Desta yang fokus memperhatikan istri dan sahabatnya, berjingkat mendengar suara yang dikenalnya. Meta, sejak kapan gadis itu ada disini. Bisa hancur rencananya ketika ada dia di sini.
"Ngapain kamu di sini?""Harusnya aku yang tanya begitu, Sayang. Ngapain kamu ada di sini?" Gadis itu memutar lehernya. Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Dadanya terbakar ketika melihat ada kakaknya di sana."Oh, jadi kamu menguntit dia? Apa sekarang Kamu sudah mulai jatuh cinta padanya?"Karena tak ingin terjadi keributan, Desta hanya diam saja. Namun netranya tetap fokus mengamati gerak-gerik sang istri dan sahabatnya.Merasa diabaikan, gadis yang datang entah dari mana itu memutar otaknya untuk mencari cara agar Desta kembali padanya. Dengan percaya diri gadis itu menggandeng tangan sang kekasih dan menariknya menuju meja Diana."Kakak, kamu di sini juga?"Seketika pasangan kakak beradik itu menoleh dan mendapati adik serSuara pintu tertutup membuat pasangan ibu dan ayah berjangkit kaget. Mereka menatap putrinya yang datang dengan wajah kesal. Tak lama kemudian terdengar suara benda-benda dibanting dari kamar putrinya. Lalu cerita tangis gadis itu memenuhi ruang kamarnya."Pak, kenapa kenapa dengan putri kita?" tanya ibu dengan raut khawatir. Bapak yang tak tahu hal itupun hanya bisa menggeleng. Lalu keduanya berjalan menuju kamar sang putri."Meta, ada apa nak? Buka pintunya, sayang!" teriak ibu. "Meta! Meta sayang buka pintunya!" Kali ini bapak yang memanggil. Namun hingga gedoran pintu semakin keras gadis itu tak sedikitpun terpengaruh. Teriakan demi teriakan menggema dari dalam kamar. Merasa khawatir dengan kondisi putrinya, bapak berinisiatif untuk membuka pintu kamar itu dengan menggunakan kunci cadangan. Alangkah terkejutnya mereka melihat pemandangan yang sudah mirip kapal pecah. Gadis itu meringkuk di pojok kamar dengan kondisi yang
Desta, pria berbadan tegap dengan mata setajam elang itu terus menatap pintu. Terhitung sudah dua jam sejak kedatangannya dari mall tadi, ia duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu sang istri. Ada yang terbakar di dalam dadanya kal mengingat betapa dekatnya Diana dengan Daniel, sahabatnya. Sesekali ia memutar lehernya untuk menatap jam dinding. Ia sudah menyiapkan banyak kalimat untuk berbicara dengan wanita itu. Bahkan saking fokusnya, ia mengabaikan panggilan dari Meta. Ah, ngomong-ngomong soal gadis itu, kini tak ada lagi getaran halus di dadanya setiap kali bertemu dengannya. Tak ada lagi rasa rindu yang dulu selalu menggebu setiap kali berjauhan darinya. Semuanya tergantikan oleh sosok wanita yang semula ia benci. Wanita itu mampu menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya hanya dalam waktu singkat.Apa dia sudah termakan ucapannya sendiri yang tidak akan pernah jatuh cinta pada sosok wanita yang ia nikahi sebulan lalu? Lelaki itu menggeleng. Mencoba
"Di, maukah kamu memberiku kesempatan untuk memperbaiki diri? Ajari aku menjadi lebih baik agar layak menjadi suamimu," tatapan teduh Desta yang baru pertama kali ini Diana lihat membuat hatinya meleleh. Sungguh, ia sangat ingin. Karena memang inilah yang ia harapkan dari pernikahan ini. Meski pada awalnya terjadi karena kesalahan dan paksaan, Diana tetap ingin memiliki rumah tangga yang bahagia."Kamu mau kan kita memulai semuanya dari awal?" "Tentu saja. Aku memang wanita tak sempurna tapi aku ingin memiliki keluarga yang sempurna. Pernikahan ini harus berjalan sesuai dengan sunnah Rasulullah. Terima kasih karena telah menerima aku, Mas.""Tidak. Seharusnya aku lah yang berterima kasih padamu, sayang."Panggilan sayang yang baru pertama kali ia dengar ini membuat wajah cantik Diana tersipu tampak kemerahan seperti tomat. Keduanya saling tatap dan melempar senyum. Ada rasa membuncah yang sulit untuk diungkapkan dari hati masing-ma
"Hati-hati makannya," ucap Desta sambil menyodorkan air minum miliknya. "Makasih, Mas." Pria itu mengambil selembar tisu dan mengelap bibir sang istri dengan gerakan lembut. Hal itu semakin membuat darah Diana mengalir lebih cepat. Untuk menghilangkan kegugupannya, Diana bangkit dan membereskan bekas makannya. Berjalan menuju wastafel untuk mencuci piring dan gelasnya. Sebuah tangan terulur membantu kegiatan itu. Jantung Diana yang sudah mulai normal kembali jumpalitan akibat perbuatan lelaki itu. "Sudah, Mas biar aku saja. Mas ke depan saja!" "Tidak papa. Aku mau membantumu. Setelah ini kita ke kamar ya," bisiknya di telinga sang istri membuat bulu kuduknya meremang. "Kamu tegang sekali, Di. Apa aku menakutimu?" Pria itu semakin merapatkan tubuhnya hingga dadanya membentur punggung sang istri. "Ti--tidak!" ucapnya semakin gugup. Bahkan suaranya tercekat di tenggorokan karena ulah tangan nakal suaminya.
"Itu tidak benar kan, Bu? Saya yakin kabar bu Diana sudah menikah itu hanya gosip." Seorang pria berseragam kaos dan training tiba-tiba masuk dengan senyum khasnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau guru olahraga ini naksir berat sama Diana sejak pertama kali ia masuk ke sekolah ini. Sudah beberapa kali ia mengutarakan isi hatinya pada Diana baik secara tersirat maupun terang-terangan. Sayangnya Diana selalu menolak secara halus karena ia memang tak mau tak mau menjalin hubungan dengan laki-laki dalam satu naungan kerja. "Maaf, Pak Dody, sayangnya gosip itu benar. Saya sudah menikah sebulan yang lalu.""Kok nggak ada yang ngasih tahu saya, Bu? Kenapa bu Diana tega melakukan ini pada saya? Bukankah bu Diana tahu kalau saya selalu menunggu kesiapan bu Diana untuk menikah dengan saya?" ucap pria itu sendu. Kini kantor guru menjadi sedikit ramai akibat ulah guru olah raga itu. Sementara Diana yang merasa menjadi tertuduh hanya bisa menarik
"Diana, gimana kabarnya?" ucap pria itu lirih. "Mas Iqbal, ... ka--kapan balik ke Indonesia? Ke--kenapa nggak pernah berkabar?" lanjutnya. Pria itu menatap Diana dengan tatapan yang berbeda. Seolah tidak ada orang lain di sana selain mereka berdua. "Aku kehilangan kontakmu, Di. Hp-ku hilang saat baru sampai Kairo. Siapa pria ini?"Diana menatap suaminya dengan tatapan bersalah. Tersenyum getir kala pria itu menunjukkan sorot mata tak suka.Merasa disebut, Desta langsung mengulurkan tangannya. "Kenalkan, saya Desta. Suami Diana!" ucapnya mantap, seolah menegaskan bahwa Diana hanya miliknya seorang."Kamu sudah menikah?" Terlihat ada bias cemburu tersirat dari sorot mata cokelat pria itu. Diana yang masih berusaha mencerna situasi ini menegang melihat aura permusuhan yang dipancarkan suaminya. Rahang pria itu mengeras. Gurat wajahnya jelas menunjukkan kalau dia tidak suka."Maaf, kami makan dulu, apa Anda mau ikut maka
"Apa ... kamu masih mencintainya?" lirih Desta dengan nada cemburu. Melihat perubahan mimik wajah sang istri hatinya terasa nyeri. "Aku ... Aku ... nggak pernah menjalin hubungan dengannya. Dia hanya kakak tingkatku waktu kuliah dulu." Desta masih tak percaya. Iya terus saja mendesak agar sang istri berterus terang mengenai pria yang baru saja membuat darahnya mendidih. "Tapi dia tampak seperti merindukanmu. Sesama pria aku tahu arti tatapan mata itu.""Sudahlah, Mas lebih baik kita pulang saja aku capek dan pengen istirahat."Wanita itu bangkit diikuti oleh suaminya yang masih dipenuhi tanda tanya di kepala. Sebenarnya pria itu masih belum puas dengan jawaban sang istri, tapi Ia juga tak mau mendesaknya. Hubungan mereka baru saja terjalin indah, tidak mungkin Desta melakukan kesalahan dengan tak memercayai istrinya sendiri. ***Tak terasa Diana telah melewati 3 bulan masa pernikahannya. Pagi ini ketika hendak membua
"Apakah aku sedang hamil sekarang?" Humam wanita itu sambil mengelus perutnya yang masih rapat. Seketika senyumnya terbit membayangkan di dalam rahimnya tumbuh calon buah hati mereka. Meski belum bisa dipastikan bahwa ia hamil namun ia merasa bahwa kini dirinya telah berbadan dua. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Lalu ia melangkah keluar dari kamar mandi menuju pintu kamar. "Ada apa, Bik?" tanya Diana sambil memberikan akses untuk sang ART agar bisa masuk ke dalam kamarnya."Ini non sudah saya buatkan bubur di makan dulu ya, terus kalau sudah nanti cobain ini ya Non, ya." Wanita paruh baya itu menyodorkan sebuah benda bertuliskan merk kesehatan yang isinya berupa alat tes kehamilan. Tanpa pikir panjang Diana langsung mengambil alih benda itu dan kembali masuk ke kamar mandi. Wanita yang masih tampak pucat itu mengikuti petunjuk yang ada dalam kemasan dengan mencelupkan ujung tespek pada urine yang telah Ia tampung
Pertama kali bertemu orang yang melahirkan ke dunia seumur hidupnya, Diana seperti mimpi dan tak ingin bangun lagi. Selama ini ia mengira ibunya Meta adalah orang yang telah melahirkannya juga. Ternyata dia salah.Dan kini, wanita yang telah menyediakan rahimnya untuk dia tumbuh selama sembilan bulan lebih, talah ada di depan mata. Mereka masih berpelukan melepaskan rindu. Seolah hanya ada mereka berdua di sini. Bahkan, Diana sampai melupakan suaminya. Dalam kondisi normal, ia akan merasa malu bersikap seperti ini di depan suaminya. "Apa kalian nggak menganggap kami ada?" ucap Daniel dengan nada cemburu. Sepasang wanita kembar beda usia itu melerai pelukannya. Lalu menatap tajam pada pria yang barusan berbicara. Seolah mengerti dengan tatapan itu, Daniel memilih untuk duduk di samping Desta. "Apa setelah bertemu kalian akan bersekutu untuk memusuhiku? Kenapa tatapan kalian seperti itu?" cicitnya membuat ia mendapat lemparan dua bantal sofa secara bersamaan. "Tuh, kan ... benar. Bah
Pagi-pagi sekali, Diana sudah berkutat di dapur. Efek tak bisa tidur semalaman karena memikirkan ibu angkatnya, ba'da subub ia sudah berkutat di dapur. Membuat nasi goreng dan roti bakar untuk sarapan. Bi Ijah berkali-kali sudah melarang. Tak tega melihat majikannya di depan kompor dengan perut besar. Apalagi sesekali Diana menekan punggungnya yang mulai pegal. Namun, dasar Diana, ia tetap melakukan aktivitas meski sudah dilarang. Katanya biar persalinannya nanti lancar. Bahkan andai Desta nggak memaksa, ia tetap ingin pergi mengajar. Tepat pukul 6 pagi semua sarapan sudah terhidang di meja makan. Delapan puluh persen Diana yang membuatnya. Setelah siap, wanita itu segera masuk ke kamarnya. Semenjak usia kandungannya mencapai tujuh bulan, Desta memindahkan kamar mereka di kamar tamu yang ada di lantai satu. Jadi, Diana tak perlu susah payah naik turun tangga. "Mas, sarapannya sudah siap, tuh!" Diana mendekati suaminya yang asik dengan HP pintarnya. "Dari habis subuh kamu menghilan
"Eh, Gita, belanja juga?" Kedua sahabat lama ini langsung berpelukan. Menyingkir dari tempat itu dan membiarkan Deata menyelesaikan pembayaran. "Alhamdulillah, ini sudah delapan bulan. Kamu ...?" Diana tak melanjutkan pertanyaannya. "Anakku sudah dua.""Oh ya? Masyaa Allah, lama tak berkabar tahu-tahu dah berbuntut dua," ujar Diana nyengir. Mereka terlibat obrolan panjang sampai suami Diana mendekat. "Sudah, Mas?" "Udah. Yuk!" ajak Desta sembari menarik pinggang sang istri. Saat itulah tatapan matanya bersirobok dengan Gita. Sesaat keduanya terpaku. Kenangan silam masa SMA teringat kembali oleh mereka. Gita adalah orang yang pernah menolong Diana waktu kecelakaan dulu. Saat itu Diana berlarian ke halte karena ia tak mau ketinggalan UAS. Saat bersamaan ada pengendara sepeda motor dengan kecepatan tinggi melaju dari arah kanan. Spion motor itu menyenggol tubuh Diana membuatnya terjatuh. Untuk hanys luka ringan sehingga ia masih bisa ikut UAS. Gita yang sedang mengendari mobil berhe
"Jadi?""Yah, begitulah faktanya." Dengan santai pria yang mengaku bernama Eldi mencomot kembali udang crispy yang masih setengah porsi milik Diana. Tentu kelakuan nggak sopan pria ini membuat dua pria lain menganga melihatnya. "Hei, kalau mau makan pesan aja sendiri! Jangan main comot gitu, dong!" Desta tampak menggeram melihat kelakuan sewenang-wenang pria yang mengaku teman SMA istrinya. Namun sepertinya Eldi tak merasa terganggu dengan tatapan membunuh 2 pria di sampingnya . Mau tak mau Diana menyudahi makannya meski sebenarnya iya masih sangat ingin melahap udang crispy itu. Namun mengingat aura yang mulai berubah horor, wanita hamil ini menekan keinginannya."Eh, eh, eh, mau kemana? Temani aku dulu di sini napa? Sepertinya kamu sudah nggak takut ma cowok lagi. Kalau gitu, boleh dong babang El PDKT sama Diana cantik," ucapnya tanpa disaring dulu. Iya Bahkan tak mau repot-repot melihat dua orang yang menjadi bodyguard Diana. Baginya dua orang pria itu dianggap seperti bayangan
Mobil yang mereka tumpangi berbelok ke restoran seafood yang ada di pinggir pantai. Diana berjalan lebih dulu ketika mobil telah berhenti. Memilih tempat dengan view yang menarik. Dia sangat suka laut. Maka tak heran ia memilih saung yang berhadapan langsung dengan laut. Dari sini mereka bisa melihat matahari terbenam secara langsung. Sayangnya, saat mereka sampai, surya masih bersinar terang dan belum condong ke barat. "Mau pesan apa, Sayang?" tanya Desta saat bobot tubuhnya mendarat sempurna di samping sang istri. "Aku mau cumi asam manis, udang krispi, sama ca kangkung aja." "Ok. Minumnya?""Es degan.""No! Wanita hamil tak boleh minum es." "Kata siapa?""Kata suamimu yang paling ganteng," ucap Desta narsis. Daniel memeragakan akting memuntah pada sohib sekaligus iparnya itu yang ditanggapi dengan gelak tawa. Wanita hamil yang sejak tadi fokus pada deburan ombak di laut, bahkan ketika menyebutkan menu yang diingini, menoleh pada sumber suara. Menatap takjub pada pria tampan
Pria tua yang dipanggil paman oleh Diana ini berdiri. Tatapannya nyalang seperti hendak memakan orang. Diana yang sudah biasa diperlakukan demikian olehnya tak merasa heran. Sejak dulu adik kandung bapak angkatnya ini memang terlihat nggak suka padanya. Selalu saja mengatakan jika Diana sebagai anak pembawa sial. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Kini, Diana paham. Yang dimaksud pamannya itu adalah karena Diana mendapat bagian harta yang lebih banyak. Padahal jika dipikir-pikir, bagiannya sama rata. Karena selain mendapat lahan sawit, bapak dan paman mendapat saham perusahaan masing-masing lima puluh persen. "Tolong, Pak, jaga sikap. Semua pembagian sudah dihitung secara adil. Selain lahan sawit, bapak-bapak masih mendapat saham perusahaan.""Ya, tapi seharusnya perempuan pembawa sial ini nggak perlu dapat bagian. Kenapa tidak Meta saja yang mendapatkannya? Dia putri kandung keluarga ini!""Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah almarhum. Keputusan ini sah dan dilindungi huk
"Tapi nanti keluarga itu akan semakin membenciku," lirih Diana sambil menunduk. Bagaimana pun dia sudah dibesarkan dengan sangat layak oleh keluarga itu. Dikuliahkan hingga ia bisa mengejar impiannya menjadi guru. Dia tak mengharap apapun dari mereka sebenarnya. "Tanpa mengungkit masalah ini pun mereka sudah membencimu sejak dulu, Di. Kebaikan dan ketulusan mereka selama ini hanya topeng. Mereka menginginkan bagianmu. Karena untuk mengalihkan nama menjadi nama Meta butuh persetujuan dan tanda tanganmu."Diana memijat pelipisnya. Tiba-tiba kepalanya berdenyut mendengar hal ini tiba-tiba. Ia tak menginginkan harta itu. Baginya berkumpul dengan keluarga sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah cukup senang dengan menjadi guru dan mendapatkan hasil darinya.Sarapan pagi yang seharusnya dilakukan dengan santai, kali ini justru diliputi keseriusan. Diana berharap apapun yang terjadi nanti keluarga yang telah membesarkannya tidak semakin membenci dirinya. "Apa tidak masalah kalau
Melihat kekagetan mommy, Diana berdiri dan membimbingnya untuk duduk. Ada yang perlu dijelaskan di sini. Diana menatap suaminya lalu beralih ke abangnya seolah ingin meminta persetujuan untuk menjelaskan statusnya. Kedua pria itu kompak mengangguk. "Mom, sebenarnya aku dan Bang Daniel kakak adik.""Apa?!"Wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu membelalak. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, Tan. Maaf, kami baru bisa memberi tahu sekarang. Karena kami juga baru tahu sesaat setelah Diana menikah dengan Desta." Daniel berinisiatif untuk menjelaskan mewakili adiknya. Dengan santai ia menjelaskan kronologis hilangnya Diana waktu masih bayi. Lalu menjelaskan bagaimana dia bisa tahu kalau Diana adalah adik kandungnya. "Jadi keluarga yang berusaha untuk mencelakaimu itu bukan keluarga kandungmu? Oh syukurlah Diana Mommy sangat senang mendengarnya. Karena kamu bukan keturunan keluarga kriminal." Mommy tampak bersungguh-sungguh. "Awalnya tante sangat
Aroma masakan Diana memenuhi dapur. Menguar ke seluruh penjuru ruangan. Pagi ini, Desta akan mengajak sang istri berjalan-jalan ke suatu tempat. Ia sengaja mengambil cuti seminggu untuk menebus waktu yang hilang sebelum ini. Ia turun dengan pakaian casualnya. Menambah kadar ketampanan pria itu meningkat beberapa kali lipat. Ditambah senyum yang tak pudar membuat semua penghuni rumah tertular aura bahagia yang ia taburkan. "Hem, wangi sekali aromanya, masak apa?" ucap Desta yang tiba-tiba sudah berada di belakang Diana. Melilitkan sepasang tangan kokohnya ke perut buncit wanita itu dan mengelusnya pelan. Mengantarkan sensai nyaman pada wanita itu. Diana tak menjawab pertanyaan sang imam. Ia sibuk menetralkan degub jantungnya yang berdentam-dentam tak karuan. Matanya terpejam menikmati gerakan aktif calon buah hatinya. "Wow, dia aktif sekali! Apa dia sedang mengajakku bicara?" ucap Desta antusias. Pria itu tampak takjub dengan apa yang ia rasakan. Baru kali ini dia merasakan secara