bersekutu untuk memusuhiku? Kenapa tatapan kalian seperti itu?" cicitnya membuat ia mendapat lemparan dua bantal sofa secara bersamaan. "Tuh, kan ... benar. Bah
Pagi-pagi sekali, Diana sudah berkutat di dapur. Efek tak bisa tidur semalaman karena memikirkan ibu angkatnya, ba'da subub ia sudah berkutat di dapur. Membuat nasi goreng dan roti bakar untuk sarapan. Bi Ijah berkali-kali sudah melarang. Tak tega melihat majikannya di depan kompor dengan perut besar. Apalagi sesekali Diana menekan punggungnya yang mulai pegal. Namun, dasar Diana, ia tetap melakukan aktivitas meski sudah dilarang. Katanya biar persalinannya nanti lancar. Bahkan andai Desta nggak memaksa, ia tetap ingin pergi mengajar. Tepat pukul 6 pagi semua sarapan sudah terhidang di meja makan. Delapan puluh persen Diana yang membuatnya. Setelah siap, wanita itu segera masuk ke kamarnya. Semenjak usia kandungannya mencapai tujuh bulan, Desta memindahkan kamar mereka di kamar tamu yang ada di lantai satu. Jadi, Diana tak perlu susah payah naik turun tangga. "Mas, sarapannya sudah siap, tuh!" Diana mendekati suaminya yang asik dengan HP pintarnya. "Dari habis subuh kamu menghilan
"Eh, Gita, belanja juga?" Kedua sahabat lama ini langsung berpelukan. Menyingkir dari tempat itu dan membiarkan Deata menyelesaikan pembayaran. "Alhamdulillah, ini sudah delapan bulan. Kamu ...?" Diana tak melanjutkan pertanyaannya. "Anakku sudah dua.""Oh ya? Masyaa Allah, lama tak berkabar tahu-tahu dah berbuntut dua," ujar Diana nyengir. Mereka terlibat obrolan panjang sampai suami Diana mendekat. "Sudah, Mas?" "Udah. Yuk!" ajak Desta sembari menarik pinggang sang istri. Saat itulah tatapan matanya bersirobok dengan Gita. Sesaat keduanya terpaku. Kenangan silam masa SMA teringat kembali oleh mereka. Gita adalah orang yang pernah menolong Diana waktu kecelakaan dulu. Saat itu Diana berlarian ke halte karena ia tak mau ketinggalan UAS. Saat bersamaan ada pengendara sepeda motor dengan kecepatan tinggi melaju dari arah kanan. Spion motor itu menyenggol tubuh Diana membuatnya terjatuh. Untuk hanys luka ringan sehingga ia masih bisa ikut UAS. Gita yang sedang mengendari mobil berhe
"Jadi?""Yah, begitulah faktanya." Dengan santai pria yang mengaku bernama Eldi mencomot kembali udang crispy yang masih setengah porsi milik Diana. Tentu kelakuan nggak sopan pria ini membuat dua pria lain menganga melihatnya. "Hei, kalau mau makan pesan aja sendiri! Jangan main comot gitu, dong!" Desta tampak menggeram melihat kelakuan sewenang-wenang pria yang mengaku teman SMA istrinya. Namun sepertinya Eldi tak merasa terganggu dengan tatapan membunuh 2 pria di sampingnya . Mau tak mau Diana menyudahi makannya meski sebenarnya iya masih sangat ingin melahap udang crispy itu. Namun mengingat aura yang mulai berubah horor, wanita hamil ini menekan keinginannya."Eh, eh, eh, mau kemana? Temani aku dulu di sini napa? Sepertinya kamu sudah nggak takut ma cowok lagi. Kalau gitu, boleh dong babang El PDKT sama Diana cantik," ucapnya tanpa disaring dulu. Iya Bahkan tak mau repot-repot melihat dua orang yang menjadi bodyguard Diana. Baginya dua orang pria itu dianggap seperti bayangan
Mobil yang mereka tumpangi berbelok ke restoran seafood yang ada di pinggir pantai. Diana berjalan lebih dulu ketika mobil telah berhenti. Memilih tempat dengan view yang menarik. Dia sangat suka laut. Maka tak heran ia memilih saung yang berhadapan langsung dengan laut. Dari sini mereka bisa melihat matahari terbenam secara langsung. Sayangnya, saat mereka sampai, surya masih bersinar terang dan belum condong ke barat. "Mau pesan apa, Sayang?" tanya Desta saat bobot tubuhnya mendarat sempurna di samping sang istri. "Aku mau cumi asam manis, udang krispi, sama ca kangkung aja." "Ok. Minumnya?""Es degan.""No! Wanita hamil tak boleh minum es." "Kata siapa?""Kata suamimu yang paling ganteng," ucap Desta narsis. Daniel memeragakan akting memuntah pada sohib sekaligus iparnya itu yang ditanggapi dengan gelak tawa. Wanita hamil yang sejak tadi fokus pada deburan ombak di laut, bahkan ketika menyebutkan menu yang diingini, menoleh pada sumber suara. Menatap takjub pada pria tampan
Pria tua yang dipanggil paman oleh Diana ini berdiri. Tatapannya nyalang seperti hendak memakan orang. Diana yang sudah biasa diperlakukan demikian olehnya tak merasa heran. Sejak dulu adik kandung bapak angkatnya ini memang terlihat nggak suka padanya. Selalu saja mengatakan jika Diana sebagai anak pembawa sial. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Kini, Diana paham. Yang dimaksud pamannya itu adalah karena Diana mendapat bagian harta yang lebih banyak. Padahal jika dipikir-pikir, bagiannya sama rata. Karena selain mendapat lahan sawit, bapak dan paman mendapat saham perusahaan masing-masing lima puluh persen. "Tolong, Pak, jaga sikap. Semua pembagian sudah dihitung secara adil. Selain lahan sawit, bapak-bapak masih mendapat saham perusahaan.""Ya, tapi seharusnya perempuan pembawa sial ini nggak perlu dapat bagian. Kenapa tidak Meta saja yang mendapatkannya? Dia putri kandung keluarga ini!""Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah almarhum. Keputusan ini sah dan dilindungi huk
"Tapi nanti keluarga itu akan semakin membenciku," lirih Diana sambil menunduk. Bagaimana pun dia sudah dibesarkan dengan sangat layak oleh keluarga itu. Dikuliahkan hingga ia bisa mengejar impiannya menjadi guru. Dia tak mengharap apapun dari mereka sebenarnya. "Tanpa mengungkit masalah ini pun mereka sudah membencimu sejak dulu, Di. Kebaikan dan ketulusan mereka selama ini hanya topeng. Mereka menginginkan bagianmu. Karena untuk mengalihkan nama menjadi nama Meta butuh persetujuan dan tanda tanganmu."Diana memijat pelipisnya. Tiba-tiba kepalanya berdenyut mendengar hal ini tiba-tiba. Ia tak menginginkan harta itu. Baginya berkumpul dengan keluarga sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah cukup senang dengan menjadi guru dan mendapatkan hasil darinya.Sarapan pagi yang seharusnya dilakukan dengan santai, kali ini justru diliputi keseriusan. Diana berharap apapun yang terjadi nanti keluarga yang telah membesarkannya tidak semakin membenci dirinya. "Apa tidak masalah kalau
Melihat kekagetan mommy, Diana berdiri dan membimbingnya untuk duduk. Ada yang perlu dijelaskan di sini. Diana menatap suaminya lalu beralih ke abangnya seolah ingin meminta persetujuan untuk menjelaskan statusnya. Kedua pria itu kompak mengangguk. "Mom, sebenarnya aku dan Bang Daniel kakak adik.""Apa?!"Wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu membelalak. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, Tan. Maaf, kami baru bisa memberi tahu sekarang. Karena kami juga baru tahu sesaat setelah Diana menikah dengan Desta." Daniel berinisiatif untuk menjelaskan mewakili adiknya. Dengan santai ia menjelaskan kronologis hilangnya Diana waktu masih bayi. Lalu menjelaskan bagaimana dia bisa tahu kalau Diana adalah adik kandungnya. "Jadi keluarga yang berusaha untuk mencelakaimu itu bukan keluarga kandungmu? Oh syukurlah Diana Mommy sangat senang mendengarnya. Karena kamu bukan keturunan keluarga kriminal." Mommy tampak bersungguh-sungguh. "Awalnya tante sangat
Aroma masakan Diana memenuhi dapur. Menguar ke seluruh penjuru ruangan. Pagi ini, Desta akan mengajak sang istri berjalan-jalan ke suatu tempat. Ia sengaja mengambil cuti seminggu untuk menebus waktu yang hilang sebelum ini. Ia turun dengan pakaian casualnya. Menambah kadar ketampanan pria itu meningkat beberapa kali lipat. Ditambah senyum yang tak pudar membuat semua penghuni rumah tertular aura bahagia yang ia taburkan. "Hem, wangi sekali aromanya, masak apa?" ucap Desta yang tiba-tiba sudah berada di belakang Diana. Melilitkan sepasang tangan kokohnya ke perut buncit wanita itu dan mengelusnya pelan. Mengantarkan sensai nyaman pada wanita itu. Diana tak menjawab pertanyaan sang imam. Ia sibuk menetralkan degub jantungnya yang berdentam-dentam tak karuan. Matanya terpejam menikmati gerakan aktif calon buah hatinya. "Wow, dia aktif sekali! Apa dia sedang mengajakku bicara?" ucap Desta antusias. Pria itu tampak takjub dengan apa yang ia rasakan. Baru kali ini dia merasakan secara